N ilai d a n S ifa t Ko n s titu s i 1. N ilai

Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 137 dijadikan jargon, sem boyan , ataupun “gin cu-gin cu keta- tanegaraan” yang berfun gsi sebagai pem anis dan sekali- gus sebagai alat pem ben aran belaka. Dalam setiap pi- dato, norm a-norm a kon stitusi itu selalu dikutip dan dija- dikan dasar pem ben aran suatu kebijakan, tetapi isi ke- bijakan itu sam a sekali tidak sungguh-sungguh m elaksa- n akan isi am anat n orm a yan g dikutip itu. Kebiasaan se- perti ini lazim terjadi di banyak negara, terutam a jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia m eka- n ism e untuk m en ilai kon stitusion alitas kebijakan-kebi- jakan ken egaraan state’s policies yan g m ungkin m e- n yim pan g dari am an at un dan g-un dang dasar. Dengan dem ikian , dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian - bagian terten tu ataupun keseluruhan isi undan g-undang dasar itu, dapat bern ilai sem an tik saja. Sem en tara itu, pen gertian -pen gertian m en gen ai sifat kon stitusi biasanya dikaitkan den gan pem bahasan ten tang sifat-sifatn ya yang lentur fleksibel atau kaku rigid, tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang for- m il atau m ateriil. Men genai sifat-sifat konstitusi ter- sebut, dapat diuraikan sebagai berikut. 2 . Ko ns titusi Fo rm il dan Materiil Kon stitusi, constitution Am erika Serikat, atau v erfassung J erm an, dibedakan dari un dang-undang dasar atau grundgesetz J erm an ataupun gron dw et Be- landa. Dikaren akan kesalahpaham an dalam cara pan - dan gan ban yak orang m en gen ai kon stitusi, m aka penger- tian konstitusi itu serin g diiden tikkan dengan pen gertian un dang-un dan g dasar. Kesalahan in i disebabkan an tara lain oleh pen garuh paham kodifikasi yan g m en ghen daki sem ua peraturan hukum dibuat dalam ben tuk yan g ter- tulis w ritten docum ent dengan m aksud un tuk m en - capai kesatuan hukum unifikasi hukum , kesederhanaan hukum , dan kepastian hukum rechtszekerheid. Begitu besar pengaruh paham kodifikasi ini, m aka di seluruh Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 138 dun ia berkem bang an ggapan bahwa setiap peraturan , di- karen akan pen tin gn ya m aka harus ditulis, dan dem ikian pula dengan konstitusi. Di zam an m odern sekarang in i, dapat dikatakan ban gsa Am erika Serikatlah yan g per- tam a m enuliskan konstitusi dalam satu n askah, m eski- pun leluhur m ereka di Inggris tidak m engenal n askah kon stitusi yan g tertulis dalam satu n askah. Oleh karena itu, dalam bahasa In ggris dan Am e- rika, tidak tersedia kata yang tepat untuk m enggam bar- kan perbedaan an tara kon stitusi dan un dan g-un dan g dasar sebagaim an a perbedaan an tara kedua pengertian in i dalam bahasa J erm an, Perancis, Belan da, dan n ega- ra-n egara Eropa Kontin en tal lain n ya. Dalam bahasa J erm an jelas dibedakan an tara v erfassung dan gerund- gesetz, atau dalam bahasa Belan da antara constitutie dan gron dw et. Un tuk m em aham i perbedaan m engen ai kedua pengertian konstitusi dan un dan g-un dan g dasar itu, kita dapat m enggun akan antara lain pan dan gan H er- m ann H eller sebagai rujukan . Dari pandangan H er- m ann H eller ini jelas tergam bar bahwa konstitusi itu m em an g m em pun yai arti yan g lebih luas dari pada un dan g-un dan g dasar. H erm an H eller m em bagi konsti- tusi itu dalam tiga fase pen gertian , yaitu: 194 1 Pada m ulan ya, apa yan g dipaham i sebagai kon sti- tusi itu m encerm inkan kehidupan politik di dalam m asyarakat sebagai suatu ken yataan Die politische v erfassung als gesellschaftliche w irklichkeit dan ia belum m erupakan kon stitusi dalam arti hukum ein rechtsv erfassung. Den gan perkataan lain , Konsti- tusi itu m asih m erupakan pen gertian sosiologis atau politis dan belum m erupakan pen gertian hukum . 194 Heller, Op. Cit., hal. 249 dst. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 139 2 Setelah orang m en cari un sur-un sur hukum nya dari kon stitusi yan g hidup di dalam m asyarakat itu un - tuk dijadikan satu kesatuan kaidah hukum , barulah konstitusi itu disebut sebagai rechtv erfassung die verselbstan digte rechtsv erfassung, yaitu kon stitusi dalam arti hukum . 3 Kem udian m un cul pula kebutuhan un tuk m en ulis- kan konstitusi itu dalam satu n askah terten tu se- hingga oran g m ulai m en ulisn ya dalam suatu naskah tertulis sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu n egara. 195 Den gan dem ikian , apabila pengertian un dan g-un - dan g dasar itu dihubun gkan dengan pengertian konsti- tusi, m aka arti un dan g-un dan g dasar itu barulah m eru- pakan sebagian dari pengertian konstitusi yaitu konsti- tusi yang ditulis die geschrieben v erfassung. Dalam arti in ilah konstitusi itu bersifat juridis atau rechtsv er- fassung, yaitu sebagai un dan g-un dang dasar atau ge- rundgesetz. Sedangkan, konstitusi dalam arti yang luas tidak hanya bersifat yuridis sem ata-m ata, akan tetapi juga bersifat sosiologis dan politis yan g tidak disebut sebagai un dan g-un dan g dasar, n am un term asuk dalam pengertian konstitusi. Setiap rechtv erfassung harus m em enuhi dua sya- rat, yaitu syarat m en gen ai bentukn ya dan syarat m en gen ai isin ya. Ben tukn ya dipersyaratkan harus be- rupa n askah tertulis sebagai un dan g-un dang yang ter- tin ggi yan g berlaku dalam suatu n egara. Isin ya m eru- 195 Ibid., hal. 249, “Die Politische Verfassung als gesellschaftliche Wirklichkeit”; hal. 259, “Die verselbstandeigte Rechtsverfassung”; hal. 270, “Die geschriebene Verfassung”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 140 pakan peraturan yan g bersifat m en dasar atau fun da- m en tal. Artinya, tidak sem ua m asalah yang pen ting ha- rus dim uat dalam konstitusi, m elain kan hal-hal yang bersifat pokok, dasar, atau asas-asasn ya saja. Men urut paham kodifikasi, sem ua m asalah yan g pen tin g harus dim uat dalam un dan g-un dan g dasar. Nam un kem udian disadari bahwa tidak sem ua hal yan g pen tin g m erupakan hal yang bersifat pokok atau m endasar, sehin gga tidak m un gkin seluruh hal yan g dianggap pen tin g harus ditulis dalam n askah un dan g-un dan g dasar. Selain dikaren akan sifat hukum itu sen diri selalu berubah sesuai den gan tun - tutan perkem bangan zam an , isi un dan g-un dang dasar itu han ya m eliputi hal-hal yang bersifat garis besar saja. Pelaksan aan n orm a-n orm a konstitusi itu dapat diatur lebih lan jut dalam peraturan-peraturan yang lebih ren dah, sehin gga lebih m udah diubah sesuai den gan ke- butuhan . Alasan keberatan un tuk m em uat seluruh m asa- lah yan g pen tin g dalam Un dan g-Un dan g Dasar juga dise- babkan karena seringnya terjadi perubahan dalam n as- kah un dang-undang dasar. J ika naskah un dan g-undang dasar disusun terlalu rin ci, m aka hal itu dapat m enye- babkan kewibawaan un dan g-un dan g dasar m en jadi m e- rosot. Un tuk m encegah terjadinya hal dem ikian, m aka undang-undang dasar hanya m em uat hal-hal yang bersifat dasar saja. Den gan perkataan lain , un dang-un dan g dasar ada- lah sebagian saja dari pen gertian kon stitusi. Isin ya han ya bersifat garis-garis besar sebagai norm a hukum tertinggi yan g berlaku di suatu negara. H an ya ada beberapa sar- jan a saja yan g m en gan ut pan dan gan yan g m engiden tik- kan konstitusi den gan undang-un dan g dasar. Pen yam a- an pengertian kedua hal itu, seben arnya, sudah dim ulai sejak Oliver Crom well Lord Protector Kerajaan Inggris 1649-1660 yan g m en am akan Un dan g-Undang Dasar itu Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 141 sebagai in strum ent of gov ernm ent. Un dan g-Undang Dasar Crom well itu dibuat sebagai pegan gan dalam m en - jalan kan tugas-tugas pem erin tahan , dan di sin ilah tim bul iden tifikasi atas pen gertian Kon stitusi dan Un dang- Un dang Dasar. Pengertian Konstitusi m en urut Lord Oli- ver Crom well itu kem udian diadopsi oleh Am erika Se- rikat pada tahun 178 7, dan selan jutn ya oleh Lafayette di- kem ban gkan di Peran cis pada tahun 178 9. Pengan ut paham m odern yang juga m enyam akan pengertian kon stitusi den gan undang-un dan g dasar, m e- nurut Moh. Kusn ardi dan H arm aily Ibrahim , 196 adalah Lasalle. Dalam bukunya ”Uber Verfassungsw esen ”, 197 La- salle m enyatakan bahwa konstitusi yang sesun gguhn ya m en ggam barkan hubun gan an tara kekuasaan yan g ter- dapat di dalam m asyarakat. Golon gan -golon gan yan g di- m aksud adalah golongan yang m em pun yai kedudukan n yata di dalam m asyarakat rieele m achtsfactoren, m i- salnya Kepala Negara, Angkatan Perang, Partai-partai Politik, kelom pok-kelom pok pen ekan pressure group, buruh, tan i, pegawai, dan lain sebagain ya. Den gan pan - dan gan nya yan g dem ikian , Lasalle m enghen daki agar sem ua hal yan g pentin g dituliskan dalam n askah kon - stitusi in einer Urkun de auf einem Blatt Papier alle lnstitution en und R egierings prin zipien des lan des. Dem ikian pula halnya dengan Struycken yang m en gan ut paham m odern . Men urut Struycken , kon sti- tusi adalah undan g-un dan g dasar. Men urut Struycken , kon stitusi itu selalu m em uat garis-garis besar dan asas- 196 Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit. 197 Heller, Staatslehre, Op. Cit., hal. 249, “Von dieser ‘wirklichen’ Verfas- sung die zu jeder zeif jedes Land gehabt hat, sagt Lasalle in seinem bekanten Vortrag ‘Uber Verfassungenswesen’ 1862 sind sie nicht die geschriebene Verfassung oder das Blatt Papier, sondern die in einem lande bestehenden tatsachlichen Machtsverhaltnisse”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 142 asas yan g m en dasar tentan g organ isasi n egara. 198 Dengan dem ikian , kon stitusi tidak perlu m en cerm in kan seluruh m asalah yang pen ting secara lengkap, sebab konstitusi sem acam itu akan m en galam i kesulitan dalam m engikuti perkem ban gan m asyarakat. Adalah tugas pem buat un - dan g-un dan g legislator un tuk m en gkhususkan kon sti- tusi sesuai den gan perkem bangan m asyarakat. 3 . Lu w e s Fle xib le a ta u Kaku R ig id Naskah kon stitusi atau un dan g-un dang dasar dapat bersifat luwes flexible atau kaku rigid. Ukuran yang biasan ya dipakai oleh para ahli un tuk m enen tukan apa- kah suatu un dang-undang dasar itu bersifat luwes atau kaku adalah i apakah terhadap naskah konstitusi itu di- m un gkin kan dilakukan perubahan dan apakah cara m e- n gubahn ya cukup m udah atau sulit, dan ii apakah n as- kah konstitusi itu m udah atau tidak m udah m engikuti perkem ban gan kebutuhan zam an . Un tuk m en entukan apakah suatu n askah kon stitusi bersifat luwes atau tidak, m aka pertam a-tam a kita dapat m em pelajari m engenai kem ungkin ann ya berubah atau tidak, dan bagaim ana pula perubahan itu dilakukan. Pa- da um um n ya, dalam setiap n askah un dan g-un dang da- sar, selalu diatur tata cara perubahan konstitusi itu sen- diri dalam pasal-pasal atau bab yang tersen diri. Peruba- han -perubahan yang dilakukan m enurut tata cara yang diten tukan sen diri oleh un dan g-un dan g dasar itu din a- m akan v erfassungs-an derung. Ketentuan m en gen ai pe- rubahan tersebut selalu ditentukan dalam un dan g-un - dan g dasar itu sen diri, karen a walaupun dim aksudkan 198 Lihat Struyeken A.A.H., Het staatsrecht won het Komisikrijk der Neder- landen, 1915. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 143 untuk jan gka waktu yan g lam a, teks suatu un dang-un- dan g dasar selalu cen derun g un tuk tertin ggal dari per- kem ban gan m asyarakat. Pada saat perubahan m asya- rakat sudah sedem ikian rupa, selalu m uncul kebutuhan objektif un tuk m engadakan perubahan pula atas teks un dan g-un dan g dasar. Nam un dem ikian , karena kon stitusi itu pada haki- katnya m erupakan hukum dasar yang tertinggi dan m en - jadi dasar bagi berlakunya peraturan perundang-unda- n gan lain nya yan g lebih ren dah, m aka para pen yusun atau perum us un dan g-un dan g dasar selalu m en ganggap perlu m en entukan tata cara perubahan yan g tidak m u- dah. Den gan prosedur yan g tidak m udah, m aka m en jadi tidak m udah pula oran g untuk m en gubah hukum dasar n egaran ya, kecuali apabila hal itu m em an g sun gguh- sun gguh dibutuhkan karen a pertim ban gan yan g objektif dan untuk kepen tin gan seluruh rakyat, serta bukan un - tuk sekedar m em enuhi keinginan atau kepen tingan sego- lon gan oran g yang berkuasa saja. Oleh karen a itu biasa- n ya prosedur perubahan un dan g-un dang dasar diatur se- dem ikian berat dan rum it syarat-syaratn ya, sehingga un - dan g-un dan g dasar yan g bersan gkutan m enjadi san gat rigid atau kaku. Tetapi sebalikn ya, ada pula un dan g-un dang dasar yan g m en syaratkan tata cara perubahan yan g tidak ter- lalu berat dengan pertim bangan untuk tidak m em per- sulit perubahan , sehin gga un dan g-un dan g dasar dapat disesuaikan den gan tun tutan perubahan zam an . Kon sti- tusi yan g dem ikian dapat dikatakan sebagai konstitusi yan g fleksible atau luwes. Misalnya, ada un dang-undang dasar yan g perubahan n ya tidak m em erlukan cara yang istim ewa, m elainkan cukup dilakukan oleh lem baga pem buat un dan g-un dang biasa. Sebalikn ya, ada pula Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 144 Kon stitusi yang m en etapkan syarat perubahan dengan cara yang istim ewa, m isaln ya dalam sistem parlem en bi- kam eral, harus disetujui lebih dulu oleh kedua kam ar parlem enn ya. Kon stitusi yan g dem ikian dapat disebut bersifat rigid. 199 Negara-n egara yan g m em pun yai Kon stitusi yang bersifat luwes flexible um pam anya adalah New Zealan d dan Kerajaan ln ggris yan g diken al tidak m em iliki kon - stitusi yang tertulis. 20 0 Sedangkan , kon stitusi atau un - dan g-un dan g dasar yan g bersifat kaku rigid, m isaln ya, adalah Kon stitusi Am erika Serikat, Australia, Can ada dan Swiss. 20 1 Mem an g harus diakui bahwa un tuk m en en tukan sifat flexible atau rigid suatu undang-undang dasar se- benarnya tidaklah cukup han ya den gan m elihat dari segi cara m en gubahn ya. Dapat saja terjadi suatu undan g-un - dan g dikatakan bersifat rigid, tetapi dalam ken yataan n ya dapat diubah tan pa m elalui prosedur yan g diten tukan sen diri oleh un dan g-un dang dasarnya v erfassungsan- derung, m elainkan diubah m elalui prosedur di luar ketentuan konstitusi v erfassungsw andlung, seperti m elalui revolusi atau dengan constitutional conv en- tion. 20 2 Untuk undang-undang dasar yang tergolong flek- sibel, perubahan n ya kadan g-kadang cukup dilakukan han ya dengan the ordinary legislativ e process seperti di 199 Strong, Op. Cit., hal. 140 dst., dan Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Op Cit., hal. 60-61. 200 Ibid., hal. 152. 201 Ibid. 202 Georg Jellinek tentang Verfassungswandlung dan Vergassungsanderung, perubahan konstitusi dengan cara biasa dan dengan cara yang tidak biasa, seperti convention. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 145 N ew Zealand. 20 3 Sedan gkan , untuk un dan g-un dan g da- sar yang diken al kaku atau rigid, prosedur perubahan nya dapat dilakukan : a. oleh lem baga legislatif, tetapi den gan pem batasan - pem batasan terten tu; b. oleh rakyat secara langsung m elalui suatu referen- dum ; c. oleh utusan n egara-n egara bagian , khusus di n egara- n egara serikat; atau d. den gan kebiasaan ketatan egaraan, atau oleh suatu lem baga n egara yan g khusus yan g diben tuk han ya un tuk keperluan perubahan . 20 4 Menurut K.C. Wheare, ada tiga cara untuk m engu- bah undang-undang dasar, yaitu i form al am endm ent atau perubahan resm i, ii constitutional conv en tion atau konven si ketatanegaraan, dan iii judicial interpretation atau pen afsiran pen gadilan . 20 5 Oleh karena itu, peruba- han dalam arti penyem purn aan terhadap un dang- undang dasar tidak selalu harus dilakukan den gan cara form al am an dm ent, tetapi dapat pula dilakukan dengan kon ven si ketatanegaraan . Misaln ya, ada suatu pasal da- lam un dan g-un dan g dasar yan g resm in ya m asih berlaku, tetapi dalam praktik pasal itu sudah tidak dipakai lagi dalam rangka pen yelen ggaraan kegiatan ken egaraan sehari-hari. Misaln ya, m engen ai pem ilihan Presiden di Am erika Serikat. Pasal 2 UUD Am erika Serikat yang ter- tulis sekaran g tidak lagi dijalankan dalam praktik, walau- pun secara resm i belum pernah dinyatakan tidak ber- 203 K.C. Wheare, Modern Constitutions, London: Oxford University, 1960, hal. 121. 204 Strong, Op. Cit., hal. 153. Lihat juga Soemantri, Op. Cit., hal. 69. 205 Wheare, Op. Cit. Lihat juga Ismail Suny, “Undang-Undang Dasar 1945 dan Referendum”, Majalah Hukum dan Pembangunan, FHUI, Jakarta. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 146 laku. Presiden Am erika Serikat dipilih langsung oleh rak- yat m elalui electoral college, dari calon yang dipilih oleh partai politik yang bersangkutan dan ditentukan m elalui kon ven si partai yang bersan gkutan . Hal yan g dem ikian oleh Bern ard Schwartz disebut sebagai a w holly extra constitution al m an ner. 20 6 Pada akhirn ya yan g m enen tukan perlu atau tidak- nya un dan g-un dang dasar diubah adalah faktor kon figu- rasi kekuatan politik yang berkuasa pada suatu waktu. Betapapun kakunya atau sulitnya suatu n askah un dang- un dan g dasar diubah, apabila kon figurasi kekuatan po- litik yang berkuasa berpendapat, m enghen daki, atau m e- nen tukan bahwa undang-un dang dasar itu harus diubah, m aka kon stitusi itu ten tu akan diubah. Sebaliknya, wa- laupun undang-un dang dasar itu sangat m udah un tuk diubah, tetapi jika kekuatan politik yang berkuasa itu berpen dapat tidak perlu diubah atau tidak m en ghen daki adanya perubahan , ten tu konstitusi itu tetap tidak akan m engalam i perubahan . Artin ya, tolok ukurnya fleksibi- litas atau rigiditas, tidaklah dapat ditentukan dengan pasti han ya karen a m udah tidakn ya prosedur perubahan itu dilakukan . Oleh karena, pada pokoknya, konstitusi itu m erupakan produk politik, m aka faktor kekuatan po- litiklah yan g justru san gat determ in an pen garuhnya da- lam m en en tukan apakah kon stitusi harus berubah atau tidak berubah. J alan pikiran yang dem ikian itu pula yang dipakai oleh Mahfud M.D. dalam disertasin ya yang m em bahas pengaruh kon figurasi politik terhadap karak- ter suatu konstitusi. 20 7 Faktor kekuatan politik yang 206 Schwartz, American Constitutional Law, Op. Cit., hal. 93. 207 Lihat Moh. Mahfud M.D., Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia, Diser- tasi, Pasca Sarjana, UGM-Yogyakarta, 1993. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 147 dem ikian disebut oleh Carl Schm itt sebagai faktor ke- kuasaan yan g n yata atau de reele m achtsfactoren . Oleh sebab itu, un tuk m en entukan sifat fleksibilitas atau rigiditas un dang-un dan g dasar tersebut, dapat di- gun akan ukuran kedua, yaitu apakah un dan g-un dang dasar itu m udah atau tidak m udah m en gikuti perkem ba- n gan zam an ? Kalau un dan g-un dang dasar itu m udah m engikuti perkem ban gan zam an , m aka un dan g-un dan g dasar itu kita katakan bersifat fleksibel. Sebalikn ya, jika un dan g-un dan g dasar itu tidak m udah m en gikuti per- kem bangan zam an , kita sebut bersifat rigid. Suatu un - dan g-undan g dasar yan g han ya m engatur hal-hal yang pokok adalah konstitusi yang m udah dapat m en gikuti perkem bangan m asyarakat, sebab norm a-norm a pelak- sanaan n ya lebih lan jut diserahkan kepada ben tuk pera- turan perun dang-undan gan yang lebih ren dah, sehingga lebih m udah untuk dibuat dan diubah. Nam un , ban yak undan g-un dan g dasar yan g tidak han ya m em uat hal-hal yang pokok saja, m elain kan juga hal-hal yan g dian ggap pen tin g, sehingga un dan g-undang dasar itu akan terdiri atas banyak pasal-pasal. Naskah un dan g-un dan g dasar yan g dian ggap palin g tebal di du- n ia dewasa in i adalah Un dan g-Un dan g Dasar Federal In dia dengan jum lah pasal seban yak 444 keten tuan . Pa- dahal, hal-hal penting belum tentu bersifat pokok, m eski- pun yang pokok selalu bersifat pen ting. Di sam ping itu, kadan g-kadan g, yan g pen tin g un tuk m asa sekaran g da- pat pula m engalam i perubahan sehingga di m asa yang akan datan g m enjadi tidak penting lagi. J ika dinam ika sem acam itu serin g terjadi, m aka un dan g-un dan g dasar yan g m em uat hal-hal yan g pen ting akan m en galam i pe- rubahan . Apabila suatu negara terlalu serin g m engada- kan perubahan undang-un dan g dasarn ya, n iscaya sistem Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 148 hukum dan kon stitusi n egara itu akan m en jadi tidak sta- bil, sehingga dapat m enyebabkan terjadinya kem eroso- tan kewibawaan undang-undang dasar itu sendiri. 4 . Ko n s titu s i Te rtu lis d a n Tid a k Te rtu lis Mem bedakan secara prin sipil antara kon stitusi ter- tulis w ritten constitution dan tidak tertulis un w ritten constitution atau onschrev en con stitutie adalah tidak tepat. 20 8 Sebutan Kon stitusi tidak tertulis han ya dipakai untuk dilawan kan den gan Kon stitusi m odern yang lazim - n ya ditulis dalam suatu n askah atau beberapa naskah. Tim buln ya Konstitusi tertulis disebabkan karen a penga- ruh aliran kodifikasi. 20 9 Salah satu negara di dun ia yang m em pun yai Kon stitusi tidak tertulis adalah n egara Ing- gris, nam un prinsip-prin sip yang dicantum kan dalam Kon stitusi di In ggris dican tum kan dalam Undang-Un - dan g biasa, seperti Bill of Rights. Dengan dem ikian suatu Konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam suatu n askah atau beberapa n askah, sedangkan suatu Kon stitusi disebut tidak tertulis dikarenakan keten tuan-keten tuan yan g m engatur suatu pem erintahan tidak tertulis dalam suatu naskah terten tu, m elainkan dalam ban yak hal diatur dalam kon vensi-kon- ven si atau undang-undan g biasa. 208 Lihat Wheare, Op. Cit., hal. 19. Ada juga sarjana yang menganggap bah- wa pembedaan written constitution dan unwriten constitution sudah tidak relevan lagi, sehingga mereka membedakannya dengan istilah documentary constitution dan non-documentary constitution. 209 Bandingkan dengan Strong, Op. Cit., hal. 136-137. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 149 D . Tu ju a n d a n H a kika t Ko n s titu s i Di kalan gan para ahli hukum , pada um um n ya dipaham i bahwa hukum m em punyai tiga tujuan pokok, yaitu i keadilan justice, ii kepastian certainty atau zekerheid, dan iii kebergun aan utility. Keadilan itu sepadan dengan keseim bangan balance, m izan dan kepatutan equity , serta kewajaran proportionality . Sedan gkan , kepastian hukum terkait dengan ketertiban order dan keten teram an . Sem en tara, kebergun aan diharapkan dapat m en jam in bahwa sem ua nilai-n ilai tersebut akan m ewujudkan kedam aian hidup bersam a. Oleh karen a kon stitusi itu sen diri adalah hukum yan g dian ggap palin g tinggi tingkatan nya, m aka tujuan kon stitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk m en- capai dan m ewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: i keadilan, ii ketertiban , dan iii perwujudan n ilai-n ilai ideal seperti kem erdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kem akm uran bersam a, sebagaim an a dirum uskan sebagai tujuan bern egara oleh para pen diri n egara the founding fathers an d m others. Misaln ya, 4 em pat tujuan bern egara In donesia adalah seperti yan g term aktub dalam alin ea IV Pem bu- kaan UUD 1945. Keem pat tujuan itu adalah i m elin du- n gi segen ap ban gsa Indon esia dan seluruh tum pah darah In don esia, ii m em ajukan kesejahteraan um um , iii m en cerdaskan kehidupan bangsa, dan iv ikut m elaksa- n akan ketertiban dun ia berdasarkan kem erdekaan, per- dam aian abadi, dan keadilan sosial. Sehubun gan den gan itulah m aka beberapa sarjan a m erum uskan tujuan konstitusi itu seperti m erum uskan tujuan n egara, yaitu n egara kon stitusion al, atau n egara berkonstitusi. Menurut J . Barents, ada 3 tiga tujuan ne- gara, yaitu i untuk m em elihara ketertiban dan keten - teram an , ii m em pertahan kan kekuasaan , dan iii m e- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 150 n gurus hal-hal yang berken aan den gan kepen tin gan -ke- pentingan um um . 210 Sedangkan, Maurice H auriou m e- n yatakan bahwa tujuan konstitusi adalah un tuk m en jaga keseim ban gan antara i ketertiban orde, ii kekuasaan gezag, dan iii kebebasan v rijheid. 211 Kebebasan individu warga negara harus dijam in, tetapi kekuasaan n egara juga harus berdiri tegak, sehing- ga tercipta tertib berm asyarakat dan bern egara. Keter- tiban itu sen diri terwujud apabila dipertahankan oleh ke- kuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap tidak tergan ggu. Sem en tara itu, G.S. Diponolo m erum us- kan tujuan kon stitusi ke dalam lim a kategori, yaitu i kekuasaan , ii perdam aian , keam anan , dan ketertiban , iii kem erdekaan , iv keadilan , serta v kesejahteraan dan kebahagiaan . 212 210 J. Barents, “De Wetenschap de Politiek, Een Terreinverkenning” 1952, terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan, cet. ke- 3, PT. Pembangunan, Jakarta, 1958, hal. 38. 211 Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel. Lihat juga Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 99. 212 G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1951, hal. 23. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 151 B AB IV S U MBER H U KU M TATA N EGARA

A. S u m b e r H u ku m Ta ta N e ga ra 1. P e n ge rtia n S u m b e r H u ku m

Apakah yan g dim aksud den gan “sum ber hukum ”? Dalam bahasa In ggris, sum ber hukum itu disebut source of law . Perkataan “sum ber hukum ” itu seben arn ya ber- beda dari perkataan “dasar hukum ”, “lan dasan hukum ”, ataupun “payun g hukum ”. Dasar hukum ataupun lan da- san hukum adalah legal basis atau legal ground, yaitu n orm a hukum yan g m endasari suatu tin dakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau dapat diben arkan secara hukum . Sedangkan, perka- taan “sum ber hukum ” lebih m en un juk kepada pen ger- tian tem pat dari m an a asal-m uasal suatu n ilai atau nor- m a terten tu berasal. Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III MPR 20 0 0 ditentukan bahwa: 213 1 Sum ber hukum adalah sum ber yan g dijadikan bahan untuk pen yusun an peraturan per- undang-un dan gan ; 2 Sum ber hukum terdiri atas sum - ber hukum tertulis dan sum ber hukum tidak tertulis; 3 Sum ber hukum dasar n asional adalah i Pancasila seba- gaim an a yang tertulis dalam Pem bukaan UUD 1945, yaitu Ketuhan an Yang Maha Esa, Kem an usiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indon esia, dan Kerakyatan yan g dipim pin oleh H ikm at Kebijaksan aan dalam per- m usyawaratan perwakilan, serta den gan m ewujudkan 213 Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tanggal 18 Agustus, 2000. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sd 2002, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2002. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 152 suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat In donesia, dan ii batan g tubuh Un dan g-Un dan g Dasar 1945. Akan tetapi, dalam pan dan gan H an s Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”, istilah sum ber hukum itu sources of law dapat m en gandung ban yak pen gertian , karen a sifatnya yan g figurativ e an d highly am biguous. 214 Pertam a, yan g lazim nya dipaham i sebagai sources of law ada 2 dua m acam , yaitu custom dan statute. Oleh karen a itu, sources of law biasa dipa- ham i sebagai a m ethod of creating law , custom , and legislation, yaitu custom ary an d statutory creation of law . Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan den gan cara un tuk m en ilai alasan atau the reason for the v alidity of law . Sem ua norm a yan g lebih tinggi m erupakan sum - ber hukum bagi norm a hukum yang lebih ren dah. Oleh karen a itu, pengertian sum ber hukum sources of law itu identik dengan hukum itu sendiri the source of law is alw ay s itself law . 215 Ketiga, sources of law juga dipakai un tuk hal-hal yang bersifat non -juridis, seperti norm a m oral, etika, prin sip-prin sip politik, ataupun pendapat para ahli, dan sebagain ya yan g dapat m em pen garuhi pem ben tukan suatu n orm a hukum , sehin gga dapat pula disebut sebagai sum ber hukum atau the sources of the law . Nilai dan n orm a agam a dapat pula dikatakan m en jadi sum ber yan g pen ting bagi terben tukn ya n ilai dan n orm a etika dalam kehidupan berm asyarakat, se- m en tara n ilai-n ilai dan norm a etika itu m en jadi sum ber bagi proses terben tuknya norm a hukum yang dikukuh- kan atau dipositifkan oleh kekuasaan n egara. Dalam di- n am ika kehidupan berm asyarakat, ketiga jen is n ilai dan n orm a itu pada pokokn ya sam a-sam a berfun gsi sebagai 214 Kelsen, Op. Cit., hal. 131. 215 Ibid. hal. 132. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 153 saran a pengendalian dan sekaligus sistem referensi m e- n gen ai perilaku ideal dalam setiap tatan an sosial social order. Sebab, jika ketiga jen is n orm a tersebut salin g m e- nun jang, m aka ketiga sistem referensi perilaku itu dapat bekerja secara sim ultan dan salin g m endukung. Akan tetapi, jika ketigan ya salin g bersitegang atau saling bersain g satu sam a lain , n iscaya akan tim bul kon - flik an tar n orm a yang justru tidak sehat bagi ketiga sis- tem norm a itu sen diri. J ika dem ikian, m aka pada giliran - n ya fun gsi ketiga jen is n orm a itu dalam m en untun m a- n usia ke arah perilaku ideal tidak akan bekerja dengan efektif. Oleh karen a itu, ketigan ya harus dapat salin g m engisi satu sam a lain secara sinergis. Norm a etika da- pat m en jadi sum ber n ilai bagi norm a hukum , sem en tara n orm a agam a dapat m enjadi sum ber bagi n orm a etika. Dalam kon teks in i, pen gertian sum ber dapat dikatakan sebagai tem pat dari m an a sesuatu n ilai atau norm a berasal. Terkait den gan hal in i, pen tin g juga un tuk m em perban dingkan m engen ai pen ggunaan istilah sum - ber hukum sources of law dalam sistem berpikir fiqh Islam dengan penggun aan n ya m en urut pen gertian ilm u hukum pada um um nya. H al ini penting un tuk digam bar- kan karen a tradisi yan g dian ut dalam sistem fiqh Islam , perkataan sum ber hukum itu diartikan secara berbeda sam a sekali dari pen gertian yan g biasa dipakai dalam ilm u hukum kontem porer. Dalam fiqh Islam , yang diarti- kan sebagai sum ber hukum itu, di satu pihak berarti “sum ber rujukan”, tetapi di lain pihak kadang-kadang dapat diidentikkan den gan pengertian m etode penalaran hukum legal reason in g. Misaln ya, yan g dianggap sebagai sum ber hukum adalah i al-Quran, ii al-Sun n ah, dan iii ijtihad atau inovasi inn ov ation dan in ven si inv ention. Ada pula sarjan a yan g m erum uskan kategori sum ber hukum itu terdiri atas i al-Quran, ii al-H adits, iii ijm a, dan iv Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 154 qiy as. Ada lagi yan g m erum uskan sum ber hukum itu m e- liputi i syari’at yang diwahyukan wahyu, ii sun n ah sebagai teladan rasul, dan iii akal dengan m engguna- kan m etode berpikir tertentu. Dalam kajian ushul fiqh, sebagai caban g ilm u fil- safat hukum Islam , sering dibedakan pula antara pe- n gertian “sum ber hukum ” atau m ashadir al-ahkam dan “dalil-dalil hukum ” atau adillat al-ahkam . 216 Pengertian m ashadir al-ahkam secara tekn is m enun juk kepada pe- n gertian asal n orm a hukum atau rujukan hukum refe- rence, tem pat ditem ukannya kaidah hukum atau se- suatu yan g m en un juk kepada adan ya hukum , yaitu al- Quran dan al-Sun n ah. Sedangkan , adillat al-ahk am atau dalil hukum m erupakan sesuatu yan g dijadikan lan dasan berpikir yan g ben ar dalam m em peroleh atau m en em u- kan, atau m endapatkan hukum . H al yang dianggap sebagai adillat al-ahkam itu ada 4 em pat, yaitu al-Quran, al-Sun nah, Ijm a, dan Qiy as. Baik al-Quran m aupun al-Sunn ah sam a-sam a dapat dise- but sebagai adillat al-ahkam dan sekaligus m ashadir al- ahkam . 217 Kadang-kadang, kedua m akna sum ber hukum dan dalil hukum itu dicam puradukkan oleh para sarjan a, tetapi keban yakan ulam a m em bedakan keduan ya dengan tegas. Oleh karena itu, m ashadir al-ahkam sum ber hu- kum dapat dipaham i dalam arti sum ber hukum m ateriel dalam kon teks ilm u hukum kon tem porer, sedan gkan adillat al-ahkm an dalil hukum dapat diseban din gkan dengan pen gertian sum ber hukum form il. 218 216 Nasrul Harun, Ushul Fiqh, cet. ke-1, jilid 1 Jakarta: Logos, 1996, hal. 15. 217 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 35-37. Lihat juga Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam” dalam Zaini Dahlan, dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hal. 53-55. 218 Usman, Op. Cit., hal. 32.