10.Lebar sungai, Lebar sungai diperoleh dengan cara mengukur jarak dari pinggir-pinggir
sungai pada setiap plot dengan menggunakan meteran. 11.Jarak dari sungaisumber air,
Jarak dari sungaisumber air diperoleh dengan mengukur jarak ditemukannya kodok merah atau kuadrat plot dari sumber airsungai.
12.Jarak dari jalur manusiapatroli Jarak dari jalur manusia atau patroli dengan cara mengukur jarak antara
ditemukannya kodok merah atau kuadrat plot dengan jalur manusiapatroli terdekat dengan menggunakan meteran.
Selain mencatat semua komponen mikrohabitat di atas dilakukan pengambilan specimen jenis vegetasi yang terdapat di dalam kuadrat plot.
Identifikasi jenis vegetasi dilakukan di Laboratorium Kebun Raya Cibodas.
D. Metoda Pengamatan Habitat Preferensi Kodok Merah
Habitat preferensi kodok merah, dengan cara melakukan pengamatan perjumpaan kodok merah dengan memperhatikan mikrohabitat kodok merah
tersebut. Metode ini digunakan untuk melihat tingkat kesukaan kodok merah terhadap habitat yang ditempati. Pengumpulan data spasial meliputi titik-titik
perjumpaan dengan kodok merah dan menghitung luas masing-masing transek lokasi penelitian. Data kondisi fisik habitat diperoleh dengan cara melakukan
pengamatan terhadap kondisi mikro habitat kodok merah. Kondisi biotik kodok merah diperoleh dengan cara melakukan identifikasi jenis tumbuhan pada kuadrat
plot pertemuan kodok merah.
E. Metoda Asumsi dalam Membuat Peta Kesesuaian
Untuk membuat peta kesesuaian habitat kodok merah dilakukan dengan mengevaluasi beberapa variabel penting bagi keberadaan kodok ini. Beberapa
penelitian menyebutkan beberapa aspek yang sangat berpengaruh pada penyebaran amfibi seperti penutupan lahan, kerapatan tajuk, ketinggian dan
kelerengan, serta sebaran suhu Duellman dan Trueb 1994; Heyer et al. 1994, Stebbins dan Cohen 1995. Beberapa variabel diantaranya seperti penutupan tajuk,
keberadaan sungaiair, ketinggian dan kelerengan, serta sebaran suhu. Parameter-
parameter ini dapat dianalisis dengan menggunakan GIS dan citra satelit sehingga menghasilkan peta tematik untuk setiap variabel. Setelah itu setiap peta tematik
diberi nilai kesesuaian berdasarkan asumsi yang dipakai. Penyebaran kodok merah bergantung pada variabel-variabel di atas. Untuk
itu dibutuhkan beberapa asumsi yang tepat untuk mendapatkan model kesesuaian habitat yang tepat pula. Berikut ini adalah beberapa asumsi yang dipakai untuk
pemodelan spasial habitat kodok merah :
1. Penutupan tajuk
Katak membutuhkan penutupan tajuk yang rapat untuk melindungi tubuhnya dari kekeringan. Katak bersembunyi di daerah yang gelap seperti di
bawah rimbunan daun, di lubang-lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan tajuk berhubungan langsung dengan suhu
dan kelembaban relatif. Hutan dengan penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin karena menyediakan naungan dan
mencegah penguapan yang berlebihan Casey 2001. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin rapat tajuk hutan maka tingkat kesesuaian semakin
tinggi. Kerapatan tajuk dapat diketahui dengan pendekatan LAI Leaf Area Index. LAI adalah suatu area penutupan daun tiap unit area permukaan tanah Watson
1947. Menurut Breda 2003 LAI berhubungan dengan iklim mikro tajuk yang menderteminasikan dan mengontrol intersepsi air dari tajuk, penutupan radiasi
matahari, pertukaran gas karbon serta merupakan suatu komponen kunci dari perputaran biogeokimia dalam ekosistem. Semakin besar nilai LAI maka
kerapatan tajuk juga akan semakin besar sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan kelembaban di bawah tajuk akan semakin meningkat. Untuk
menganalisis kerapatan tajuk dibutuhkan peta LAI Leaf Area Index yang diperoleh dari hasil olahan peta Citra Landsat TNGGP.
2. Ketinggian dan kemiringan lereng
Ketinggian tempat elevasi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Penelitian yang dilakukan pada tahun
1984, kodok merah ditemukan di Sukabumi yaitu pada ketinggian 703-814 m dpl. Kusrini et al. 2007 menyebutkan bahwa jenis kodok merah ditemukan di Rawa
Denok 1699-1795 m dpl dan di Curug Cibeureum 1685 mdpl. Menurut Kusrini et al. 2007. Laporan dari MZB tahun 1964 jenis kodok ini juga
ditemukan di Lebak Saat 2250-2500 m dpl. Ketinggian juga berdampak pada kemiringan lereng, sehingga semakin besar ketinggian maka kemiringan lereng
juga akan semakin tinggi. Untuk ketinggian pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan temuan-temukan kodok merah pada waktu lampau. Pembagian kelas
ketinggian dibagi sebagai berikut : Ketinggian 500-1000 m dpl
: kesesuaian rendah Ketinggian 2000-3000 m dpl : kesesuaian sedang
Ketinggian 1000-2000 m dpl : kesesuaian tinggi. Asumsi yang digunakan dalam pembagian kelas lereng berdasarkan pada
data penyebaran kodok merah di TNGGP. Asumsi yang digunakan dalam membangun model adalah:
Kemiringan ≥ 32 °
: kesesuaian rendah Kemiringan
23 ≥ - 32 ° : kesesuaian sedang
Kemiringan 0 ≥ - 23 °
: kesesuaian tinggi.
3. Jarak dari sumber airsungai
Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air. Menurut Iskandar 1998 kodok merah sering terdapat di sepanjang tepi sungai di pegunungan. Kodok
merah hidup di sepanjang sungai kecil di dalam hutan, umumnya ditemukan pada batu-batu di tengah ataupun di tepi sungai Liem 1971. Tahun 2003 Kurniati
menemukan sebanyak dua individu di sekitar aliran sungai kecil dengan arus yang cukup deras.
Data mengenai habitat kodok merah ini masih sangat sedikit. Lubis 2008 membangun asumsi untuk katak pohon berdasarkan tiga asumsi yaitu berada 30
m sungai dengan kesesuaian rendah,berada 10-30 m dari sungai dengan kesesuaian sedang, berada 10 m dari sungai dengan kesesuaian tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh maka asumsi yang dibangun sebagai berikut : Berada 30 m sungai
: kesesuaian rendah Berada 10-30 m dari sungai
: kesesuaian sedang Berada 10 m dari sungai
: kesesuian tinggi.
4. Amfibi sangat bergantung pada suhu sekitarnya
Amfibi adalah mahluk berdarah dingin atau ektoterm yang berarti suhu tubuhnya sama dengan suhu sekitar atau lingkungannya Stebbins Cohen,
1995. Amfibi tidak memiliki mekanisme internal khusus untuk memproduksi panas dari dalam tubuhnya seperti pada mamalia dan burung Duellman Trueb
1994. Anura umumnya hidup pada suhu mulai dari 3
C sampai 35,7 C dan suhu
paling optimum adalah 21,7 C. Menurut Kusrini et al. 2007a suhu udara di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berkisar 10 -23
C dan kelembaban 43- 100. Berdasarkan data-data di atas, asumsi yang dibangun untuk kesesuaian
suhu adalah: Suhu
≥ 18 C
: kesesuaian rendah Suhu ≥ 0 - 14
C : kesesuian sedang
Suhu ≥ 14 - 18
C : kesesuaian tinggi.
F. Metoda Penelitian Spasial
Penyusunan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat kodok merah dimulai dengan pengumpulan data primer dan sekunder, yang meliputi peta digital, data
survey lapang, dan literatur. Komponen lingkungan yang digunakan dalam analisis kesesuaian ini dititik beratkan pada faktor-faktor penentu kualitas habitat
kodok merah, yaitu penutupan tajuk, topografi ketinggian dan kemiringan lereng, jarak dari sungai, dan suhu. Hasil survey lapang mengenai penyebaran
kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango digunakan sebagai dasar dalam penentuan nilai bobot setiap variabel melalui Principle component
Analysis PCA. Berdasarkan hasil analisis PCA dan didukung oleh literatur, dibangun suatu model kesesuaian habitat bagi kodok merah. Bagan alir prosedur
penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Bagan alir prosedur penelitian
Peta Suhu
Peta topografi
Peta penutupan
lahan
Peta ketinggian
Peta kemiringan
lereng Preferensi Habitat
kodok merah
Ya Tidak
Analisis Peta
Peta wilayah Administasi
TNGP
Survey lapang
Peta Rupa bumi
Indonesia
Peta kawasan
TNGP
Peta distribusi
sungai
Citra landsat
Data perjumpaan dengan kodok
merah
PCA
Peta kesesuaian habitat kodok merah
Validasi
Akurasi Model
Model Diterima
Peta sebaran kodok merah
G. Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel