Klasifikasi dan Morfologi Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 Pemilihan Habitat

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi Leptophryne cruentata Tschudi, 1838

Kodok merah Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 termasuk dalam kelas amphibia. Secara taksonomi kodok merah dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Amphibia, Ordo Anura, Famili Bufonidae, Genus Leptophryne dan Spesies Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 Iskandar 1998. Jenis katak lain yang termasuk dalam satu marga dengan L. cruentata adalah L. borbonica. Spesies ini juga dikenal dengan nama Bufo cruentatus atau Cacophryne cruentata Iskandar 1998. Spesies L. cruentata dikenal dengan nama kodok merah, yang mengacu pada bercak kecil yang berwarna merah yang menjadi ciri jenis ini. Kodok merah berukuran kecil ramping, mempunyai sepasang kelenjar parotoid kecil yang kadang-kadang tidak jelas. Bagian atas kepala tidak mempunyai alur bertulang, moncong meruncing, gendang telinga kecil dan tidak jelas. Ujung jari tangan dan kaki agak membengkak. Jari kaki ketiga dan kelima membentuk jaringan sampai ke benjolan sub artikuler. Bagian kulit punggung berbintik-bintik kecil, sedangkan bagian perut halus dengan sedikit bintik-bintik kecil van Kampen 1923; Liem 1971; Iskandar 1998; Kurniati 2003. Ukuran kodok merah sangat bergantung pada jenis kelaminnya, yakni pada umumnya individu jantan lebih kecil dibanding individu betina. Ukuran SVL Snout Venth Length kodok merah, yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL kodok merah di TNGGP dan TNGHS Pencacah SVL ♂ ♀ Liem 1971 20,0 – 29,8 mm 25,0 – 39,0 mm Iskandar 1998 20,0 – 30,0 mm 25,0 – 40,0 mm Kurniati 2003 25,0 – 30,0 mm - Kusrini et al. 2007b 20,0 – 30,0 mm 25,0 - 40,0 mm

B. Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas- komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil Bailey 1984. Krebs 1978 menyatakan bahwa habitat merupakan kisaran range lingkungan dimana spesies berada. Definisi lain dinyatakan oleh Goin Goin 1971 bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup. Menurut Alikodra 2002, suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas: air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang; sedangkan komponen biotik terdiri atas: vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau Mistar 2003. Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasipohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air Duellman Heatwole 1998. Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air Duellman Trueb 1994. Data penyebaran kodok merah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Data penyebaran kodok merah TAHUN KOLEKSI TOTAL LOKASI 1932 1959 1964 1972 1977 1978 1984 2003 2004 Bogor 1 5 1 7 Curug Cibeureum 5 118 1 6 2 132 Halimun 2 2 Lebak Saat 31 31 Perbawati 8 8 Salak 3 3 Sukabumi 1 1 TOTAL 1 5 149 1 22 1 1 2 2 184 Sumber: Kusrini et.al. 2007c Habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango juga merupakan sungai-sungai berbatu yang berarus cukup deras dan hanya dijumpai dalam hutan primer Liem 1971. Hal yang sama juga dikemukan oleh Kurniati 2003 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kodok merah terdapat di dalam hutan primer pada ketinggian 1500 meter dari permukaan laut, pada kantung-kantung air sungai kecil berbatu dengan arus cukup deras.

1. Komponen Fisik a. Ketinggian Tempat

Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenisnya MacKinnon 1986. Perubahan besar dalam komposisi jenis terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah menjadi terbatas Alikodra 2002. Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan van Steenis 2006. van Steenis 2006, juga menyebutkan bahwa pembagian zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim. Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap zonasi. TNGGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu sub montana 100-1500 mdpl, montana 1500-2400 mdpl dan sub alpin 2400 m dpl BTNGP 1996. Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Ketinggian juga berpengaruh pada penyebaran amfibi. Hasil ulasan Morrison Hero 2003 menunjukkan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim kawin yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk yang lebih lama, masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar.

b. Suhu

Temperatur merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu lingkungannya Alikodra 2002. Disamping itu, temperatur pada umumnya mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta bagian-bagiannya Alikodra 2002. Organisme berdarah panas yang memiliki organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas di malam hari nokturnal seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil. Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masing- masing individu yang berbeda Stebbins Cohen 1995. Suhu pada amfibi dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi. Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya. Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 0 C bahkan dibawah 0 C Duellman Trueb 1994, dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas suhu 28 C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 40 C yakni jenis African Foam-Nest Frog Chiromantis Shoemaker et al. 1989 dalam Stebbins Cohen 1995. Menurut Kusrini 2007a suhu udara di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berkisar antara 10 -23 C dan kelembabannya 43-100.

c. Jarak dari sungai atau sumber air

Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al. 1994 menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik, termasuk air yang mengalir sungai besar dan kecil, air yang tidak mengalir kolam dan danau, serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan lainnya. Larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di bawah atau di dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air bagi kehidupan amfibi khususnya katak dan kodok sangat penting.

2. Komponen Biotik a. Penutupan tajuk

Penutupan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kodok. Kodok bersembunyi di daerah yang gelap seperti di bawah rimbunan daun, di lubang- lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan lahan berhubungan langsung dengan suhu dan kelembaban relatif. Hutan dengan penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin karena menyediakan naungan dan mencegah penguapan yang berlebihan Casey 2001. van Steenis 2006 menyebutkan bahwa vegetasi terutama hutan, sangat penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan lahan, bagi pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung ekologi tertentu bagi tanaman.

b. Makanan

Menurut Alikodra 2002, semua organisme memerlukan sumber energi melalui makanan. Organisme yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Menurut Jaafar 1994, katak merupakan satwa karnivor yang memanfaatkan jenis serangga sebagai pakan Jenis-jenis serangga yang dimanfaatkan juga beragam. Menurut Duelman Trueb 1994 amfibi hanya memakan jenis serangga yang bergerak. Stebbins Cohen 1997 menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis katak yang memakan jenis mangsa dengan pergerakan yang lambat. Umumnya setiap jenis katak memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam berburu mangsa tergantung pada jenisnya. Jenis katak yang memiliki perawakan gemuk dan mulut yang lebar biasanya mencari mangsa dengan cara diam dan menunggu mangsa dan biasanya memanfaatkan jenis pakan dengan ukuran besar dan memanfaatkan dalam jumlah sedikit Duelman Trueb 1994; Stebbins Cohen 1997. Jenis katak yang memiliki perawakan yang ramping dengan mulut yang meruncing biasanya aktif dalam berburu mangsa dan memanfaatkan mangsa dalam jumlah yang banyak dengan ukuran pakan kecil Duelman Trueb 1994; Stebbins Cohen 1997. Katak memanfaatkan beranekaragam jenis serangga dan tidak bersifat khusus. Hal tersebut merupakan salah satu mekanisme setiap jenis katak dalam melangsungkan kehidupannya Young 1962. Kusrini et al. 2007c menyebutkan jenis makanan kodok merah yang ditemukan dalam perut terdiri dari Hymenoptera semut, 60.38, Coleoptera 7.55, Orthoptera 6.60, Diptera 6.60, Lepidoptera 4.72, Hemiptera 1.89, Collembola 1.89, Isopoda 0.94, tumbuhan dan tanah total 8.49.

C. Pemilihan Habitat

Pemilihan habitat yang sesuai merupakan suatu tindakan yang dilakukan satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya Bolen Robinson 1995. Individu yang berevolusi secara ideal akan menilai keterkaitan antara korbanan dan keuntungan serta memilih habitat yang dapat memberikan jaminan keberhasilan reproduksi. Individu yang memiliki korbanan rendah akan mengeksploitasi relung yang miskin meskipun peluang hidupnya di tempat lain lebih besar. Faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat Morris 1987. Morris 1987 menyatakan bahwa satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif seperti predasi dan kompetisi dan memaksimumkan interaksi positif seperti ketersediaan mangsa. Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa pakan, menghindari pesaing dan menghindari predator. Shannon et al. 1975 menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan ekspresi respon yang kompleks pada satwaliar terhadap sejumlah besar variabel yang saling terkait yang menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi satwaliar. Variabel tersebut dapat bersifat intrinsik, yakni tergantung pada status fisiologis dan perilaku satwaliar atau ekstrinsik yang tergantung pada faktor-faktor abiotik dan biotik dari lingkungannya.

D. Sistem Informasi Geografis SIG 1. Definisi