Ko n ve n s i Ke ta ta n e ga ra a n 1. H a kika t Ko n ve n s i Ke ta tan e ga ra a n

Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 237 the Constitution”, kita harus m em bedakan antara i the law of the constitution , dan ii the con v entions of the constitution , 310 yang keduanya sam a-sam a sebagai dua m axim yan g pentin g dalam ilm u hukum tata n egara. 311 Term asuk ke dalam pengertian the law s of the consti- tution itu adalah segala keten tuan peraturan perun dang- undangan yan g berlaku m en gikat, yang dapat dipaksa- kan dan diakui berlakun ya oleh badan -badan peradilan w hich are enforced or recognized by the court, yaitu a statutes, atau un dan g-un dang, b n orm a-norm a yan g berasal dari custom atau adat kebiasaan, tradisi atau prinsip-prin sip yan g diciptakan oleh hakim judge- m ade m axim s yan g biasa diken al sebagai com m on law s. Sedan gkan, norm a-norm a hukum lain selain hal tersebut di atas, dikategorikan oleh A.V. Dicey sebagai the con- v entions of the constitution atau konven si ketatanega- raan. Kon ven si ketatan egaraan atau constitutional con v ention m erupakan peristilahan yan g lazim disebut dalam pem bicaraan m en gen ai m asalah-m asalah praktik ketatan egaraan dan dalam ilm u hukum tata n egara constitutional law . 312 Kadang-kadang, istilah kon ven si atau kon ven si ketatan egaraan itu dianggap identik de- 310 Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 10th edition, London: Macmillan, 1959. Buku ini sudah tergolong buku klasik classical work of Dicey, tetapi sampai sekarang tetap dianggap sebagai bacaan umum di bidang hukum tata negara. 311 Bandingkan dengan Michael T. Molan yang menggunakan istilah legal rules of the constitution untuk pengertian Dicey mengenai the law of the Constitution, dan non-legal rules of the constitution untuk istilah the conven- tions of the constitution. Lihat Michael T. Molan, Textbook on Constitutional Law: The Machinery of Government, 4 th edition, Old Bailey Prees, 2003, hal. 21-22. 312 Constitutional Convention di dalam Oxford Dictionary Law diartikan sebagai “Practices relating to the exercise of their functions by the crown, the government, Parliament, and the judiciary that are not legally enfor- ceable but are commonly followed as if they were”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 238 n gan kebiasaan atau kebiasaan ketatan egaraan , padahal sebenarnya berbeda. Kebiasaan m em persyaratkan pe- ngulan gan , sedangkan konven si tidak. Dalam praktik, kon ven si juga dian ggap sebagai salah satu cara un tuk m en gubah apa yan g tertulis dalam teks kon stitusi, sesuai dengan kebutuhan yang baik untuk m em astikan beker- janya norm a konstitusi dalam praktik. K.C. Wheare dalam bukun ya “M odern Con stitution s”, m isalnya, ada- lah salah seoran g sarjana yang m en gan ggapnya dem i- kian. Men urut K.C. Wheare: “M any im portant changes in the w orking of a con stitution occur w ithout an y alteration in the rules w hich regulate a governm ent, w hether they strictly legal or rules of custom an d conv ention”. 313 Ban yak perubahan yang terjadi dalam ran gka pelaksan aan undan g-un dan g dasar tan pa m engubah secara m utlak bun yi teks hukum ketentuan yan g m en ga- tur suatu pem erin tahan , m elainkan terjadi begitu saja m elalui kebiasaan dan konven si rules of custom an d con v ention. K.C. Wheare bahkan m enguraikan lebih lanjut m engen ai perubahan -perubahan kon stitusi yang dapat terjadi m elalui i perubahan hukum dalam arti yan g strict, yaitu perubahan m elalui am an dem en form al; ii perubahan m elalui penafsiran yudisial atas teks kon stitusi, yaitu m elalui proses peradilan tata n egara con stitution al adjudication; dan iii perubahan m ela- lui kebiasaan dan kon ven si. 314 Artin ya, kon vensi juga dapat dian ggap sebagai salah satu m etode perubahan kon stitusi. 313 Wheare, Op Cit.,. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003. Lihat juga Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986, hal. 31. 314 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 239 Secara um um , kon ven si sering diartikan sebagai unw ritten law s, tetapi kadan g-kadan g dibedakan dan bahkan tidak dianggap sebagai hukum sam a sekali. Di In ggris, unw ritten law s biasa diiden tikkan dengan pengertian com m on law . Sering juga unw ritten law s itu sendiri diiden tikkan pula dengan custom s atau adat kebiasaan atau adat istiadat. Sem ua in i berpoten si m en im bulkan kebin gun gan jika dikaitkan dengan pe- n gertian hukum kebiasaan atau custom ary law s yang tidak saja m erupakan hukum dalam pen gertian yan g m utlak strict sense tetapi juga m em erlukan im m em o- rial antiquity untuk pem berlakuan n ya. Sedan gkan , constitution al conv ention sam a sekali tidak m em butuh- kan im m em orial antiquity sem acam itu. 315 Perkataan conv ention sering digun akan oleh para ahli hukum tata n egara atau constitutional law y ers un tuk m en un juk kepada pen gertian rules of political practice atau n orm a yan g tim bul dalam praktik politik yan g juga dianggap berlaku m engikat oleh pihak-pihak yan g terkait dengan n n ya, terutam a oleh para penye- lenggara n egara. Nam un , n orm a praktik itu sen diri, kare- na tidak didasarkan atas ketentuan yang bersifat tertulis, dianggap tidak m engikat para hakim , jika kepada m ereka diajukan perkara oleh pihak-pihak yan g berkepen tin gan yan g m en ggugat atau m elawan praktik-praktik politik yang tidak tertulis itu. O. H ood Phillips, Paul J ackson, dan Patricia Leopold berpen dapat bahwa: “The lack of judicial en forcem en t distinguishes con ven - tion s from law s in the strict sen se. This is an im portant form al distinction for the law y er, though the politician m ay n ot be so in terested in the distin ction ”. 316 315 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 136. 316 Ibid., hal. 24. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 240 Un tuk m em aham i lebih tepat m en gen ai kon ven si itu, kita dapat pula m enghubungkann ya dengan pengertian yang berlaku dalam sosiologi hukum dan antropologi hukum . Dalam kaitan n ya dengan daya ikat n orm a, biasa dibedakan an tara pen gertian i cara usa- ges, ii kebiasaan folkw ay s, iii tata laku m ores, dan iv adat istiadat custom s. 317 Dalam kon teks yang dem ikian , m aka yan g kita m aksudkan den gan kon ven si ketatanegaraan the con v en tions of the con stitution itu sen diri tidak lain adalah praktik-praktik ketatan egaraan yan g berisi salah satu dari keem pat jen is n orm a, yaitu usages cara, folkw ay s kebiasaan , m ores pola kelaku- an, atau custom s adat istiadat tersebut, yan g terang- kum dalam istilah con stitution al usages, dan constitu- tional practices, serta constitutional custom s atau kebia- saan ketatan egaraan . Kon ven si-kon ven si ketatan egaraan , tidak saja dijum pai di n egara-n egara yan g tidak m en gen al doku- m en kon stitusi tertulis, tetapi juga di keban yakan n ega- ra-n egara dengan konstitusi tertulis. Di sem ua n egara anggota Persem akm uran Com m enw ealth seperti Aus- tralia, 318 Am erika Serikat, dan sebagain ya. Konven si- kon ven si ketatan egaraan itu diakui sebagai sum ber hukum yan g pentin g dalam praktik. Misaln ya, tata cara pem ilihan presiden dan tata cara pen entuan an ggota kabin et pem erin tahan Am erika Serikat sebagian terbesar diatur m en urut kebiasaan ketatan egaraan constitutional con v entions, bukan atas dasar peraturan yang bersifat tertulis. 319 Begitu juga di In don esia, ban yak sekali usages dan practices dalam penyelen ggaraan n egara yang tidak 317 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975, hal. 75. 318 Mengenai konvensi ketatanegaraan di Australia, baca misalnya George Winterton, The Executive and the Governor General, 1983. 319 W.B. Munro, The Government of the United States, 4 th edition, 1936, hal. 80-83. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 241 didasarkan atas aturan tertulis, m elain kan han ya di- dasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yan g diwarisi dari m asa lalu. Misalnya, adanya Pidato Kenegaraan Presiden pada setiap tan ggal 16 Agustus di depan Rapat Paripurna DPR-RI dapat juga dikatakan sebagai konvensi ketata- negaraan . Akan tetapi, sifat kon ven si yan g tertulis atau tidak tertulis itu sen diri seben arn ya tidaklah m utlak. Kadang- kadan g, kon ven si ketatan egaraan dapat juga dituan gkan dalam bentuk tulisan tertentu, m eskipun ia tetap dapat disebut sebagai kon ven si ketatanegaraan atau consti- tution al con v en tion. Ism ail Sun y, m isaln ya, term asuk guru besar hukum tata negara yang berpendapat dem iki- an. Men urutnya, “konv ensi tidak perlu selalu m erupa- kan ketentuan y ang tidak tertulis, y ang tim bul dari persetujuan agreem ent boleh saja berbentuk tertu- lis”. 320 Sebagai salah satu contoh, m isalnya, jika Presiden m en gadakan persetujuan den gan pim pin an parlem en m en gen ai sesuatu agenda persidan gan parlem en, dan persetujuan itu dituan gkan secara tertulis dalam bentuk express agreem ent, m aka hal itu dapat m enjadi konven si dalam ben tuk yan g tertulis. Misaln ya, persetujuan an tara Wakil Presiden Moham m ad H atta dan Badan Pekerja Kom ite Nasional Indonesia Pusat KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 atas Maklum at Pem erintah bertanggal 14 Novem ber 1945 juga ditan datangan i dalam ben tuk ter- tulis. Oleh karen a itu, ban yak sarjan a yan g berpen dapat bahwa pengertian w ritten v ersus unw ritten atau docu- m en tary v ersus n on-docum en tary dalam hukum kon sti- tusi con stitution al law seben arn ya tidaklah m utlak sifatnya. 321 Di n egara m an a saja di seluruh dun ia, m eski- 320 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op Cit., hal. 41. 321 Lihat misalnya G.S. Diponolo, Ilmu Negara, jilid 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1975, hal. 173-174, dan Kusnardi dan Saragih, Op Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 242 pun konstitusinya dikatakan tidak tertulis seperti Inggris dan Israel, tetap dian ggap m em iliki konstitusi dan dise- but sebagai constitution al state. Dem ikian pula konvensi yan g tidak m utlak harus bersifat tidak tertulis, sehingga perbedaan an tara the law s of the con stitution dan the con v en tions of the con stitution tidak dapat dibedakan dari sekedar sifatn ya yang tertulis atau yan g tidak tertulis. H al yang terpenting adalah bahwa yan g pertam a dapat dipaksakan dan diakui berlakun ya di pengadilan dan oleh pengadilan , sedangkan yang kedua conv ention tidak dapat dipaksakan di pengadilan dan oleh pengadilan. 322 Nam un , m eskipun tidak dapat dipaksakan berlaku- n ya, peran an the conv en tion s of the con stitution dalam praktik ketatan egaraan di sem ua n egara kon stitusional con stitution al state dapat dikatakan sangat pen ting. Dem ikian pula di In ggris yan g m em an g dikenal tidak m em iliki naskah konstitusi yan g tertulis dan m engan ut tradisi com m on law , n orm a-n orm a hukum kebiasaan justru lebih m en on jol peran an nya. Bahkan , m en urut H ood Phillips, Paul J ackson , dan Patricia Leopold ditegaskan: ”N ot on ly do the British hav e n o w ritten con stitution , but they hav e been reluctan t to stereoty pe their rules of govern m en t in the form of statutes. M an y im portant political dev elopm ents hav e been effected since 168 8 w ithout recourse to legal form s at all”. 323 Kon ven si ketatan egaraan lah yan g m en deskripsikan dan m en jelaskan bagaim an a kon stitusi dijalankan , tum buh, dan berkem bang. Fun gsi utam an ya adalah m e- n gadaptasikan struktur kepada fun gsin ya. Dengan begi- tulah kerajaan Inggris yan g kuat pada tahun 168 8 322 Bandingkan dengan Kusnardi dan Saragih, Op. Cit.. 323 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 25. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 243 strong m onarchy diubah m en jadi kerajaan yang dibatasi lim ited m onarchy den gan sistem pem erin ta- han yan g bertan ggun g jawab kepada parlem en respon - sible parliam entary gov ernm ent. Oleh karen a itu, studi m engen ai kon ven si ketatan egaraan sangat pentin g un tuk m en getahui beker- janya konstitusi yan g tertulis dalam praktik. Meskipun sejak lam a konven si ketatanegaraan sudah m enjadi per- hatian para ahli sejak abad ke-19, seperti E.A. Freem an dalam bukun ya “Grow th of the English Constitution” 18 72, 324 tetapi pentingnya konvensi itu baik dalam ran gka pem aham an terhadap kon stitusi m aupun un tuk penerapan konstitusi dalam praktik, dapat dikatakan baru berkem ban g sejak prakarsa A.V. Dicey yan g m en e- kan kan pen tin gn ya kon ven si ketatan egaraan di dalam bukunya “An Introduction to the Study of the Law of the Constitution ” yan g pertam a kali terbit pada tahun 18 8 5. 325 Albert Venn Dicey, nam anya biasa disin gkat A.V. Dicey atau Dicey, m en ekan pem bedaan an tara hukum kon stitusi law s of the constitution dan kebiasaan kon - stitusi the con v ention s of the con stitution, bukan un tuk m aksud m en geluarkan yang kedua dari perhatian para m ahasiswa hukum . Sebalikn ya, Dicey m em bedakan keduan ya un tuk m eyakin kan para m ahasiswa agar tidak m en gabaikan pentin gn ya pen yelidikan m engen ai kon - 324 O. Hood Phillips, Constitutional Conventions: Dicey’s Predecessors, 29, M.L.R, 1966, hal. 137. 325 Dicey, Op Cit.. Lihat juga R.A. Casgrove, The Rule of Law, Albert Venn Dicey, Victorian Jurist, 1981, hal. 87-90; Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 5 th edition; Cabinet Government, 3 rd edition; Parliament, 2 nd edition; K.C. Wheare, Modern Constitutions, 1951 lihat juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, The Constitutional Structure of the Commonwealth, 1960; O. Hood Phillips, Constitutional Conventions: A Conventional Reply, 1964; serta Geoffrey Marshall, Constitutional Conventions, 1984. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 244 ven si ketatan egaraan atau constitution al conv en tion dalam studi ilm u hukum tata negara. Oleh karen a kom pleksitas pen gertian kon ven si yan g dem ikian, dalam bukun ya “Constitutional an d Adm inistrativ e Law ”, O. H ood Phillips, Paul J ackson , dan Patricia Leopold m erum uskan defin isi constitutional con v en tion sebagai “rules of political practice w hich are regarded as binding by those to w hom they apply , but w hich are n ot law s as they are n ot enforced by the courts or the H ouses of Parliam en t”. Den gan rum usan defin isi ten tang kon vensi yan g dem ikian , kon ven si ketatanegaraan jelas berbeda den gan kebiasaan , dari aturan yan g berlaku di lin gkungan parlem en, prosedur- prosedur beracara di pen gadilan , ataupun den gan norm a aturan yang bersifat n on -hukum , seperti etik, dan lain sebagain ya. Un tuk lebih jelasnya, kon sepsi m en gen ai kon ven si ketatan egaraan , dapat dibedakan dari kelim a hal di bawah in i, yaitu: 326 i Praktik, penerapan, kebiasaan , atau fakta-fakta m ere practice, usage, habit or fact yang tidak dian ggap bersifat kewajiban obligatory , seperti keberadaan partai politik fakta atau kebiasaan - kebiasaan seperti kebiasaan Presiden m en erim a tam u um um pada hari Raya Iedul Fitri dan Iedul Adha, ataupun kebiasaan tabur bunga dan re- n un gan suci pada tan ggal 17 Agustus m alam di m akam pahlawan Kalibata. ii Norm a-n orm a aturan yang tidak bersifat politik non-political rules, seperti rules of conduct atau kode etik yang tidak berkaitan dengan persoalan pem erin tahan, ataupun hal-hal yan g berhubun gan dengan sopan san tun tata upacara kerajaan yang tidak m em iliki constitutional sign ificance sam a sekali untuk diperm asalahkan . 326 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 136-138. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 245 iii Judicial rules of practice seperti kebiasaan hakim dalam m em eriksa dan m em utus dengan m engikuti rules of precedent dari con toh-con toh perkara serupa yan g pernah diputus sebelum nya. Dalam praktik di Inggris m isalnya, hal in i sam a sekali tidak ada aturan tertulisn ya m elainkan tum buh sen diri dalam praktik. Itu sebabnya, seperti dalam kasus R. vs Knuller Ltd Publishing, Printing and Prom otions, H ouse of Lords tidak m erasa terikat dengan keputusan yan g dibuatnya sendiri pada m asa sebelum n ya. iv Rules enforced by the courts, yaitu peraturan perun dan g-undangan yang diterapkan atau di- tegakkan oleh pen gadilan, baik dalam bidang perdata, pidana, tata usaha n egara, ataupun tata n egara. Sam bil m engakui ada-n ya perbedaan form al antara law s dan conv entions, Sir Ivor J en n is cen derun g pada pen dapat bahwa perbedaan keduanya tidaklah bersifat substantif. Perbedaan n ya itu m un gkin tidak pen tin g bagi ilm uwan politik, tetapi sangat penting bagi ahli hukum . Bahkan, pem bedaan itu sendiri dikritik oleh Mitchell, m engingat there m ay be law s w ith n o judicial sanction. 327 Men urutn ya ada juga hukum yan g tidak disertai keten tuan m en genai san ksi peradilan. Mem an g ben ar, seperti dikem ukakan oleh Sir Ivor J enn ings, ada undang- un dan g m isaln ya di bidan g pidan a yan g tidak dapat diterapkan untuk badan -badan pem erin tahan , tetapi dapat diterapkan terhadap orang perorang yan g m enduduki jabatan dalam badan pem erin - tahan itu. 328 327 J.D.B. Mitchell, Constitutional Law, 2nd edition, 1968, hal. 34-39. 328 Raleigh vs Goschen, 1893, 1 Ch. 73 dalam Phillips, Jackson, and Leopold, op. cit., hal. 137. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 246 v R ules enforced by the H ouses of Parliam ent m ela- lui para pejabatnya, seperti Ketua Parlem en m enu- rut peraturan tata tertib parlem en yang bersangku- tan. Sebagian dari the law and custom of Parlia- m ent dapat disebut term asuk ke dalam pengertian the com m on law dalam arti yan g luas. Oleh karena itu, serin g dipaham i secara tum pan g tin dih den gan pengertian konven si. Mem ang ada juga praktik- praktik penyelenggaraan kegiatan parlem en yang m en ciptakan kon vensi constitute conv entions, seperti perlin dungan atau pem berian kesem patan khusus kepada kelom pok m in oritas dalam perde- batan ataupun dalam rangka kom posisi penyusu- n an an ggota kom isi-kom isi terten tu. Peraturan Tata Terbit Stan ding Orders kadan g-kadan g juga disebut sebagai con stitution al con v ention s, tetapi jika ditelaah lebih seksam a, peraturan tata tertib atau Standing Order itu sendiri terdiri atas norm a yang i sebagian dapat disebut sebagai hukum law , ii sebagian m erupakan m ere practice, dan iii barulah sebagian kecil lain nya dapat disebut con v en tions. Di sam ping itu, m en urut H ood Phillips, Paul J ackson, dan Patricia Leopold, “It is also useful to dis- tinguish ‘conv entions’ from such distinct, if allied con- cepts as ‘traditions’, ‘principles’ and ‘doctrines’”. 329 Kegu- naan kon vensi dapat dilihat juga untuk m em berikan arti kepada tradisi, prin sip-prinsip, atau nilai-nilai. Misaln ya, Sir J ohn Donaldson m en gaitkan hubun gan an tara par- lem en dan pengadilan den gan istilah kon ven si, yaitu dengan m en yatakan: “Although the Un ited Kin gdom has n o w ritten con - stitution , it is a con stituion al con ven tion of the highest 329 Geoffrey Marshall, Constitutional Conventions, 1984, hal. 3. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 247 im portance that the legislature and the judiciary are separate and in depen den t of on e another, subject to certain ultim ate rights of Parliam en t over the judica- ture”. 330 In depen den si peradilan the independence of the judiciary dapat dipandang sebagai a principle of the Constitution sejak tahun 1668 , yang tercerm in dalam keten tuan undan g-un dan g statutory prov isions yang berisi jam in an atas m asa jabatan para hakim judicial security of tenure. 331 Kon ven si itu sen diri, m en urut Michael Allen dan Brian Thom pson, dapat ditem ukan dalam sem ua un - dan g-un dan g dasar yan g dibentuk established consti- tutions, term asuk bahkan dalam konstitusi yang baru terben tuk sekalipun. Menurut kedua sarjana ini, pen ting- n ya kon ven si itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak ada peraturan um um yan g bersifat self-apply ing, m e- lain kan harus diterapkan m enurut syarat-syarat aturan tam bahan terten tu n o gen eral rules of law is self- apply in g, but m ust be applied according to the term s of additional rules. 332 Dikatakan lebih lan jut oleh Allen dan Thom pson : “These additional rules m ay be concerned w ith the in terpretation of the gen eral rule, or w ith the exact cir- cum stances in w hich it should apply , about w ither of w hich uncertainty m ay exist, and the greater the gene- rality the greater w ill the un certain ty ten d to be. Many con stitution s in clude a large n um ber of addition al legal rules to clarify the m eanin g and application of their m ain provision s, but in a chan ging w orld it is rarely possible to eradicate or prev en t all doubts on these poin ts by enactm en t or ev en by adjudication . The result often is to leave a sign ifican t degree of discretion to 330 Lihat kasus R. vs H.M. Treasury, ex p. Smedley, 1985, Q.B. 657, 666. 331 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 138. 332 Allen and Thompson, Op. Cit., hal. 242. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 248 those exercisin g the rights or w ieldin g the pow ers legally con ferred, defined, or perm itted”. 333 Tidak ada peraturan , apalagi undan g-un dan g dasar sebagai hukum yang tertinggi yang bersifat garis besar, yan g secara m endetil m enen tukan cara n orm a-norm a dasarn ya dilaksan akan dalam praktik. Selalu diperlukan peraturan pelaksan aan atau norm a-norm a lain yang ber- sifat tidak tertulis yan g m em un gkin kan peraturan yang bersan gkutan dijalan kan den gan sebaik-baikn ya. Setiap tin gkatan peraturan yan g lebih rendah pada pokokn ya m erupakan peraturan yan g bersifat lebih rin ci dalam ran gka m elaksan akan peraturan yang lebih tin ggi. Oleh karen a itu, pelaksan aan setiap peraturan um um , m em er- lukan penafsiran yang m en gelaborasikan atau m erin ci pengertian -pengertian norm atifn ya sehin gga dapat dilak- sanakan den gan sebaik-baiknya. Proses pen afsiran sem acam itu dapat dilakukan , m elalui pem ben tukan peraturan yan g lebih rendah, m e- lalui proses peradilan yang akan m en erapkan norm a- norm a hukum yang bersifat um um itu dalam kasus- kasus perkara hukum yang kon krit, ataupun m elalui kon - vensi ketatanegaraan tertentu. H al yang terakhir in i sangat pen ting, karen a selain m elalui proses pem ben tu- kan peraturan yang lebih ren dah dan m ekanism e pera- dilan , dalam praktik, selalu terdapat ruan g yan g san gat luas dan terbuka un tuk m un culn ya significant degree of discretion Adanya ruang bagi discretionary pow er in i ten tu saja di satu pihak dapat dikatakan sangat berguna, tetapi di lain pihak dapat pula disalahgun akan oleh pihak yan g berkuasa, sem ata-m ata un tuk kepen tingan ke- kuasaan itu sen diri. 333 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 249 2 . P e n ga ku a n H akim te rh a d a p Ko n ve n s i J u d ic ia l R e c o g n it io n Seperti dikem ukakan di atas, para hakim tidak terikat atau tidak ada keharusan bagi pengadilan un tuk m en erapkan kon ven si dalam m em utus sesuatu perkara. Sebab, pada pokoknya, konven si itu sendiri tidak dapat dipersam akan atau bukan lah hukum law dalam arti yang seben arn ya. Itu sebabnya, dalam artikelnya ber- judul “Law s and Con v entions Distinguished” 1975, C.R. Mun ro m enyatakan : “The v alidity of con ven tions can n ot be the subject of the proceedings in a court of law . Reparation for breach of such rules w ill n ot be effected by any legal san ction . There are n o cases w hich contradict these propositions. In fact, the idea of a court enforcing a m ere conv ention is so strange that the question hardly arises”. 334 Dalam bukun ya yan g lain , dinyatakan pula oleh C.R. Mun ro, “In a legal sy stem , a certain num ber of sources are recognized as law -con stitutiv e. So there are rules specify ing w hat counts as law or w hat, by im pli- cation, does not”. 335 Di Inggris, m en urutnya: “The courts accept as law on ly legislation m ade or authorised by Parliam ent an d the body of rules ev olv ed by the courts called com m on law . There are form al signs, such as the w ords of enactm ent used for Acts of Parliam en t, den oting that rules have passed a test for being law s”. 336 Pentin g un tuk ditegaskan di sin i, bukan lah bahwa status kon vensi itu berada di luar kategori hukum , tetapi 334 C.R. Munro, “Laws and Conventions Distinguished”, 91 Law Q Review, 218, 1975, hal. 228. 335 C.R. Munro, Studies in Constitutional Law, 2 nd edition, 1999, hal. 69-71. 336 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 250 bahwa kon ven si itu tidak m em iliki kualitas kualifikasi yan g sam a dengan hukum dalam arti yang seben arnya. Kem udian yan g dapat juga dipastikan ialah bahwa kon ven si itu tidak dapat ditegakkan oleh pen gadilan dan pelan ggaran terhadapn ya tidak dapat diken akan san ksi oleh hakim . Meskipun dem ikian , ten tu tidak berarti bahwa pen gadilan tidak m en gakui sam a sekali keberada- an kon ven si sebagai sum ber hukum . Setiap kon ven si tetap dapat dijadikan pegangan yang dipercaya bagi hakim sebagai alat ban tu un tuk m enafsirkan peraturan tertulis yang berlaku. Konven si ketatanegaraan constitu- tional conv entions juga dapat dijadikan alat un tuk justi- fikasi sikap pen gadilan yang m en gam bil jarak dari ke- putusan-keputusan tata usaha negara di bidang-bidang yan g pengadilan sen diri m en gan ggap dirinya tidak terlibat atau tidak boleh dilibatkan. Di Inggris, dapat dikem ukakan beberapa con toh m en gen ai adan ya pengakuan pengadilan terhadap konven si ketatanegaraan constitutional conv entions. Misalnya, H ouse of Lords m en jadikan pertanggung- jawaban Menteri Dalam Negeri kepada parlem en sebagai salah satu alasan untuk m em utus dalam perkara Liv ersidge v s Anderson 1942. 337 Dem ikian pula dalam perkara Padfield v s M inister of Agriculture, Fisheries and Food 1968 , di m ana kon ven si m en gen ai pertang- gun gjawaban m en teri juga dijadikan pertim bangan . Begitu pula dalam kasus Air Can ada v s Secretary of State for Trade 198 3, 338 tercan tum beberapa kon ven si sebagai referensi yan g m elaran g Men teri yang berasal dari satu partai politik untuk m endapatkan akses kepada dokum en -dokum en dari m en teri pendahulunya yang berasal dari partai politik yang lain tan pa persetujuan 337 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 139. 338 Lihat Lord Hunt of Tanworth, “Access to A Previous Government’s Papers”, P.L. 1982, hal. 514. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 251 dari pejabat terdahulu w ithout the agreem ent of the prev ious adm inistration. Di Mahkam ah Agun g Kanada, baik soal eksistensi m aupun isi kon ven si, juga pern ah m en jadi perkara yang m en yebabkan Mahkam ah Agun g terlibat dalam pem - bahasan m engenai the general nature of constitutional con v entions. Berkenaan dengan hal itu, m ayoritas para hakim Mahkam ah Agung Kan ada berpen dirian bahwa a constitutional conv ention cannot cry stallise into law . Menurut m ereka: “N o in stan ce of an explicit recogn ition of a con ven tion as hav ing m atured in to a rule of law w as produced. The v ery nature of a con ven tion , as political in in ception an d as depen ding on a persisten t course of political recogn ition by those for w hose benefit an d to w hose detrim en t if an y the con ven tion dev eloped ov er a con siderable period of tim e, is in con sisten t w ith its legal en forcem en t.... The attem pted assim ilation of the grow th of a conv ention to the grow th of the com m on law is m isconceiv ed. The latter is the product of judicial effort, based on justifiable issues w hich attain ed legal form ulation and are subject to m odification and even rev ersal by the courts w hich gav e them their birth.... N o such paren tal role is play ed by the courts w ith respect to con v en tion s...”. 339 Kon ven si diakui eksisten sin ya, tetapi jika ada peraturan perundan g-un dan gan tertulis, dan terdapat pertentangan antara konvensi dim aksud dengan pera- turan perundang-undan gan , m aka pen gadilan harus m en erapkan peraturan perun dan g-un dan gan tertulis di atas kon ven si. Oleh karena itu, konvensi tidak dapat di- terapkan secara m an diri, atau bahkan serin g dikatakan bahwa kon ven si itu m em an g tidak dapat ditegakkan atau diterapkan oleh pengadilan . Sanksi kon ven si itu bersifat 339 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 140. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 252 politik, m eskipun pelan ggaran terhadap kon vensi ketata- n egaraan dapat juga disebut sebagai sesuatu yan g tidak kon stitusion al atau in kon stitution al. Mahkam ah Agung Kan ada juga m en erim a kriteria yang diajukan oleh Sir Ivor J en nin gs ten tan g konven si ketatan egaraan consti- tution al con v en tions. Kon ven si diakui tidak saja oleh para politisi, tetapi juga oleh m asyarakat luas pada um um n ya. Pada um um - n ya para sarjan a m engakui bahwa konven si itu m erupa- kan n orm a aturan yang m engikat un tuk um um . Seperti m isaln ya oleh G. Marshall dikatakan : “on the obligatory n ature of the conv entions dis- tinguishes betw een ‘positiv e m orality ’ subjective test an d ‘critical m orality ’ objective test, preferrin g the latter but n ot stating defin itely w hose opinion is to be taken ”. 340 Oleh karen a itu, legislasi perun dan g-un dangan dapat pula m en gakui atau m en yerap isin ya sebagaim ana m estinya Legislation m ay recogn ize or presuppose con v en tions. Kon ven si ketatan egaraan dapat diform ula- sikan ke dalam rum usan undang-un dan g, atau bahkan ke dalam rum usan undang-un dan g dasar. Misaln ya, the Statute of W estm inster tahun 1931 telah dim uat dalam berbagai konstitusi n egara-n egara anggota Persem akm uran atau Com m on wealth, 341 baik dengan efek pen erapan nya di pengadilan ataupun tidak w ith or w ithout justiciable effect. 342 Selain itu, kedudu- kan kon ven si ketatan egaraan In ggris juga terdapat dalam 340 Marshall, Op. Cit., catatan 18, hal. 11-12. 341 Ulasan dan ringkasan atas “Statute of Westminster” ini dapat dibaca dalam D.G. Cracknell, Cracknell’s Statutes: Constitutional and Adminis- trative Law, 3rd edition, London: Old Bailey Press, 2003, hal. 18-19. 342 Lihat de Smith, The New Commonwealth and its Constitution, 1964, hal. 51-52, dan 88-90; juga C. Samford and D. Wood, “Codification of Consti- tutional Conventions in Australia”, 1978, P.L. 231. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 253 Konstitusi Nigeria. Konven si dim aksud sam a sekali tidak diadopsi secara expresis v erbis dalam Kon stitusi. Akan tetapi, dalam praktik, konven si ketatanegaraan Inggris biasa digun akan dalam rangka m em ban tu para hakim m en afsirkan Kon stitusi Nigeria tersebut. 343 H ukum kon stitusi, bagaim anapun juga, dapat berdiri sen diri sebagai hukum , m eskipun n orm anya yang karen a sifatn ya yan g statis dapat tertin ggal dalam per- kem ban gan zam an . Sedan gkan , kon ven si dapat berkem - bang din am is, tetapi akan kehilan gan arti jika tidak didukun g oleh legal context. Setiap kon ven si ketata- negaraan constitutional conv entions pastilah terkait erat dengan satu atau beberapa norm a hukum terten tu. Kon ven si m em ben tuk sistem kabin et, m isaln ya, didasar- kan atas an ggapan bahwa aturan hukum yan g terkait dengan hal itu sebagai kekuasaan prerogatif Raja atau Ratu the Queen’s roy al prerogativ e, kewen angan m en teri, kon stitusi pem erin tahan departem en the con - stitution of gov ernm ent departm ents, dan kom posisi kean ggotaan parlem en . Artin ya, terdapat beberapa lapi- san peraturan perun dang-undan gan , kon ven si, dan fakta-fakta atau praktik politik political practices dalam setiap tin gkatan organ isasi pem erin tahan , term a- suk un dang-un dan g yan g m en gakui keberadaan kon ven - si. Sem en tara itu, kon vensi ketatanegaraan itu sen diri juga m engalam i proses pertum buhan dan tran sform asi. Seperti dikatakan oleh Baldwin : “The historian can probably tell y ou perfectly clearly w hat the constitution al practice of the coun try w as at any giv en period in the past, but it w ould be v ery difficult for a liv in g w riter to tell y ou at any given period in his lifetim e w hat the con stitution of the coun - try is in all respects, an d for this reason , that at alm ost 343 K.J. Keith, “The Courts and the Conventions of the Constitution”, 1967, 16 I.C.L.Q. 542. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 254 any given m om en t of our lifetim e, there m ay be on e pratice called ‘Con stitution al’ w hich is fallin g in to de- suetude and the m ay be an other practice w hich is creepin g into use but w hich is not y et called ‘con - stitution al”. 344 3 . Fu n gs i Ko n ve n s i Ke ta ta n e ga ra a n Konvensi ketatan egaraan constitutional con v en - tion m erupakan aturan politik rules of political beha- v iour yan g pen ting un tuk kelan caran bekerjan ya kon - stitusi. Pentingnya kon vensi ini, tidak saja berlaku di In ggris, tetapi juga di sem ua n egara yang m en genal un dan g-un dan g dasar tertulis. Seperti dikatakan oleh K.C. Wheare: 345 “in all countries, usage and conv ention are im por- tant and... in m any countries w hich hav e Con- stitutions usage and conv ention play as im portant a part as they do in England”. Kon ven si m em fasilitasi evolusi dan perubahan dalam diri konstitusi itu sen diri, sem entara ben tuk hukum n ya tetap tidak berubah Con v entions facilitate 344 H.C. Deb., vol. 261, ser. 5, col. 515, 1932, dalam O. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Op. Cit., hal. 141. 345 K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, 1966, hal. 122. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani, Konstitusi- Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 204. Perkataan usage and convention diterjemahkan secara tidak tepat oleh Muhammad Hardani dengan kebiasaan dan tradisi. Convention atau konvensi tidak sama dengan tradisi yang mempersyaratkan sifat immemorial dan sifat berulang- ulang. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebaiknya convention itu diter- jemahkan dengan memakai istilah aslinya saja yang memang sudah lazim dipakai dalam ilmu hukum tata negara, yaitu konvensi atau lebih tepatnya konvensi ketatanegaraan. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 255 ev olution an d change w ithin the con stitution w hile the legal form rem ain unchanged. 346 Dalam praktik, kon ven si ketatan egaraan dikem - bangkan untuk keperluan m engatur kewenangan diskresi yang bersifat terbuka. J ika kewen angan yan g bersifat terbuka tidak diatur, kebijakan kenegaraan state policy akan ditetapkan berdasarkan discretionary pow er yang san gat m un gkin tidak terkendali. H al dem ikian ten tu akan rawan terhadap pen yalahgun aan sem ata-m ata untuk kepentingan kekuasaan itu sen diri. Oleh karen a itu, pengertian kon vensi dapat dikaitkan den gan fungsi- n ya, yaitu un tuk m em batasi pen ggunaan diskresi kon - stitusional constitution al discretion . Den gan perkataan lain , kon ven si m erupakan n on- legal rules yang m engatur cara bagaim an a legal rules diterapkan dalam praktik. 347 Hubun gan an tara hukum dan kon ven si dapat dikatakan sangat pen ting dan m em pun yai karakteristik yang fun dam ental dalam sis- tem dan struktur ketatan egaraan . Bahkan , dalam pen ye- lenggaraan n egara kon stitusion al di seluruh dunia, kon - ven si ketatanegaraan terus tum buh dan berkem bang dalam praktik. Dapat dikatakan , tidaklah m ungkin m e- n yelesaikan berbagai perselisihan dan sengketa konsti- tusion al dalam praktik penyelen ggaraan n egara dengan han ya m en gandalkan rujukan kepada n orm a hukum it is im possible to settle con stitution al disputes m erely by reference to the state of the law . 348 Meskipun pengadilan tidak dapat m en erapkan atau m en en tukan sanksi atas pelan ggaran terhadap keten tuan kon ven si ketatan egaraan , tetapi pengakuan pengadilan terhadap adan ya kon ven si ketatan egaraan tersebut tetap m em pun yai arti pen ting bagi hakim dalam m en jatuhkan 346 Allen and Thompson, Op. Cit., hal. 241. 347 Ibid., hal. 242. 348 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 256 putusan atas perkara kon stitusi yan g diajukan kepada- n ya. Kon vensi dapat dipakai sebagai alat pen un jan g pe- n afsiran terhadap peraturan tertulis atau un tuk m en - dukung keputusan -keputusan hakim an aid to statutory in terpretation or to support judicial decisions. 349 4 . B e b e ra p a Co n to h Ko n ve n s i d i In d o n e s ia Dalam pelaksan aan un dan g-undan g dasar, banyak perubahan yang terjadi terhadap norm a yang terkandung di dalam nya tan pa m elalui proses perubahan form al, m elainkan han ya terjadi begitu saja m elalui kebiasaan ataupun kon ven si ketatan egaraan. Men urut Profesor Ism ail Suny, perubahan yan g terjadi dalam sistem pem e- rintahan berdasarkan UUD 1945, yakn i dengan diprak- tikkan n ya sistem pertan ggun gjawaban m en teri sebagai- m an a term uat dalam Maklum at Pem erin tah tan ggal 14 Novem ber 1945, m erupakan salah satu con toh kon ven si ketatanegaraan yang m engubah bun yi teks UUD 1945 m en gen ai pertan ggun gjawaban pem erin tahan. Seperti dikem ukakan oleh K.C. Wheare: “M any im portant changes in the w orking of a con stitution occur w ithout an y alteration in the rules w hich regulate a gov ernm ent, w hether they strictly legal or rules of custom and conv ention ”. 350 Oleh karena itu, konvensi ketatanegaraan atau the con v en tions of the con stitution m em pun yai kedudukan yan g san gat pen tin g dalam hukum tata n egara, dan dian ggap m em pun yai kekuatan yan g sam a dengan un dan g-un dan g, diterim a, dan dijalan kan seperti haln ya undang-undang. Bahkan, seringkali konvensi ketatane- garaan itu m en ggeser berlakun ya peraturan perun dang- undangan tertulis. Meskipun, lazim dipaham i bahwa hakim di pen gadilan tidak terikat untuk m elaksan akan 349 Ibid., hal. 262. 350 Wheare, Op. Cit., hal. 119. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 257 atau tidak m elaksanakan kon ven si ketatan egaraan ter- sebut, tetapi di luar pen gadilan kon ven si ketatan egaraan biasan ya ditaati seperti haln ya oran g m en aati un dang- undang. Sebagai con toh, seperti diuraikan oleh Moh. Kusn ardi dan H arm aily Ibrahim , dapat dikem ukakan di sin i m en genai kon ven si yan g berlaku atas keten tuan Pasal 17 Un dang-Undang Dasar 1945, pada m asa-m asa awal kem erdekaan . Menurut ketentuan Pasal 17 itu, 351 Menteri Negara adalah pem ban tu Presiden, dan karena itu bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam praktik ketatanegaraan pada tahun 1945 tern yata ketentuan m en gen ai Men teri Negara bertan ggun g jawab kepada Presiden tersebut, disim pan gi den gan dasar kon ven si ketatan egaraan. Keten tuan tersebut diubah, sehingga Menteri ditentukan harus bertanggun g jawab kepada Badan Pekerja Kom ite Nasion al In don esia Pusat KNIP yan g m erupakan lem baga sem acam DPR pada m asa sekarang. 352 H al itu dilakukan den gan dikeluarkann ya Mak- lum at Wakil Presiden Nom or X bertanggal 16 Oktober 1945, yang selan jutn ya diikuti oleh Maklum at Pem erin - tah tanggal 14 Nopem ber 1945, di m ana Kom ite Nasional In don esia Pusat KNIP yan g sem ula m em bantu Pre- siden dalam m enjalan kan wewen an gn ya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945, m enjadi badan yan g sederajat den gan Presiden, tem pat ke m an a para Menteri Negara diharuskan bertanggung jawab. Penger- tian dem ikian ini terus dipraktikkan m ulai dari kabin et 351 Pasal 17 UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan: 1 Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, 2 Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden, dan 3 Menteri-menteri itu memimpin depar- temen pemerintahan. 352 Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 258 Syahrir I, II, dan III, sam pai den gan kabin et Am ir Sjarifudin yang m en ggan tikan n ya. Dalam ran gka kon ven si ketatan egaraan itu, jelas terdapat un sur yang m en un jukkan bahwa suatu perbua- tan yang sam a berulang-ulang dilakukan, yang kem udian diterim a dan ditaati. Konven si dem ikian itu dapat pula disebut sebagai kebiasaan ketatanegaraan karen a di dalam n ya terkan dun g pen gulangan -pen gulan gan yang m en jadi ciri pokok adan ya kebiasaan . Kebiasaan -kebia- saan itu, term asuk kebiasaan ketatan egaraan , akan ber- kem ban g m en jadi hukum kebiasaan custom ary law apabila ia diberi sanksi legal sanction. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebiasaan ketatan egaraan ialah praktik dalam kehidupan ketatan egaraan yang dilakukan berulang kali, sehin gga ia diterim a dan ditaati dalam ke- giatan penyelen ggaraan n egara, walaupun tidak diang- gap sebagai hukum the law s of the Constitution . Nam un dem ikian , unsur perulan gan itu seben arn ya tidaklah bersifat m utlak. Un sur perulan gan m erupakan salah satu ciri kebiasaan , tetapi kon ven si itu sen diri tidak iden tik den gan kebiasaan . Ketika tin dakan yan g bersifat m en yim pan g dari norm a aturan tertulis yan g resm i per- tam a kali dilakukan , belum ada un sur perulan gan. Akan tetapi, tindakan yang baru pertam a kali itu sudah dapat diterim a sebagai kon ven si ketatan egaraan . Dengan dem i- kian, dalam pengertian konvensi ketatan egaraan terca- kup pengertian yang lebih luas daripada sekedar kebiasa- an ketatanegaraan. Di sam pin g kebiasaan , kon ven si m en cakup pula pengertian tin dakan-tin dakan usages atau praktik-praktik ketatanegaraan constitutional practices yan g diterim a dalam praktik pen yelenggaraan negara. Nam un harus dicatat bahwa kon ven si ketatan e- garaan itu sen diri pada hakikatn ya bukan lah hukum the Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 259 law s of the con stitution . Di sin ilah letak perbedaan n ya dengan keten tuan hukum the law of the con stitution yan g sudah tidak diragukan lagi keabsahan dan daya ikatn ya secara hukum . Kebiasaan ketatan egaraan , bagai- m an apun pentingnya, ia tetap m erupakan kebiasaan saja habbit an d custom yan g tidak m en gikat bagi para hakim . Di sam pin g itu, kebiasaan ketatanegaraan juga harus dibedakan dari kon ven si ketatan egaraan . Kebiasa- an ketatan egaraan tidak selalu dapat disebut sebagai kon ven si ketatan egaraan , sebab konven si dapat tim bul m eskipun sesuatu belum m enjadi kebiasaan. Misaln ya, suatu tin dak pen yim pangan dari keten tuan konstitusi, tetapi disepakati atau dibiarkan berlaku oleh sem ua pihak yan g terkait, m aka hal itu dapat diterim a sebagai kon ven si ketatan egaraan , m eskipun belum m en jadi kebiasaan sebagaim an a yang dim aksud di atas. Dengan dem ikian , kon ven si ketatan egaraan lebih luas cakupan pengertian n ya daripada kebiasaan ketatan egaraan . Sebagai con toh m en gen ai kon ven si ketatan egaraan yan g telah m enjadi kebiasaan dalam kehidupan ketata- n egaraan In donesia, sebagaim an a telah disin ggun g sebe- lum n ya, yaitu bahwa pada setiap tan ggal 16 Agustus, Presiden selalu m en gucapkan pidato ken egaraan di depan rapat paripurn a Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato ken egaraan tersebut pada hakikatn ya m erupakan lebih dari suatu laporan tahun an yan g bersifat in form atoris dari Presiden , karen a di dalam nya juga dim uat suatu ren can a m en gen ai kebijakan -kebijakan yan g akan ditem - puh pada tahun yang akan datan g. Pada m asa Presiden Soekarn o, pidato sem acam itu disam paikan lan gsun g di hadapan rakyat di depan istan a, , pada tiap tan ggal 17 Agustus, yan g disebut sebagai “Am an at 17 Agustus”. Me- n urut Presiden Soekarn o, pidatonya itu m erupakan pidato pertanggun gjawaban n ya sebagai Pem im pin Besar Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 260 Revolusi dan bukan pidato pertan ggungjawaban nya se- bagai Presiden . Pidato lain n ya yang juga dian ggap sebagai kon ven si ketatan egaraan adalah pidato yan g diucapkan sebagai keteran gan Pem erin tah ten tan g Ran can gan An ggaran Pen dapatan dan Belan ja Negara pada m inggu pertam a bulan J an uari setiap tahunnya. Isinya berupa hasil-hasil kegiatan n asional serta hasil pen ilaian tahun yang lalu dan ren can a anggaran pendapatan dan belanja n egara untuk tahun yan g akan datang. Setelah Orde Baru, Pida- to Presiden sebagai pen gantar nota keuan gan RAPBN in i selalu digabun gkan den gan ”Am an at 17 Agustus” ter- sebut di atas, sehingga tim bul konvensi baru, yaitu Pidato tanggal 17 Agustus ditiadakan dan digabun g m en - jadi Pidato Ken egaraan dan Pen yam paian Nota Keu- angan RAPBN di depan rapat paripurn a DPR pada setiap tan ggal 16 Agustus. Sekaran g, setelah Dewan Perwakilan Daerah DPD terbentuk sebagai hasil dari Pem ilu 20 0 4, tim bul tun- tutan agar DPD juga terlibat dalam forum persidangan DPR tanggal 16 Agustus itu. Nam un , karen a Peraturan Tata Tertib DPR-RI tidak m em ungkinkan hal itu, m aka akibatn ya, tim bul perbedaan pen dapat an tara DPR dan DPD. Un tuk m en gatasi hal tersebut Presiden , Ketua DPR, dan Ketua DPD m en gadakan kesepakatan bahwa un tuk DPD diadakan forum tersen diri di DPD, di m an a Presiden juga akan m en yam paikan pidato m en genai APBN yang berkaitan dengan kepen tingan daerah pada tanggal yan g berbeda, akan tetapi tetap pada bulan Agustus juga. J ika hal in i dianggap baik, tentunya akan terus dipraktikan sebagai kebiasaan ketatan egaraan yang diterim a. Nam un , saya sen diri tidak m engan ggap pen ting adan ya forum yan g tersen diri itu. Seharusn ya, keberada- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 261 an forum rapat paripurn a di DPR itu pun dievaluasi kem bali kegun aann ya. Apalagi, siklus an ggaran dewasa in i sudah berubah dari J an uari sam pai den gan Desem - ber. Sem en tara itu, di sam ping Dewan Perwakilan Rak- yat DPR sekaran g ada pula Dewan Perwakilan Daerah DPD. Majelis Perm usyawaratan Rakyat sebagai insti- tusi juga tetap ada. Dalam form at kelem bagaan dan kon figurasi fun gsi-fun gsi ketatan egaraan yang sudah berubah seperti itu, sudah seharusn ya m en jelang peraya- an H ari Kem erdekaan Republik In don esia setiap tahun , forum tahun an yan g diadakan un tuk itu haruslah ben ar- benar m erupakan forum yan g bersifat kerakyatan yang m em iliki m akn a sim bolik sebagai forum bersam a sem ua kom ponen bangsa. Oleh sebab itu, kepentingan-kepen - tin gan yan g bersifat teknis an ggaran negara haruslah dipisahkan dari agenda tahun an perayaan hari kem er- dekaan Republik Indon esia itu. Terlepas dari keseluruhan hal-hal tersebut di atas, satu hal yang pasti adalah bahwa kon ven si ketata- n egaraan selalu ada di setiap n egara. Beberapa con toh m en gen ai kebiasaan ketatan egaraan yan g terdapat di In ggris, m isaln ya, diten tukan bahwa seoran g Men teri ha- ruslah m em pun yai kedudukan sebagai seoran g an ggota parlem en . Ketika Patrick Gordon Walker yan g bukan an ggota parlem en dian gkat oleh Partai Buruh In ggris sebagai Men teri setelah pem ilihan um um pada bulan Ok- tober 1964, diharuskan m em peroleh keanggotaan H ouse of Com m ons. Untuk itu ia ikut dalam pem ilihan um um tam bahan susulan yan g diadakan setelah pem ilihan um um bulan Oktober tersebut. Sayangnya, dalam pem i- lihan um um itu, Patrick Gordon Walker tidak terpilih, sehingga akibatnya ia harus m eletakkan jabatannya seba- gai Menteri Luar Negeri. Ketentuan seperti ini tim bul dari praktik ketatan egaraan yang tidak tertulis di Inggris. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 262 Di Am erika Serikat, contoh dari kebiasaan ketata- n egaraan juga cukup banyak. Misalnya, seoran g calon Presiden Am erika Serikat dan Wakiln ya dipilih oleh kon - vensi partai politik yan g bersangkutan, baru kem udian dipilih oleh rakyat m elalui electoral college. 353 Contoh lain adalah m engenai tim buln ya sistem parlem enter di n egeri Belanda sebagai akibat dari perselisihan an tara Pem erin tah dan Parlem en pada tahun 18 66-18 68 atas m asalah daerah jajahan koloni. Dalam perselisihan itu, Parlem en m em pergun akan hak budgetnya un tuk m en o- lak ran can gan an ggaran pen dapatan dan belan ja n egara yan g diajukan oleh Menteri Keuan gan pada waktu itu. Pen olakan itu terkait den gan perselisihan yan g sedang dihadapi. Akibatnya, kabinet berhasil dijatuhkan v er- w erping v an de begrooting om reden en daar buiten gelegen. Sejak itu terjadi perubahan dalam sistem Pem erin - tahan di Kerajaan Belan da. Dalam sistem pertanggung- jawaban m en teri yang dian ut sem ula, pihak Pem erin tah selalu m em en an gkan perselisihan yan g terjadi dengan parlem en ov erw icht v an het cabin et. Setelah jatuhn ya kabin et karena pen olakan anggaran pen dapatan dan belan ja negara itu, m aka setiap kali ada perselisihan yang tim bul an tara Pem erin tah dan Parlem en , Parlem en lah yan g m enang, dan kabinet harus berhen ti. Sistem in i tidak diatur dalam Grondw et Kerajaan Belan da, tapi tim bul dan hidup sebagai kon vensi yang m enggeser 353 Barnes Noble, Op.Cit., hal. 29-30, “Through the development of political parties, the election of the President has been changed from the original plan of indirect choice by a small group of elections to a system of nomination and election in which the whole country participates”. Lihat juga Bernard Schwarts, Op.Cit., hal. 92-93, “The nominating organ of American parties has been a convention composed of representatives of the member of the party”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 263 keten tuan dalam Undan g-Undang Dasarn ya. 354 Contoh lain di Kerajaan Inggris ialah bahwa Raja atau Ratu akan m engan gkat Ketua Partai yang m enang dalam pem ilihan um um sebagai Perdana Menteri. 355 Kon ven si-kon ven si ketatanegaraan The Conv entions of the Constitution di Inggris jum lahn ya ban yak sekali, dan atas pen garuh pem ikiran A.V. Dicey dibedakan dari hukum konstitusi The Law of Constitution, karen a konven si tidak dapat dipaksakan berlakun ya atau tidak diakui oleh badan -badan peradilan . 356 Kon ven si-kon ven si ketatanegaraan itu an tara lain adalah kebiasaan custom s, praktik-praktik practices, asas-asas m axim s, atau tata aturan lainn ya yan g hidup dalam praktik. Misaln ya, kabin et yan g sudah tidak m en - dapat dukungan kepercayaan dari H ouse of Com m ons m ajelis ren dah akan m eletakkan jabatan n ya, Raja harus m engesahkan setiap ran can gan Un dan g-undang bill, H ouse of Lords m ajelis tin ggi tidak akan m en ga- jukan ran can gan Un dan g-un dang Keuangan m on ey bill. Betapapun pen tin gn ya kon ven si-kon ven si itu ber- laku dalam kehidupan ketatan egaraan , nam un oleh karen a ia bukan hukum the law s of the con stitution, 354 Kranenburg, Op.Cit, hal. 165-167. 355 Dicey, Op. Cit., hal. 42. “The party who for the time being command a majority in The House of Commons, have in general a right to have their leader placed in office. The most influential of these leaders ought generally speaking to be the premier, or head of the Cabinet”. 356 Ibid., hal. 417, “In an earlier part of this work stress was laid upon the essential distinction between the law of the constitution, which consisting as it does of rules enforced and recognized by the courts, makes up a body of laws in the proper sense consisting as they do of customs, practices, maxims or precepts which are not enforced or recognized by the courts, makes up a body not laws but of constitutional or political ethics”. Selanjutnya dalam hal. 420 dinyatakan “A Ministry which is outvoted in the House of Commons is in many cases bound to retire from office”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 264 m aka pelan ggaran yan g terjadi terhadap kon ven si-kon - ven si sam a sekali tidak dihiraukan oleh pen gadilan. Kon ven si-kon ven si ketatan egaraan in i sudah diken al dalam kon feren si-kon feren si Kerajaan In ggris Im perial Conferences di m asa lalu yan g m en gatur hubungan antara Kerajaan Inggris dan wilayah-wilayah Dom inion . Kon ven si m enetapkan cara-cara kerjasam a dan hubun gan an tar sesam a an ggota Persem akm uran Com m onw ealth Inggris, dan m en etapkan perun di- n gan -perun din gan di an tara m ereka den gan n egara- n egara asin g. Men gen ai terben tukn ya kon vensi-kon vensi itu, Sir Ivor J en n in gs m enyatakan , “som e of them , such as those expressed in resolutions of the im perial Confe- rences, are definite and clearly established”. Den gan perkataan lain , tim buln ya kon ven si ketatan egaraan tidak perlu atau tidak m utlak didasarkan atas the gradual cry stalisation of practice. 357 Konvensi dapat tim bul kapan saja, tidak m utlak harus bersifat berulan g-ulan g seperti dalam pengertian kebiasaan. Konvensi ketata- n egaraan tidak dapat diiden tikkan den gan kebiasaan ketatan egaraan . Kebiasaan ketatan egaraan dapat term a- suk pen gertian kon ven si ketatanegaraan, tetapi konvensi ketatan egaraan tidak han ya berbentuk kebiasaan ketata- n egaraan . Konven si dapat juga terbentuk secara tiba-tiba tan pa preseden yan g m en dahuluinya. Kon ven si juga tidak selalu m erupakan ketentuan yang tidak tertulis, yan g tim bul dari persetujuan agree- m ent, tapi dapat saja berbentuk tertulis. Konvensi itu m ungkin saja m erupakan persetujuan yang ditanda- tangani pem im pin -pem im pin n egara seperti antara Wakil Presiden Republik In donesia dan Badan Pekerja 357 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op Cit., hal. 29; Lihat juga pendapat Jennings dalam Law and the Constitution, Op Cit., hal. 133. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 265 pada tan ggal 16 Oktober 1945 atau suatu m em oran dum yang dikeluarkan setelah pem bicaraan an tara m en teri- m enteri seperti Maklum at Pem erintah pada tanggal 14 Nopem ber 1945. Contoh-contoh seperti in i dalam konsti- tusi In ggris adalah persetujuan yan g din yatakan bahwa suatu perubahan dalam hukum yan g berkenaan dengan pen ggan tian m ahkota succession atau gelar Raja m em erlukan pengesahan Parlem en dari sem ua Dom i- nion . Dem ikian pula m engenai pengesahan dari Parle- m en Kerajaan Inggris sendiri juga diperlukan . Kon ven si- konven si itu bahkan telah m en capai bentuk yan g lebih form il dalam un gkapan bahwa konvensi-kon vensi itu tercantum dalam bagian kedua Pen dahuluan pream ble Statute of W estm inster. Oleh karen a pream ble m en urut hukum tata n egara In ggris tidak m em pun yai akibat hukum , m aka keadaan itu han ya dian ggap sebagai faktor yan g m em perkuat berlakun ya kon ven si. Seperti telah dikem ukakan di atas, perubahan sistem pem erintahan di m an a m en urut UUD 1945 Men teri bertanggung jawab kepada Presiden diubah m en jadi pertan ggun gjawaban Men teri kepada Kom ite Nasional Pusat pada bulan Novem ber 1945. Perubahan itu adalah perubahan berdasarkan kon ven si ketatan e- garaan. Menurut pendapat A.G. Pringgodigdo, peru- bahan m enjadi sistem pertan ggun gjawaban para m enteri kepada Kom ite Nasion al Indon esia Pusat KNIP itu dila- kukan den gan m engubah Un dang-Undang Dasar. Pen dapat in i jelas tidak dapat diben arkan . Dalam ran gka m em berikan pem ben aran kon septual terhadap kebijakan m en gubah kon sep pertanggun gjawaban tersebut, A.G. Prin ggodigdo juga berpendapat bahwa perubahan itu se- olah didasarkan atas aturan yan g tegas juga tidak ber- dasar. Perubahan itu sem ata-m ata didasarkan pada kon - ven si ketatan egaraan the Conv ention of the Con stitu- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 266 tion yang bersifat m elengkapi hukum konstitusi the Law of the Constitution . Tidak ada ketentuan di dalam naskah Undang- Un dang Dasar 1945 yan g tegas atau yan g secara eksplisit m en gharuskan pertanggun gjawaban eksekutif pem erin - tah kepada lem baga perwakilan rakyat. Nam un dem i- kian, UUD 1945 juga tidak m elaran g dilakukan n ya prak- tik sem acam itu. 358 H al in i dapat dihubun gkan dengan pen dapat George J ellin ek yan g m em bedakan pen gertian Verfassungsanderung den gan pengertian Verfassungs- w andlung. Perubahan Undan g-Un dan g Dasar yang dengan sengaja dilakukan m en urut tata cara yan g diatur sen diri oleh Un dan g-Un dan g Dasar disebutn ya sebagai Verfassungsanderung, sedan gkan Verfassungsw and- lung m erupakan perubahan Undang-Undan g Dasar dengan cara-cara di luar yan g diatur sendiri dalam Un - dan g-Un dan g Dasar itu, yaitu cara-cara yang istim ewa seperti revolusi, coup d’etat, kon vensi, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal itu, perubahan ke arah sistem parlem enter tersebut m erupakan perubahan yan g dilaku- kan bukan m enurut tata cara yang diatur dalam Undang- Undang Dasar, m elain kan m en urut tata cara selain itu, yaitu berdasarkan kon vensi ketatan egaraan the conv en - tion of the constitution. 359 Kon ven si ketatan egaraan tidak hanya terdapat atau diterapkan di lin gkun gan n egara-n egara yan g m em - punyai konstitusi tidak tertulis, tetapi juga di negara-- n egara yang m em pun yai n askah un dang-un dan g dasar atau kon stitusi tertulis w ritten constitution. Bahkan , m un gkin saja kon ven si-kon ven si ketatan egaraan di 358 Lihat Ismail Suny, Op. Cit, hal. 29, juga A.K. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet, Op Cit., hal. 69. 359 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 267 n egara-n egara yan g terakhir ini justru m em egan g pera- n an yan g jauh lebih pen tin g. Men urut Bern ard Schwartz, konven si ketatanegaraan con stitution al con v en tion s telah berkem bang sedem ikian rupa dalam praktik ketata- n egaraan Am erika Serikat yan g artinya serin g kali sam a atau tidak dapat dibedakan dari keten tuan pasal-pasal yan g resm i dalam naskah un dang-un dang dasar atau kon stitusi yan g tertulis. 360 Ketika seorang Presiden Am erika Serikat m en gan g- kat anggota kabin etnya, m aka praktis m en urut hukum , ia m em pun yai kekuasaan un tuk m en etapkan siapa saja yan g ia sukai un tuk m asuk atau tidak m asuk dalam kabi- n etnya. Akan tetapi, akibat dari konven si ketatan egara- an, Presiden diharuskan m enjam in bahwa pelaksan aan kewenan gan yan g dim ilikin ya itu tidak akan m en gangkat oran g-orang dari n egara bagian sebelah Utara saja atau sebelah Selatan saja. Presiden harus berusaha m em - bicarakan penunjukan itu sedem ikian rupa, sehingga daerah-daerah utam a yan g dian ggap m em punyai arti politis yang pentin g dapat dipastikan akan terwakili dalam susunan kabin etnya. Dem ikian pula m isalnya, di In don esia, sulit untuk m em bayan gkan bahwa sem ua anggota kabin et han ya terdiri atas tokoh-tokoh dari suku J awa saja atau Sun da saja tan pa m em pertim ban gkan keragam an suku ban gsa di tan ah air kita. Secara psikologis-politis, m em ang harus diakui, tidaklah m udah un tuk m en yatakan hal itu secara eks- plisit dengan istilah yang biasa diken al sebagai suatu keten tuan atau form al rule. Oleh karena itu, m enurut 360 Ismail Suny, Op. Cit., hal. 29; Georg Jellinek, Verfassugsanderung und Verfassungswandlung, Eine staatsrechtlich politische Afhandlung, Berlin: Verslag von O. Haring, 1906, hal. 3; juga A.A.H. Struycken dalam pidato jabatannya membedakan antara “normale en abnormale rechtsvorming.” Lihat Positiefrecht Rede uit gesproken by de aanvaarding van het Hooglee- raarsambt aan de Universiteit van Amsterdam, op de 15e Oktober 1906, Amsterdam: Scheltema Holkema’s Boekhandel, 1906, hal. 20-21. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 268 Moh. Kusn ardi dan H arm aily Ibrahim , m un gkin tepat untuk m enyebut hal ini sebagai konvensi ketatanegaraan, di m an a seoran g Presiden dalam m elaksan akan kewe- n an gann ya untuk m en yusun kabin et, diharuskan un tuk berusaha m en gakom odasikan un sur-un sur yan g luas dalam kem ajem ukan m asyarakat In don esia. Begitu juga Presiden Am erika Serikat, m en urut konvensi, dipastikan selalu akan m en gakom odasikan beberapa unsur n egara bagian atau pertim ban gan utara dan selatan ke dalam susun an kabin etn ya. 361 Suatu kon ven si m un gkin akan m en yebabkan salah satu pasal dari Un dan g-Un dan g Dasar kon stitusi tidak berlaku. Dalam hal in i, sesun gguhn ya kon ven si tidak m en gubah Un dan g-Un dang Dasar Kon stitusi tersebut, han ya saja m en yebabkan pasal terten tu tidak dipakai dalam praktik ketatan egaraan . 362 Sebagai con toh, dapat dilihat dalam perubahan sistem pem erin tahan presiden - til m enjadi pem erintahan parlem en ter dalam pengala- m an praktik di In don esia pada tahun 1945. Seperti telah dijelaskan di atas, perubahan in i pada pokoknya bersifat m en gesam pin gkan keten tuan Pasal 17 Un dan g-Undang Dasar 1945. Dem ikian pula pada m asa pem erintahan Orde Lam a, m elalui Ketetapan MPRS Nom or III MPRS 1963 ditetapkan bahwa Presiden Soekarn o dian gkat m en jadi Presiden seum ur hidup. Ketetapan Majelis Perm usyawaratan Rakyat Sem entara in i dapatlah digolongkan kepada konven si yang terjadi karena diterim a secara um um atas dasar persetujuan bersam a. Akibat dari ketetapan tersebut, Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 m enjadi tidak berlaku. Ketetapan tersebut 361 Ismail Suny, dalam kuliahnya tahun 1970. Selanjutnya mengenai convention ini dapat dibaca dalam Wade and Phillips, Constitutional Law, 1975, pada Bab “Convention of the Constitution”, hal. 79-96. 362 Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 269 seben arnya tidak m engubah Undan g-Un dan g Dasar 1945 secara form al, tetapi telah m enyebabkan pasal tersebut tidak berlaku dalam praktik. Ketetapan tersebut kem udian dicabut oleh Ketetapan Majelis Per- m usyawaratan Rakyat Sem en tara Nom or XVIII MPRS 1966. Ten tu saja dapat diperdebatkan perbedaan an tara tin dakan yan g berten tan gan atau pelanggaran terhadap kon stitusi den gan kon ven si kon stitusi. Apakah sem ua bentuk pelanggaran UUD juga dapat dikategorikan sebagai kon vensi ketatanegaraan . Kunci jawaban atas m asalah itu terletak pada persetujuan bersam a dan pen e- rim aan oleh um um public support atas tindakan ke- tatanegaraan yang diam bil. Hanya saja sekarang tinggal lagi yan g m enjadi m asalah ialah bagaim ana m engukur ada-tidakn ya atau m em enuhi syarat atau tidakn ya public support yan g sifatn ya san gat relatif itu. Pada m ulan ya, tin dakan itu dapat dian ggap sebagai pelan ggaran terhadap kon stitusi. Akan tetapi, jika perubahan itu dite- tapkan berdasarkan kesepakatan bersam a di an tara sem ua pihak yang terkait dan selanjutn ya hal itu diang- gap sudah m en jadi ken yataan yan g diterim a oleh um um sebagai praktik yang baik dan berguna, m aka atas dasar itulah ben tuk pelan ggaran kon stitusi tersebut dapat disebut sebagai kon vensi ketatan egaraan the con v ention of the constitution yang dianggap m engikat dalam prak- tik, m eskipun tetap tidak m en gikat bagi para hakim di pengadilan. Dem ikian pula kon vensi ketatan egaraan yang dilakukan berkenaan dengan perubahan UUD 1945. Bab XVI Pasal 37 ayat 1 dan 2 UUD 1945 sam a sekali tidak m en en tukan bahwa un dan g-undan g dasar dapat atau harus diubah dengan cara terten tu yan g biasa dilakukan m en urut tradisi Am erika Serikat, yaitu m elalui n askah am andem en yan g terpisah dari teks asli un dan g-un dang Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 270 dasar. 363 J ika ditelusuri secara seksam a dengan m elihat kem bali the original fram ers’ intent atas keten tuan Pasal 37 ayat 1 dan 2, jelas bahwa yan g dim aksud adalah perubahan dengan cara pen yusun an teks baru sam a sekali. Perubahan dan usaha penyusun an n askah baru itu pun bahkan sudah berkali-kali dilakukan, seperti dengan pen ggan tian UUD 1945 den gan Konstitusi RIS Tahun 1949, kem udian den gan UUDS Tahun 1950 , usaha penyusun an Kon stitusi tetap oleh Kon stituan te, lalu pem berlakuan kem bali n askah UUD 1945 beserta Penje- lasan n ya pada tahun 1959. Sem ua usaha tersebut di atas, m en ggam barkan jalan pikiran yang terkandung dalam keten tuan Bab XVI Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 m em ang m en ghen daki perubahan m elalui penggantian . Dengan perkataan lain , bagaim ana ben tuk perubahan itu tidak ditentukan den gan jelas. Akan tetapi, karen a sistem hukum In don esia ban yak dipen garuhi oleh tradisi Eropa Kon tin ental, m aka ten tun ya tradisi perubahan konstitusi m odel Eropa Barat pulalah yang lebih dekat dengan m aksud pen yusun UUD 1945, yaitu m elalui m etode perubahan atau penyem purnaan dalam teks. Nam un , sejak Perubahan Pertam a UUD 1945 pada tahun 1999, dilan jutkan dengan Perubahan Kedua 20 0 0 , Perubahan Ketiga 20 0 1, dan Perubahan Ke- em pat 20 0 2, perubahan-perubahan itu dilakukan m e- nurut tradisi Am erika Serikat, yaitu dengan n askah lam piran appen dix. Pada saat dim ulain ya pen erapan m etode lam piran in i pada tahun 1999, pilihan ini dapat dikatakan sebagai penyim pan gan dari m aksud Pasal 37 UUD 1945, tetapi diterim a dengan baik oleh sem ua pihak sebagai cara yan g dianggap kon stitusional. 363 Lihat pada BAB XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 271 Selanjutnya, setelah m etode perubahan ini dilaku- kan berulan g-ulan g, cara in i pun berkem ban g m en jadi kebiasaan constitutional custom yan g baik dalam prak- tik ketatan egaraan In don esia berdasarkan UUD 1945. Baik keputusan pertam a un tuk m enerapkan m etode in i m aupun keputusan -keputusan selan jutnya, setelah hal itu m en jadi kebiasaan karen a telah terjadi berulang- ulan g, sam a-sam a diken al dengan sebutan yang diistilah- kan oleh A.V. Dicey yaitu the con v en tions of the con stitu- tion, bukan the law s of the constitution. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 272 Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 273 B AB V P EN AFS IRAN D ALAM H U KU M TATA N EGARA

A. P e n a fs ira n d an An a to m i Me to d e Ta fs ir

Penafsiran m erupakan kegiatan yan g san gat pen - tin g dalam hukum dan ilm u hukum . Penafsiran m erupa- kan m etode un tuk m em aham i m akn a yan g terkandung dalam teks-teks hukum un tuk dipakai dalam m en yelesai- kan kasus-kasus atau m en gam bil keputusan atas hal-hal yan g dihadapi secara kon krit. Di sam pin g itu, dalam bidang hukum tata n egara, penafsiran dalam hal in i judicial interpretation penafsiran oleh hakim , juga dapat berfun gsi sebagai m etode perubahan konstitusi dalam arti m en am bah, m en guran gi, atau m em perbaiki m akn a yan g terdapat dalam suatu teks un dan g-un dang dasar. Seperti dikem ukakan oleh K.C. Wheare, un dan g- un dan g dasar dapat diubah m elalui i form al am and- m ent, ii judicial in terpretation, dan iii constitutional usage and conv entions. 364 Dikaren akan pentin gnya hal tersebut di atas, m aka dalam setiap buku teks ilm u hukum lazim diuraikan ada- n ya berbagai m etode pen afsiran . Ban yak sarjan a hukum yan g m em bagi m etode pen afsiran ke dalam 5 lim a m acam m etode pen afsiran , dan 3 tiga m acam m etode kon struksi. Dalam hal in i, m etode konstruksi dian ggap tidak term asuk ke dalam pen gertian pen afsiran. Tetapi, ada pula sarjan a yan g m en gan ggap m etode kon struksi itu tiada lain m erupakan varian saja atau term asuk ben - tuk lain dari m etode penafsiran juga, sehingga m acam 364 Wheare, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 274 dan jen is m etode pen afsiran itupun dikelom pokkan secara berbeda dari sarjana lainnya. 365 Saya sen diri, dalam buku terdahulu, telah m en gu- raikan adan ya 9 sem bilan teori pen afsiran yang ber- beda penggam baran n ya dari apa yan g dikem ukakan oleh Arief Sidharta. Kesem bilan teori pen afsiran tersebut adalah: 366 1 Teori pen afsiran letterlijk atau harfiah w hat does the w ord m ean? Penafsiran yan g m en ekan kan pada arti atau m akna kata-kata yang tertulis. Misalnya, kata serv ants dalam Kon stitusi J epan g Art. 15 2, “All public officials are serv ants of the w hole com m un ity an d n ot of an y group thereof”. Con toh yan g lain m engenai kata a natural association dalam Art. 29 ayat 1 dan kata the m oral dalam ayat 2 Kon stitusi Italia yang m en yatakan : “1 The R epublic recognizes the rights of the fam ily as a n atural association foun ded on m arriage; 2 Marriage is based on the m oral an d legal equality of the spouses, w ithin the lim its laid dow n by law to safeguard the un ity of the fam ily ”. Contoh berikutn ya lagi, m isalnya terlihat pada kata inconsistent dalam ayat 1 Article 13 Kon stitusi In dia, yaitu: “All law s in force in the territory of India im m ediately before the com m en cem en t of this Con stitution, in so far 365 Lihat dan bandingkan pendapat sarjana yang memasukkan metode intepretasi penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum yang dilakukan dengan cara Interpretasi Gramatikal kebahasaan, Sistematis logis, Historis, dan Teleologis sosiologis. Lihat, misalnya, Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hal. 131-134. 366 Jimly Asshiddiqie, Teori Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, cet. I, Jakarta: Ind. Hill Co., 1997, hal. 17-18. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 275 as they are incon sisten t w ith the provision s of this Part, shall, to the exten t of such in con sisten cy , be void”. 2 Teori pen afsiran gram atikal atau interpretasi bahasa w hat does it linguistically m ean? Penafsiran yang m en ekankan pada m akna teks yan g di dalam n ya kaidah hukum dinyatakan . Pern afsiran dengan cara dem ikian bertolak dari m akn a m enurut pem akaian bahasa sehari-hari atau m akn a tekn is-yuridis yan g lazim atau dian ggap sudah baku. 367 Menurut Visser’t H oft di n egara-n egara yan g m engan ut tertib hukum kodifikasi, m aka teks harfiah un dan g-un dang san gat pen tin g. Nam un , penafsiran gram atikal saja di- anggap tidak m encukupi, apalagi jika m engen ai norm a yan g hen dak ditafsirkan itu sudah m en jadi perdebatan . 368 3 Teori pen afsiran historis w hat is historical backgroun d of the form ulation of a text Penafsiran historis m en cakup dua pen gertian : i penafsiran sejarah perum usan un dan g-un dang; dan ii penafsiran sejarah hukum . Pen afsiran yan g pertam a, m em fokuskan diri pada latar belakang sejarah perum u- san naskah. Bagaim ana perdebatan yan g terjadi ketika n askah itu hendak dirum uskan. Oleh karen a itu yang di- butuhkan adalah kajian m en dalam ten tang notulen - 367 Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterje- mahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ. Parahiayangan, 2001, hal. 25. 368 Ibid., hal. 26. Misalnya, basis sistem ekonomi sosialis Cina, seperti dalam Art. 6 ayat 1 Konstitusi Cina: 1 “The basis of the socialist economic system of the Peoples Republic of China is socialist public ownership of the means of production, namely, ownership by the whole people and collective ownership by the working people”; dan makna dari sistem kepemilikan publik, seperti dalam Art 6 ayat 2 “The system of socialist public ownership supersedes the system of exploitation of man by man; it applies the principle of from each according to his ability, to each according to his work”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 276 n otulen rapat, catatan -catatan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam ben tuk tulisan ilm iah m aupun kom en tar tertulis yang pern ah dibuat, otobiografi yan g bersan gkutan , hasil wawan cara yang dibuat oleh wartawan den gan yang bersan gkutan , atau wawan cara khusus yang sengaja dilakukan untuk keperluan m enelaah peristiwa yang bersan gkutan . Pen afsiran kedua, m en cari m akn a yang dikaitkan den gan kon teks kem asyarakatan m asa lam pau. Dalam pen carian m akn a tersebut juga kita m erujuk pendapat-pendapat pakar dari m asa lam pau, term asuk pula m erujuk kepada norm a-norm a hukum m asa lalu yan g m asih relevan . 369 4 Teori pen afsiran sosiologis w hat does social context of the ev ent to be legally judged Kon teks sosial ketika suatu n askah dirum uskan dapat dijadikan perhatian untuk m en afsirkan n askah yan g bersan gkutan. Peristiwa yan g terjadi dalam m asya- rakat acapkali m em pengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirum uskan . Misalnya, pada kalim at “dipilih secara dem okratis” dalam Pasal 18 ayat 4 Un dan g- Un dang Dasar 1945 yan g m en yatakan , “Gubern ur, Bupati, dan W alikota m asing-m asing sebagai kepala pem erintah daerah prov insi, kabupaten, dan kota di- pilih secara dem okratis.” 5 Teori pen afsiran sosio-historis asbabunnuzul dan asbabulw urud, w hat does the social con text behin d the form ulation of the text Berbeda dengan pen afsiran sosiologis, pen afsiran sosio-historis m em fokuskan pada konteks sejarah m a- syarakat yan g m em pen garuhi rum usan naskah hukum . Misaln ya, ide persam aan dalam teks kon stitusi Republik 369 Ibid., hal. 29.