Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi

E. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi

Keunggulan-keunggulan Sistem Informasi Geografis SIG sebagai sebuah perangkat sistem yang mudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan dan memunculkan lagi, mentransformasi dan menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan tertentu telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar pemetaan namun juga pemanfaatannya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun konservasi. Lang 1998 menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam, SIG sangat berperan penting dalam menyediakan kerangka kerja analisis untuk membantu komunitas masyarakat dalam mencari permasalahan-permasalahan yang umum terjadi dan mendiskusikan masalah pembangunannya. SIG dapat digunakan dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk pertanian, mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terjadi deforestasi, menganalisis dampak asap polusi udara dan pergerakannya, mengidentifikasi perubahan lahan, mendukung wilayah reklamasi lahan bekas tambang, perlindungan wilayah pantai dari pencemaran, pengelolaan habitat hutan maupun untuk penentuan kawasan sebagai habitat satwa langka. Metode penampalan manual dari penentuan kelimpahan suatu spesies dapat dilakukan secara otomatis dengan SIG. Batas-batas di peta dapat diketahui dengan menggabungkan data tentang distribusi faktor-faktor habitat dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi komunitas yang jarang. Peta kelimpahan jenis dan peta vegetasi dapat digabungkan untuk membuat peta penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui keadaan saat ini dan kemungkinan potensi penurunan keanekaragaman hayati. Kastanya 2001 dalam penelitiannya tentang karakeristik lanskap Elang Jawa Spizaetus bartelsi, memanfaatkan program Patch Analyst dalam sistem informasi geografis untuk menduga karakteristik lanskap Elang Jawa di wilayah Pulau Jawa bagian barat. Sedangkan Muntasib 2002 juga memanfaatkan kemampuan analisis spasial SIG dalam menumpangsusunkan data spasial menggunakan model pembobotan. Muntasib mengkombinasikan tiap parameter habitat berdasarkan komponen fisik, biologi dan sosialnya untuk mengetahui pola penggunaan ruang habitat Badak Jawa Rhinoceros sundaicus di Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian di bidang amfibi sangat diperlukan karena laporan terakhir menyebutkan populasi amfibi telah menurun drastis hampir di seluruh dunia akibat kerusakan habitat, kehilangan habitat, fragmentasi habitat, dan perubahan iklim global Pellet 2005. Oleh karena itu, penelitian berbasis SIG sangat diperlukan untuk mempelajari pola spasial yang dilakukan, karena amfibi memiliki siklus hidup yang kompleks dan menempati habitat yang beragam. Munger et al. 1998 meneliti tentang prediksi keberadaan Columbia Spotted Frog Rana luteiventris and Pacific Tree Frog Hyla regilla dengan menggunakan SIG. Parris 2000 meneliti salah satu jenis katak yang terancam punah di Queensland Australia dengan menggunakan aplikasi SIG dan pemodelan spasial untuk melihat distribusi spasial dan preferensi habitat katak pohon Litoria pearsonia dan menganalisanya secara statistik.. Lubis 2008 melakukan penelitian pemodelan spasial habitat katak Jawa Rhacophorus javanus mengunakan SIG dan penginderaan jarak jauh untuk menentukan kesesuaian katak jawa.

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas Kawasan

Secara geografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara 106º 51’ - 107º 02’ BT dan 6º 51’ LS. TNGGP yang awalnya memiliki luas 15.196 Ha dan terletak di 3 tiga wilayah kabupaten yaitu Cianjur 3.599,29 Ha, Sukabumi 6.781,98 Ha dan Bogor 4.514,73 Ha, saat ini sesuai SK Menhut No 174Kpts-IItanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 Ha. Pembagian zonasi di TNGP l terdiri dari zona inti 7.400 ha, zona rimba 6.848,30 ha dan zona pemanfaatan 948,7 ha. Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3 tiga kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor sebelah utara dan barat, Cianjur sebelah barat dan timur dan Sukabumi sebelah barat dan selatan BTNGP 2003.

B. Iklim

Berdasarkan laporan TNGGP BTNGP 2003 kawasan TNGP memiliki jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan jumlah bulan kering 2 bulan setiap tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt and Ferguson TNGP masuk kedalam tipe iklim B1 dimana curah hujan rata-rata di TNGP berkisar antara 3.000-4.200 mmth dengan rata-rata curah hujan bulanan 200 mm dengan Nilai Q berkisar antara 11,3-33,3 . Suhu berkisar antara 10-18 C dan kelembaban relatif berkisar antara 80-90 sepanjang tahun.

C. Geologi dan Tanah

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdiri dari 2 gunung berapi : Gede dan Pangrango. Diantara dua puncaknya dihubungkan oleh suatu saddle yang dikenal dengan nama Kandang Badak pada ketinggian 2.400 m dpl. Lereng-lereng gunungnya sangat curam dibelah oleh aliran sungai deras yang mengukir bagian lembah yang dalam dan punggung bukit yang panjang. Penampakan ini merupakan tipe dari daerah mudabaru dengan tingkat erosi yang tinggi. Secara umum kawasan ini merupakan dataran yang kering tetapi terdapat