Te rm in o lo gi Kla s i k: Co n s t it u t io , P o lit e ia ,

Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 91 dan kan den gan pengertian konstitusi, sedan gkan nom oi adalah un dan g-un dang biasa. 113 Politea m en gan dun g kekuasaan yan g lebih tin ggi dari pada n om oi, karen a politea m em pun yai kekuasaan m em ben tuk sedan gkan pada nom oi tidak ada, karena ia han ya m erupakan m ateri yang harus dibentuk agar su- paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yun an i istilah kon stitusi berhubungan erat dengan ucapan R es- publica Con stituere yan g m elahirkan sem boyan , Prin sep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprem a Lex, yang artin ya ”Rajalah yan g berhak m enen tukan struktur orga- n isasi n egara, karen a dialah satu-satunya pem buat un - dan g-un dan g”. 114 Di Inggris, peraturan yang pertam a kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah “Constitution s of Cla- ren don 1164” yang disebut oleh H en ry II sebagai consti- tution s, av itae constitution s or leges, a recordatio v el recognition, 115 m enyangkut hubungan an tara gereja dan pem erin tahan Negara di m asa pem erin tahan kakekn ya, yaitu H en ry I. Isi peraturan yan g disebut sebagai kon - stitusi tersebut m asih bersifat eklesiastik, m eskipun pem asyarakatan n ya dilakukan oleh pem erin tahan seku- ler. Nam un , di m asa-m asa selanjutn ya, istilah constitutio itu serin g pula dipertukarkan satu sam a lain dengan istilah lex atau edictum untuk m enyebut berbagai secular adm inistrativ e enactm ents. Glan vill sering m en gguna- kan kata constitution un tuk a roy al edict titah raja atau ratu. Glan vill juga m en gaitkan H en ry II’s w rit creatin g 113 Ibid. 114 Bandingkan antara Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., dengan Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hal. 88-89; dan buku- buku sejenis lainnya. 115 Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai recordatio record atau recognitio a finding. Pengarang buku “Leges Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ of Henry I for the holding of the hundred and county courts” sebagai record. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 92 the rem edy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, 116 dan m en yebut the assize of nov el disseisin sebagai a re- cognitio sekaligus sebagai a constitutio. 117 Beberapa tahun setelah diberlakukannya Un dang- Un dang Merton pada tahun 1236, Bracton m en ulis arti- kel yang m enyebut salah satu keten tuan dalam un dan g- undang itu sebagai a n ew constitution, dan m engaitkan satu bagian dari Magna Charta yang dikeluarkan kem bali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yan g ham pir bersam aan satu zam an , Beaum a- n oir di Peran cis berpen dapat bahwa “speaks of the re- m edy in nov el disseisin as ’une nouv ele constitucion’ m ade by the kings”. Ketika itu dan selam a beradab-abad sesudahn ya, perkataan constitution selalu diartikan se- bagai a particular adm inistrativ e enactm ent m uch as it had m eant to the R om an law y ers. Perkataan consti- tution ini dipakai untuk m em bedakan an tara particular enactm ent dari consuetudo atau an cient custom kebia- saan. Pierre Gregoire Tholosan o of Toulouse, dalam bukunya De R epublica 1578 m en ggunakan kata con - stitution dalam arti yan g ham pir sam a den gan penger- tian sekaran g. 118 H an ya saja kan dun gan m aknanya lebih luas dan lebih um um , karen a Gregoire m em akai frase yan g lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zam an in i, arti perkataan constitution tercer- m in dalam pernyataan Sir J am es Whitelocke pada se- kitar tahun yan g sam a, yaitu “the natural fram e and con- stitution of the policy of this Kingdom , w hich is jus pub- licum regni”. Bagi J am es Whitelocke, jus publicum regni 116 George E. Woodbine ed., Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, New Haven: 1932, hal. 63. 117 McIlwain, Op. Cit., hal. 24. 118 Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti, lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 93 itulah yang m erupakan keran gka alam i dan konstitusi politik bagi kerajaan. Dari sin i, kita dapat m em aham i pengertian konsti- tusi dalam dua kon sepsi. Pertam a, konstitusi sebagai the natural fram e of the state yan g dapat ditarik ke belakang dengan m engaitkan nya dengan pen gertian politeia da- lam tradisi Yunan i Kun o. Kedua, kon stitusi dalam arti jus publicum regn i, yaitu the public law of the realm . Ci- cero 119 dapat disebut sebagai sarjana pertam a yang m en ggunakan perkataan con stitutio dalam pen gertian kedua in i, seperti tergam bar dalam bukun ya “De R e Pub- lica”. Di lin gkungan Kerajaan Rom awi Rom an Em pire, perkataan con stitutio in i dalam ben tuk Latin n ya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk m enyebut the acts of legislation by the Em peror. Menurut Cicero, “This cons- titution haec con stitution has a great m easure of equa- bility w ithout w hich m en can hardly rem ain free for an y length of tim e”. Selan jutnya dikatakan oleh Cicero: “N ow that opin ion of Cato becom es m ore certain , that the con stitution of the republic con sitution em rei publicae is the w ork of n o sin gle tim e or of n o single m an ”. Pendapat Cato dapat dipaham i secara lebih pasti bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu wak- tu ataupun satu orang, m elain kan kerja kolektif dan aku- m ulatif. Oleh karen a itu, dari sudut etim ologi, kon sep klasik m engenai konstitusi dan kon stitusionalism e dapat ditelusuri lebih m en dalam dalam perkem bangan penger- 119 Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero 106-43 BC. Menurut R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman statesman and orator, Marcus Tullius Cicero 106-43 BC, we find the most interesting formu- lations of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988, hal. 74. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 94 tian dan pen ggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yun an i dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin , serta hubun gan di an tara keduan ya satu sam a lain di se- pan jan g sejarah pem ikiran m aupun pengalam an praktik kehidupan ken egaraan dan hukum . Perkem ban gan-perkem ban gan dem ikian itulah yan g pada akhirn ya m en gantarkan um at m an usia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris m odern. Dalam Oxford Dictionary , perkataan consti- tution dikaitkan den gan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the ordinan ce or re- gulation so established”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pem buatan atau penyusun an yang m en en tukan hakikat sesuatu the “m ake” or com position w hich determ ines the n ature of an y thing. Oleh karen a itu, con stitution dapat pula dipakai untuk m enyebut “… the body or the m ind of m an as w ell as to external ob- jects”. Dalam pengertian n ya yan g dem ikian itu, kon stitusi selalu dian ggap “m endahului” dan “m en gatasi” pem erin - tahan dan segala keputusan serta peraturan lain n ya. A Constitution , kata Thom as Paine, “is not the act of a go- v ern m en t but of the people constituting a gov ern- m ent”. 120 Kon stitusi disebut m en dahului, bukan karen a urutan waktun ya, m elain kan dalam sifatnya yan g supe- rior dan kewen an gan n ya un tuk m engikat. Oleh sebab itu, Charles H oward McIlwain m en jelaskan : “In fact, the traditional n otion of con stitution alism before the late eighteen th cen tury w as of a set of prin - ciples em bodied in the institutions of a nation and n either extern al to these nor in existence prior to them ”. 121 120 McIlwain, Op. Cit., hal. 20. 121 Ibid., hal. 12. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 95 Secara tradisional, sebelum abad ke-18 , kon stitu- tion alism e m em ang selalu dilihat sebagai seperangkat prin sip-prin sip yan g tercerm in dalam kelem bagaan suatu bangsa dan tidak ada yang m en gatasinya dari luar serta tidak ada pula yan g m en dahuluin ya. 2 . W a ris a n Yu n a n i Ku n o P la to d a n Aris to te le s Dalam bukun ya, “Outlines of Historical Jurispru- dence”, Sir Paul Vinogradoff berpen dapat: “The Greeks recognized a close analogy betw een the organization of the State and the organism of the indi- v idual hum an being. They thought that the tw o ele- m ents of body and m ind, the form er guided an d governed by the latter, had a parallel in tw o constitu- tiv e elem en ts of the State, the rulers an d the ruled”. 122 Pen gaitan yan g bersifat an alogis an tara organ isasi n egara dan organ ism e m an usia tersebut, m en urut W.L. Newm an, m em ang m erupakan pusat perhatian center of inquity dalam pem ikiran politik di kalan gan para filosof Yun an i Kun o. 123 Dalam bukun ya “The Law s” N om oi, Plato m en yebutkan bahwa “Our w hole state is an im ita- tion of the best and n oblest life”. 124 Isocrates dalam buku- n ya “Panathen aicus” ataupun dalam “Areopagiticus” m en yebut bahwa “the politeia is the ‘soul of the polis’ w ith pow er ov er it like that of the m ind ov er the bo- dy ”. 125 Keduan ya sam a-sam a m en un juk kepada pe- n gertian kon stitusi. Dem ikian pula, Aristoteles dalam bu- kun ya “Politics” m en gaitkan pen gertian kita ten tang 122 Sir Paul Vinogradoff, Outlines of Historical Jurisprudence, Vol. II, The Jurisprudence of the Greek City, hal. 12. 123 McIlwain, Op. Cit., hal. 27. 124 Sir Paul Vinogradoff, The Laws, hal. 817. 125 McIlwain, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 96 kon stitusi dalam frase in a sense the life of the city . 126 Dalam bukun ya, “Politics”, Aristoteles m en yatakan : “A con stitution or polity m ay be defin ed as the orga- n ization of a polis, in respect of its offices generally , but especially in respect of that particular office w hich is sovereign in all issues”. “The civ ic body the politeum a, 127 or body of persons established in pow er by the polity is ev ery w here the sovereign of the state; in fact the civic body is the polity or con stitution itself”. 128 Men urut Aristoteles, klasifikasi kon stitusi tergan - tun g pada i the ends pursued by states, dan ii the kind of authority exercised by their gov ern m ent. Tujuan ter- tin ggi dari n egara adalah a good life, dan hal in i m erupa- kan kepen tin gan bersam a seluruh warga m asyarakat. Oleh karen a itu, Aristoteles m em bedakan an tara right constitution dan w rong constitution den gan uku- ran kepen tingan bersam a itu. J ika konstitusi diarahkan untuk tujuan m ewujudkan kepen tin gan bersam a, m aka konstitusi itu disebutnya sebagai konstitusi yang ben ar, tetapi jika sebalikn ya m aka kon stitusi itu adalah konsti- tusi yang salah. Konstitusi yang terakhir ini dapat di- sebut pula sebagai perv erted constitution yan g diarah- kan un tuk m em en uhi kepen tin gan para pen guasa yang tam ak the selfish in terest of the rulin g authority . Kon - stitusi yang baik adalah konstitusi yang norm al, sedang- kan yang tidak baik disebut juga oleh Aristoteles sebagai 126 Ernest Barker ed and trans., Politics, New York-London: Oxford University Press, 1958, iv, chapter xi. 127 Istilah “politeuma” ini berarti “supreme civic authority”. Aristoteles membuktikan bahwa “the constitution is especially an ordering of the supreme authority by showing that the supreme authority is decisive of the character of the constitution, from which it follows that the main business of the constitution is to fix the supreme authority”. Lihat footnote No. 3, M.L. Newman, The Politics of Aristotle, Op. Cit., hal. 110. 128 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 97 kon stitusi yang tidak n orm al. Ukuran baik-burukn ya atau n orm al-tidakn ya kon stitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa “political rule, by v irtue of its speci- fic nature, is essentially for the ben efit of the ruled”. 129 Di an tara karya-karya Plato seperti “R epublic” dan “N om oi”, terdapat pula dialog-dialog Plato yan g diberi judul “Politicus” atau “Statesm an” yan g m em uat tem a- tem a yang berkaitan erat den gan gagasan kon stitusiona- lism e. Buku terakhir in i, di sam pin g buku-buku lain n ya, ban yak m em pen garuhi pem ikiran Aristoteles di kem u- dian hari tentan g gagasan kon stitutionalism e seperti yan g kita paham i sekaran g. J ika dalam “Republic”, Plato m en guraikan gagasan the best possible state, m aka da- lam buku “Politicus” Statesm an sebelum ia m en yelesai- kan karya m on um en tal berjudul “N om oi”, 130 Plato m e- n gakui ken yataan -kenyataan yan g harus dihadapi oleh n egara sehin gga ia m en erim a n egara dalam ben tukn ya sebagai the secon d best den gan m en ekan kan pen tin gn ya hukum yang bersifat m em batasi. “Plato’s R epublic deals w ith an unattainable ideal; his Politicus treats of the attainable in its relation to this sam e ideal”. J ika dalam “R epublic” ia m engidealkan peranan his philosopher- king yan g m em punyai a strength of art w hich is superior to the law atau bahkan dikatakan san g pem im pin itu sen dirilah yan g m em buat sen i kepem im pin ann ya sebagai hukum , “not by lay ing dow n rules, but by m aking his art a law ”. Oleh karen a itu, banyak sarjana yan g m em persoal- kan apakah Plato itu seoran g yan g berpaham serba m ut- lak atau seorang konstitusion alis an absolutist or consti- tution alist. J ika kita berusaha m en afsirkan secara kritis perkem ban gan pem ikiran Plato sen diri yan g tercerm in dalam karya-karyanya, kita tidak dapat m elepaskan ke- 129 Ibid., hal. 113. 130 Plato, The Laws, Penguin Classics, 1986, hal. 26 dan 37. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 98 n yataan adanya keterkaitan an tara pem ikiran yang dikem bangkan n ya sebagai in telektual den gan pergaulan em pirisnya dengan kekuasaan setelah ia dian gkat m en - jadi pen asehat R aja Dy on isius II. 131 In ilah yan g m enye- babkan adanya perbedaan yang tajam an tara idealitas n egara yan g tergam bar dalam “R epublic” dan apa yang diuraikan Plato dalam “N om oi”, dan sebelum m en ulis “N om oi” terlebih dulu Plato m enyelesaikan “Politicus”. 132 Nam un dari pendapat-pendapat para m uridn ya, seperti Aristoteles, m em ang dapat dibayangkan pan - dan gan para filosof di zam an Yun an i Kun o itu ten tang n egara dan hukum ten tu tidak seperti sekaran g. Misal- n ya, Aristoteles m engatakan : “A godlike ruler should rule like a god, an d if a godlike m an should appear am ong m en, godlike rule w ould an d should be gladly con ceded to him ”. 133 Artin ya, Aristoteles sen diri juga m em bayan gkan ke- beradaan seoran g pem im pin negara ideal yang bersifat superm an dan berbudi luhur, karena sejarah kenegaraan Yun an i pada zam ann ya tergolong sangat labil. Pertam a, di zam an nya, belum ada m ekan ism e yan g tersedia un tuk m erespon s keadaan atau tin dakan -tindakan revolusion er yan g dalam pen gertian sekarang disebut sebagai tin da- kan yan g in kon stitusion al. Kedua, revolusi-revolusi se- m acam itu jika terjadi tidak han ya m en gubah corak public law , tetapi juga m en jun gkirbalikkan segala insti- tusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan ber- akibat pada tuntutan perubahan keseluruhan w ay of life m asyarakat polity yan g bersan gkutan . Dalam keadaan 131 Ibid., hal. 21-22. 132 Guna mendalami lebih lanjut perbedaan dan perbandingan antara “Republic” dan “The Laws” serta karya-karya Plato yang lain, kita dapat membaca tulisan pengantar oleh Trevor J. Saunders terhadap naskah “Plato: The Laws”, Op. Cit., hal. 17-41. 133 McIlwain, Op. Cit., hal. 33. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 99 dem ikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan polity dan kon stitusi m engalam i kehancuran atau bubar. Ke- tiga, revolusi dem ikian selalu terjadi den gan disertai kekerasan v iolen ce, proscription , ostracism , dan bah- kan kem atian , sehin gga orang Yun an i dihin ggapi oleh penyakit fear of stasis. Keadaan dem ikian itulah yang m en yebabkan Aris- toteles berada dalam posisi un tuk m em berikan n asehat kepada san g ty rant m en gen ai bagaim ana m em per- pan jan g tipe kekuasaan ty pe of gov ernm ent yan g di- akuin ya sebagai kekuasaan yan g palin g m enin das di dun ia the m ost oppressiv e in the w orld serta paling singkat usianya. Kondisi sosial politik yang tidak stabil itulah yang m en yebabkan oran g berusaha m em ilih status quo to preserv e the status quo. Misalnya, dikatakan oleh Aristoteles dalam bukun ya “Politics” bahwa: “Polities generally are liable to dissolution n ot only from w ithin but from w ithout, w hen there is a state hav ing an antagonistic polity n ear to them or distan t but possessed of considerable pow er”. 134 Dalam bagian lain dari tulisann ya, Aristoteles juga m en gatakan : “The practice of cutting off prom inent characters and putting out of the w ay the high spirits in the state; the prohibition of com m on m eals, political clubs, high cul- ture and ev ery thing else of the sam e kind; precautio- n ary m easures against all that ten ds to produce tw o results, v iz., spirit an d con fiden ce”. 135 Selanjutn ya, oleh Aristoteles juga din yatakan : “A ty rant is fon d of m akin g w ars, as a m eans of keeping his subjects in em ploy m ent an d in contin ual n eed of a com - 134 The Politics of Aristotle, VIII, Op. Cit., hal. 368. 135 Ibid., hal. 392-383. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 0 m an der” 136 seorang tiran gem ar berperang sebagai cara untuk m em elihara agar anak buahnya terus m engabdi dan m elayan i kebutuhann ya sebagai seorang kom an dan . Nam un dem ikian , harus juga dim en gerti bahwa sebelum m un culnya pen garuh kaum Stoics, 137 oran g Yun an i Kun o m em an g belum m em bedakan sam a sekali an tara kon sep negara state dan m asyarakat society , m aupun an tara civ il dan social. Oleh karena itu, para filosof Yunan i cen- derung m elihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pem bicaraan m ereka ten tang polity , tentang negara. H al in i tergam bar dalam buku Aristoteles “R he- torica” yan g m en yebut istilah com m on law dalam arti the natural law yang tidak lebih daripada satu porsi pe- n gertian saja dari the state’s actual law s. 138 Pem ikiran filsafat Yun an i Kuno yan g dikem bang- kan oleh Aristoteles dan kawan -kawan tidak atau belum m em bayan gkan hukum sebagai sesuatu yan g berada di luar pen gertian polity n egara atau sesuatu yang ter- pisah dari n egara dim ana n egara harus tunduk dan m e- n yesuaikan diri den gan aturan yan g diten tukan olehn ya. Perubahan terhadap pan dangan yan g tidak m elihat hukum sebagai sesuatu yang berada di luar atau di atas n egara, baru tim bul setelah Cicero m em perken alkan pe- m ikiran n ya dengan m en gartikan n egara sebagai suatu a bond of law v inculum juris. Dalam pen gertian v incu- lum juris itu, hukum tidak hanya dilihatnya sebagai ele- m en suatu n egara, tetapi an antecedent law . Dalam bukunya “De R e Publica”, Cicero m en gatakan bahwa hu- kum dalam arti dem ikian sam a tuan ya dengan pem ikiran 136 Ibid., VIII, hal. 394. 137 Kaum “Stoics” adalah kelompok yang menganut paham stoicism, tumbuh di Yunani, namun kemudian berkembang dan mendapatkan kemajuan pesat di Roma. “Stoicisme” ini bahkan, menurut sejarahwan abad ke-19, Mom- msen, memang sangat cocok dengan karakteristik kebudayaan Romawi. Li- hat Berki, Op Cit., hal. 73. 138 McIlwain, Op. Cit., hal. 37. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 1 ten tang keberadaan Tuhan , jauh sebelum adan ya n egara di m an a pun juga. Negara, bagi Cicero, m erupakan kreasi hukum . 139 Sejak m asa Cicero, dapat dikatakan pem ikiran ken egaraan dan hukum m en galam i revolusi besar-besa- ran . 140 Dikarenakan perbedaan di an tara tradisi Yun an i yang dim otori oleh Aristoteles den gan tradisi Rom awi yan g dim otori oleh Cicero cen derung sangat tajam , m aka Charles H oward McIlwain m en yatakan : “W e can n ot hope to bridge the gap betw een the con sti- tutionalism of Aristotle an d that of Cicero, but ev en the m ost superficial com parison of the tw o w ill show that a gap is there, and a v ery w ide one”. 141 Oleh karena lebarnya jurang di antara keduanya, kita tidak m un gkin berharap akan dapat m enjem batan i perbedaan an tara gagasan konstitution alism e Aristoteles dan kon stitution alism e Cicero. Bahkan , oleh Dr. Carlyle dikatakan : “There is n o change in political theory so startlin g in its com pleten ess as the chan ge from the theory of Aristotle to the later philosophical view represen ted by Cicero an d Seneca… W e have v en tured to suggest that the div i- ding-line betw een the an cient an d the m odern political theory m ust be sought, if any w here, in the periode bet- w een Aristotle and Cicero”. 142 Tidak ada perubahan yang begitu m endasar dalam perkem ban gan teori politik dalam sejarah seperti peru- bahan yang begitu m en akjubkan dari pem ikiran Aristo- teles ke pem ikiran Cicero dan Seneca. J ika kita berusaha 139 Berki, Op. Cit., hal. 75. 140 Menurut R.N. Berki, “Cicero, of course, was first and foremost a prac- tical statesman who played a leading role in the politics of the Roman Republic before the ascent of Caesar”. Ibid. 141 Ibid., hal. 43. 142 Carlyle, A History of Medieval Political Theory in the West, I, hal. 8-9. Bandingkan juga dalam R.N. Berki, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 2 m en em ukan garis pem isah yan g begitu tegas dalam per- jalan an sejarah pem ikiran politik an tara zam an klasik dan zam an m odern, m aka dapat dikatakan bahwa era pe- m isah itu adalah periode di an tara Aristoteles di Yun an i dan Cicero di Rom awi. 3 . W a ris a n Cice ro Ro m a w i Ku n o Salah satu sum ban gan penting filosof Rom awi, terutam a setelah Cicero m engem bangkan karyanya “De R e Publica” dan “De Legibus”, adalah pem ikiran ten tang hukum yang berbeda sam a sekali dari tradisi yang sudah dikem bangkan sebelum n ya oleh para filosof Yun an i. Bagi para filosof Rom awi, terutam a Ulpian, Cicero m enjelas- kan sebagai berikut: “a ruler’s w ill actually is law , a com m and of the em - peror in due form is a lex. An y im perial con stitution , like a senatus con sultum , should have the place of a lex legis vicem optin eat, because the Em peror him self receives his im perium by v irtue of a lex per legem . 143 Den gan perkataan lain , di sin i jelas dan tegas sekali dipakainya istilah lex yang kem udian m en jadi kata kun ci untuk m em aham i konsepsi politik dan hukum di zam an Rom awi kun o. Sebagaim an a dikem ukakan oleh Gaius pada abad ke-2, “a lex is w hat the people orders an d has established”. Setelah 4 em pat abad kem udian , a lex di- defin isikan sebagai “w hat the R om an people w as accus- tom ed to establish w hen in itiated by a senatorial m agis- trate such as a consul”. 144 Pen ggunaan perkataan lex itu n am pakn ya lebih luas cakupan m akn an ya daripada leges yan g m em punyai arti yan g lebih sem pit. Kon stitusi m ulai dipaham i sebagai sesuatu yan g berada di luar dan bah- kan di atas negara. Tidak seperti m asa sebelum n ya, kon- 143 Cicero, De Legibus, III, hal.12, dalam Charles Howard McIlwain, Op. Cit., hal. 44. 144 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 3 stitusi m ulai dipaham i sebagai lex yan g m en en tukan bagaim an a bangun an ken egaraan harus dikem ban gkan sesuai den gan prin sip the higher law . Prin sip hierarki hukum juga m akin dipaham i secara tegas kegunaan n ya dalam praktik pen yelenggaraan kekuasaan . Di sam ping itu, para filosof Rom awi jugalah yang secara tegas m em bedakan dan m em isahkan antara pe- ngertian hukum publik jus publicum dan hukum pri- vaat jus priv atum , 145 sesuatu hal baru yan g belum di- kem bangkan sebelum n ya oleh para filosof Yunan i. Bah- kan, perkataan jus dalam bahasa Latin sen diripun tidak dikenal padan an n ya dalam bahasa Yun an i Kun o seperti yan g sudah dijelaskan di atas. Biasan ya keduan ya di- bedakan dari sudut kepen tin gan yang dipertahan kan . H ukum publik m em bela kepen tin gan um um yang ter- cerm in dalam kepen tin gan “n egara”, the civ itas, sedang- kan hukum privaat m en yan gkut kepen tingan oran g per- oran g, that w hich pertains to the utility of indiv iduals. Nam un dem ikian, baik kepen tin gan um um m aupun pri- vaat, seben arn ya tetap berkaitan dengan kepen tingan individu setiap warga n egara. Seperti dikatakan oleh Ru- dolf van Iherin g, hak-hak publik dan hak-hak privaat tidak dapat dibedakan satu sam a lain n ot distingui- shable. Subjek keduan ya selalu persis sam a, yaitu m e- n yan gkut the natural person atau m akhluk m anusia. Perbedaan hakiki keduanya hanya terletak pada ken yata- an bahwa “priv ate rights affect priv ate indiv iduals ex- clusiv ely , w hile all the in div idual citizens alike parti- cipate in the public” 146 . Pem ikiran politik Cicero didasarkan atas pen erim a- an n ya yan g kuat terhadap the Stoic un iv ersal law of n a- ture yang m erangkul dan m en gikat seluruh um at m an u- 145 Ibid., hal. 47. 146 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 4 sia. Terhadap pan dan gan kaum Stoic m engen ai hukum alam yang bersifat un iversal itu, Cicero berpendapat: “There is in fact a true law – nam ely , right reason – w hich is in accordan ce w ith n ature, applies to all m en , an d is unchan geable an d etern al. By its com m ands this law sum m ons m en to the perform ance of their duties; by its prohibition s it restrain s them from doin g w rong. Its com m an ds an d prohibition s alw ay s in fluen ce good m en , but are w ithout effect upon the bad.” 147 Cicero juga m enegaskan adanya “one com m on m aster and ruler of m en , nam ely God, w ho is the author of this law , its interpreter, and its sponsor”. Tuhan, bagi Cicero, tak ubahn ya bagaikan Tuan dan Pen guasa sem ua m an usia, serta m erupakan Pengaran g atau Penulis, Pe- nafsir, dan Sponsor H ukum . Oleh karena itu, Cicero sa- n gat m en gutam akan peran an hukum dalam pem aha- m an nya ten tan g persam aan antar um at m an usia. Bagi- n ya, konsepsi ten tang m an usia tidak bisa dipandang han ya sebagai political anim al atau in san politik, m e- lain kan lebih lebih utam a adalah kedudukann ya sebagai legal anim al atau insan hukum . 148 Selain itu, beberapa kesim pulan yan g dapat ditarik dari pen galam an sejarah kon stitusion alism e Rom awi Kun o in i adalah Pertam a, untuk m em aham i kon sepsi yan g seben arn ya ten tan g the spirit of our con stitutional antecedents dalam sejarah, ilm u hukum haruslah di- pan dang penting atau sekurang-kurangnya sam a pen- tin gn ya diban din gkan dengan sekedar perbin can gan m e- n gen ai m ateri hukum . Kedua, ilm u pen getahuan hukum yan g dibedakan dari hukum san gat bercorak Rom awi sesuai asal m ula pertum buhan n ya. Ketiga, pusat perha- tian dan prin sip pokok yan g dikem bangkan dalam ilm u hukum Rom awi bukan lah the absolutism of a prince se- 147 Berki, Op. Cit., hal.74. 148 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 5 bagaim an a serin g dibayangkan oleh banyak ahli, tetapi justru terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rak- yat m erupakan sum ber dari sem ua legitim asi ke- wen an gan politik dalam satu negara. Den gan dem ikian, rakyatlah yan g dalam perkem - bangan pem ikiran Rom awi dianggap sebagai sum ber yan g hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan . Dicerita- kan dalam sejarah bahwa negara Yunan i Kun o pern ah m en jadi jajahan Rom awi Kun o. Sebagai akibat pen jaja- han itu ban yak dari kebudayaan Yun an i ditiru oleh bang- sa Rom awi, seperti ajaran ten tan g Polis dan ajaran ten - tan g kedaulatan rakyat Ecclesia. Nam un , pen erapan n ya kem udian tern yata tidak sam a dengan ajaran asli yan g dibawa dari Yunani, karen a faktor keadaan dan sifat-sifat ban gsa Rom awi yan g m e- m an g berlain an dengan Yun an i. Melalui ajaran kedaula- tan rakyat yan g ditiru dari Yun an i, oran g Rom awi m e- n yusun pem erin tahan dengan seoran g Raja yang m em - pun yai kekuasaan yan g bersifat m utlak. Men urut orang Rom awi pada zam an itu, pada suatu ketika rakyat m e- n gadakan perjanjian den gan Caesar yan g kem udian diletakkan dalam R ex R egia. Den gan perjanjian tersebut, kekuasaan diakui telah berpindah secara m utlak dari tangan rakyat kepada Cae- sar translatio em pirii. Dikaren akan adan ya translatio em pirii itu, rakyat dian ggap tidak dapat m em in ta per- tan ggun gjawaban Caesar lagi. Dari situ, lahirlah ajaran atau doktrin Caesarism us perwakilan m utlak berada di tan gan Caesar yan g m em un culkan sem boyan, Princep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprem a Lex seperti telah dikem ukakan di atas. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 6 4 . W a ris a n Is lam : Ko n s titu s io n a lis m e d a n P iaga m Pada m asa-m asa selan jutnya, ketika ban gsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan yang biasa disebut se- bagai abad-abad perten gahan , tidak banyak hal yang dapat diuraikan sebagai in ovasi dan perkem bangan yang penting dalam hal in i. Nam un, bersam aan dengan m asa- m asa suram di Eropa selam a abad-abad pertengahan itu, di Tim ur Tengah tum buh dan berkem bang pesat perada- ban baru di lin gkun gan pen gan ut ajaran Islam . Atas pe- n garuh Nabi Muham m ad SAW, ban yak sekali inovasi- in ovasi baru dalam kehidupan um at m an usia yan g di- kem bangkan m en jadi pen dorong kem ajuan peradaban . Salah satun ya ialah pen yusunan dan penan datangan an persetujuan atau perjan jian bersam a di an tara kelom - pok-kelom pok pen duduk kota Madin ah un tuk bersam a- sam a m em bangun struktur kehidupan bersam a yang di kem udian hari berkem bang m en jadi kehidupan kene- garaan dalam pen gertian m odern sekarang. Naskah per- setujuan bersam a itulah yang kem udian diken al sebagai Piagam Madinah Madin ah Charter. Piagam Madin ah in i dapat disebut sebagai piagam tertulis pertam a dalam sejarah um at m anusia yang dapat diban din gkan dengan pen gertian kon stitusi dalam arti m odern. Piagam in i dibuat atas persetujuan bersam a antara Nabi Muham m ad SAW den gan wakil-wakil pen - duduk kota Madinah tak lam a setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, n am a kota Madin ah sebelum nya, pa- da tahun 622 M. Para ahli m en yebut Piagam Madin ah tersebut dengan berbagai m acam istilah yang berlain an satu sam a lain. 149 149 Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Per- bandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995; Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 7 Mon tgom ery Watt m en yebutn ya The Con stitution of M edina, 150 Nicholson m en yebutn ya Charter, 151 Majid Khadduri m en ggunakan perkataan Treaty , 152 Phillips K. Hitti m enyebutnya Agreem ent, 153 dan Zainal Abidin Ah- m ad m em akai perkataan Piagam sebagai terjem ahan kata al-shahifah. 154 Nam a al-shahifah tahun 622 M in i m erupakan n am a yan g disebut dalam n askah piagam itu sendiri. Kata in i bahkan disebut sebanyak delapan kali dalam teks piagam . 155 Perkataan charter sesungguhn ya iden tik dengan piagam dalam bahasa In donesia, sedang- kan perkataan treaty dan agreem ent lebih berken aan dengan isi piagam atau charter itu. Nam un fungsin ya sebagai dokum en resm i yang berisi pokok-pokok pedo- m an ken egaraan m en yebabkan piagam itu dapat dikatakan tepat juga un tuk disebut sebagai konstitusi se- perti yang dilakukan oleh Mon tgom ery Watt ataupun yang dilakukan oleh Zain al Abidin Ahm ad seperti ter- sebut di atas. Para pihak yang m en gikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madin ah yan g berisi perjan jian m asya- rakat Madin ah social contract tahun 622 M in i ada tiga belas kelom pok kom unitas yang secara eksplisit disebut Konstitusi, cet. kelima, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dili- hat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, Jakarta: Kencana, 2004. 150 Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, New York: Oxford University Press, 1964, hal. 93. 151 R.A. Nicholson, A Literacy History of the Arabs, New York: Cambridge University Press, 1969, hal. 173. 152 Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Baltimore: The John Hopkins Press, 1955, hal. 4. 153 Phillips K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, Mennesota: University of Minnesota Press, 1973, hal. 35. 154 Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. 155 Sukardja, Op. Cit., hal. 2. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 8 dalam teks Piagam . Ketiga belas kom un itas itu adalah i kaum Mukm inin dan Muslim in Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, ii Kaum Mukm inin dan Muslim in dari Yatsrib, iii Kaum Yahudi dari Ban u ‘Awf, iv Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, v Kaum Yahudi dari Banu al- H ars, vi Banu J usyam , vii Kaum Yahudi dari Banu Al- Najjar, viii Kaum Yahudi dari Banu ‘Am r ibn ‘Awf, ix Banu al-Nabit, x Ban u al-‘Aws, xi Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, xii Suku J afnah dari Ban u Sa’labah, dan xiii Banu Syuthaybah. Secara keseluruhan , Piagam Madin ah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, m isaln ya, m enegaskan prinsip persatuan den gan m enyatakan : “In nahum um m atan w a- hidatan m in duun i al-naas” Sesungguhnya m ereka ada- lah um m at yang satu, lain dari kom un itas m anusia yan g lain . 156 Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka para pen dukun g piagam bahu m em bahu dalam m eng- hadapi pen yeran g atas kota Yatsrib Madin ah”. Dalam Pasal 24 din yatakan “Kaum Yahudi m em ikul biaya ber- sam a kam u m ukm inin selam a dalam peperangan ”. Pasal 25 m en egaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Ban i ‘Awf ada- lah satu um at dengan kaum m ukm in in . Bagi kaum Yahudi agam a m ereka, dan bagi kam u m ukm in in agam a m ereka. J uga kebebasan in i berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri m ereka sen diri, kecuali bagi yan g zalim dan yan g jahat. H al dem ikian akan m erusak diri dan keluargan ya sen diri.” J am in an persam aan dan persatuan dalam kera- gam an tersebut dem ikian in dah dirum uskan dalam Pia- gam ini, sehingga dalam m enghadapi m usuh yan g m ung- kin akan m enyerang kota Madin ah, setiap warga kota di- ten tukan harus salin g bahu m em bahu. Dalam hubun gann ya den gan perbedaan keim an an dan am alan keagam aan , jelas diten tukan adan ya kebeba- san beragam a. Bagi orang Yahudi sesuai den gan agam a 156 Ibid., hal. 47. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 10 9 m ereka, dan bagi kaum m ukm inin sesuai dengan agam a m ereka pula. Prin sip kebersam aan in i bahkan lebih tegas dari rum usan al-Quran m engenai prin sip lakum diinu- kum w aly a diin bagim u agam am u, dan bagiku agam a- ku yan g m enggunakan perkataan “aku” atau “kam i” ver- sus “kam u”. Dalam piagam digunakan perkataan m ereka, baik bagi orang Yahudi m aupun bagi kalangan m ukm inin dalam jarak yan g sam a den gan Nabi. Selan jutn ya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan pen utup yang dalam bahasa In don esianya adalah: “Sesun gguhnya piagam ini tidak m em bela oran g zalim dan khianat. Orang yang keluar bepergian am an , dan oran g yan g berada di Madin ah am an , kecuali oran g yan g zalim dan khian at. Allah adalah pen jam in oran g yan g berbuat baik dan taqwa. tertanda Muham m ad Rasulul- lah SAW. .157 Dapat dikatakan bahwa lahirn ya Piagam Madin ah pada abad ke 7 M itu m erupakan inovasi yang paling pen tin g selam a abad-abad perten gahan yan g m em ulai suatu tradisi baru adan ya perjan jian bersam a di an tara kelom pok-kelom pok m asyarakat un tuk bern egara de- n gan naskah perjan jian yan g dituan gkan dalam ben tuk yan g tertulis. Piagam Madin ah in i dapat disebut sebagai kon stitusi tetulis pertam a dalam sejarah um at m anusia, m eskipun dalam pen gertian nya sebagai kon stitusi m o- dern yan g diken al dewasa in i, Kon stitusi Am erika Serikat tahun 178 7-lah yang pada um um n ya dian ggap sebagai kon stitusi tertulis pertam a. Peristiwa penan datangan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai per- kem ban gan yan g palin g m odern di zam an nya, sehingga m em pen garuhi berbagai tradisi ken egaraan yang ber- kem ban g di kawasan yang dipen garuhi oleh peradaban Islam di kem udian hari. Bahkan pada m asa setelah Nabi 157 Ibid., hal. 57. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 110 Muham m ad SAW wafat, kepem im pinan dilanjutkan oleh em pat khalifah pertam a yang biasa diken al den gan sebu- tan Khalifatu al-Rasyidin , yaitu Abubakar, Um ar ibn Khattab, Utsm an ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Pada m asa Khalifatu al-Rasyidin itu, pergan tian kepem im pinan dilakukan m elalui sistem pem ilihan , bu- kan den gan sistem keturun an sebagaim an a berlaku di seluruh dun ia dan di sepan jang sejarah um at m anusia sebelum nya. Belum pernah ada preseden sebelum nya dalam sejarah um at m an usia, kepem im pin an suatu ne- gara diten tukan berdasarkan pem ilihan seperti yan g di- praktikkan pada m asa sepen in ggal Muham m ad SAW sebagai pem im pin n egara. Sayangnya, tradisi in i tidak diteruskan oleh khalifah seterusn ya sebagai akibat ku- deta berdarah atas Ali ibn Abi Thalib dan kepem im pin an diteruskan oleh din asti Um m aiyah yang kem bali ke tradisi hubungan darah seperti yang berlaku sebelum nya dan dim ana-m ana di seluruh dun ia ketika itu. Nam un dem ikian , m eskipun sistem politik dem ok- rasi kon stitusion al yan g diban gun relatif seben tar, tetapi pen garuhn ya sangat pen tin g bagi perkem ban gan perada- ban um at m an usia selan jutnya. Dun ia Islam telah m en - catatkan diri sejak m asa paling awal sebagai sum ber in - spirasi bagi perkem ban gan dem okrasi di kem udian hari. Prakarsan ya un tuk m en gem ban gkan sistem pem ilihan pem im pin secara dem okratis dan pen ulisan piagam ber- sam a sebagai dasar-dasar kesepakatan an tar segen ap warga negara yang beraneka ragam untuk hidup bersa- m a dalam satu wadah n egara yan g kem udian dikenal luas sebagai konstitusi, m erupakan dua hal pen ting yang m enjadi ciri pokok negara dem okrasi konstitusional di zam an m odern sekaran g. Sem entara pada saat itu, peradaban bangsa Eropa sendiri dihin ggapi oleh m asa-m asa kegelapan . Meskipun dem ikian , ban gsa Eropa di kem udian hari juga tercatat m en gem ban gkan hal-hal baru dalam kehidupan ken ega- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 111 raan . Misaln ya, di Eropa pada m asa itu juga berkem bang suatu aliran yang disebut m onarchom achen , yaitu aliran yang m em ben ci kekuasaan raja yang m utlak. Un tuk m en cegah agar jan gan sam pai raja tidak berbuat sewe- nang-wenan g, m aka kaum m onarchom achen ini m eng- hen daki diadakann ya perjan jian an tara raja dengan rak- yat dalam kedudukan yan g sam a tinggi dan sam a ren - dah. Golon gan yan g terutam a terdiri atas oran g-orang Calvinis in i m en untut pertanggun gjawaban raja dan apa- bila perlu raja dapat saja dipecat dan bahkan dibunuh. Men urut Moh. Kusn ardi dan H arm aily Ibrahim , per- jan jian itulah yan g m en ghasilkan suatu naskah yang di- sebut Leges Fun dam entalis. 158 Dalam Leges Fun dam en talis in i ditetapkan adan ya hak dan kewajiban rakyat R egnum dan raja R ex. 159 Dari sini terus terlihat bahwa lam bat laun dalam per- kem bangan nya di kem udian hari, perjanjian-perjanjian an tara rakyat R egn um dan pihak yan g m em erin tah R ex m ulai dinaskahkan seperti yang dilakukan dengan Piagam Madin ah tersebut di atas. Adapun tujuan n ya adalah un tuk m em udahkan para pihak dalam m enun tut hakn ya m asin g-m asin g, serta m en gin gatkan m ereka ke- pada kewajiban yang harus dilaksanakan. Di sam ping itu, pentin g un tuk dicatat bahwa dengan dituliskan se- cara resm i dalam suatu n askah, oran g tidak akan m elupakann ya, karen a sem ua oran g dapat m en getahui- nya den gan pasti dan terbuka. Sebagai con toh adalah perjanjian yang dilakukan antara raja dengan para bangsawan di Inggris. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa raja dapat m em in ta ban - tuan para bangsawan jika terjadi perang, dan sebalikn ya para ban gsawan berhak m en dapat perlin dungan dari raja jika perang dim en an gkan oleh raja. Raja juga dian ggap 158 Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 63-64. 159 Busroh, Op Cit., hal. 88. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 112 dapat m engadakan perjanjian den gan golon gan rakyat tertentu karena raja m em erlukan uang dalam jum lah tertentu, dan sebagai im balannya golongan rakyat ter- ten tu m em peroleh hak ken egaraan atau wewen an g un tuk m en yelen ggarakan kepen tin gan n ya sen diri dalam wila- yah kerajaan . Sem ua perjan jian-perjan jian tersebut dile- takkan dalam ben tuk naskah yang ditulis. Dem ikian pula den gan perjan jian yan g m elatar- belakan gi terben tukn ya Am erika Serikat pada abad ke- 18 . Para kolon is yan g berasal dari Kerajaan In ggris, yang karen a perselisihan agam a, m engun gsi ke ben ua Am e- rika. Sebagian besar kaum kolon is itu adalah golongan Calvin is yan g m eyakin i, m enurut ajaran agam a m ereka, bahwa m asyarakat Kristen diben tuk berdasarkan perjan - jian . Atas dasar itu m ereka m en dirikan n egara dan dem ikian lah ketika m ereka m asih berada dalam kapal M ay flow er sebelum m en darat di ben ua Am erika, m ereka telah m en gadakan perjan jian bersam a un tuk m en dirikan n egara. Perjan jian tersebut m em an g m asih harus disah- kan oleh Kerajaan In ggris, tetapi setelah perjan jian ter- sebut disahkan oleh Kerajaan In ggris m aka selanjutn ya kedudukann ya lebih tin ggi dari pada un dan g-un dang biasa. 160 Di lin gkun gan dunia Islam sendiri, m eskipun Piagam Madin ah pada abad ke-7 disebut sebagai konsti- tusi tertulis pertam a dalam sejarah um at m anusia, kare- n a terhen tin ya perkem ban gan peradaban um at Islam , di- lan jutkan oleh faktor penjajahan yan g lam a oleh ban gsa- bangsa barat, tradisi kon stitusion alism e yan g telah tum - buh sebelum nya tidak m endapat kesem patan un tuk ber- kem ban g lebih lan jut. Men urut Dr. Subhi R. Mahm as- san i, kon stitusi tertulis pertam a dalam bentuk n askah 160 Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 64. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 113 undang-un dan g dasar baru terben tuk pada tahun 18 39 di Turki Usm ani. 161 Piagam konstitusi pertam a itu diberi n am a Khat Goulkhanah Sy arif, dilan jutkan den gan pia- gam kon stitusi kedua pada tahun 18 56 den gan n am a Khat Hum ay un. Kem udian pada tahun 18 76 lahirlah Kon stitusi Usm an i yan g diberi n am a al-Masy rutiy ah al-Ula atau Un dang-Un dang Dasar Pertam a. Al-Masy rutiy ah al-Ula in i pern ah dibekukan pada tahun 18 78 dan kem udian di- berlakukan kem bali pada tahun 190 8 den gan nam a al- Masy rutiy ah al-Saniy ah atau Un dan g-Un dan g Dasar Kedua. Kon stitusi dari m asa Din asti Usm an i in i berakhir m asa berlakunya dengan len yapn ya kekhalifahan, yaitu dengan terbentukn ya Kon stitusi Turki yan g diprakarsai oleh Kem al Ataturk pada tahun 1924. 162 Di sam pin g penggunaan istilah al-M asy rutiy ah itu, untuk pengertian un dan g-un dan g dasar itu di dun ia Arab dewasa ini di- ken al pula adanya istilah al-Dustur dan istilah al-Qanun al-Asasi. Sem ua istilah in i dipakai untuk m enunjuk kepada pen gertian un dan g-un dan g dasar sebagai kon sti- tusi dalam arti tertulis. 5 . Ga ga s a n Mo d e rn : Te rm in o lo gi Ko n s titu s i Men urut Brian Thom pson, secara sederhan a perta- n yaan w hat is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a docum ent w hich contains the rules for the operation of an organization”. 163 Organ isasi dim ak- sud beragam ben tuk dan kom pleksitas strukturn ya, m u- lai dari organisasi m ahasiswa, perkum pulan m asyarakat 161 Subhi Rajab Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia: Studi Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, terjemahan Hasanuddin dari Arkan al-Huquq al-Insan, cetakan-1, Jakarta: Tintamas, 1993, hal. 26-27. 162 Ibid., hal. 27. 163 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, London: Blackstone Press Ltd., 1997, hal. 3. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 114 di daerah tertentu, serikat buruh, organ isasi-organisasi kem asyarakatan , organisasi politik, organ isasi bisn is, perkum pulan sosial sam pai ke organ isasi tingkat dunia seperti m isalnya Perkum pulan ASEAN, European Com - m unities, World Trade Organization , Perserikatan Bang- sa-Ban gsa, dan sebagainya, sem uanya m em butuhkan do- kum en dasar yang disebut kon stitusi. Kebutuhan akan n askah kon stitusi tertulis itu m erupakan sesuatu yang n iscaya, terutam a dalam organ isasi yang berben tuk ba- dan hukum legal body , rechtspersoon. Sebagai contoh, akhir-akhir ini di tengah wacana m engenai organisasi badan hukum di Indonesia, m uncul bentuk badan hukum baru yan g dinam akan Badan H u- kum Milik Negara BH MN seperti m isaln ya yan g dikait- kan dengan status hukum perguruan tinggi n egeri ter- ten tu. 164 Sebagai badan hukum , m aka setiap perguruan tin ggi yan g bersan gkutan m em erlukan dokum en Angga- ran Dasar tersendiri sebagai konstitusi seperti sebagai- m an a halnya badan-badan hukum lain nya, seperti yaya- san atau stichting Belan da atau stiftung J erm an, per- kum pulan v ereeniging, organ isasi kem asyarakatan , dan partai politik. Di dun ia usaha juga diken al adan ya ben tuk badan hukum yang berupa perusahaan, yaitu perseroan terbatas, koperasi atau Badan Usaha Milik Negara BUMN dan juga Badan Usaha Milik Daerah BUMD. Sem ua ben tuk badan hukum usaha tersebut selalu m em erlukan An ggaran Dasar yan g biasanya juga dilen gkapi dengan Anggaran Rum ah Tan gga. An ggaran Dasar badan hukum itulah yan g pada pokokn ya dapat dikatakan berfun gsi sebagai kon stitusin ya. 164 Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Penetapan Universitas Pendidikan Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Negara, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2004 bertanggal 30 Januari 2004 LN Nomor 13 Tahun 2004. Cermati juga perkembangan dari RUU Badan Hukum Pendidikan yang sedang dibahas di parlemen. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 115 Dem ikian pula Negara, pada um um nya, selalu m e- m iliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Un - dan g-Un dan g Dasar. Dalam pen gertian m odern , n egara pertam a yang dapat dikatakan m enyusun konstitusinya dalam satu n askah UUD seperti sekarang in i adalah Am erika Serikat United States of Am erica pada tahun 178 7. 165 Sejak itu, ham pir sem ua n egara m en yusun n askah un dan g-un dang dasarn ya. Beberapa n egara yang dian ggap sam pai sekaran g diken al tidak m em iliki satu n askah tertulis yan g disebut Un dang-Un dan g Dasar yaitu Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. 166 Un dan g-Undan g Da- sar di ketiga negara in i tidak pernah dibuat, tetapi tum buh m enjadi konstitusi dalam pengalam an praktik ketatanegaraan. 167 Nam un, para ahli tetap dapat m enyebut adan ya kon stitusi dalam kon teks hukum tata negara In ggris, yaitu sebagaim ana dikem ukakan oleh Phillips H ood an d J ackson sebagai: “a body of law s, custom s an d con ven tions that defin e the com position and pow ers of the organ s of the State an d that regulate the relation s of the various State organs to on e an other and to the private citizen”. 168 Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yan g m en en tukan susun an dan kekuasaan organ -organ n egara dan yan g m en gatur hubun gan -hubun gan di an tara berbagai organ negara itu satu sam a lain, serta 165 Hal tersebut terjadi kurang lebih 11 tahun sejak kemerdekaan Amerika Serikat setelah dideklarasikannya pada tanggal 4 Juli 1776. Lihat juga Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Ban- dung: CV. Mandar Maju, 1995, hal. 2. 166 Sementara ini, beberapa sarjana ada juga yang berpendapat bahwa Arab Saudi telah memiliki satu Konstitusi tertulis, yaitu naskah yang dibuat dan disandarkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist. 167 Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang Konstitusi Inggris, “In other words the British constitution was not made, rather it has grown”. Op. Cit., hal. 5. 168 Phillips, Op. Cit., hal. 5. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 116 hubungan organ -organ n egara itu den gan warga n e- gara. Den gan dem ikian , ke dalam kon sep kon stitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan kon ven si-kon ven si ken egaraan ketatan egaraan yan g m en en tukan susun an dan kedudukan organ -organ n egara, m en gatur hubun gan an tara organ -organ n egara itu, dan m en gatur hubun gan organ -organ n egara ter- sebut dengan warga n egara. Sem ua kon stitusi selalu m en jadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sen diri pada in tin ya m em an g perlu diatur dan dibatasi se- bagaim an a m estin ya. Con stitution s, m en urut Ivo D. Duchacek, adalah “identify the sources, purposes, uses and restraints of public pow er” 169 m engidentifikasikan sum ber-sum ber, tujuan-tujuan , penggunaan -pengguna- an, dan pem batasan -pem batasan kekuasaan um um . Oleh karen a itu, pem batasan kekuasaan pada um um n ya dian ggap m erupakan corak um um m ateri konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitution alism e, seperti dike- m ukakan oleh Friedrich, didefin isikan sebagai “an insti- tution alised sy stem of effectiv e, regularised restraints upon gov ern m ental action”. 170 Dalam pengertian dem i- kian, persoalan yang dian ggap terpen tin g dalam setiap kon stitusi adalah pengaturan m en gen ai pen gawasan atau pem batasan terhadap kekuasaan pem erin tahan . 171 169 Ivo D. Duchacek, “Constitution and Constitutionalism” dalam Bogdanor, Vernon ed, Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, Oxford: Blackwell, 1987, hal. 142. 170 Friedrich, C.J., Man and His Government, New York: McGraw-Hill, 1963, hal. 217. 171 Lihat dan bandingkan juga pendapat Padmo Wahjono mengenai pemba- tasan kekuasaan dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indone- sia Dewasa ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 10. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 117 Berlakun ya suatu kon stitusi sebagai hukum dasar yan g m engikat didasarkan atas kekuasaan tertin ggi atau prin sip kedaulatan yang dianut dalam suatu n egara. J ika n egara itu m engan ut paham kedaulatan rakyat, m aka sum ber legitim asi konstitusi itu adalah rakyat. J ika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, m aka raja yang m en en tukan berlaku tidakn ya suatu kon stitusi. H al in i- lah yang disebut oleh para ahli sebagai con stituen t pow er yang m erupakan kewenangan yang berada di luar dan se- kaligus di atas sistem yan g diaturn ya. 172 Untuk itu, di lingkungan n egara-n egara dem okrasi liberal, rakyatlah yan g m en en tukan berlakun ya suatu konstitusi. H al in i dapat dilakukan secara lan gsun g oleh rakyat m isaln ya m elalui referendum , seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak lang- sun g m elalui lem baga perwakilan rakyat. Cara tidak langsung in i m isaln ya dilakukan di Am erika Serikat de- n gan cara m enam bahkan n askah perubahan Un dang- Undang Dasar secara terpisah dari naskah aslinya. Mes- kipun dalam pem bukaan Kon stitusi Am erika Serikat pream ble terdapat perkataan “W e the people”, tetapi yan g diterapkan sesun gguhnya adalah sistem perwaki- lan , yan g pertam a kali diadopsi dalam kon ven si khusus special conv ention dan kem udian disetujui oleh wakil- wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan n egara yan g didirikan bersam a. Dalam hubungan den gan pen gertian constituent pow er tersebut di atas, m un cul pula pengertian consti- tuen t act. Dalam hubun gan in i, kon stitusi dian ggap se- bagai constituent act, bukan produk peraturan legislative yan g biasa ordinary legislativ e act. Con stituent pow er m en dahului kon stitusi, dan konstitusi m endahului organ pem erin tahan yang diatur dan diben tuk berdasarkan 172 Lihat misalnya Thompson, Op. Cit., hal. 5. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 118 kon stitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce 190 1, kon - stitusi tertulis m erupakan: “The instrum ent in w hich a constitution is em bodied proceeds from a source different from that w hen ce spring other law s, is regulated in a different w ay , and exerts a sov ereign force. It is enacted n ot by the ordi- n ary legislative authority but by som e higher an d spe- cially em pow ered body . W hen any of its provision s con - flict w ith the prov ision s of the ordin ary law , it prev ails an d the ordinary law m ust give w ay ”. 173 Kon stitusi bukan lah un dang-un dan g biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lem baga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukan n ya. J ika norm a hukum yang terkandung di dalam n ya berten - tan gan den gan norm a hukum yan g terdapat dalam un - dan g-un dan g, m aka keten tuan un dan g-undang dasar itu- lah yang berlaku, sedangkan un dan g-undang harus m em berikan jalan un tuk itu it prev ails and the ordi- nary law m ust giv e w ay . Oleh karen a itu, dikem bangkann ya pen gertian constituent pow er berkaitan den gan pen gertian hierarki hukum hierarchy of law . Konstitusi m erupakan hukum yan g paling tin ggi serta palin g fundam en tal sifatn ya, karen a kon stitusi m erupakan sum ber legitim asi atau lan - dasan otorisasi bentuk-ben tuk hukum atau peraturan perun dan g-undangan lain n ya. Sesuai dengan prin sip hu- kum yan g berlaku un iversal, m aka agar peraturan-pera- turan yang tin gkatan n ya berada di bawah un dan g-un - dan g dasar dapat berlaku dan diberlakukan , peraturan - peraturan itu tidak boleh bertentan gan dengan hukum yan g lebih tin ggi. Atas dasar logika dem ikian, m aka Mah- kam ah Agung Am erika Serikat m en gan ggap dirinya m e- m iliki kewen an gan un tuk m en afsirkan dan m en guji m a- 173 J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, Oxford: Clarendon Press, 1901, hal. 151. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 119 teri peraturan produk legislatif judicial rev iew ter- hadap m ateri konstitusi, m eskipun Konstitusi Am erika tidak secara eksplisit m em berikan kewenangan dem ikian kepada Mahkam ah Agun g The Suprem e Court. 174 B . Arti d a n P e n ge rtia n Ko n s titu s i Seperti dikem ukakan di atas, istilah konstitusi itu sendiri pada m ulan ya berasal dari perkataan bahasa Latin , constitutio yan g berkaitan den gan kata jus atau ius yan g berarti hukum atau prin sip. 175 Di zam an m odern , bahasa yan g biasa dijadikan sum ber rujukan m engenai istilah in i adalah Inggris, J erm an, Perancis, Italia, dan Belan da. 176 Un tuk pen gertian con stitution dalam bahasa In ggris, bahasa Belan da m em bedakan an tara con stitutie dan grondw et, sedan gkan bahasa J erm an m em bedakan antara v erfassung dan gerun dgesetz. Malah dibedakan pula antara gerundrecht dan gerun dgesetz seperti an tara gron drecht dan gron dw et dalam bahasa Belan da. Dem ikian pula dalam bahasa Peran cis dibedakan antara Droit Constitution nel dan Loi Constitutionnel. Istilah yan g pertam a iden tik den gan pengertian konsti- tusi, sedan g yang kedua adalah un dan g-undang dasar dalam arti yan g tertuang dalam n askah tertulis. Un tuk pengertian konstitusi dalam arti un dan g-undang dasar, sebelum dipakainya istilah grondw et, di Belan da juga 174 Lihat kasus Marbury versus Madison 1803 5-US, 1 Cranch, 137, dalam Thompson, Op. Cit., hal. 5. 175 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konpres, 2005, hal. 1. 176 Bandingkan dengan pendapat Solly Lubis yang menyatakan bahwa istilah konstitusi berasal dari perkataan Perancis constituer. Lihat Asas-Asas Hukum Tata Negara, cet-2, Bandung: Alumni, 1978, hal. 44. Sedangkan Sri Soe- mantri Martosoewignjo menyatakan bahwa istilah konstitusi itu berasal dari perkataan Inggris constitution, lihat Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 1984, hal. 62. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 120 pernah dipakai istilah staatsregelin g. Nam un , atas pra- karsa Gijsbert Karel van H ogen dorp pada tahun 18 13, istilah gron dw et dipakai untuk m en ggantikan istilah staatsregeling. 177 Dalam kam us Oxford Dictionary of Law , perkataan constitution diartikan sebagai: “the rules and practices that determ ine the com position an d fun ction s of the organs of the central and local go- v ern m en t in a state an d regulate the relation ship bet- w een indiv idual an d the state”. 178 Artin ya, i yan g dinam akan kon stitusi itu tidak saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yan g dipraktik- kan dalam kegiatan penyelenggaraan negara; dan ii yan g diatur itu tidak saja berken aan den gan organ ne- gara beserta kom posisi dan fun gsin ya, baik di tingkat pusat m aupun di tin gkat pem erin tahan daerah local gov ern m ent, tetapi juga m ekan ism e hubungan an tara n egara atau organ n egara itu dengan warga n egara. Nam un dem ikian , dalam beberapa literatur hukum tata n egara, arti kon stitusi itu kadang-kadang dirum us- kan sebagai perspektif m engen ai kon sepsi konstitusi yan g dibedakan dari arti perkataan kon stitusi itu sen diri. Arti perkataan kon stitusi itu sen diri telah diuraikan da- lam Bab II Buku ini, sehin gga tidak perlu diuraikan lagi dalam bab in i. Akan tetapi, yang akan diuraikan di sin i adalah perspektif m en gen ai kon sepsi ten tang konstitusi yang biasa disebut sebagai konstitusi dalam arti-arti ter- ten tu. Dalam hubungan in i, m en urut Profesor Djokosoe- tono dalam kuliah-kuliah yan g diberikan nya pada tahun - tahun 1950 -an, sebagaim an a dihim pun oleh Profesor H a- run Alrasid, ada tiga arti yan g dapat diberikan kepada 177 Sri Soemantri Matosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konsti- tusi, Bandung: Alumni, 1987, hal. 1-2 dan hal. 9-10. 178 Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, Oxford University Press, 2003, hal. 108. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 121 kon sepsi kon stitusi. Ketigan ya yaitu i Kon stitusi dalam arti m ateriel Constitutite in Materiele Zin, ii Kon - stitusi dalam arti form il Con stitutite in Form ele Zin, dan iii Kon stitusi dalam arti yan g di dokum en tasikan untuk kepen tingan pem buktian dan kesatuan rujukan Con stitutite in gedocum en teerd v oor bew ijsbaar en stabiliteit. 179 Pan dan gan beberapa sarjan a m engenai kon stitusi dapat dikatakan berlainan satu sam a lain. Beberapa con - toh di an taran ya dapat dikem ukakan di bawah in i.

1. Le o n D u gu it Tr a it e d e D r o it Co n s t it u t io n n e l

Leon Duguit adalah seoran g sarjan a Perancis yang terkenal luas karya-karyanya di bidang sosiologi hukum . Dalam bukun ya “Traite de Droit Constitutionn el”, Du- guit m em an dan g n egara dari fungsi sosialn ya der leer v an de sociale fun ctie. Pem ikiran yan g dikem bang- kann ya dapat dikatakan sangat dipen garuhi oleh aliran sosiologi yang diprakarsai oleh Auguste Com te, sehingga perspektif yan g dibangunn ya dalam m em aham i hukum tata negara sangat sosiologis sifatnya rechts-sociolo- gisch beschow ing. Bagin ya, hukum m erupakan pen jel- m aan de facto dari ikatan solidaritas sosial yan g n yata. Seperti dikem ukakan oleh H an s Kelsen , bagi Leon Duguit dan pengikutnya, “the true, i.e. the ‘objectiv e’ law droit objectif is im plied by the social solidarity ”. 18 0 Solidariteit atau solidarite sociale itu sendiri m enurut- n ya, m en cakup pen gertian i on derlin g hulpbetoon atau solidarism us yang m erupakan gejala kegotongroyongan dalam bekerja untuk kepen tin gan um um tan pa m eng- harapkan im bal jasa, dan ii w ederkerige hulpbetoon 179 Djokosoetono, Op. Cit. 180 Leon Duguit, L’Etat, Le Droit Objectif et la Loi Positive 1901, hal. 616, dalam Kelsen, Op. Cit., hal. 127. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 122 atau m utualism us yan g m erupakan gejala kegoton gro- yon gan dalam bekerja salin g tolon g m enolon g antar oran g perorang den gan harapan di m asa yang akan da- tan g akan m endapatkan balasan yan g setim pal. Leon Duguit diken al pula den gan pen dapatn ya bahwa yang sesungguhnya berdaulat itu bukanlah hu- kum yang tercantum dalam bun yi teks un dan g-un dang, m elainkan yan g terjelm a dalam sociale solidariteit soli- darite sociale. Dalam hubungan ini, H ans Kelsen m e- n yatakan : “Con sequen tly , any act or fact the result of w hich is positiv e law – be it legislation or custom – is n ot true creation of law but a declaratory statem en t consta- tation or m ere ev idence of the rule of law previously created by social solidarity ” 18 1 . Doktrin in ilah yan g kem udian m em pen garuhi perum usan Pasal 38 Statuta Perm an ent Court of Inter- national Justice yan g m em berikan wewen an g kepada pe- n gadilan un tuk m en erapkan custom ary international law . Pasal 38 itu an tara lain m en yatakan , “The Court shall apply .... international custom , as ev iden ce of a ge- neral practice accepted as law ”. 18 2 Pen gadilan m em - berlakukan kebiasaan in ternasion al sebagai alat bukti hukum karen a alasan sudah m en jadi praktik yan g ber- laku um um . Oleh karen a itu, m en urut pen dapatn ya, yan g sung- guh-sungguh harus ditaati justru adalah droit sociale atau sociale recht itu, bukan un dan g-un dang yang han ya m en cerm in kan sekelom pok oran g yang kuat dan ber- kuasa, yan g cenderun g m enguasai dan bahkan m enjajah oran g-orang yan g lem ah dan tidak berkuasa. Oleh karen a itu, tugas legislator bukanlah m em ben tuk undang-un - 181 Ibid. 182 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 123 dan g dalam arti yan g sesun gguhn ya, m elain kan han ya m en em ukan dan m en etapkan norm a-n orm a hukum le- gal n orm s yan g sebelum nya m em an g sudah ada dan hidup liv ing n orm s dalam kehidupan m asyarakat. De- n gan dem ikian, kon stitusi bukan lah sekedar m em uat n orm a-n orm a dasar ten tang struktur n egara, tetapi bah- wa struktur n egara yan g diatur dalam konstitusi itu m e- m an g sun gguh-sun gguh terdapat dalam ken yataan hidup m asyarakat sebagai de reele m achtsfactoren atau faktor- faktor kekuatan riel yang hidup dalam m asyarakat yang bersangkutan . 18 3 3 . Fe rd in a n d La s a lle U b e r Ve r fa s s u n g s w e s s e n Ferdinand Lasalle 18 25-18 64, dalam bukun ya “Uber Verfassungsw essen” 18 62, m em bagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu: 18 4 i Pengertian sosiologis dan politis sociologische atau politische begrip. Kon stitusi dilihat sebagai sin - tesis an tara faktor-faktor kekuatan politik yang n yata dalam m asyarakat de reele m achtsfactoren, yaitu m isaln ya raja, parlem en , kabin et, kelom pok- kelom pok pen ekan preassure groups, partai poli- tik, dan sebagain ya. Din am ika hubungan di an tara kekuatan-kekuatan politik yan g nyata itulah sebe- narnya apa yang dipaham i sebagai konstitusi; ii Pengertian juridis juridische begrip. Kon stitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang m em uat keten tuan dasar m engen ai ban gun an n egara dan sendi-sendi pem erin tahan n egara. Ferdinand Lasalle ini sangat dipen garuhi oleh ali- ran pikiran kodifikasi, sehin gga san gat m enekankan pen - 183 Djokosoetono, Op. Cit. Lihat juga Busroh, Op Cit., hal. 96. 184 Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, Leiden: A.W: Sijthoff Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 124 tin gn ya pen gertian juridis m en gen ai konstitusi. Di sam - ping sebagai cerm in hubungan an tar an eka kekuatan politik yang n yata dalam m asyarakat de reele m achts- factoren, kon stitusi itu pada pokoknya adalah apa yan g tertulis di atas kertas un dan g-un dan g dasar m en gen ai lem baga-lem baga n egara, prin sip-prin sip, dan sen di-sen - di dasar pem erin tahan negara. 4 . P a n d a n gan H e rm a n n H e lle r S t a a t s le h r e Dalam bukun ya “Staatsrecht”, Profesor H erm ann H eller diken al m en gem ban gkan m etode m en dapatkan pengetahuan yan g din am akan m ethode v an k en n is v erk- rijging. Di dalam bukun ya in i, H erm ann H eller m en ge- m ukakan tiga pen gertian kon stitusi, yaitu: i Die politische v erfassung als gesellschaftlich w irk- lichkeit. Kon stitusi dilihat dalam arti politis dan so- siologis sebagai cerm in kehidupan sosial-politik yang n yata dalam m asyarakat; ii Die v erselbstandigte rechtsv erfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam m asyarakat; iii Die geschreiben v erfassung. Kon stitusi yang ter- tulis dalam suatu n askah un dan g-undang dasar se- bagai hukum yang tertin ggi yang berlaku dalam suatu n egara. Men urut H erm ann H eller, undan g-un dan g dasar yan g tertulis dalam satu n askah yan g bersifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah m erupa- kan salah satu ben tuk atau sebagian saja dari pen gertian kon stitusi yan g lebih luas, yaitu kon stitusi yan g hidup di ten gah-ten gah m asyarakat. Artinya, di sam pin g konstitu- si yang tertulis itu, segala nilai-nilai norm atif yang hidup dalam kesadaran m asyarakat luas, juga term asuk ke da- lam pengertian konstitusi yan g luas itu. Oleh karen a itu pula, dalam bukun ya “Verfassungslehre”, H erm an n