S u m b e r Ma te rie l d a n Fo rm il

Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 199 ber hukum form il pula sesuai dengan tingkatan hierarkis- n ya bagi peraturan -peraturan di bawahnya m asin g-m a- sin g. 273 2 . P e ra tu ra n D a s a r d a n N o rm a D a s a r Seperti dikem ukakan oleh O. H ood Phillips, Paul J ackson, dan Patricia Leopold dalam “The constitutional law of a state is the law relating to the constitution of that state”, 274 m aka penting sekali untuk m em aham i hu- kum , n egara, dan kon stitusi secara bersam aan . H ukum sendiri diakui tidak m udah un tuk didefin isikan . H .L.A. H art sen diri m en yatakan bahwa m engen ai apa itu hukum m erupakan pertan yaan yan g sen an tiasa diajukan di sepanjang sejarah um at m anusia. Men urutn ya, “it is a persistent question” 275 yan g selalu diajukan dari waktu ke waktu. Nam un dem ikian , di lapan gan hukum tata n egara, kita m em usatkan perhatian han ya kepada hukum dalam konteks kenegaraan, yaitu hukum negara state law , hukum kota m unicipal law , hukum desa v illage law , dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata n egara, hukum n egara the law of a state kita lihat sebagai hukum yan g terdiri atas pedom an perilaku rules of con - duct yan g ditetapkan oleh lem baga negara yang bertin - dak sebagai legislator atau regulator dan yan g ditegakkan oleh lem baga pengadilan yan g diben tuk oleh n egara duly con stituted courts of the state. Tetapi di pihak lain juga berfun gsi sebagai pedom an bagi organ -organ n egara 273 Bandingkan mengenai sumber hukum tata negara Indonesia yang dikemukakan oleh beberapa sarjana, seperti misalnya Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, 2005, Jakarta, hal. 32-37; Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, hal. 13-35.; dan lain sebagainya. 274 Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 3. 275 H.L.A. Hart, Op Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 0 dalam arti yang seluas-luasn ya untuk m enjalankan tugas dan kewen an gann ya. Pada pokokn ya, hukum konstitusi itu m endahului keberadaan organ isasi n egara, 276 seperti apa yang dikata- kan oleh Thom as Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada adanya pem erintahan , karen a pem erin tahan justru diben tuk berdasarkan keten tuan konstitusi. Oleh karen a itu, m en urut Thom as Pain e: “A con stitution is n ot the act of a govern m en t, but of a people con stitutin g a gov ernm en t, and a governm ent w ithout a con stitution is pow er w ithout right”. 277 Kon stitusi bukanlah peraturan yan g dibuat oleh pem erintahan, tetapi m erupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk m en gatur pem erin tahan , dan pem erin - tahan itu sen diri tan pa kon stitusi sam a dengan kekuasa- an tan pa kewen angan . 278 Kon stitusi adalah hukum dasar, n orm a dasar, dan sekaligus paling tin ggi kedudukan n ya dalam sistem ber- n egara. Nam un , sebagai hukum , konstitusi itu sen diri tidak selalu bersifat tertulis schrev en con stitutie atau w ritten con stitution . Konstitusi yang bersifat tertulis biasa disebut un dang-undang dasar sebagai konstitusi dalam arti sem pit, sedan gkan yang tidak tertulis m eru- pakan konstitusi dalam arti yang luas. Men urut H an s Kelsen , gerund norm atau n orm a dasar itulah yang disebut kon stitusi. Gerund norm itu dijabarkan lebih lan jut m en jadi abstract norm s yan g selan jutnya diopera- sionalkan dengan general n orm s yan g un tuk seterusn ya 276 Lihat N. MacCormick, Questioning Sovereignty, 1993, 56 MLR 1, dan C.M.G. Himsworth, 1996, 639. 277 “Rights of Man in the Complete Works of Thomas Paine”, pp. 3020 dalam Allen and Thompson, Op Cit., hal. 1. 278 Ada juga sarjana yang berpendapat bahwa tidak mungkin ada suatu negara tanpa adanya konstitusi. Lihat, misalnya, Max Boli Sabon, Fungsi Ganda Konstitusi, Bandung: PT Graviti, 1991, hal. 44. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 1 dilaksan akan den gan keputusan -keputusan yan g berisi concrete and indiv idual norm s. Bagi H an s Kelsen , pera- turan perun dan g-un dan gan berisi general and abstract n orm s yang tertuang dalam ben tuk form al, sedan gkan gerund norm s tercakup dalam rum usan pengertian kon - stitusi dalam arti m ateriel. Konstitusi dalam arti m ateriel in ilah yang disebut Kelsen den gan the first con stitution yan g m en dahului the secon d con stitution atau kon sti- tusi dalam bentuknya yang form al tersebut. Sem en tara itu, H an s Nawiasky, salah seorang m u- rid H ans Kelsen , m enyebut gerund norm s itu dengan istilah staatsfundam en taln orm s yan g juga dibedakan n ya dari kon stitusi. Tidak sem ua n ilai-n ilai yang terdapat dalam kon stitusi m erupakan staatsfundam ental norm s. Nilai-n ilai yan g term asuk staatsfundam entalnorm m e- n urutn ya han ya spirit n ilai-n ilai yang terkan dun g di dalam konstitusi itu, sedangkan n orm a-n orm a yan g ter- tulis di dalam pasal-pasal undang-undang dasar term a- suk kategori abstract norm s. Oleh karen a itu, jika dikait- kan dengan sistem kon stitusi Republik In donesia, dapat dibedakan an tara Pem bukaan UUD 1945 den gan pasal- pasal UUD 1945. Bahkan , Padm o Wahyono dan H am id S. Attam im i m en yejajarkan pengertian staatsfun dam en taln orm itu den gan kedudukan Pan casila sebagai dasar n egara, se- dan gkan pasal-pasal UUD 1945 didudukan sebagai ab- stract norm s. Oleh karena itu, dalam hierarki peraturan perun dan g-undangan m en urut Padm o Wahyon o dan H am id S. Attam im i, Pan casila itu harus ditem patkan di luar dan di atas UUD 1945. Pan dan gan yan g dem ikian , sam pai sekaran g terus dian ut oleh m urid-m urid Padm o Wahyon o dan H am id S. Attam im i, seperti tercerm in , m isaln ya, dalam pandangan Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 2 Maria Farida Indrati m en gen ai hal tersebut. 279 Pokok pikiran yan g m elandasi pan dangan dem ikian tidak lain adalah stuffenbau theorie m enurut versi Hans Nawiasky tersebut di atas, yan g san gat berbeda dari stuffenbau theorie m enurut versi H ans Kelsen. Bagi Kelsen, gerund n orm itulah konstitusi, sedangkan peraturan perundang- undangan berisi gen eral and abstract n orm s, sehingga Pan casila dan Pem bukaan UUD 1945 tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri. Keduan ya tercakup dalam pengertian UUD 1945 sebagai kon stitusi yang tertulis yang berisi gerund n orm s. Tentu saja, di sam ping UUD 1945 sebagai konsti- tusi tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum dan praktik pen yelen g- garaan n egara yan g diidealkan sebagai bagian dari pe- n gertian kon stitusi dalam arti luas dan oleh karen a itu adalah juga n orm a-norm a dasar atau gerun d norm s yang m en gikat sebagai bagian dari kon stitusi. 3 . P e ra tu ra n P e ru n d a n g-u n d a n ga n Peraturan perun dang-un dan gan adalah peraturan tertulis yan g berisi norm a-norm a hukum yan g m engikat untuk um um , baik yan g ditetapkan oleh legislator m au- pun oleh regulator atau lem baga-lem baga pelaksan a un - dan g-un dan g yan g m endapatkan kewen an gan delegasi dari un dang-undang untuk m en etapkan peraturan-pera- turan terten tu m en urut peraturan yang berlaku. Produk legislatif atau produk legislator yan g dim aksud di sin i adalah peraturan yan g berben tuk undang-un dan g, di- ben tuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR, dan pem - bahasann ya dilakukan bersam a-sam a dengan Presiden - Pem erintah un tuk m en dapatkan persetujuan bersam a yan g akhirn ya setelah m en dapat persetujuan bersam a 279 Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Jakarta: Kanisius, 1998. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 3 akan disahkan oleh Presiden dan diun dan gkan sebagai- m an a m estin ya atas perintah Presiden . Un tuk un dang- undang terten tu, pem bahasan bersam a dilakukan de- n gan m elibatkan pula peran an Dewan Perwakilan Dae- rah DPD. 28 0 Selain peraturan yang berbentuk un dan g-undang, ada pula peraturan yan g disusun dan ditetapkan oleh lem baga eksekutif pelaksan a un dan g-un dan g. Setiap lem baga pelaksan a un dang-un dang dapat diberi kewe- n an gan regulasi oleh un dan g-un dan g dalam ran gka m en - jalan kan un dang-un dan g yang bersan gkutan . Di sam ping itu, pem erintah karen a fun gsin ya diberi kewen angan pula untuk m en etapkan sesuatu peraturan tertentu, di sam ping un dang-undan g itu sen diri dapat pula m enen - tukan adan ya lem baga regulasi yan g bersifat terten tu pula. Sem ua produk hukum tertulis yan g berisi norm a yan g bersifat m en gatur regeling itu dalam ilm u hukum kita n am akan peraturan perundang-un dan gan. Men urut ketentuan Undan g-un dan g Nom or 10 Tahun 20 0 4 tentang Pem ben tukan Peratuan Perundang- undangan, bentuk-bentuk dan tata urut peraturan perun- dan g-un dan gan dim aksud adalah i Un dan g-Undang Dasar dan Perubahan Un dan g-Un dang Dasar; ii Un dang-Un dang dan Peraturan Pem erin tah Pen ggan ti Undang-Undang; iii Peraturan Pem erin tah; iv Peratu- ran Presiden; dan v Peraturan Daerah. 28 1 Nam un , di sam ping bentuk-bentuk yang disebut dalam Undang- un dan g Nom or 10 Tahun 20 0 4 itu, m asih ada ben tuk peraturan lain n ya yan g sam pai sekaran g m asih berlaku atau m asih terus dibuat dalam praktik. Misalnya, ban yak 280 Lihat Pasal 22D ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 42 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 281 Lihat kembali Pasal 7 ayat 1 mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 4 ketetapan-ketetapan MPR S yang m asih ada dan yang sam pai sekarang m asih diberlakukan berdasarkan Kete- tapan TAP MPR No. I MPR 20 0 3, m eskipun MPR sendiri dewasa ini tidak lagi m em pun yai kewenangan m enetapkan ketetapan yang bersifat m engatur rege- ling. Selain itu, dalam praktik, kita juga dapat m en jum - pai ban yak sekali ben tuk-ben tuk peraturan lain n ya, seperti Peraturan Men teri, Peraturan Ban k In donesia PBI, Peraturan Mahkam ah Agung PERMA, Peraturan Mahkam ah Kon stitusi PMK, Peraturan atau Keputusan Badan Pem eriksa Keuangan BPK, dan lain -lain seba- gainya. Keputusan-keputusan para pejabat yang bersifat regeling atau yan g m en gandung regulasi juga m asih banyak yan g dituangkan dalam bentuk keputusan-kepu- tusan yan g ditetapkan untuk m aksud m en gikat un tuk um um . Misalnya, keputusan-keputusan Kom isi Pem ili- han Um um KPU, Kom isi Pen gawas Persain gan Usaha KPPU, Kom isi Pem berantasan Korupsi KPK, serta term asuk Keputusan -Keputusan Menteri, seperti Men - teri Dalam Negeri, Men teri Luar Negeri, Menteri Keua- n gan, Men teri Perin dustrian , Men teri Agam a, Men teri Pen didikan Nasional, Men teri Pen dayagun aan Aparatur Negara, Men teri Ten aga Kerja, dan sebagain ya. Dem i- kian pula Keputusan -Keputusan Direktur J enderal, se- perti Direktur J en deral Pajak, Direktur J enderal Bea dan Cukai, Direktur J en deral Pendidikan Dasar, dan lain sebagainya. 1 Un dan g-un dang UU Pasal 20 ayat 1 Un dan g-Un dan g Dasar 1945 m en yatakan , ”Dew an Perw akilan R aky at m em egang ke- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 5 kuasaan m em bentuk undang-undang”. 28 2 Undang-un - dan g itu selalu berisi segala sesuatu yang m en yangkut kebijakan ken egaraan untuk m elaksan akan am anat un - dan g-un dan g dasar di bidang-bidan g terten tu yang m e- m erlukan persetujuan bersam a an tara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, ditentukan oleh Pasal 20 ayat 2 bahwa ”Setiap rancan gan un - dang-undang itu dibahas oleh Dew an Perw akilan R ak- y at dan Presiden untuk m endapat persetujuan bersa- m a”. Pada ayat 4-n ya m enen tukan , ”Presiden m enge- sahkan ran cangan un dang-undang y ang telah disetujui bersam a un tuk m enjadi undang-un dang”. Produk un dang-undan g in i m erupakan ben tuk hukum peraturan yang palin g tin ggi statusn ya di bawah un dan g-un dan g dasar. J ika diban dingkan den gan sistem hukum di negeri Belan da, undan g-un dan g dapat dise- padan kan den gan w et yan g m em pun yai kedudukan ter- tin ggi di bawah grondw et, atau seperti di Am erika Seri- kat den gan act legislativ e act yan g berada langsung di bawah con stitution. Sebagai produk hukum , un dan g- undang baru m ulai m engikat untuk um um sebagai alge- m een e v erbindende v oorschiften peraturan yang m engikat untuk um um , yaitu pada saat diun dan gkan . Tin dakan adm in istrasi pengun dan gan un dan g-undang dilakukan dengan cara m en erbitkan naskah undang- undang dim aksud published dalam Lem baran Negara Republik In don esia LN-RI. Sedangkan untuk n askah Pen jelasann ya dalam Tam bahan Lem baran Negara Re- publik Indon esia TLN-RI. Media Lem baran Negara dan Tam bahan Lem baran Negara ini juga berfungsi sebagai 282 Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 UUD 1945 sebelum amandemen, yang menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 6 m edia pen gum um an publication. 28 3 Nam un , tan ggal efektifitas keberlakuan effectiv e v alidity suatu un dang-un dan g un tuk dilaksan akan da- lam praktik, kadan g-kadan g diten tukan berbeda waktu- n ya dari tanggal pengun dan gan . Misaln ya tan ggal pe- n gun dangan n ya adalah tan ggal 1 J an uari 20 0 5, tetapi tan ggal berlakun ya ditentukan baru efektif m ulai tanggal 1 J anuari 20 0 6. Masa satu tahun itu disediakan sebagai waktu tenggang yang dapat dipakai un tuk tujuan sosiali- sasi undang-undang itu sebelum dijalankan sebagaim ana m estinya. Oleh karen a itu, tan ggal pengun dan gan tidak selalu atau tidak m utlak harus diten tukan sam a dengan tanggal pem berlakuan . Misaln ya, Undang-Undang No- m or 16 Tahun 20 0 2 tentan g Yayasan , 28 4 diun dan gkan pada tahun 20 0 2, tetapi m ulai diberlakukan secara efektif baru pada tahun 20 0 3. Bahkan, pelaksanaannya pern ah ditun da satu tahun sehingga pelaksan aan ya dim ulai pada tahun 20 0 4. Di sam ping itu, tan ggal pengesahan undang- undang secara form il dapat pula dibedakan dari tanggal pengesahan n ya secara m ateriel. Keten tuan Pasal 20 ayat 4 UUD 1945 yan g dilaksanakan dengan tin dakan pe- n gun dangan seperti dim aksud di atas, dapat disebut sebagai pengesahan yang bersifat form il. Sedangkan, pengesahan suatu ran cangan un dan g-un dang oleh dan dalam rapat paripurn a DPR sebagai tan da bahwa suatu ran can gan undang-un dan g telah m en dapat persetujuan bersam a antara DPR dan Pem erintah dapat disebut seba- gai pengesahan m ateriel. Sebelum ran cangan un dan g- un dan g disahkan dalam rapat paripurn a DPR, m aka dari 283 Lihat juga “BAB IX: Pengundangan dan Penyebarluasan” dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. 284 Indonesia, Undang-undang tentang Yayasan, UU No. 16 Tahun 2002, LN No. 112 Tahun 2002, TLN No. 4132. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 7 pihak Pem erin tah seyogyan ya diberi kesem patan un tuk m en yam paikan pen dapat akhirnya sebagai tan da per- setujuan atas ran cangan suatu un dan g-undang un tuk disahkan . Apabila dalam rapat paripurn a DPR tersebut ran can gan undang-undan g telah disahkan sebagai tan da telah dicapainya persetujuan bersam a, m aka pen gesahan tersebut sam a dengan pengesahan yang bersifat m ateriel. Dikatakan pen gesahan itu bersifat m ateriel, karena setelah itu terhadap m ateri ran can gan un dan g-un dang dim aksud tidak dapat lagi diadakan perubahan apapun juga. Dalam Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 ditentukan : ”Dalam hal rancangan un dang-undang yang telah disetujui bersam a tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sem en jak ran can gan un dang-undan g tersebut disetujui, rancangan undan g- un dan g tersebut sah m en jadi un dan g-un dang dan wajib diundan gkan”. 28 5 Artin ya, m eskipun dari segi ben tukn ya n askah ran can gan un dan g-un dang itu m asih berupa ran cangan yan g belum disahkan oleh Presiden dan karena itu belum m engikat sebagai hukum , tetapi m aterinya sudah final. Ran can gan yan g sudah disahkan dalam rapat paripurn a DPR itu sudah m en jadi w et in m ateriele zin, m eskipun belum m en jadi un dan g-un dan g dalam arti yan g resm i atau w et in form ele zin. Dalam ilm u hukum atau rechtsw etenschap, m e- m an g dibedakan an tara pen gertian w et in form ele zin dan w et in m ateriele zin. Misaln ya, Anggaran Pen da- patan dan Belanja Negara biasa dituan gkan dalam ben - tuk atau diberi baju hukum dalam bentuk undang- 285 Bandingkan dengan Pasal 21 UUD 1945 sebelum amandemen yang ber- bunyi: “Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rak- yat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimaju- kan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 8 un dan g, yaitu sebagai produk hukum yan g diben tuk dan dibahas bersam a oleh DPR dengan persetujuan bersam a dengan Presiden. Akan tetapi, dari segi isi atau m ateri- n ya, APBN itu seben arn ya bukan lah n orm a hukum yang biasa diken al den gan pen gertian un dang-undan g. Oleh sebab itu, UU ten tang APBN itu biasa disebut sebagai undang-un dang dalam arti form il w et in m ate- riele zin, bukan un dan g-un dan g dalam arti m ateriel w et in m ateriele zin. 28 6 Sebenarnya, setiap keputusan tertulis yang ditetap- kan oleh pejabat yan g berwen an g di bidan g pengaturan regelen daad yang berisi norm a hukum legal norm s dan m engatur tin gkah laku yang m en gikat un tuk um um dapat disebut sebagai peraturan perun dang-undangan . Un dang-un dan g han yalah m erupakan salah satu ben tuk- n ya, 28 7 yaitu sebagai peraturan yang diben tuk oleh DPR, dibahas dan disetujui bersam a oleh DPR dan Presiden , dan disahkan oleh Presiden , serta diun dan gkan sebagai- m an a m estinya atas perin tah Presiden, sehin gga m en jadi n orm a hukum m en gikat un tuk um um . Dengan begitu, undang-undang berbeda dari pengertian peraturan per- undang-un dan gan pada um um n ya. Peraturan perun - dan g-un dan gan itu adalah segala ben tuk peraturan nega- ra dari jen is yan g tertin ggi di bawah un dan g-un dang dasar sam pai den gan yang teren dah, yan g dihasilkan dan ditetapkan secara atributif dari peraturan yang lebih tin ggi atau secara delegasi dari pem egang kekuasaan pem bentuk undang-un dang legislativ e pow er, w etge- 286 Bandingkan dengan pendapat dari Arifin P. Soeria Atmadja dalam bebe- rapa tulisannya seperti pada “Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis” 1986 dan “Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum” 2005. 287 Lihat Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co., 1992, hal. 4. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 20 9 v ende m acht, atau gesetzgebende gew alt. 28 8 Maka arti- n ya bahwa Un dan g-Un dan g Dasar tidak term asuk pe- ngertian peraturan perundang-undangan. 2 Perpu Peraturan Pem erintah Pengganti UU Peraturan Pem erin tah Pen gganti Un dan g-un dang sebagai sum ber hukum dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 22 Un dang-Undang Dasar 1945. Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 m en en tukan , ”Presiden m enetapkan peraturan pem erintah untuk m enjalankan undang- undang sebagaim ana m estin y a”. Sedan gkan , Pasal 22 m en en tukan : 1 Dalam hal ihwal kegentingan yang m em aksa, Presi- den berhak m enetapkan peraturan pem erin tah seba- gai pen ggan ti un dan g-un dan g; 2 Peraturan pem erintah itu harus m endapat persetu- juan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; 3 J ika tidak m endapat persetujuan, m aka peraturan pem erintah itu harus dicabut. Un tuk m em udahkan , Peraturan Pem erintah sebagai Pen gganti Un dan g-un dan g in i biasan ya disingkat ”Perpu”. Dalam Kon stitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 , Peraturan Pem erintah sebagai Pengganti Un dang- un dan g disebut den gan istilah ”un dan g-un dan g darurat”. Kecuali terhadap sebutan n ya yan g berlain an , tidak ada perbedaan yang prinsipil an tara Perpu m en urut UUD 1945 dan undang-undang darurat m enurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950 itu. 288 Bandingkan dengan pendapat H. Abdul Latief yang menganggap bahwa istilah peraturan perundang-undangan itu juga mengandung pengertian sebagai proses pembentukan peraturan dimaksud. Lihat H. Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan Beleidsregel pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII-Press, 2005, hal. 38-39. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 210 Bagaim anapun, perpu itu sendiri m em ang m erupa- kan un dan g-un dan g yan g diben tuk dalam keadaan yan g darurat yan g m enurut istilah Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 disebutkan ”Dalam hal ihw al kegentingan y ang m em ak- sa”. Istilah hal-ihwal kegen tingan yang m em aksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diiden - tikkan den gan pen gertian ”keadaan bahaya” m en urut ke- ten tuan Pasal 12 UUD 1945. Keadaan darurat atau dalam hal ihwal kegen tin gan yan g m em aksa di sini adalah kea- daan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pan - dan g Presiden Pem erin tah, di satu pihak karen a i Pem erintah san gat m em butuhkan suatu un dan g-undang un tuk tem pat m en uangkan sesuatu kebijakan yang san gat pen tin g dan m en desak bagi negara, tetapi di lain pihak ii waktu atau kesem patan yang tersedia un tuk m en dapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ti- dak m en cukupi sebagaim an a m estin ya. Oleh karen a itu, dari segi substan sin ya seben arn ya juga m erupakan undang-undan g dalam arti m ateriel w et in m ateriele zin. Sebab, substan si norm a yang ter- kan dun g di dalam n ya adalah m ateri un dan g-un dang bukan m ateri peraturan pem erin tah. Materi norm atif tersebut dituan gkan dalam ben tuk peraturan pem erintah han ya bersifat sem en tara waktu saja, karen a itu harus m en dapat persetujuan DPR dalam persidan gan yang berikut. J ika tidak m en dapat persetujuan DPR, m aka peraturan pem erintah itu harus dicabut oleh Presiden . J adi, substansin ya adalah substansi un dan g-un dang, tetapi bentuk form ilnya adalah Peraturan Pem erin tah. Oleh karena itu, perpu dian ggap sederajat kedudukan n ya dengan un dang-un dang, sehingga m ateri m uatan nya sa- n gat m un gkin bertentan gan atau bersifat m engubah Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 211 ketentuan un dang-undang yang ada sebelum nya. 289 3 Ketetapan MPR S Istilah ketetapan dalam Ketetapan MPR S tersebut seben arn ya tidak terdapat dalam keten tuan Un dan g- Un dang Dasar 1945. Men urut Moh. Kusn ardi dan H arm aily Ibrahim , istilah in i m ungkin diam bil oleh MPRS pada sidan g-sidan gn ya yan g pertam a dari bun yi pasal-pasal Un dang-Un dang Dasar 1945 yang m en yebut- kan bahwa MPR berwen ang m en etapkan Un dang- Un dang Dasar, Garis-garis besar daripada haluan n egara Pasal 3, dan m em ilih Presiden dan Wakil Presiden Pa- sal 6 ayat 2. Nam un, Ketetapan Majelis Perm usyawara- tan Rakyat Sem en tara MPRS itu sendiri sam pai dengan sekaran g m asih m erupakan sum ber hukum , karena m asih ada beberapa Ketetapan Majelis Perm usyawaratan Rakyat Sem en tara yan g din yatakan tetap berlaku oleh Ketetapan MPR Nom or I MPR 20 0 3. Seperti diketahui, setelah Perubahan Keem pat UUD 1945, status hukum Ketetapan MPR S yang bersifat m en gatur regeling dian ggap tidak lagi m em pun yai dasar konstitusion al. MPR m en urut Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat 3 UUD 1945 han ya m em iliki 4 em pat kewe- n an gan kon stitusion al saja, yaitu i m engubah dan m en etapkan UUD, ii m elantik Presiden dan atau Wakil Presiden , iii m em berhen tikan Presiden dan atau Wakil Presiden dari jabatan n ya m en urut UUD 1945, dan iv m em ilih Presiden dan atau Wakil Presiden untuk m en gi- 289 Lihat dan cermati ketentuan-ketentuan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khusus- nya pada bagian Bab III mengenai Materi Muatan. Bandingkan juga pengertian mengenai klausa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan bertanggal 7 Juli 2005. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 212 si lowongan jabatan. Oleh karena itu, tidak ada lagi Kete- tapan MPR yan g bersifat pengaturan regeling yang boleh dibuat oleh MPR di m asa m en datan g. Terhadap berbagai Ketetapan MPR S yang sudah ada dan diwarisi dari m asa lalu, telah diadakan penin jau- an m enyeluruh m engen ai m ateri dan status hukum n ya berdasarkan Ketetapan MPR No. I MPR Tahun 20 0 3 ten tang Pen in jauan Terhadap Materi dan Status H ukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sam pai Den gan Tahun 20 0 2. 290 Ada Ketetapan MPR S yan g din yatakan sudah dicabut, ada yang dinyatakan m asih berlaku sam pai terbentukn ya pem erin tahan baru hasil Pem ilu 20 0 4, ada pula ketetapan yan g din yatakan m asih berlaku sam pai m aterinya diatur dengan un dan g- undang. Nam un dem ikian , selain itu sem ua, sam pai sekaran g m asih terdapat 8 delapan Ketetapan MPR S yang dapat dikatakan m asih berlaku sebagai peraturan yan g m en gikat un tuk um um . Kedelapan Ketetapan Majelis Perm usyawaratan Rakyat MPR atau Majelis Perm usyawaratan Rakyat Sem en tara MPRS tersebut adalah: i Ketetapan MPRS Nom or XXV MPRS 1966 ten tang Pem bubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organ isasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Men yebarkan atau Men gem ban gkan Faham atau Ajaran Kom u- nis Marxism e-Len inism e dinyatakan tetap berlaku, den gan keten tuan seluruh keten tuan dalam Kete- tapan MPRS-RI Nom or XXV MPRS 1966 in i, ke depan diberlakukan den gan berkeadilan dan m en g- 290 Lihat Himpunan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Berdasarkan Ketetapan MPR-RI No. IMPRTahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 213 horm ati hukum , prin sip dem okrasi, dan hak asasi m an usia; ii Ketetapan MPR-RI Nom or XVI MPR 1998 tentang Politik Ekon om i dalam Ran gka Dem okrasi Ekon o- m i, din yatakan tetap berlaku den gan keten tuan , Pem erin tah berkewajiban m endorong keberpiha- kan politik ekonom i yan g lebih m em berikan kesem - patan dukun gan dan pengem ban gan ekon om i, usa- ha kecil m en en gah, dan koperasi sebagai pilar eko- n om i dalam m em bangkitkan terlaksan an ya pem ba- n gun an nasion al dalam rangka dem okrasi ekon om i sesuai hakikat Pasal 33 UUD Negara Republik In don esia Tahun 1945; iii Ketetapan MPRS No. XXIX MPRS 1966 ten tang Pengan gkatan Pahlawan Am pera tetap berlaku de- n gan m enghargai Pahlawan Am pera yang telah ditetapkan hingga terbentuknya un dan g-undang ten tan g pem berian gelar, tan da jasa, dan lain -lain tan da kehorm atan; iv Ketetapan MPR No. XI MPR 1998 ten tang Pen ye- len ggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN sam - pai terlaksanan ya seluruh ketentuan dalam keteta- pan tersebut. Sekaran g telah terben tuk UU ten tan g Pem beran tasan Tin dak Pidan a Korupsi, m eskipun m asih ada aspek yan g terkait dengan m antan Presi- den Soeharto yang belum terselesaikan; v Ketetapan MPR No. VI MPR 20 0 1 ten tan g Etika Kehidupan Berbangsa; vi Ketetapan MPR No. VII MPR 20 0 1 ten tan g Visi In don esia Masa Depan ; vii Ketetapan MPR No. VIII MPR 20 0 1 ten tang Rekom en dasi Arah Kebijakan Pem berantasan dan Pencegahan KKN sam pai terlaksananya seluruh keten tuan dalam ketetapan tersebut; viii Ketetapan MPR No. IX MPR 20 0 1 tentang Pem ba- ruan Agraria dan Pen gelolaan Sum ber Daya Alam Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 214 sam pai terlaksan an ya seluruh keten tuan dalam Ketetapan tersebut. Status hukum kedelapan Ketetapan MPR S yang tersisa in i tidak dapat dikategorikan sebagai undang- un dan g dasar, karen a ketika dibuat m aterin ya m em an g tidak dim aksudkan sebagai norm a hukum dasar atau kon stitusi. Nam un , karena lem baga yan g m en etapkan n ya adalah MPR, m aka dapat saja tim bul penafsiran seakan - akan Ketetapan MPR S itu setingkat kedudukan n ya den gan un dan g-un dan g dasar. Akan tetapi, status hukum Ketetapan MPR S yan g tersisa itu dapat pula ditafsirkan setin gkat kedudukan n ya atau dapat dipersam akan de- n gan un dan g-un dan g. Dipersam akan itu berarti tidak harus sam a, tetapi secara tekn is hukum kedudukan n ya dapat dian ggap sam a. Sebab, MPR sendiri telah m enentukan , ada di antara ketetapan-ketetapan n ya itu yan g m asih berlaku sam pai m aterin ya diatur den gan un dan g-un dan g. H al itu m en un jukkan bahwa MPR sen diri telah m en un dukkan status hukum ketetapan-ketetapan n ya itu setin gkat de- n gan undan g-undan g, karen a ketetapan -ketetapan terse- but dapat diubah den gan undan g-undang. Meskipun secara form il ben tukn ya bukan un dang-undan g w et, tetapi secara m ateriel Ketetapan -Ketetapan MPR S ter- sisa itu adalah juga un dan g-un dan g atau w et in m ate- riele zin . 4 Peraturan Pem erin tah Men urut keten tuan Pasal 5 ayat 2 UUD 1945, Presiden m en etapkan Peraturan Pem erin tah un tuk m en - jalan kan un dan g-un dan g sebagaim ana m estin ya. Dikare- n akan Peraturan Pem erin tah diadakan un tuk m elak- san akan Un dan g-un dang, m aka tidak m un gkin bagi Presiden un tuk m en etapkan Peraturan Pem erin tah sebe- lum ada un dang-undan gnya. Oleh karena itu, UU selalu Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 215 m en dahului Peraturan Pem erin tah PP, dan Peraturan Pem erintah dapat diben tuk han ya atas dasar perintah undang-un dan g. Den gan perkataan lain , Peraturan Pe- m erin tah itu m erupakan ben tuk delegated legislation atau kewen an gan yan g didelegasikan oleh principal legislator atau pem ben tuk un dan g-un dang kepada Presi- den selaku kepala pem erintahan yang akan m en jalankan eksekutif un dan g-undan g yan g bersangkutan . Dalam hubungan den gan pen delegasian kewena- n gan itu, kadan g-kadan g tim bul persoalan, m isaln ya, ke- wen an gan yang didelegasikan tersebut disalahgun akan oleh Pem erin tah. J ika kewen an gan regulasi itu disalah- gun akan , seperti um pam an ya, m ateri yan g diatur dalam Peraturan Pem erintah itu berlebihan sehingga m enam - bah-n am bah atau bahkan m en gubah m ateri yan g diatur dalam un dang-undan g yang m en jadi dasar berpijakn ya, m aka tersedia m ekan ism e untuk m engujinya ke Mah- kam ah Agung. Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 m en en - tukan, ”Mahkam ah Agung berw en ang ... m enguji pera- turan perundang-undangan di baw ah undang-un dang terhadap un dang-undang, ...”. 291 Den gan perkataan lain , jika di dalam un dang- undang tidak ada perin tah yang tegas agar Peraturan Pem erintah ditetapkan oleh Pem erin tah, m aka Pem e- rintah tidak dapat m en etapkan Peraturan Pem erin tah sam a sekali. Pengaturan dengan Peraturan Pem erin tah itu sem ata-m ata untuk m aksud m en gatur lebih lan jut hal-hal yan g diperin tahkan un tuk diatur dalam dan dengan Peraturan Pem erin tah. H an ya saja, dalam Un dang-un dan g Nom or 10 Tahun 20 0 4 ten tang Pem - 291 Bandingkan dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar. Lihat Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 216 bentukan Peraturan Perundang-un dangan, 292 ditentukan juga bahwa Peraturan Pem erintah itu dapat dibentuk atas dasar pen delegasian yan g tegas atau tidak tegas dari undang-undang. Pasal 10 undang-undang ini m enyata- kan , ”Materi m uatan Peraturan pem erintah berisi m ateri untuk m en jalankan undang-un dang sebagai- m ana m estiny a”. Dalam Penjelasan pasal tersebut din yatakan bahwa yan g dim aksud den gan ”sebagaim an a m estin ya” adalah m ateri m uatan yan g diatur dalam Peraturan Pem erin tah tidak boleh m en yim pan g dari m ateri yan g diatur dalam undang-un dan g yan g bersan gkutan. Dari pen jelasan in i tim bul pen afsiran bahwa sekiranya tidak diperin tahkan secara eksplisit pun oleh undang-undang, PP tetap dapat dikeluarkan oleh Pem erin tah asalkan m aterin ya tidak berten tangan den gan undang-un dan g, dan asalkan hal itu m em an g diperlukan sesuai den gan kebutuhan yan g tim bul dalam praktik un tuk m aksud ”... m enjalankan undang-un dang sebagaim ana m estiny a”. Perbedaan penafsiran atas prosedur teknis pelaksan aan pen delega- sian yan g tidak tegas itulah yang nantinya dapat m en im - bulkan m asalah serius di lapangan . 5 Peraturan Presiden Un dan g-un dang, Peraturan Pem erintah Pen ggan ti Un dang-un dan g, dan Peraturan Pem erin tah adalah ben - tuk-bentuk peraturan yang disebut oleh Un dan g-Undang Dasar 1945. Nam un , tidak dem ikian halnya den gan Pera- turan Presiden. Sebelum diben tukn ya UU No. 10 Tahun 20 0 4, istilah yang biasa dipakai untuk ini adalah Keppres Keputusan Presiden . Keputusan Presiden sebagai ben - tuk peraturan, baru ditetapkan oleh Ketetapan Majelis 292 Indonesia, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 217 Perm usyawaratan Rakyat Sem entara No. XX MPRS 1966. Den gan ketetapan MPRS in i, bentuk-ben tuk pera- turan yang ada sebelum nya, seperti Peraturan Presiden Perpres dan Pen etapan Presiden Pen pres ditiadakan . Keputusan Presiden dalam Ketetapan MPRS in i dim ak- sud untuk m elaksanakan ketentuan UUD 1945 dan kete- tapan -ketetapan Majelis Perm usyawaratan Rakyat Se- m entara Majelis Perm usyawaratan Rakyat dalam bidang eksekutif, atau Peraturan Pem erin tah. 293 Nam un , m ateri Keputusan Presiden ini ada yang bersifat m engatur regeling dan ada pula yang han ya bersifat penetapan adm inistratif beschikking dan berlaku un tuk sekali atau einm alig saja. Karena m ua- tannya tercam pur-aduk antara yang bersifat regeling dan beschikk ing, m aka dipandang perlu untuk diadakan pem bedaan yang tegas di an tara keduan ya. Dalam ber- bagai m akalah yan g kem udian tertuan g dalam berbagai buku saya, sangat serin g saya usulkan adanya pem beda- an sem acam itu. Alasan pertam a ialah bahwa penggun aan n om en - klatur untuk bentuk hukum yang berisi n orm a yan g m e- n gatur haruslah ”peraturan”, bukan ”keputusan”. Se- dan gkan un tuk ben tuk hukum yan g bersifat pen etapan , tidak boleh disebut ”peraturan” karena sifatn ya m em ang tidak m engatur regelin g. Kedua, adanya pem bedaan tersebut pen tin g dan m em udahkan m asyarakat m em aham i bahwa keduan ya m em an g berbeda, sehin gga upaya hukum un tuk m ela- wan n ya juga berbeda m ekan ism en ya. Upaya hukum untuk m elawan produk peraturan disebut sebagai pen gu- 293 Ketetapan MPRS XXMPRS1966 bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 218 jian peraturan judicial rev iew , 294 sedangkan upaya hukum un tuk m elawan keputusan adm inistrasi n egara beschikking adalah m elalui gugatan ke pen gadilan tata usaha n egara TUN. Dengan dem ikian , istilah peraturan dan keputusan m em an g tidak tepat untuk dikacaukan atau dicam puradukkan satu sam a lain . Oleh karen a itu, berdasarkan UU No. 10 Tahun 20 0 4, istilah Peraturan Presiden yan g pern ah diken al sebelum m asa Orde Baru, dihidupkan kem bali un tuk m ewadahi kewen an gan regu- lasi yan g dim iliki oleh Presiden di luar bentuk Peraturan Pem erintah yang ditentukan dalam UUD 1945. Menurut keten tuan Pasal 11 UU No. 10 Tahun 20 0 4 dijelaskan , “m ateri m uatan Peraturan Presiden berisi m ateri y an g diperintahkan oleh Undang-Un dang atau m ateri untuk m elaksanakan Peraturan Pem erintah”. Dalam ketentuan in i dapat tim bul dua persoalan . Per- tam a, Pasal 11 in i m em un gkin kan pem ben tuk undang- undang m em berikan delegasi kewenangan pen gaturan m engenai m ateri terten tu lan gsun g kepada Peraturan Presiden atau kepada Peraturan Pem erintah. Pilihan m engenai salah satu dari kedua bentuk peraturan ini se- penuhnya tergantung kepada pem bentuk undang- undang sen diri. Dengan logika dem ikian, berarti kedua jenis peraturan ini haruslah berbeda satu sam a lain , terutam a dari segi kriteria isinya. Sebab, jika keduanya tidak berbeda, untuk apa pem ben tuk un dan g-undang 294 Dalam arti luas, gugatan terhadap keputusan pejabat administrasi negara, dalam bahasa Inggris British, biasa disebut dengan istilah judicial review juga. Tetapi, judicial review yang dimaksud di sini sesuai pengertian yang biasa dipahami di Indonesia, yakni dalam arti sempit hanya mencakup pengertian pengujian peraturan saja. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konpress, 2005; dan Fatmawati, Hak Menguji Toetsingsrecht yang Dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 219 diharuskan m em ilih di an tara kedua jen is peraturan itu. Bukankah cukup PP saja yang berfungsi sebagai pera- turan pelaksan a lan gsung atas keten tuan un dang- undang. Sedangkan , Peraturan Presiden cukup difung- sikan sebagai pelaksan a Peraturan Pem erintah sesuai dengan tata urutan hierarkisnya. Kedua, dalam Pen jela- san Pasal 11 itu juga ditentukan bahwa: “Sesuai den gan kedudukan Presiden m en urut UUD Negara Republik In donesia Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam m en yelenggarakan pem erintahan Negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat 1 UUD Negara Republik Indon esia Tahun 1945”. Dengan pen jelasan in i berarti, Peraturan Presiden dipaham i oleh pem bentuk undang-un dang sebagai peraturan yang bersifat m andiri yan g dapat terlepas dari Un dang-un dan g atau apalagi Peraturan Pem erintah. J ika suatu un dan g-un dan g tidak m en entukan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pem erin tah, m aka un tuk m elaksanakan berbagai keten tuan un dan g-un dang yang bersangkutan dapat ditetapkan Peraturan Presiden seba- gaim an a m estin ya. Dem ikian pula untuk kepen tin gan m en jabarkan lebih lan jut keten tuan Peraturan Pem erin tah, m aka Pre- siden dapat lebih lan jutnya m en etapkan Peraturan Presiden . Bahkan , m eskipun Undan g-un dan g UU atau- pun Peraturan Pem erin tah PP tidak m en gatur, jika Presiden m en gan ggapn ya pen tin g un tuk diatur dalam ran gka m en jalankan roda pem erin tahan , m aka berdasar- kan ketentuan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, Presiden dian ggap dapat m en afsirkan kewen an gan atributifn ya untuk m en gatur hal itu den gan Peraturan Presiden . Dengan dem ikian, terdapat dua m acam Peraturan Presi- den, yaitu Peraturan Presiden yang bersum ber dari Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 220 delegasi pen gaturan dari un dan g-un dang dan Peraturan Presiden yang berdasarkan keten tuan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Kedua m acam Peraturan Presiden tersebut dapat m en im bulkan kerancuan seperti haln ya kedudu- kan Keputusan Presiden dalam sistem yang pernah di- praktikkan di m asa lalu. 295 J ika perin tah untuk m engatur itu tercantum secara tegas dalam un dan g-un dang, m aka n iscaya produk pera- turan yan g harus ditetapkan oleh Presiden itu adalah dalam ben tuk sebagaim ana yan g diperin tahkan dalam un dan g-un dan g tersebut. Akan tetapi, apabila perin tah m en gen ai ben tukn ya tidak disebut den gan tegas, atau bahkan tidak ada perin tah sam a sekali un tuk m engatur- n ya, m aka Presiden dian ggap den gan sen dirin ya m em i- liki ruan g gerak kewen an gan diskresi discretionary pow er berdasarkan prin sip freies-erm essen atau beleidsv rijhei un tuk berkreasi. Asalkan hal itu berada dalam batas-batas kebutuhan yan g rasion al, objektif, wa- jar reasonable dan sewajarnya proporsional, Presiden dapat berinisiatif un tuk m engeluarkan Peraturan Presiden yang dibutuhkan, kecuali jika m ateri yang hen - dak diatur itu term asuk kategori m ateri yan g harus diatur den gan undan g-un dan g, ten tu Presiden tidak dapat m en uan gkan nya dalam ben tuk Peraturan Presi- den . Nam un , berken aan dengan hal tersebut di atas, dapat tim bul persoalan di lapan gan , yaitu bagaim an a m en en tukan batasan yan g wajar, sehin gga kewenangan diskresi yang dim iliki oleh Presiden untuk m engeluarkan Peraturan Presiden itu tidak dilakukan den gan sewe- 295 Lihat pendapat Bagir Manan mengenai hal ini dalam Anna Erliyana, Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987-1998, Jakarta: Fakultas Hu- kum Universitas Indonesia, 2004, hal. 23. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 221 n an g-wen an g. J ika hal itu dilakukan sewenang-wen ang, m aka pem erin tahan akan kem bali berkem bang seperti di m asa Orde Baru, di m an a ban yak sekali tin dakan pem e- rintahan yan g dilakukan han ya den gan Keputusan-Kepu- tusan Presiden , sehingga saya sen diri pern ah m enam a- kan n ya sebagai gejala Gov ern m ent by Keppres. 296 J ika diperhatikan dengan sun gguh-sun gguh, sebe- n arn ya, Pen jelasan Pasal 11 UU No. 10 Tahun 20 0 4 ter- sebut, jelas m engan dun g substan si kon sep Keputusan Presiden yang bersifat m andiri yang pern ah dipopuler- kan oleh Prof. Dr. H am id S. Attam im i di m asa Orde Baru yan g ban yak m en dapat kritik dari para ahli hukum . 297 6 Peraturan Daerah Perda Menurut keten tuan Pasal 7 ayat 2 UU No. 10 Tahun 20 0 4, Peraturan Daerah Perda m eliputi: a. Peraturan Daerah provinsi yan g dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provin si bersam a dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten kota yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten kota bersam a bupati walikota; c. Peraturan Desa peraturan yan g setin gkat, yang dibu- at oleh badan perwakilan desa atau nam a lain n ya bersam a den gan kepala desa atau n am a lain nya. 296 Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2005. Dalam semangat yang sama, Frans Hendrawinarta juga menulis artikel di Harian Kompas dengan judul, “Keppres Sarana Legi- timasi Praktik KKN”, 26 Oktober 1998, hal. 9. 297 Lihat Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyeleng- garaan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita IV, disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990. Di samping Hamid S. Attamimi, kajian ilmiah tentang Keputusan Presiden juga dilakukan oleh Anna Erliyana dalam disertasinya pada tahun 2004. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 222 Men gen ai pen gertian Peraturan Desa Perdes in i dapat tim bul persoalan serius di lapangan . Sebagai ben - tuk peraturan di tingkat desa, seharusn ya Peraturan Desa dikeluarkan dari pengertian Peraturan Daerah yang tercantum resm i sebagai ben tuk peraturan yan g berada dalam posisi hierarki kelim a dalam susunan peraturan perun dan g-undangan yan g dim aksud oleh Pasal 7 ayat 2 UU No. 10 Tahun 20 0 4 tersebut. Un it pem erintahan desa, sudah seharusn ya dibedakan dari un it pem erin- tahan daerah pada um um nya. Kehidupan m asyarakat desa m erupakan ben tuk kom un itas yang dapat m en gurus dirin ya sen diri. Oleh karen a itu, m asyarakat desa juga biasa disebut sebagai self-gov ernin g com m un ities zelf- bestuur gem einschap yan g m erupakan un it-unit kegia- tan m asyarakat di luar pen gertian form al daya jan gkau organ isasi n egara. Oleh karen a itu, Peraturan Desa tidak perlu dim asukkan ke dalam kategori peraturan perun - dan g-un dan gan negara. Den gan dem ikian, ben tuk Peraturan Desa itu sebenarnya tidak perlu dikategorikan sebagai peraturan perun dan g-undangan yan g berada di bawah un dang- undang, sehingga m em enuhi kualifikasi sebagai ben tuk peraturan yan g dapat diuji oleh Mahkam ah Agun g. J ika peraturan desa dikategorikan sebagai ben tuk peraturan perun dan g-undangan di bawah un dan g-un dan g sebagai- m an a dim aksud dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945, m aka berarti bahwa peraturan desa itu dapat dijadikan objek pengujian oleh Mahkam ah Agun g. H al dem ikian ten tulah dapat dian ggap tidak realistis, dan justru tidak sesuai den gan m aksud perum usan Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 itu sendiri, karen a akan m em beban i Mahka- m ah Agun g dengan tugas-tugas yang san gat tidak realis- tis. Kehidupan m asyarakat desa sebagai self-gov erning com m unities m erupakan un it-unit kegiatan m asyarakat di luar pen gertian form al daya jangkau organ isasi n ega- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 223 ra. Meskipun desa m erupakan kaki-kaki yan g kokoh bagi organ isasi n egara dalam arti yan g um um , tetapi daya jangkau organ-organ n egara m em an g tidak seharusn ya m enjangkau sam pai ke tingkat desa. Oleh sebab itu, Peraturan Desa tidak perlu dim asukkan ke dalam kate- gori peraturan perundan g-undangan negara. Nam un dem ikian , terlepas dari hal itu, secara norm atif pada ayat 3 pasal ini, lebih lanjut telah diten- tukan bahwa tata cara pem buatan Peraturan Desa atau peraturan yan g setin gkat peraturan desa itu diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kota yang ber- san gkutan. Selan jutnya, Pasal 7 ayat 4 m en en tukan bahwa jen is Peraturan Perun dang-undangan selain yang ditentukan pada Pasal 7 ayat 1 UU No. 10 Tahun 20 0 4, diakui keberadaan nya dan m em pun yai kekuatan hukum m en gikat sepan jang diperin tahkan oleh Peraturan Per- un dang-un dan gan yan g lebih tin ggi. 7 Peraturan Pelaksan aan Lainn ya Di m asa awal Orde Baru dulu, yan g dim aksud de- n gan peraturan pelaksanaan lainn ya adalah bentuk-ben - tuk peraturan yang ada setelah Ketetapan MPRS No. XX MPRS 1966, dan harus bersum ber kepada peraturan perun dan gan yan g lebih tinggi. Um pam an ya, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan sebagain ya. Sum ber- sum ber hukum form il H ukum Tata Negara pada m asa itu adalah sebagaim ana diten tukan dalam Ketetapan Majelis Perm usyawaratan Rakyat Sem entara Nom or XX MPRS 1966, 298 yang kem udian oleh Ketetapan Majelis Perm u- 298 Ketetapan MPRS No. XXMPRS1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 1, menerima baik isi memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966, khusus mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 2, Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Pera- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 224 syawaratan Rakyat Nom or V MPR 1973 din yatakan tetap berlaku. 299 Sum ber-sum ber hukum tersebut m eru- pakan sum ber hukum form il m en urut tin gkat kewen a- n gann ya hierarkin ya, sehin gga setiap peraturan hukum yan g berlaku sen an tiasa bersum ber pada dan dari pera- turan hukum yang lebih tinggi tin gkatan nya. Setelah ditetapkan nya Ketetapan MPR Nom or III MPR 20 0 0 di m asa reform asi, ben tuk dan jen is-jen is peraturan perun dang-un dan gan disederhanakan sehing- ga terdiri atas i Undang-Undan g Dasar, ii Ketetapan MPR S, iii Un dang-un dang UU, iv Peraturan Pem e- rin tah Pen ggan ti Un dan g-un dang Perpu, v Peraturan Pem erintah PP, vi Keputusan Presiden Keppres, vii Peraturan Daerah Perda. Sedan gkan, ben tuk- bentuk lain n ya yang tetap diakui adalah Peraturan Keputusan Menteri, lem baga-lem baga in depen den lain - n ya, Mahkam ah Agun g, dan sebagainya, yan g disebut pe- raturan atau keputusan yan g bersifat m en gatur. Setelah diadakan pen in jauan kem bali m en genai m ateri dan status hukum Ketetapan-Ketetapan MPR MPRS sejak tahun 1960 sam pai dengan tahun 20 0 2, m aka oleh Ketetapan MPR No. I MPR 20 0 3 ditentukan bahwa TAP MPR No. III MPR 20 0 0 tersebut di atas din yatakan m asih tetap berlaku sam pai terben tukn ya un dan g-un dan g yan g m engatur m ateri turan Perundangan Republik Indonesia tersebut pada Pasal 1 berlaku bagi pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. 299 Ketetapan MPR No. VMPR1973 tentang Peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen- tara Republik Indonesia. Pasal 3, dinyatakan tetap berlaku dan perlu disem- purnakan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara: 1 Tap XXMPRS1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 225 yang diatur dalam ketetapan itu. Untuk itu, m aka diben tuklah Un dang-un dan g Nom or 10 Tahun 20 0 4 ten tan g Pem ben tukan Peraturan Perun dan g-Undan gan . Dengan berlakun ya UU No. 10 Tahun 20 0 4 ini, m aka segala sesuatu yan g berken aan dengan ben tuk dan pem bentukan peraturan perundan g-undangan harus tun duk kepada keten tuan yan g diatur oleh un dang- undang in i. Pasal 54 UU No. 10 Tahun 20 0 4 m en jelaskan bahwa: “Tekn ik pen yusun an dan atau ben tuk Keputusan Presiden , Keputusan Pim pinan Majelis Perm usyawara- tan Rakyat, dan Keputusan Pim pin an Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pim pinan Dewan Perwakilan Dae- rah, Keputusan Ketua Mahkam ah Agun g, Keputusan Ketua Mahkam ah Kon stitusi, Keputusan Kepala Badan Pem eriksa Keuan gan , Keputusan Gubern ur Ban k In do- n esia, Keputusan Men teri, Keputusan Kepala Badan , Lem baga atau Kom isi yan g setin gkat, Keputusan Pim - pinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kepu- tusan Gubern ur, Keputusan Pim pin an Dewan Perwa- kilan Rakyat Daerah Kabupaten Kota, Keputusan Bupati Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat, harus berpedom an pada tekn ik penyusun an dan atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang in i”. Sem en tara itu, dalam Pasal 56 Un dan g-undang No- m or 10 Tahun 20 0 4 tersebut din yatakan pula: ”Sem ua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Ke- putusan Gubern ur, Keputusan Bupati Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaim an a dim aksud da- lam Pasal 54 yan g sifatn ya m engatur, yang sudah ada sebelum Un dan g-un dan g in i berlaku, harus dibaca pera- turan , sepanjan g tidak bertentangan dengan Undan g- Un dan g in i”. Oleh karen a itu, sem ua keputusan lem baga-lem ba- ga seperti yan g dim aksud dalam Pasal 54 tersebut di Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 226 atas, sepan jang bersifat m engatur regeling harus di- baca sebagai peraturan, dan un tuk seterusn ya, sem ua produk yan g bersifat m en gatur tersebut harus disebut dengan n am a peraturan yang pem bentukan nya tun duk kepada ketentuan UU No. 10 Tahun 20 0 4 itu. Peraturan -peraturan dim aksud, m isaln ya, Peratu- ran Tata Tertib MPR, Peraturan Tata Tertib DPR, Peratu- ran Tata Tertib DPD, 30 0 Peraturan Mahkam ah Agung PERMA, Peraturan Mahkam ah Kon stitusi PMK, Pe- raturan Badan Pem eriksa Keuangan, Peraturan Bank In don esia PBI, Peraturan Men teri Perm en , Peraturan Kepala Badan, Peraturan Lem baga, Peraturan Kom isi Pem ilihan Um um KPU, 30 1 Peraturan Kom isi Pem be- ran tasan Tin dak Pidan a Korupsi, atau peraturan lem baga yan g setingkat lain nya. Sem ua peraturan perun dang- undangan tersebut m erupakan bentuk-bentuk peraturan pelaksan aan un dang-un dang atau biasa disebut subor- dinate legislation s yang m erupakan peraturan yang didelegasikan oleh un dan g-un dan g delegated legisla- tions. Sem ua itu tetap dapat disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang term asuk ke dalam kategori allgem eene v erbin dende v oorschriften atau peraturan yan g m en gikat un tuk um um . Bahkan, dalam bahasa Belanda, bentuk-ben tuk pengaturan yang ditetapkan oleh para adm inistrator sebagai pejabat pelaksana fungsi-fungsi adm inistrasi 300 Peraturan-peraturan ini biasanya ditetapkan dalam bentuk atau dengan memakai baju hukum keputusan, tetapi dinamakan Peraturan Tata Tertib karena isinya bersifat mengatur. 301 Sebelum diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis-jenis peraturan seperti yang dikeluar- kan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU biasa disebut dengan istilah Keputusan Ketua KPU. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 tersebut, semua sebutan Keputusan yang berisi norma yang bersifat pengaturan regeling itu harus dibaca sebagai peraturan menurut ketentuan UU No. 10 Tahun 2004. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 227 n egara dalam ran gka m elaksan akan ketentuan un dang- undang disebut juga dengan istilah besluit v an allge- m een e strekking atau keputusan yang berisi keten tuan yan g berlaku un tuk um um . Oleh sebab itu, ben tuk hukum pen gaturan seperti itu sebelum dibentukn ya UU No. 10 Tahun 20 0 4, biasa disebut juga dengan istilah ”Keputusan ”. Misaln ya, Keputusan Men teri, Keputusan Direktur J enderal Pajak, Keputusan Gubern ur, Keputu- san Kom isi Pem ilihan Um um , dan sebagain ya, disebut den gan istilah keputusan , padahal isinya bersifat m enga- tur regeling. Kebiasaan penggun aan istilah keputusan itu disebabkan oleh karen a dalam bahasa Belan da, bentuk-ben tuk pengaturan seperti itu juga biasa disebut den gan istilah besluit v an allgem eene strekking. Di sam ping itu, ada pula ben tuk-bentuk atau jenis- jenis peraturan di tingkat daerah. Bentuk-bentuk atau jenis peraturan tingkat daerah ini seben arnya dapat saja disebut atau tidak disebut sebagai peraturan perun dang- undangan . Misaln ya, un dan g-un dan g dapat m en en tukan ada atau tidaknya pem bedaan yan g jelas an tara pen ger- tian peraturan pusat dan peraturan daerah. Akan tetapi, Pasal 7 ayat 2 dan ayat 1 Un dan g-un dan g Nom or 10 Tahun 20 0 4 telah dengan jelas m enentukan bahwa Peraturan Daerah yang m encakup pengertian Peraturan Daerah Provin si, Peraturan Daerah Kabupaten Kota, dan Peraturan Desa atau yan g setin gkat, term asuk ke dalam pengertian peraturan perun dan g-un dan gan . Pasal 7 ayat 1 jelas m en en tukan bahwa Peraturan Daerah itu adalah peraturan perun dan g-undangan yang berada dalam uru- tan hierarkis ke-5 setelah UUD, UU Perpu, PP, dan Per- pres. Den gan dem ikian , peraturan tin gkat daerah beserta peraturan pelaksanaan n ya adalah term asuk juga dalam pengertian peraturan perundang-un dangan. Peraturan- peraturan tin gkat daerah itu terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 228 Kabupaten Kota, dan Peraturan Bupati Walikota. H ubu- n gan antara Perda Provinsi dengan Peraturan Kepala Pem erintah Daerah itu dapat disetarakan den gan hubu- n gan an tara Undan g-un dan g den gan Peraturan Pem erin - tah atau Peraturan Presiden di tin gkat pusat. Dem ikian pula bentuk-bentuk peraturan lain nya, dapat pula dis- ebut, m isalnya Peraturan Tata Tertib DPRD Provin si, dan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Kota, m es- kipun tidak term asuk pen gertian allgem eine v erbin - dende v oorschriften, tetapi tetap dapat disebut sebagai peraturan tingkat daerah. 4 . Ko n ve n s i Ke ta ta n e ga ra a n Dalam H ukum Tata Negara con stitution al law , dikenal pula apa yan g disebut kon ven si ketatan egaraan the con v en tion of the constitution. Kon ven si ketata- n egaraan m em punyai kekuatan yang sam a dengan Un dang-un dan g, karen a diterim a dan dijalan kan, m es- kipun hakim di pengadilan tidak terikat olehnya. Bahkan seringkali konvensi ketatan egaraan in i m en ggeser ber- lakunya suatu peraturan perundang-un dan gan yang tertulis. Sebagai con toh, pada awal kem erdekaan , dapat di- kem ukakan bahwa m en urut Pasal 17 Un dan g-Un dang Dasar 1945, Menteri Negara bertan ggung jawab kepada Presiden , karen a ia adalah pem ban tu Presiden . Dalam perkem ban gan ketatan egaraan Indon esia di tahun 1945, tern yata keten tuan yang m enyatakan bahwa Menteri Negara harus bertanggun g jawab kepada Presiden, kare- n a kon vensi ketatan egaraan, diubah m en jadi bertang- gun g jawab kepada Badan Pekerja Kom ite Nasional In - don esia Pusat BP-KNIP. Pada m asa itu, Badan Pekerja Kom ite Nasion al In don esia Pusat KNIP in i berfungsi sebagai sem acam Dewan Perwakilan Rakyat yang m enja- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 229 lankan tugas-tugas yan g bersifat legislatif. H al in i terjadi karena keluarnya Maklum at Wakil Presiden No. X tan ggal 16 Oktober 1945, yan g kem udian diikuti den gan Maklum at Pem erin tah tan ggal 14 Novem - ber 1945, di m ana Kom ite Nasional In don esia Pusat yang sem ula m em ban tu Presiden dalam m enjalan kan wewe- n an gn ya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Un - dan g-Un dan g Dasar 1945, m en jadi badan yang sederajat dengan Presiden , dan sebagai tem pat Men teri Negara bertan ggun g jawab. Dengan dem ikian , sistem pem erin - tahan yan g sem ula m en gan ut sistem presiden til presi- dential sy stem berubah m en jadi sistem pem erintahan parlem enter. H al ini dapat dilihat dalam kabin et Syahrir I, II, dan III, serta kabinet Am ir Sjarifudin yang m eng- gan tikann ya. Kon ven si ketatan egaraan dapat dibedakan dari kebiasaan ketatan egaraan . Dalam kebiasaan terdapat un - sur yan g m enun jukkan bahwa suatu perbuatan yang sam a berulang-ulang dilakukan, yan g kem udian diterim a dan ditaati. Kebiasaan ketatan egaraan akan m en jadi hukum kebiasaan yan g m en gikat apabila ia diberi atau dilen gkapi den gan san ksi. Kebiasaan ketatan egaraan ialah perbuatan dalam kehidupan ketatan egaraan yang dilakukan berulan g kali, sehin gga ia diterim a dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan, walaupun ia bukan hu- kum . Di sinilah letak perbedaann ya dengan ketentuan hukum yan g sudah tidak diragukan keabsahan n ya. Kebiasaan ketatan egaraan walaupun bagaim an a pen ting- n ya tetap m erupakan kebiasaan saja. Sebagian kebiasaan ketatan egaraan m em an g dapat disebut sebagai kon ven si ketatan egaraan . Akan tetapi, tidak selalu konvensi ketatanegaraan m erupakan kebia- saan ketatanegaraan, sebab kon vensi dapat tim bul m es- kipun sesuatu belum m en jadi kebiasaan. Misaln ya, Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 230 tin dak pen yim pan gan dari keten tuan konstitusi, tetapi telah m en dapatkan kesepakatan bersam a atau dibiarkan berlaku oleh sem ua pihak yan g terkait, m aka hal itu dapat diterim a sebagai kon ven si ketatanegaraan , m eski- pun belum m enjadi kebiasaan yan g dim aksud di atas. Kebiasaan m em persyaratkan terjadin ya perulangan - perulangan . Tetapi dalam konven si tidak harus lebih dulu terjadi perulangan . Uraian lebih rinci beserta con - toh-contoh m engenai hal ini akan dibahas dalam sub bab tersendiri. 5 . Tra kta t P e rja n ji an Sum ber hukum form il yang lain dari H ukum Tata Negara adalah traktat atau perjanjian, sepan jan g traktat atau perjan jian itu m en entukan segi hukum ketata- negaraan yang hidup bagi n egara m asing-m asing yang terikat di dalam nya, sekalipun ia term asuk dalam bidang H ukum Intern asion al. Bentuk traktat treaty tersebut tidak selalu tertulis karena kem ungkinan terjadi bahwa perjanjian hanya diadakan den gan pertukaran nota atau surat-surat belaka. Dalam kam us H ukum In tern asional, tidak dibedakan antara traktat dan perjanjian. Bahkan, traktat dan perjan jian sering dikatakan m em pun yai arti yang sam a saja. Akan tetapi, Bellefroid berpendapat bahwa kedua hal itu m em pun yai arti yan g berbeda. Traktat adalah perjan jian yang terikat pada ben tuk ter- ten tu, sedangkan perjanjian tidak selalu terikat pada bentuk tersebut. 30 2 Traktat atau perjanjian adalah perjan jian yang diadakan oleh dua n egara atau lebih. Apabila perjan jian 302 Bellefroid, Mr. J.H., Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland, Utrecht: Dekker van de Vegt. N.V. Nijmegen, 1948, hal. 107, “De stalen gaan ook overeenkomst aan, waarby de tractaatsvorm enkel en alleen door nota-wiselling of door briefwisseling gesboten worden. Al worden die overeenkomst doorgaans niet met de naam tractaten bestempeld toch staatn zij, van juridisch standpunt beschouwd met tractaten op een lijn”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 231 itu diadakan oleh dua negara, ia disebut perjan jian bila- teral. Sedan gkan, apabila diadakan oleh ban yak n egara, ia disebut perjanjian m ultilateral. Dalam praktik, m an a yan g disebut traktat dan m an a yan g dapat disebut sebagai persetujuan , tidak m udah un tuk dibedakan . Keduan ya sam a-sam a term asuk ke dalam pen gertian perjan jian yan g serin gkali tidak dapat dipisahkan secara tajam . Dalam lapangan H ukum ln ternasional, suatu pro- ses pem buatan perjan jian sam pai m en gikat kedua n egara atau lebih, dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: 1 perun din gan atau pem bicaraan diadakan m en genai hal-hal yan g m en yan gkut kepen tin gan m asin g- m asing n egara. Pem bicaraan atau perun din gan terse- but m erupakan tindakan persiapan sebelum terjadi- n ya suatu traktat; 2 jika para pihak telah m em peroleh kata sepakat, m aka substan si pokok yang dihasilkan dari perun din gan itu diparaf sebagai tanda persetujuan sem entara. Dikata- kan sem en tara, karen a naskah itu m asih m em erlukan persetujuan lebih lan jut dari lem baga perwakilan rakyat atau parlem en m asing-m asin g n egara; 3 sesudah diperoleh persetujuan dari m asing-m asing n egara, kem udian disusul den gan pen guatan be- k rachtiging oleh Kepala Negara m asing-m asing. Sesudah keputusan dicapai, tidak m un gkin lagi bagi kedua pihak untuk m engadakan perubahan, karen a perjanjian tersebut sudah m en gikat kedua belah pihak; 4 keputusan yang sudah disetujui dan ditan datangan i oleh para pihak kem udian dium um kan . Lazim n ya pe- n gum um an itu dilakukan dalam suatu upacara Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 232 den gan salin g m enukarkan piagam perjanjian . 30 3 Dapat dikatakan bahwa pada tahap pertam a, yaitu tahap perun din gan , sepen uhn ya m erupakan kewen an gan Presiden. Dalam rangka hubungan dengan luar n egeri, Presiden dapat m en en tukan dalam hal apa saja dan kapan saja perlu diadakan perjan jian an tara Republik In don esia den gan negara lain . Dalam hal in i Dewan Perwakilan Rakyat DPR sam a sekali tidak perlu ikut cam pur un tuk m en en tukan secara langsung. Akan tetapi, kadan g-kadan g DPR dapat pula m en yatakan pen dapat- n ya di m uka um um m en gen ai hal itu. Misaln ya, DPR dapat m en yatakan pen dapatnya bahwa hubungan an tara Republik In don esia den gan n egara lain belum waktunya diadakan perjan jian . Pen dapat yan g dem ikian itu dapat m un cul sebagai pen dapat peroran gan anggota DPR, atau pun kem udian diadopsi m enjadi pen dapat DPR sebagai institusi. J ika pendapat seperti itu tim bul, ten tu hal in i dapat saja m enim bulkan akibat terten tu terhadap Presi- den , setidak-tidaknya secara politik. J ika diukur den gan asas kedaulatan rakyat, se- benarn ya, tahap kedualah yang terpen ting, yaitu tahap pen entuan kesepakatan m ateriel m engenai hal-hal yang diperjan jikan itu. Sebab, bagaim an apun juga, sudah se- harusn ya rakyat m en getahui segala tindakan , lan gkah dan kegiatan Presiden yan g berhubun gan den gan n egara lain . Setiap perjanjian dengan n egara lain dapat beraki- bat langsun g ataupun tidak lan gsun g terhadap kehidu- 303 Lihat Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Op. Cit, hal 186, sebagai berikut : 1. Penetapan, 2. Persetujuan masing-masing Dewan Perwa- kilan Rakyat dari pihak yang bersangkutan, 3. Ratifikasi, atau pengesahan oleh masing-masing Kepala Negara, 4. Pelantikan atau pengumuman afkon- diging. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 233 pan rakyat ban yak. Oleh karen a itu, wakil-wakil rakyat yan g ada di Dewan Perwakilan Rakyat harus m en getahui apakah suatu perjan jian akan m enguntun gkan rakyat atau justru sebalikn ya akan m erugikan rakyat yan g m ere- ka wakili kepentingann ya di lem baga perwakilan rakyat. Di sam ping itu, perlu dicatat pula bahwa, selain m erupakan sum ber hukum m ateril, perjan jian juga di- akui sebagai sum ber hukum form il dalam H ukum Tata Negara. H al in i m erupakan kon sekuen si logis dari ada- n ya hubun gan an tarn egara. Sebagai contoh, dapat dike- m ukakan adanya perjan jian dwi-kewargan egaraan yang dikenal pada m asa Un dan g-Un dan g Dasar Sem en tara 1950 . Perjan jian yan g m en gatur persoalan dwi-kewarga- negaraan tersebut dulu dianggap sebagai sum ber hukum form il bagi H ukum Tata Negara, karen a m asalah kewar- gan egaraan itu m erupakan salah satu bidan g kajian yang dian ggap pen tin g dalam H ukum Tata Negara. Selain itu, Un dan g-Un dan g Dasar 1945 sen diri tidak m em bedakan an tara istilah perjan jian dan traktat. Pasal 11 UUD 1945 han ya m en yebut istilah perjan jian dengan negara lain . Dalam kepustakaan , wewen an g yang tim bul dalam hubungan dengan negara lain in i disebut sebagai kekuasaan diplom atik diplom atic pow er atau hubun gan luar n egeri foreign Affairs. 30 4 Dalam Pasal 11 Un dang-Un dang Dasar 1945 tersebut tidak dirin ci lebih 304 C.F. Strong memakai istilah diplomatic power, lihat dalam Strong, Op Cit., hal. 233; Bernard Schwartz menyebutnya foreign affairs, lihat Bernard Schwartz, American Constitutional Law, Cambridge University Press, 1955, hal. 102 dst.; Wolhoff memakai istilah “hubungan luar negeri”, lihat dalam Pengantar Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, 1960, hal. 193; lsmail Suny menggunakan istilah “kekuasaan diplo- matic”, lihat dalam Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Nilam, 1965, hal. 34, 83 dan 125; Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro memakai istilah “hubungan luar negeri”, lihat dalam Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1974, hal. 67. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 234 lan jut apakah sem ua perjanjian seperti haln ya dengan persetujuan term asuk pen gertian perjan jian an tarn egara internation al agreem ent. Ism ail Suny m en yebutkan bahwa hal-hal yan g term asuk International Agreem ent itu tidaklah m em erlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 30 5 Dalam praktek di m asa pem erin tahan Presiden Soekarn o, Pasal 11 UUD 1945 pernah diartikan m en ca- kup pen gertian perjan ian in tern asion al yang pen ting dan yan g kuran g pentin g. 30 6 H al itu, m isaln ya tercerm in dalam Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royon g tanggal 22 Agustus 1960 No.28 26 H K 1960 yan g m em bedakan dua m acam perjan jian internasional, yaitu: i perjanjian in ternasion al yang m em uat m ateri yan g penting treaty ; ii perjanjian in tern asional yan g m en gan dun g m ateri yang kuran g pen ting agreem ent. Perjanjian in tern asional yan g dapat dikatakan m em pun yai kan dungan m ateri yang pen tin g adalah perjanjian yang m em uat persoalan politik dan persoalan- persoalan yang dapat m em pengaruhi kebijakan atau haluan politik luar n egeri negara, seperti perjanjian per- sahabatan, persekutuan , perubahan wilayah atau pen e- tapan tapal batas, dan sebagain ya, yang dari segi m ateri- n ya, berken aan dengan : i perikatan -perikatan yan g sedem ikian rupa sifatnya, 305 lsmail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op. Cit., hal. 83. 306 Sebelum Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, pasal ini hanya berisi 1 butir ketentuan, yaitu “Presiden dengan persetujuan DPR menyata- kan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain”. Ketentuan tersebut sekarang mempunyai rumusan Pasal 11 ayat 1 yang baru dengan ditambah ayat 2 dan ayat 3. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 235 sehin gga m em pen garuhi haluan politik luar n egeri n egara; dan ii persoalan -persoalan yang m enurut Undang-Un dan g Dasar 1945 atau m enurut sistem peraturan perun - dan g-un dan gan n egara kita han ya diatur dapat dengan Un dan g-un dan g, seperti soal kewargan ega- raan. Apabila m ateri perjanjian den gan n egara lain itu berken aan den gan kedua hal tersebut, m aka perjan jian itu dapat dikatakan pen tin g. Akan tetapi, jika perjan jian itu berkenaan den gan hal-hal di luar itu, m aka dapat di- anggap sebagai perjan jian in tern asional yang kuran g penting. Nam un , oleh karen a m ateri dari suatu perjan jian in ternasional internasional agreem ent itu kadan g- kadan g san gat berkaitan den gan kepen tingan atau m e- n yan gkut hajat hidup rakyat ban yak, m aka hal-hal yan g dem ikian itu dian ggap m em an g sudah seharusn ya m e- m erlukan persetujuan DPR. Misaln ya, persetujuan inter- n asional yan g berkenaan den gan pinjam an luar n egeri yan g berjan gka pan jan g, atau ban tuan pinjam an dari n egara kita kepada n egara lain atau suatu organisasi di luar n egeri. Kedua-duan ya m en yangkut keuan gan n ega- ra, yang pada akhirn ya m em bebani seluruh rakyat. Un - tuk itu, hal-hal dem ikian harus m en dapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 30 7 m en en tukan bahwa ”Presiden den gan persetu- juan DPR m en yatakan peran g, m em buat perdam aian, dan perjan jian dengan n egara lain”; ”Presiden dalam m em buat perjanjian internasion al lain nya yang m enim - 307 Merupakan hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 236 bulkan akibat yang luas dan m en dasar bagi kehidupan rakyat yan g terkait den gan beban keuan gan n egara, dan atau m en gharuskan perubahan atau pem ben tukan un - dan g-un dan g harus den gan persetujuan DPR”. Dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 Tahun 20 0 0 ten tan g Perjan - jian In tern asion al, 30 8 diatur bahwa pen gesahan perjan ji- an in tern asional oleh Pem erintah dilakukan den gan undang-un dan g atau dengan keputusan presiden. 30 9 Men urut keten tuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 20 0 0 , pengesahan perjan jian in tern asional dilakukan dengan un dang-un dang apabila berkenaan dengan : a. m asalah politik, perdam aian , pertahan an , dan ke- am anan n egara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah ne- gara Republik Indon esia; c. kedaulatan atau hak berdaulat n egara; d. hak asasi m an usia dan lin gkungan hidup; e. pem ben tukan kaidah hukum baru; f. pin jam an dan atau hibah luar n egeri. Kem udian , berdasarkan pada ketentuan Pasal 11 UU No. 24 Tahun 20 0 0 tersebut, pen gesahan perjan jian in tern asional yan g m aterinya tidak term asuk m ateri seperti yang dim aksud di atas, cukup dilakukan dengan keputusan presiden .

C. Ko n ve n s i Ke ta ta n e ga ra a n 1. H a kika t Ko n ve n s i Ke ta tan e ga ra a n

Men urut pen dapat Albert Ven n Dicey 18 35-1922 dalam bukun ya “Introduction to the Study of the Law of 308 Indonesia, Undang-undang Tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000, TLN No. 4012. 309 Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Per- wakilan Rakyat. Pengesahan dengan Keputusan Presiden selanjutnya diberi- tahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 237 the Constitution”, kita harus m em bedakan antara i the law of the constitution , dan ii the con v entions of the constitution , 310 yang keduanya sam a-sam a sebagai dua m axim yan g pentin g dalam ilm u hukum tata n egara. 311 Term asuk ke dalam pengertian the law s of the consti- tution itu adalah segala keten tuan peraturan perun dang- undangan yan g berlaku m en gikat, yang dapat dipaksa- kan dan diakui berlakun ya oleh badan -badan peradilan w hich are enforced or recognized by the court, yaitu a statutes, atau un dan g-un dang, b n orm a-norm a yan g berasal dari custom atau adat kebiasaan, tradisi atau prinsip-prin sip yan g diciptakan oleh hakim judge- m ade m axim s yan g biasa diken al sebagai com m on law s. Sedan gkan, norm a-norm a hukum lain selain hal tersebut di atas, dikategorikan oleh A.V. Dicey sebagai the con- v entions of the constitution atau konven si ketatanega- raan. Kon ven si ketatan egaraan atau constitutional con v ention m erupakan peristilahan yan g lazim disebut dalam pem bicaraan m en gen ai m asalah-m asalah praktik ketatan egaraan dan dalam ilm u hukum tata n egara constitutional law . 312 Kadang-kadang, istilah kon ven si atau kon ven si ketatan egaraan itu dianggap identik de- 310 Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 10th edition, London: Macmillan, 1959. Buku ini sudah tergolong buku klasik classical work of Dicey, tetapi sampai sekarang tetap dianggap sebagai bacaan umum di bidang hukum tata negara. 311 Bandingkan dengan Michael T. Molan yang menggunakan istilah legal rules of the constitution untuk pengertian Dicey mengenai the law of the Constitution, dan non-legal rules of the constitution untuk istilah the conven- tions of the constitution. Lihat Michael T. Molan, Textbook on Constitutional Law: The Machinery of Government, 4 th edition, Old Bailey Prees, 2003, hal. 21-22. 312 Constitutional Convention di dalam Oxford Dictionary Law diartikan sebagai “Practices relating to the exercise of their functions by the crown, the government, Parliament, and the judiciary that are not legally enfor- ceable but are commonly followed as if they were”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 238 n gan kebiasaan atau kebiasaan ketatan egaraan , padahal sebenarnya berbeda. Kebiasaan m em persyaratkan pe- ngulan gan , sedangkan konven si tidak. Dalam praktik, kon ven si juga dian ggap sebagai salah satu cara un tuk m en gubah apa yan g tertulis dalam teks kon stitusi, sesuai dengan kebutuhan yang baik untuk m em astikan beker- janya norm a konstitusi dalam praktik. K.C. Wheare dalam bukun ya “M odern Con stitution s”, m isalnya, ada- lah salah seoran g sarjana yang m en gan ggapnya dem i- kian. Men urut K.C. Wheare: “M any im portant changes in the w orking of a con stitution occur w ithout an y alteration in the rules w hich regulate a governm ent, w hether they strictly legal or rules of custom an d conv ention”. 313 Ban yak perubahan yang terjadi dalam ran gka pelaksan aan undan g-un dan g dasar tan pa m engubah secara m utlak bun yi teks hukum ketentuan yan g m en ga- tur suatu pem erin tahan , m elainkan terjadi begitu saja m elalui kebiasaan dan konven si rules of custom an d con v ention. K.C. Wheare bahkan m enguraikan lebih lanjut m engen ai perubahan -perubahan kon stitusi yang dapat terjadi m elalui i perubahan hukum dalam arti yan g strict, yaitu perubahan m elalui am an dem en form al; ii perubahan m elalui penafsiran yudisial atas teks kon stitusi, yaitu m elalui proses peradilan tata n egara con stitution al adjudication; dan iii perubahan m ela- lui kebiasaan dan kon ven si. 314 Artin ya, kon vensi juga dapat dian ggap sebagai salah satu m etode perubahan kon stitusi. 313 Wheare, Op Cit.,. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003. Lihat juga Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986, hal. 31. 314 Ibid.