5. Objek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan, dan sebagainya.
6. Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang
terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau Kegiatan pariwisata di laut secara umum dapat dibedakan menjadi pariwisata
pesisir dan pariwisata bahari. Pariwisata pesisir adalah kegiatan pariwisata yang dilakukan di wilayah pesisir baik di bagian darat maupun di laut. Pariwisata
bahari adalah kegitan pariwisata yang dilakukan di laut termasuk di pulau kecil.
2.2.1 Pariwisata pesisir
Kegiatan pariwisata pesisir lebih dikaitkan kepada kegiatan rekreasi disekitar pantai seperti berjemur, bermain pasir, olahraga pantai, bermain air, berenang dan
berperahu di sekitar pantai sambil menikmati keindahan alam sekitarnya. Adapun parameter-parameter yang dibutuhkan untuk pariwisata pesisir Bakosurtanal,
1996 in Rakhmawati, 2002 antara lain:
1. Faktor fisik perairan dangkal
a Kedalaman perairan Perairan yang relatif dangkal merupakan lokasi yang paling ideal untuk
rekreasi di wilayan pesisir, dimana para pengunjung dapat bermain air dan berenang dengan aman. Kedalaman perairan 0 – 5 m merupakan syarat
yang paling sesuai untuk pariwisata pesisir, kedalaman perairan antara 5 – 10 m masih bisa diberi toleransi, sedangkan perairan dengan kedalaman
lebih dari 10 m merupakan kawasan yang kurang ideal untuk kegiatan wisata ini.
b Material dasar perairan Jenis substrat Materialsubstrat dasar perairan sangat menentukan kecerahan maupun
turbiditas perairan. Pantai yang memiliki substrat pasir merupakan lokasi yang sangat ideal untuk kegiatan wisata ini. Pantai yang memiliki substrat
pasir berkarang atau karang berpasir dengan hancuran karang yang relatif lebih sedikit masih dapat diberikan toleransi untuk kegiatan wisata pantai.
Pantai dengan substrat lumpur maupun karang merupakan lokasi yang tidak sesuai untuk kegiatan pariwisata pesisir.
c Kecepatan arus Kecepatan arus sangat berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan
para wisatawan. Pantai dengan kecepatan arus yang relatif lemah yaitu berkisar 0 – 0,17 ms dan gelombang kecil arus menyusur pantai
merupakan kawasan yang ideal untuk kegiatan wisata pesisir. Pantai yang memiliki kecepatan arus 0,17 – 0,34 ms masih bisa diberikan toleransi,
sedangkan pantai yang mempunyai kecepatan arus 0,51 ms merupakan lokasi yang tidak sesuai untuk kegiatan wisata ini.
d Kecerahan perairan Kecerahan perairan merupakan salah satu daya tarik bagi para wisatawan.
Pantai yang memiliki kecerahan perairan 15 – 20 m merupakan kawasan yang sangat cocok untuk kegiatan wisata pantai, pantai dengan kecerahan
antara 5 – 10 m masih bisa diberikan toleransi, sedangkan pantai yang mempunyai kecerahan 5 m merupakan lokasi yang tidak sesuai untuk
kegiatan wisata ini.
2. Faktor fisik pantai
a Penutupan lahan Penutupan lahan pantai merupakan salah satu faktor sekunder yang
menentukan kesesuaian kegiatan pariwisata. Seiring dengan rencana pengembangan suatu daerah untuk keperluan rekreasi, penutupan lahan ini
dapat diubah sesuai dengan kemauan pengelola, namun pantai dengan penutupan lahan berupa tanaman alami pantai seperti kelapa dan cemara
laut merupakan kawasan yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata pesisir. Pantai dengan penutupan lahan berupa semak belukar rendah masih dapat
diberi toleransi, sedangkan penutupan lahan berupa pemukiman dan pelabuhan merupakan kawasan yang tidak sesuai untuk kegiatan wisata.
b Ketersediaan air tawar Ketersediaan air tanah juga merupakan faktor yang utama dalam kegiatan
pariwisata pantai. Ketersediaan air tawar dilihat dari seberapa jauh jarak sumber air tersebut terhadap pantai. Jarak pantai dengan sumber air 2
km merupakan kawasan yang sangat ideal untuk kegiatan wisata, sedangkan pantai yang mempunyai sumber air berjarak 2 km merupakan
kawasan yang kurang ideal untuk kegiatan pariwisata pesisir. Dalam perkembangannya air tawar ini dapat dipasok dari tempat lain.
c Kemiringan lereng Kemiringan perlu untuk menentukan apabila suatu daerah termasuk
kategori datar, landai, agak curam, dan curam. Kelas sangat sesuai diberikan untuk kemiringan lereng datar 0 – 10, kelas sesuai untuk
kemiringan landai 10 – 15. Kelas sesuai bersyarat diberikan untuk
kemiringan agak curam 15 – 20, dan kelas tidak sesuai untuk daerah yang mempunyai kemiringan lereng curam yaitu 20.
2.2.2 Pariwisata bahari
Pariwisata bahari merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan pengamatan biota laut seperti terumbu karang dan ekosistemnya, ikan, mamalia
laut, serta pengamatan keunikan dasar laut. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan wisatawan adalah diving, snorkling untuk menikmati keindahan taman
laut. Minat wisatawan terhadap kawasan terumbu karang semakin tinggi karena indonesia telah dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan dan keindahan
alam bawah laut yang sangat besar. Dalam pengembangan sektor pariwisata, Kawasan Sabang diharapkan menjadi
pintu masuk wisata bahari nasional dengan pemanfaatan pelayanan pelabuhan yang bertujuan untuk memasarkan daerah tujuan lain yang ada di Indonesia
khususnya. Pariwisata yang akan dikembangkan merupakan implementasi dari kerjasama segitiga antara Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk sektor
pertumbuhan ekonomi dari segi pemanfaatan sektor pariwisata BPKS, 2005. Parameter atau syarat-syarat yang diperlukan untuk kegiatan wisata bahari
Bakosurtanal, 1996 in Rakhmawati, 2002 antara lain: a Kecerahan perairan transparancy
Perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan ini, semakin cerah suatu perairan keindahan taman laut yang
dapat dinikmati wisatawan juga semakin tinggi. Daerah dengan nilai kecerahan 15-20 m hasil pengukuran seichii-disk yang tidak termasuk
laut dalam merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata bahari.
Wilayah perairan dengan kecerahan 5-10 m masih dianggap layak untuk kegiatan pariwisata bahari, dan wilayah dengan nilai kecerahan kurang
dari 5 m dianggap tidak sesuai untuk kegiatan wisata ini. b Tutupan terumbu karang hidup
Persentase penutupan terumbu karang merupakan unsur utama dalam kegiatan pariwisata bahari karena memiliki nilai estetika taman laut yang
akan dinikmati oleh para wisatawan. Daerah dengan tutupan terumbu karang hidup 75 merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata
bahari. Toleransi diberikan pada daerah dengan tutupan terumbu karang 25-74, dan daerah dengan tutupan terumbu karang kurang dari 25
dianggap tidak sesuai karena tidak lagi termasuk dalam kategori indah. c Jenis terumbu karang dan biota yang berasosiasi
Semakin beragam jenis hewan karang dan biota yang berasosiasi, semakin banyak keindahan alam bawah laut yang dapat dinikmati oleh para
wisatawan. Wilayah yang mempunyai karang dan biota yang berasosiasi lebih dari 61 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan hewan karang
yang sangat beragam, lokasi yang mempunyai hewan karang dan biota yang berasosiasi antara 27 – 61 spesies dikategorikan ke dalam daerah
dengan jenis hewan karang beragam. Sementara itu yang mempunyai spesies hewan karang dan biota yang berasosiasi 11 – 26 dan kurang dari
11 masing – masing dikategorikan kedalam daerah dengan jenis hewan karang sedang dan sedikit.
d Jenis ikan karang Keragaman ikan karang merupakan faktor utama yang dapat menunjang
keindahan alam bawah laut. Menurut Rakhmawati 2002 daerah dengan ikan karang lebih dari 61 spesies dikategorikan ke dalam daerah dengan
jenis ikan karang sangat beragam, daerah yang mempunyai jenis ikan karang antara 27 – 61 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan jenis
ikan karang beragam. Daerah yang mempunyai jenis ikan karang antara 11 – 26 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan tingkat keragaman
sedang dan daerah yang mempunyai jenis ikan karang kurang dari 11 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan jenis ikan dengan sedikit
beragam. e Kecepatan arus
Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan para wisatawan dalam melakukan aktifitasnya. Menurut keterangan seorang instruktur selam,
kecepatan arus maksimal yang dapat ditolerir oleh seorang penyelam maksimal 1 knots atau setara dengan 0,51 ms. Daerah dengan kecepatan
arus 0-0,17 ms merupakan lokasi yang paling sesuai. Kecepatan arus 0,17-0,34 ms dikategorikan ke dalam lokasi sesuai, sedangkan kecepatan
arus 0,34-0,51 ms dikategorikan ke dalam lokasi sesuai bersyarat, dan daerah dengan kecepatan arus 0,51ms dikategorikan ke dalam lokasi
yang tidak sesuai.
f Kedalaman perairan Kedalaman perairan untuk wisata selam merupakan syarat pendukung atau
syarat tersier kegiatan wisata bahari. Parameter kedalaman berkaitan dengan kemampuan seorang penyelam untuk menikmati keindahan taman
bawah laut. Daerah dengan kedalaman 3 - 15 m merupakan daerah yang sangat sesuai untuk kegiatan diving. Toleransi diberikan pada daerah
dengan kedalaman 15 - 20 m karena sesuai untuk kegiatan diving, sesuai bersyarat 20 - 25 m dan daerah dengan kedalaman 25 m dikategorikan
tidak sesuai. Hal ini juga tergantung pada kondisi biota bawah laut pada wilayah perairan yang dimaksud.
2.3 Penginderaan jauh dan sistem informasi geografi
2.3.1 Sistem penginderaan jauh
Penginderaan jauh adalah suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena dengan menganalisis data yang
diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Pengamatan tanpa kontak langsung
dilaksanakan dengan memanfaatkan energi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi Lillesand dan Kiefer, 1990.
Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform. Platform tersebut dapat
berupa pesawat terbang, balon udara atau satelit. Komponen di dalam sistem penginderaan jauh yang saling terlibat dan perlu dipahami Lillesand dan Kiefer,
1990 antara lain:
1. Sumber energi, yang berupa energi elektromagnetik yang berasal dari alam matahari dan buatan.
2. Atmosfer merupakan media lintasan dari energi elektromagnetik. 3. Interaksi antara energi dan obyek.
4. Sensor, yaitu alat yang mendeteksi energi elektromagnetik dari suatu obyek dan merubahnya ke dalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam.
5. Perolehan data, dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi secara visual dan dapat pula dilakukan dengan cara numerikal atau cara digital
yaitu dengan menggunakan komputer. Penginderaan jauh Inderaja sudah banyak diaplikasikan dalam bidang
kelautan. Beberapa aplikasi atau penerapan inderaja untuk kelautan adalah aplikasi untuk oseanografi fisika, aplikasi untuk sumberdaya alam laut, dan
aplikasi untuk pengamatan dan perlindungan wilayah pesisir. Pengamatan perubahan garis pantai, dinamika pantai, monitoring pencemaran pantai, kondisi
mangrove dan ekosistem pantai lainnya juga menjadi perhatian inderaja kelautan. Dengan demikian inderaja kelautan tidak hanya mendeteksi parameter-parameter
yang ada di air laut tetapi juga mencakup parameter-parameter daratan yang ada di wilayah pesisir Susilo, 2006.
2.3.2 Satelit penginderaan jauh
Landsat 7ETM adalah satelit remote sensing yang dioperasikan oleh USGS United States Geological Survei, diluncurkan pada tanggal 15 April 1999
berorbit polar pada ketinggian orbit 705 km, dengan membawa sensor ETM+ yang dapat menghasilkan citra multispektral dan pankromatik yang masing-
masing memiliki resolusi spasial 30 m dan 15 m. Misi Landsat 7 adalah untuk
menyajikan data inderaja berkualitas tinggi dan tepat waktu dari kanal tampak visible dan infra merah yang meliput seluruh daratan dan kawasan di sekitar
pantai di permukaan bumi dan secara berkesinambungan memperbaharui data base yang ada NASA, 2005.
Landsat ETM+ Enchanced Thematic Mapper Plus merupakan pengembangan dari satelit Landsat 5 dan Landsat 6 dengan adanya beberapa
penambahan kemampuan seperti penambahan kanal pankromatik dengan resolusi spasial 15 m pada Landsat 6ETM dan perubahan resolusi spasial kanal 6 dari 120
m menjadi 60 m pada Landsat 7ETM NASA, 2005. Karakteristik kanal Landsat 7ETM dapat dilihat pada Tabel 1 dan konfigurasi satelit Landsat 7ETM
dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 1. Karakteristik kanal Landsat 7ETM
Instrumen sensor Enhanced Thematics Mapper
ETM+ Lebar Cakupan swath width
185 km Pengamatan Balik revisit time
16 hari Orbit Ketinggian Orbit
Hampir polar, sinkron dengan matahari
705 km Melintasi Ekuator local time
10.00 ±15 min
KANALSPEKTRUM Kisaran
spektral µ Resolusi
spasial m
1 Sinar tampak violet-Biru 0,450 - 0,515
30 2 Sinar tampak Hijau
0,525 - 0,605 30
3 Sinar tampak Merah 0,630 - 0,690
30 4 Infra merah dekat NIR
0,750 - 0,900 30
5 Gelombang infra merah pendek SWIR 1,550 - 1,750
30 6 Gelombang infra merah Thermal TIR
10,40 - 12,50 30
7 Short Wave IR 2.090 - 2,350
30 8 Modus Mono Pankromatik
0,520 - 0,900 15
Tanggal diluncurkan 15 April 1999
Waktu operasional 5 tahun
Sumber: Arief, 2004
Sumber: NASA, 2005
Gambar 1. Konfigurasi satelit Landsat 7ETM
2.3.3 Sistem informasi geografi SIG
Menurut Aronoff 1993 in Prahasta 2001, sistem informasi geografi adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang dilengkapi kemampuan untuk menangani
data yang bereferensi geografi yang mencakup : input pemasukan, manajemen data penyimpanan dan pemanggilan kembali, manipulasi dan analisis, output
produkkeluaran. Sistem informasi geografis adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis dan personil yang
dirancang untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi
geografis Prahasta, 2001. Peranan SIG tergantung pada keberadaan data. Dalam hal ini SIG
menggunakan dua jenis data, yaitu : 1 Data spasial
Data spasial adalah data yang mengacu pada ruangan suatau wilayah geografis tertentu. Informasi spasial ini bisa juga diartikan sebagai geoinformasi yang
bentuk penyajiannya berupa peta Kardono,1996. Setiap data spasial dalam SIG mengacu ke bentuk lapisan data atau bidang data. Dalam tiap lapisan akan terdiri
dari 3 tipe segmen data entity antara lain : titik point, garis line dan ruang polygon.
2 Data non-spasial Data non-spasial atau lebih dikenal dengan data atribut adalah data yang
melengkapi keterangan dari data spasialnya baik dalam bentuk statistik maupun deskriptif. Data atribut ini dibedakan menjadi dua: data kualitatif nama, jenis,
tipe dan data kuantitatif angka, bagianbesar jumlah, tingkatan, klas interval yang mempunyai hubungan satu-satu dengan data spasialnya.
Dalam pemantauan kesesuaian lahan untuk pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan
dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual survei langsung ke lapangan yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan
menggunakan penginderaan jauh dan SIG, pengamatan objek lahan pesisir di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang
luas.
2.3.4 Model data raster dan cell based modeling
Data raster atau disebut juga grid cell adalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai
struktur sel grid yang disebut dengan pixel picture element. Pada data raster, resolusi tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi pixel
menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang direpresentasikan
oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya Puntodewo et al., 2003. Data raster tersusun dari sel yang membentuk baris dan kolom yang analog dengan matriks
kartesius baris sel mewakili absis x dan kolom sel mewakili ordinat y. Masing- masing sel memiliki koordinat serta sebuah nilai sebagai identitas untuk
menggambarkan sebuah kelas, kategori atau grup. Analisis spasial dengan menggunakan cell based modeling saat ini banyak
dilakukan untuk memodelkan keadaan di alam ESRI, 2002. Secara umum, suatu model dapat merepresentasikan kekompleksitasan dan interaksi di alam dengan
suatu penyederhanaan. Pemodelan tersebut akan menolong kita untuk mengerti, menggambarkan dan memprediksi banyak hal di alam. Ada dua model yang
dikenal dalam analisis spasial, yaitu model yang merepresentasikan objekkenampakan di alam representation models dan model yang
mensimulasikan proses di alam process models. Representation models akan menggambarkan kenampakan di bumi seperti
bangunan, taman atau hutan. SIG dapat menampilkan objek tersebut melalui layer-layer, dimana untuk analisis spasial, layer tersebut dapat berupa raster.
Layer raster akan menampilkan objek tersebut dalam bidang bujursangkar yang saling bertautan atau disebut grid. Setiap lokasi di dalam layer raster akan berupa
grid cell-grid cell yang memiliki nilai tertentu ESRI, 2002. Process models menggambarkan interaksi dari objek di bumi yang terdapat di
dalam representation models. Process models dapat menggambarkan suatu proses di alam, tetapi lebih sering digunakan untuk memprediksi apa yang akan
terjadi pada suatu lokasi tertentu. Salah satu dasar dari analisis spasial dalam model ini adalah operasi penambahan dua data raster bersamaan. Konsep ini
kemudian dapat diterapkan untuk berbagai macam operasi aljabar pada lebih dari dua data raster ESRI, 2002.
Beberapa tipe dari process models yang umum digunakan adalah ESRI, 2002:
1. Suitability modeling, hampir semua analisis spasial bertujuan untuk menentukan lokasi yang paling optimum, seperti menemukan lokasi yang
paling sesuai untuk mendirikan sekolah baru atau tempat wisata. 2. Distance modeling, analisis ini bertujuan untuk menentukan jarak yang
paling efisien dari suatu lokasi ke lokasi yang lain. 3. Hidrologic modeling, salah satu aplikasi analisis ini adalah untuk
menentukan arah aliran air di suatu lokasi. 4. Surface modeling, salah satu aplikasi analisis ini adalah untuk mengkaji
tingkat penyebaran polusi di suatu lokasi. Sebagai suatu model data, maka data raster juga mempunyai sifat atau
karakteristik yang dapat menunjukkan bahwa data tersebut adalah data raster. Karakteristik-karakteristik model data raster adalah sebagai berikut:
a Resolusi; resolusi spasial dapat diartikan sebagai suatu dimensi linear minimum dari satuan jarak geografi terkecil yang dapat direkam oleh data.
Satuan terkecil dalam data raster pada umumnya ditunjukan oleh panjang sisi suatu bidang bujursangkar pixel.
b Orientasi; orientasi dalam model data raster dibuat untuk mempresentasikan arah utara grid. Secara umum, untuk mendapatkan
orientasi model data raster dilakukan penghimpitan arah utara grid dengan
arah utara sebenarnya pada titik asal dari dataset, yang biasanya adalah titik di bagian kiri atas.
c Lokasi; lokasi dalam model data raster dapat diidentifikasi dengan nilai koordinatnya dalam sumbu x,y. Nilai x dan y ini dapat menunjukkan
koordinat bumi dan sangat bergantung pada jenis proyeksi yang digunakan dalam peta.
d Zone; setiap zone pada model data raster adalah sekumpulan lokasi-lokasi yang memperhatikan nilaiID yang sama.
e Nilai-nilai; nilai adalah informasi atribut yang disimpan dalam sebuah layer untuk setiap pixel, sehingga pada ID yang sama pada beberapa pixel
dapat mempunyai nilai yang berbeda. Sumber data raster yang digunakan dalam pendekatan cell based modeling
dapat diturunkan dari citra satelit. Menurut ESRI 2002, keseluruhan model tersebut akan lebih efisien bila dilakukan pada data raster, selanjutnya analisis
spasial pada data raster disebut cell based modeling karena cara kerja metode ini berdasarkan sel atau pixel. Beberapa operasi pixel pada cell based modeling
adalah sebagai berikut: a Local function adalah operasi pixel yang hanya melibatkan satu sel. Nilai
satu pixel output ditentukan oleh satu pixel input. b Focal function adalah operasi pixel yang hanya melibatkan beberapa sel
terdekat. c Zonal function adalah operasi pixel yang hanya melibatkan suatu
kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.
d Global function adalah operasi pixel yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut.
e Application function adalah gabungan dari keempat ilustrasi di atas. Ilustrasi operasi pixel pada cell based modeling dapat dilihat pada Gambar 2.
a Local Function b Focal Function
c Zonal Function d Global Function Gambar 2. Operasi pixel pada cell based modeling ESRI, 2002
2.4 Indeks kerentanan vulnerability
Pulau Sabang berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil mengingat luasnya hanya 153
km
2
. Pulau-pulau kecil di Indonesia, tidak terkecuali Pulau Weh Sabang, menghadapi resiko bencana alam dan bencana akibat tekanan manusia yang
semakin besar mengingat sumber bencana alam yang beraneka ragam dan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Sumber bencana alam tersebut
diantaranya adalah gempa bumi, tsunami, badai, tanah longsor, kenaikan permukaan air laut. Bencana alam yang mengancam lingkungan pulau-pulau
kecil sebenarnya juga terjadi di seluruh dunia. Oleh karena itu badan dunia yang menangani lingkungan hidup yaitu UNEP United Nations Environment
Programme telah membuat suatu indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Environmental Vulnerability IndexEVI SOPAC, 2004.
Indeks kerentanan merupakan indeks yang menggambarkan kecenderungan menuju kearah kerusakan Gowrie, 2003. Indeks kerentanan sebenarnya
didasarkan pada penilaian terhadap berbagai aspek diantaranya dari aspek ekologis, antropogenis, meteorologis, biologis, geologis dari suatu lingkungan
pulau. Indeks ini biasanya mencakup indikator-indikator yang masuk dalam kategori resiko lingkunganenvironmental risk ERI, daya tahan
lingkunganintrinsic resilience IRI, dan kerusakan lingkunganenvironmental degradation EDI.
Indikator yang tercakup di dalam menyusun indeks kerentanan sebenarnya sangat banyak SOPAC, 2004. Namun demikian dalam penelitian ini hanya
beberapa indikator saja yang digunakan untuk membuat indeks kerentanan di Pulau Weh yaitu indeks pantaicoastal index IRI, indeks resiko permukaan
lauttenggelam IRI, indeks isolasi pulau IRI, ancaman bencana ERI, kekayaan ekosistem IRI, keunikan lingkungan IRI, human threat ERI,
pertumbuhan penduduk ERI, kepadatan penduduk ERI, luas pulau IRI, indeks pariwisata ERI.
Indeks pantaicoastal index mencerminkan tingkat fragmentasi ekosistem dari suatu lahan pulau. Suatu pulau yang terfragmentasi sangat besar, misalnya
mempunyai banyak tanjung atau tanah genting kemungkinan besar mempunyai pengaruh perbatasan transboundary effects yang besar. Ekosistem ini mungkin
juga lebih terbuka terhadap bahaya kerusakan dari bencana alam dan dampak manusia karena keberadaan daerah ungsian dan tipe ekosistem yang dapat
membentuk benteng pertahanan kemungkinan besar juga terbatas. Semakin tinggi nilai indeks ini maka semakin rentan pulau tersebut.
Indikator resiko permukaan laut menekankan pada adanya dataran yang sangat rendah yang mencerminkan daerah yang sangat mendapat dampak terkait dengan
polusi, gangguan ekosistem, banjir, dan kerentanan pesisir. Daerah sangat rendah ini akan cenderung menjadi yang pertama kebanjiran, cenderung mengakumulasi
polusi yang dibawa oleh limpahan air hujan run-off, dan di daerah pesisir menjadi daerah yang paling terkena dampak oleh badai, tsunami atau kenaikan
permukaan air laut. Daerah ini juga cenderung merupakan daerah yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi danatau merupakan habitat yang
kritis SOPAC, 2004. Makin besar indikator ini berarti suatu pulau secara keseluruhan makin rentan.
Indikator isolasi pulau mencerminkan terisolasinya pulau dari pulau-pulau yang lain danatau benua. Pulau yang terisolasi mungkin mempunyai resiko yang
lebih besar untuk kehilangan tipe ekosistem dan spesies selama periode stress jika pulau tersebut jauh dari tempat ungsian refuges dan tempat sumber rekolonisasi.
Pulau yang terisolasi kemungkinan besar hanya dapat mendukung jumlah spesies yang lebih sedikit dibandingkan pulau yang dekat dengan pulau lain danatau
benua. Selain itu pulau ini mempunyai peluang yang lebih kecil didalam
pertukaran genetis genetic interchange. Makin besar nilai indeks ini maka makin rentan pulau tersebut SOPAC, 2004.
Indikator ancaman bencana mencerminkan kemungkinan terjadinya kerusakan ekosistem dari berbagai kejadian bencana alam tersebut di atas. Makin tinggi nilai
indeks ini maka daerah tersebut mempunyai resiko kerusakan yang lebih tinggi sehingga semakin rentan.
Indeks kekayaan ekosistem Ecosystem RichnessER yaitu mengukur jumlah ekosistem yang ada di pulau. Makin besar nilai indeks ini maka makin tidak
rentan dan sebaliknya semakin kecil nilai indeks ini berarti lingkungan tersebut semakin rentan.
Indeks keunikan lingkungan adalah mengukur adanya keunikan lingkungan dan bentuk pulau yang menarik untuk tujuan konservasi maupun pariwisata.
Semakin banyak keunikan yang ada pada suatu pulau maka semakin tinggi resiko yang akan dialami oleh daerah ini jika terjadi bencana alam. Oleh karena itu
semakin tinggi nilai indeks ini akan semakin rentan SOPAC, 2004. Ancaman manusia Human ThreatHT yaitu mengukur tekanan populasi
manusia terhadap lingkungan dan SDA di pulau. Semakin tinggi nilai indeks ini maka semakin rentan.
Indeks pertumbuhan penduduk menekankan potensi kerusakan yang terkait dengan perkembangan populasi manusia, diantaranya adalah eksploitasi SDA,
pembuangan limbah yang pada akhirnya memerlukan kemampuan asimilasi dari lingkungan. Semakin besar nilai indeks ini maka semakin rentan suatu pulau
SOPAC, 2004.
Indeks kepadatan penduduk jumlah orang per km
2
mengukur tekanan terhadap lingkungan yang merupakan pengaruh dari jumlah penduduk yang dapat
didukung per unit lahan. Semakin tinggi nilai indeks ini maka makin besar pula tekanan terhadap lingkungan, eksploitasi SDA dan gangguan fisik lingkungan.
Dengan demikian semakin besar nilai indeks semakin besar pula kerentanan lingkungan SOPAC, 2004.
Indeks luas pulau km
2
mencerminkan kekayaan tipe habitat dan keanekaragaman hayati, ketersediaan daerah ungsian refuges jika kerusakan
terjadi secara berlanjut. Pada umumnya makin besar suatu pulau akan mempunyai pilihan yang lebih banyak dari hal-hal di atas dan memungkinkan
pemulihan kembali berlangsung lebih cepat terhadap daerah yang telah rusak. Semakin tinggi nilai indeks ini maka pulau tersebut semakin tahan resilience
terhadap gangguan alam SOPAC, 2004. Indeks pariwisata mengukur tambahan beban dampak manusia yang tidak
tercatat pada data statistik kependudukan. Pariwisata menambah tekanan pada lingkungan melalui peningkatan permintaan atas sumber daya lokal dan melalui
penambahan polusi serta gangguan fisik terhadap lingkungan. Semakin besar indeks ini berarti suatu daerah semakin rentan SOPAC, 2004.
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian terletak di Pulau Sabang atau Pulau Weh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sabang secara geografis terletak antara
95
o
1302BT - 95
o
2236BT dan 05
o
4528LU - 05
o
5428LU. Survei lapang dan pengambilan data lapang dilaksanakan pada tanggal 30 November 2007 sampai
11 Desember 2007. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Pulau Weh Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu a. pengumpulan
informasi tentang kondisi kawasan melalui laporan penelitian, artikel, maupun studi-studi yang terkait, b. persiapan dan pemrosesan citra satelit di Laboratorium
Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
95
o
12’ 46” 95
o
23’ 36”
5
o
4 7
’ 6
” 5
o
5 2
’ 3
4 ”
Institut Pertanian Bogor, c. pengolahan data sekunder data terumbu karang dan ikan karang, pengolahan data citra lanjutan dan penyusunan skripsi.
3.2. Alat dan bahan 3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Perangkat lunak ER Mapper 6.4
2. Perangkat lunak Arc View 3.3 dan perangkat lunak ArcGis 9.2 3. GPS Global Positioning System
4. Floating droudge untuk mengukur kecepatan arus 5. Seichi disc untuk mengukur kecerahan perairan
6. Peralatan SCUBA Self Contained Underwater Breathing Apparatus.
3.2.2 Bahan
Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data citra Landsat 7ETM+ Enhanced Thematic Mapper pathrow:
131056 6 Mei 2006 dari Biotrop Training and Information Center BTIC Biology Tropical BIOTROP.
2. Peta digital Pulau Weh dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi- Inventarisasi Sumberdaya Alam P3 TISDA Badan Penerapan dan
Pengkajian Teknologi BPPT dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA Nanggroe Aceh Darussalam NAD.
3. Data terumbu karang dan ikan karang dari Wildlife Conservation Society WCS tahun 2006.
4. Peta batimetri Pulau Weh tahun 2006 dari Dishidros TNI AL.
3.3 Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah integrasi
Inderaja dan SIG. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu pengolahan citra, survei lapangan dan pengumpulan data pendukung, pengolahan dan analisis data.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cell based modeling dengan sistem pembobotan dan skoring.
3.3.1. Pengumpulan data
Pada penelitian ini data yang digunakan terdiri dari dua, yaitu data primer dan
data sekunder.
1 Data primer Data primer untuk analisis spasial dengan melakukan pengamatan langsung di
lapangan dan pengolahan data citra Landsat 7ETM+. Pengamatan langsung di lapangan dilakukan terhadap posisi sebaran ekosistem wilayah pesisir, seperti
mangrove, lamun, dan terumbu karang, serta posisi pengukuran kualitas perairan menggunakan GPS Global Positioning System seperti kecepatan arus ms, dan
kecerahan perairan m sebagaimana terlihat pada Gambar 3. 2 Data sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai laporan yang berasal dari instansiinstitusi terkait seperti data statistik cuaca Sabang dari Badan Meteorologi
dan Geofisika BMG, data biofisik yang berhubungan dengan biota dan sifat fisik lokasi studi, sosial ekonomi dan budaya yang berhubungan dengan kondisi sosial
budaya masyarakat lokal dan wisatawan, data spasial berhubungan dengan peta didapatkan dari P3 TISDA BPPT dan BAPPEDA NAD.
3.3.2 Penyusunan basis data digital
Basis data digital yang disusun terdiri dari basis data spasial dan non-spasial. Basis data spasial dari citra Landsat 7 ETM+ diolah menggunakan ER Mapper 6.4
dan pembuatan peta-peta tematik menggunakan software perangkat lunak Arc View 3.3 dan Arc Gis 9.2. Basis data non-spasial atribut dibuat dengan
menggunakan software excel dan Arc View 3.3.
3.4. Analisis citra secara digital
Analisis citra secara digital bertujuan untuk mengekstrak informasi dari hasil rekaman citra satelit. Proses pengolahan citra diartikan sebagai beragam
operasional proses komputer yang dilakukan pada data citra satelit sehingga dihasilkan data tertentu. Proses pengolahan citra secara digital disebut image
processing. Tahapan-tahapan image processing terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahapan image processing Pemulihan Citra
Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Citra Satelit
Penajaman Citra
Klasifikasi Peta tematik substrat
dasar perairan dangkal dan kecerahan perairan
berbasis raster
3.4.1 Pengolahan citra awal 3.4.1.1 Pemotongan citra
image croping
Pengolahan data citra satelit diawali dengan pemotongan data citra yang bertujuan untuk membatasi daerah sesuai dengan lokasi penelitian. Perekaman
daerah oleh sensor satelit mencakup daerah rekaman yang sesuai dengan luasan sapuan sensor, oleh karena itu perlu adanya pembatasan daerah pada citra
cropping sesuai kebutuhan penggunanya.
3.4.1.2 Pemulihan citra Koreksi radiometrik
Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra, yaitu faktor gangguan atmosfer, sudut elevasi
matahari, dan kesalahan respon detektor pada saat penyiaman. Koreksi radiometrik ini dilakukan dengan teknik histogram adjusment. Teknik ini
didasarkan pada pengurangan nilai digital sebesar bias dari masing-masing band. Nilai bias adalah nilai digital terendah pada setiap band, nilai bias diasumsikan
sama dengan besarnya pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya. Pada metode ini ditetapkan bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya
adalah nol. Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan pengaturan histogram dapat dilihat pada persamaan berikut:
DN
i,j,koutput terkoreksi
= DN
i,j,kinput asli
– bias dimana:
DN = Nilai Digital Number
i = Baris
j = Kolom
k = Input nilai
Bias = Nilai digital terendah
3.4.1.3 Penajaman citra
image enhancement
Penajaman citra secara digital merupakan proses penggabungan informasi dari dua citra secara spektral melalui band rasioning menghitung perbandingan nilai
digital pixel setiap band. Penajaman citra dilakukan untuk meningkatkan informasi pada citra sehingga dapat membedakan objek yang ada dalam citra yang
menjadi parameter kesesuaian lahan. Pada penelitian ini penajaman citra menggunakan metode FCC false color composite dan menggunakan algoritma-
algoritma yang sesuai untuk kebutuhan analisis. Penajaman citra pada substrat perairan dangkal dan kecerahan perairan sebagai berikut:
1. Penajaman citra untuk substrat perairan dangkal
Pada penelitian ini penajaman citra terumbu karang menggunakan algoritma Lyzenga sebagaimana yang pernah digunakan oleh Siregar 1996 untuk pemetaan
terumbu karang di Kepulauan Seribu. Algoritma yang digunakan merupakan
hasil turunan “Standart Exponential Attenuation Model” dengan bentuk
perumusan sebagai berikut : Y = ln TM
1
+ k
i
k
j
ln TM
2
............................................1 Y
= Citra hasil ekstraksi dasar perairan TM
1
= Kanal pertama sinar tampak dari LANDSAT 7 - ETM TM
2
= Kanal kedua sinar tampak dari LANDSAT 7 - ETM k
i
k
j
= Koefisien Atenuasi Perairan Pada ekstraksi terumbu karang FCC false color composit yang digunakan
adalah kombinasi kanal dari kanal 4, kanal 2, dan kanal 1. Kanal 4 berfungsi untuk membedakan antara daratan dan lautan. Kanal 2 dan kanal 1 mampu
menembus kolom perairan sehingga dapat mendeteksi terumbu karang yang berada di bawah permukaan air. Proses komposit citra ini dilakukan untuk
mendapatkan visualisasi yang diinginkan sehingga memudahkan dalam klasifikasi citra. Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan nilai Varian dan Covarian dari
kanal 1 dan kanal 2 untuk mendapatkan nilai a dan nilai k
i
k
j
. Bentuk perumusan nilai a dan nilai k
i
k
j
sebagai berikut: k
i
k
j
= a + 1
2a +
............................................................ 2 a =
2 1
2 1
var 2
TM TM
Co VarTM
VarTM −
a = Konstanta
2. Penajaman citra untuk ekstraksi kecerahan