P e n a fs ira n d an An a to m i Me to d e Ta fs ir

Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 275 as they are incon sisten t w ith the provision s of this Part, shall, to the exten t of such in con sisten cy , be void”. 2 Teori pen afsiran gram atikal atau interpretasi bahasa w hat does it linguistically m ean? Penafsiran yang m en ekankan pada m akna teks yan g di dalam n ya kaidah hukum dinyatakan . Pern afsiran dengan cara dem ikian bertolak dari m akn a m enurut pem akaian bahasa sehari-hari atau m akn a tekn is-yuridis yan g lazim atau dian ggap sudah baku. 367 Menurut Visser’t H oft di n egara-n egara yan g m engan ut tertib hukum kodifikasi, m aka teks harfiah un dan g-un dang san gat pen tin g. Nam un , penafsiran gram atikal saja di- anggap tidak m encukupi, apalagi jika m engen ai norm a yan g hen dak ditafsirkan itu sudah m en jadi perdebatan . 368 3 Teori pen afsiran historis w hat is historical backgroun d of the form ulation of a text Penafsiran historis m en cakup dua pen gertian : i penafsiran sejarah perum usan un dan g-un dang; dan ii penafsiran sejarah hukum . Pen afsiran yan g pertam a, m em fokuskan diri pada latar belakang sejarah perum u- san naskah. Bagaim ana perdebatan yan g terjadi ketika n askah itu hendak dirum uskan. Oleh karen a itu yang di- butuhkan adalah kajian m en dalam ten tang notulen - 367 Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterje- mahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ. Parahiayangan, 2001, hal. 25. 368 Ibid., hal. 26. Misalnya, basis sistem ekonomi sosialis Cina, seperti dalam Art. 6 ayat 1 Konstitusi Cina: 1 “The basis of the socialist economic system of the Peoples Republic of China is socialist public ownership of the means of production, namely, ownership by the whole people and collective ownership by the working people”; dan makna dari sistem kepemilikan publik, seperti dalam Art 6 ayat 2 “The system of socialist public ownership supersedes the system of exploitation of man by man; it applies the principle of from each according to his ability, to each according to his work”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 276 n otulen rapat, catatan -catatan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam ben tuk tulisan ilm iah m aupun kom en tar tertulis yang pern ah dibuat, otobiografi yan g bersan gkutan , hasil wawan cara yang dibuat oleh wartawan den gan yang bersan gkutan , atau wawan cara khusus yang sengaja dilakukan untuk keperluan m enelaah peristiwa yang bersan gkutan . Pen afsiran kedua, m en cari m akn a yang dikaitkan den gan kon teks kem asyarakatan m asa lam pau. Dalam pen carian m akn a tersebut juga kita m erujuk pendapat-pendapat pakar dari m asa lam pau, term asuk pula m erujuk kepada norm a-norm a hukum m asa lalu yan g m asih relevan . 369 4 Teori pen afsiran sosiologis w hat does social context of the ev ent to be legally judged Kon teks sosial ketika suatu n askah dirum uskan dapat dijadikan perhatian untuk m en afsirkan n askah yan g bersan gkutan. Peristiwa yan g terjadi dalam m asya- rakat acapkali m em pengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirum uskan . Misalnya, pada kalim at “dipilih secara dem okratis” dalam Pasal 18 ayat 4 Un dan g- Un dang Dasar 1945 yan g m en yatakan , “Gubern ur, Bupati, dan W alikota m asing-m asing sebagai kepala pem erintah daerah prov insi, kabupaten, dan kota di- pilih secara dem okratis.” 5 Teori pen afsiran sosio-historis asbabunnuzul dan asbabulw urud, w hat does the social con text behin d the form ulation of the text Berbeda dengan pen afsiran sosiologis, pen afsiran sosio-historis m em fokuskan pada konteks sejarah m a- syarakat yan g m em pen garuhi rum usan naskah hukum . Misaln ya, ide persam aan dalam teks kon stitusi Republik 369 Ibid., hal. 29. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 277 V Peran cis, 370 ide ekon om i kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945, dan ide Negara Kekaisaran J epang. 371 6 Teori pen afsiran filosofis w hat is philosophical thought behin d the ideas form ulated in the text Penafsiran den gan fokus perhatian pada aspek filo- sofis. Misaln ya, ide n egara hukum dalam konstitusi Republik V Peran cis Article 66: “N o person m ay be detained arbitrarily ”. Ide n egara hukum dalam Pasal 1 ayat 3 Un dan g-Un dan g Dasar Negara Republik In do- n esia Tahun 1945 yan g m enyatakan bahwa n egara In don esia adalah negara hukum . Contoh lain lagi adalah rum usan ide dem okrasi terpusat centralized dem o- cracy dalam Kon stitusi Cina. 372 370 Constitution of The Fifth French Republic, 1958, Article 2, “France is an indivisible, secular, democratic and social Republic. It shall insure equality before the law for all citizens without distinction of origin, race, or religion. It shall respect all beliefs…” 371 Art. 1 [Symbol of State]: “The Emperor shall be the symbol of the State and of the unity of the people, deriving his position from the will of the people with whom resides sovereign power”. Article 2 [Dynastic Throne]: “The Imperial Throne shall be dynastic and succeeded to in accordance with the Imperial House Law passed by the Diet”. 372 Konstitusi Cina, Article 3 [Democratic Centralism]: “1 The state organs of the Peoples Republic of China apply the principle of democratic centralism. 2 The National Peoples Congress and the local peoples congresses at different levels are instituted through democratic election. They are responsible to the people and subject to their supervision. 3 All administrative, judicial and procuratorial organs of the state are created by the peoples congresses to which they are responsible and under whose supervision they operate. 4 The division of functions and powers between the central and local state organs is guided by the principle of giving full play to the initiative and enthusiasm of the local authorities under the unified leadership of the central authorities.” Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 278 7 Teori penafsiran teleologis w hat does the articles w ould like to achiev e by the form ulated text. Penafsiran in i difokuskan pada pen guraian atau form ulasi kaidah-kaidah hukum m enurut tujuan dan jan gkauan n ya. Tekan an tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkan dun g tujuan atau asas sebagai lan - dasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut m em pe- n garuhi in terpretasi. Dalam pen afsiran dem ikian juga diperhitungkan konteks kenyataan kem asyarakatan yang aktual. 373 8 Teori penafsiran holistik. Penafsiran in i m en gaitkan suatu naskah hukum den gan kon teks keseluruhan jiwa dari n askah tersebut. Misalnya, The indiv idual econ om y 374 dalam Article 11 ayat 1 Kon stitusi Cin a: 1 “The indiv idual econ om y of urban and rural w orking people, operated w ithin the lim its prescribed by law , is a com plem en t to the sociallist public econom y . The state protects the law ful rights an d in terests of the in div idual econ om y ”; 2 “The state guides, helps, an d supervises the indiv idual econom y by exercisin g adm in istrative con trol”; 3 “The State perm its the priv ate sector of the econom y to exist and develop w ithin the lim its prescribed by law . The priv ate sector of the econom y is a com plem ent to the socialist public econom y . The State protects the law ful rights an d in terests of the private sector of the econ om y , an d 373 Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 30. 374 Istilah the individual economy dalam konteks negara sosialis yang dianut Cina menjadi jiwa dari sistem sosialis, seperti yang dinyatakan dalam konsti- tusi Cina, Article 1 “The Peoples Republic of China is a socialist state under the peoples democratic dictatorship led by the working class and based on the alliance of workers and peasants”; 2 “The socialist system is the basic system of the Peoples Republic of China. Sabotage of the socialist system by any organization or individual is prohibited”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 279 exercises guidance, supervision an d control ov er the priv ate sector of the econom y ”. 9 Teori pen afsiran holistik tem atis-sistem atis w hat is the them e of the articles form ulated, or how to un- destand the articles sy stem atically according to the grouping of the form ulation Dalam hal ini, m isalnya, regular election dalam Article 68 dan 69 Konstitusi Am erika Serikat: ”Regular election s to the N ational Assem bly shall be held w ithin sixty day s prior to the expiration of the term of the current Asem bly . Procedures for election s to the N ation al Assem bly shall be prescribed by law . The date of election s shall be fixed by Presiden tial decree. The first session of a n ew ly elected N ation al Assem bly shall conv ene on the second Thursday follow ing the election of at least tw o thirds of the total num ber of Deputies. Until the election of the President of the N ational Assem bly , its m eetin gs shall be chaired by the Deputy w ho is m ost senior in age.” “The regular session s of the N ation al Assem bly shall conv ene tw ice per y ear from the secon d M onday of Septem ber to the second W ednesday of Decem ber and from the first Mon day of February to the secon d W ednesday of Jun e. The sittings of the Nation al Assem bly shall be open to the public. Closed door sittings m ay be conv ened by a resolution of the N atio- n al Assem bly .” Di sam ping itu, dalam perkem bangan pem ikiran dan praktik penafsiran hukum di dunia akhir-akhir in i, telah berkem ban g pula berbagai corak dan tipe baru dalam penafsiran hukum dan kon stitusi di berbagai negara. Oleh karen a itu, pendapat-pendapat yang biasa kita diskusikan di berbagai fakultas hukum di tan ah air juga perlu m em perhatikan dinam ika perkem ban gan di dun ia ilm u hukum pada um um n ya. Oleh sebab itu, ber- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 0 bagai pan dan gan para sarjan a m en genai ragam m etode penafsiran itu, perlu kita him pun dan kita sarikan seba- gaim an a m estin ya. Selain ke-9 teori penafsiran tersebut di atas, dapat pula dikem ukakan adan ya pen dapat Utrecht m en genai m etode pen afsiran un dan g-un dan g: 1 Penafsirkan m enurut arti kata atau istilah taalkun- dige interpretasi H akim wajib m encari arti kata dalam un dang- undang den gan cara m em buka kam us bahasa atau m e- m in ta keteran gan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup. hakim harus m em pelajari kata tersebut dalam susun an kata-kata kalim at atau hubungan n ya den gan peraturan - peraturan lainn ya. Cara penafsiran in i, m enurut Utrecht, yan g pertam a ditem puh atau usaha perm ulaan un tuk m en afsirkan . 375 2 Penafsiran historis historische interpretatie Cara pen afsiran historis in i, m en urut Utrecht, 376 dilakukan den gan i m en afsirkan m en urut sejarah hukum rechtshistorische interpretatie, dan ; ii m en af- sirkan m en urut sejarah penetapan suatu keten tuan w etshistorische interpretatie. Pen afsiran m en urut seja- rah, m enurut Utrecht, m erupakan penafsiran luas atau m en cakup pen afsiran m enurut sejarah pen etapan . Kalau penafsiran m en urut sejarah pen etapan dilakukan dengan cara m en cerm ati laporan-laporan perdebatan dalam pe- rum usan n n ya, surat-surat yan g dikirim berkaitan dengan kegiatan perum usan , dan lain -lain, sedan gkan pen afsiran 375 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet. XI, PT. Jakarta: Ichtiar Baru, 1983, hal. 208. 376 Pendapat Utrecht ini sangat mirip dengan pendapat Visser”t Hoft yang pada nantinya akan diuraikan secara tersendiri. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 1 m en urut sejarah hukum dilakukan m en yelidiki asal n askah dari sistem hukum yan g pern ah diberlakukan , term asuk pula m en eliti asal n askah dari sistem hukum lain yang m asih diberlakukan di n egara lain . 377 Bagi hakim , m en urut Scholten , m akn a pen afsiran historis berdasarkan kebutuhan praktik. Pada um um nya yan g pen ting bagi hakim ialah m engetahui m aksud pem buat n askah hukum pada waktu ditetapkan. H ukum bersifat din am is dan perkem bangan hukum m engikuti perkem bangan m asyarakat. Oleh karen a itu, m akn a yang dapat diberikan kepada suatu kata dalam n askah hukum positif sekarang berbeda dengan m aknanya pada waktu ditetapkan . Oleh sebab itu pula, pen afsiran m en urut sejarah hakikatn ya han ya m erupakan pedom an saja. 378 Akan tetapi, penafsiran historis tidak han ya m enelaah risalah sebagai story perum usan naskah, tetapi juga m e- n elaah sejarah sosial, politik, ekon om i dan social ev ent lainnya ketika rum usan naskah tersebut dibahas. 3 Pen afsiran sistem atis Penafsiran sistem atis m erupakan pen afsiran m e- n urut sistem yan g ada dalam rum usan hukum itu sen diri sy stem atische in terpretatie. Pen afsiran dem ikian dila- kukan den gan m em perhatikan keten tuan -keten tuan lain dalam n askah hukum yan g bersangkutan . Pen afsiran sistem atis juga dapat terjadi jika naskah hukum yang satu dan n askah hukum yan g lain , di m an a keduan ya m e- n gatur hal yang sam a, dihubungkan dan diban din gkan satu sam a lain. J ika m isalnya yang ditafsirkan itu adalah pasal dari suatu un dan g-un dan g, m aka keten tuan - ketentuan yang sam a, apalagi satu asas dalam peraturan lain n ya, harus dijadikan acuan. 379 377 Utrecht, Op. Cit., hal. 209 378 Ibid., hal. 210-211. 379 Ibid., hal. 212-213. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 2 4 Penafsiran sosiologis Menurut Utrecht, setiap pen afsiran undan g-un - dan g harus diakhiri den gan pen afsiran sosiologis agar keputusan hakim dibuat secara sun gguh-sun gguh sesuai dengan keadaan yan g ada dalam m asyarakat. Utrecht m en gatakan bahwa hukum m erupakan gejala sosial, m aka setiap peraturan m em iliki tugas sosial, yaitu ke- pastian hukum dalam m asyarakat. Tujuan sosial suatu peraturan tidak sen an tiasa dapat dipaham i dari kata- kata yang dirum uskan . Oleh karena itu, hakim harus m en carin ya. Pen afsiran sosiologis m erupakan jam in an kesun gguhan hakim dalam m em buat keputusan , oleh karen a keputusan n ya dapat m ewujudkan hukum dalam suasana yan g senyatan ya dalam m asyarakat. 38 0 5 Penafsiran otentik atau resm i authentieke atau offi- ciele interpretatie Pen afsiran otentik in i sesuai den gan tafsir yang din yatakan oleh pem buat undang-udang legislator dalam undang-undang itu sendiri. 38 1 Misaln ya, arti kata yan g dijelaskan dalam pasal atau dalam pen jelasan n ya. J ikalau in gin m engetahui apa yang dim aksud dalam suatu pasal, m aka lan gkah pertam a adalah lihat penje- lasan pasal itu. Oleh sebab itu, pen jelasan undang- un dan g selalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam Tam ba- han Lem baran Negara, sedangkan n askah undang- un dan gn ya diterbitkan dalam Lem baran Negara. Sem en tara itu, Visser’t H oft m en gem ukakan 7 tujuh m odel penafsiran hukum , yaitu: 38 2 380 Ibid., hal. 216. 381 Ibid., hal. 217. 382 Ph. Visser’t Hoft, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 3 1 Penafsiran Gram atikal atau In terpretasi Bahasa Dalam m odel in i, penafsiran gram atikal yang di- m aksud m em punyai pen gertian yang sam a sebagaim ana telah dikem ukakan sebelum nya. 2 Penafsiran Sistem atis Makn a form ulasi sebuah kaidah hukum atau m ak- n a dari sebuah istilah yan g ada di dalam nya ditetapkan lebih jauh dengan m engacu pada hukum sebagai sistem . Lan gkah yan g dilakukan yaitu den gan m en cari m akna kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yang ada kaitan n ya dan m elihat pula pada kaidah-kaidah lain - n ya. Men urut Visser’t, dalam sebuah sistem hukum yang m en itikberatkan pada kodifikasi, m aka m erujuk pada sistem un dan g-un dan g atau kitab un dan g-undang m eru- pakan hal yan g biasa. Perun dan g-undangan adalah se- buah sistem . Ketentuan -ketentuan yang ada di dalam nya salin g berhubun gan dan sekaligus keterhubun gan an ter- sebut dapat m enentukan suatu m akna. Akan tetapi, da- lam tatan an hukum yang tidak terkodifikasi, m erujuk pada sistem dim un gkin kan sepanjan g karakter sistem atis dapat diasum sikan atau dian daikan . 3 Penafsiran Sejarah Un dan g-un dang Penafsiran den gan cara m erujuk pada sejarah pe- n yusun an n ya, m em baca risalah, catatan pem bahasan oleh kom isi-kom isi dan naskah-n askah lain yan g berhu- bungan den gan pem bahasan term asuk surat-m en yurat yan g berhubun gan den gan pen yusun an suatu un dan g. 4 Penafsiran Sejarah H ukum Penafsiran den gan cara m en en tukan arti suatu ru- m usan norm a hukum dapat m em perhitun gkan sejarah isi n orm a atau pen gertian hukum dengan m en cari keter- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 4 kaitan dengan pendapat penulis-penulis, atau konteks kem asyarakatan m asa lalu. 5 Penafsiran Teleologis Maksudn ya yaitu m en afsirkan dengan cara m en ga- cu kepada form ulasi n orm a hukum m enurut tujuan dan jangkauan n ya. Fokus perhatian dalam m en afsirkan ada- lah fakta bahwa pada n orm a hukum m en gandun g tujuan atau asas yang m en jadi dasar sekaligus m em pen garuhi in terpretasi. Bisa jadi suatu n orm a m en gandung fungsi atau m aksud untuk m elindungi kepen tingan terten tu, sehingga ketika keten tuan tersebut diterapkan, m aksud tersebut harus dipenuhi. Dalam m elakukan pen afsiran teleologis, juga m em perhitungkan terhadap konteks fak- ta kem asyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarah- kan untuk m en em ukan pertautan pada kehen dak dari pem bentuk undang-undang pada waktu perum usan n ya. Maksudnya lebih diarahkan kepada m akna aktual atau m akn a obyektif n orm a yan g ditafsirkan. Biasanya akan segera diken ali bahwa hakim m en ggunakan tafsir teleo- logis jika dalam pertim ban gann ya ditem ukan kata-kata “…keten tuan -keten tuan bertujuan …” atau “…jangkauan dari…”. 6 Penafsiran An tisipatif Menurut Visser’t, m etode pen afsiran in i dilakukan dengan cara m erujuk RUU yang sudah disiapkan un tuk dibahas atau sedan g dibahas dalam parlem en . Den gan cara ini sebenarnya hakim m elihat ke m asa yang akan datan g forw ard looking. Den gan perkataan lain , hakim dapat saja berpen dirian bahwa pen afsiran terhadap nor- m a hukum yang dilakukannya didasarkan atas pen ela- haan dari sudut pandang hukum baru. 7 Penafsiran Evolutif-Dinam is Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 5 Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan pan dan gan m asyarakat dan situasi kem asyarakatan . Makna yan g diberikan kepada suatu norm a bersifat m en - dobrak perkem bangan setelah dibelakukan n ya hukum terten tu. Salah satu ciri pentin g pen afsiran in i ialah pe- n gabaian m aksud pem bentuk undang-un dan g. Makna obyektif atau aktual m aupun subyektif dari suatu norm a sam a sekali tidak berperan lagi. J azim H am idi, den gan m en gutip pen dapat Sudikn o Mertokusum o, A. Pitlo, Achm ad Ali, dan Yudha Bhakti, m en catat sebelas m acam m etode pen afsiran hukum , yaitu: 38 3 1 In terpretasi Garam atikal, m enafsirkan kata-kata da- lam un dan g-un dang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa; 2 Interpretasi H istoris, yaitu penafsiran sejarah un- dan g-un dan g dan sejarah hukum ; 3 In terpretasi Sistem atis, m enafsirkan un dan g-un dang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang- un dan gan ; 4 In terpretasi Sosiologis atau Teleologis, m akn a un - dang-un dan g dilihat berdasarkan tujuan kem asyara- katann ya, sehingga penafsiran dapat m en guran gi ke- sen jan gan an tara sifat positif hukum den gan ken ya- taan hukum ; 5 In terpretasi Kom paratif, m en afsirkan dengan cara m em ban din gkan berbagai sistem hukum ; 6 In terpretasi Futuristik, m en afsirkan un dan g-un dang den gan cara m elihat pula RUU yan g sedan g dalam proses pem bahasan ; 7 In terpretasi Restriktif, m em batasi pen afsiran berda- sarkan kata yang m aknanya sudah tertentu; 383 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, Yogyakarta: UII Press 2005, hal. 53-57. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 6 8 In terpretasi Eksten sif, m enafsirkan den gn m elebihi batas hasil pen afsiran gram atikal; 9 In terpretasi Oten tik, pen afsiran yan g han ya boleh di- lakukan berdasarkan m akna yan g sudah jelas dalam un dan g-un dang; 10 In terpretasi Interdisiplin er, m enggun akan logika pe- n afsiran lebih dari satu caban g ilm u hukum ; 11 Interpretasi Multidisiplin er, m en afsirkan dengan m enggunakan tafsir ilm u lain di luar ilm u hukum . Ronald Dworkin m em pun yai pen dapat yan g ber- beda lagi m engen ai soal ini. Dworkin m engiden tifikasi- kan adanya ada 6 enam m odel in terpretasi dalam ilm u hukum , 38 4 yaitu: 1 Creative interpretation Menurut Dworkin , in terpretasi kreatif han ya ter- hadap kasus khusus dari in terpretasi conv ersational. 385 Pen afsiran in i dim aksudkan un tuk m engungkap m aksud penyusun atau m aksud-m aksud dalam tulisan. Misaln ya, n ovel atau tradisi terten tu m asyarakat yan g biasan ya di- ungkapkan m asyarakat dalam percakapan sehari-hari. Bahwa interpretasi kreatif han ya untuk kasus khusus penafsiran lisan. 38 6 In terpretasi kreatif bukanlah sekedar m en an gkap m akn a dalam percakapan m elainkan m eng- kon struksikan atau m en yusun m akn a. 38 7 Pen afsiran 384 Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge, Massachusetts, London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, 1986. 385 Ibid., hal. 51. 386 Ibid., ”Creative interpretation aims to decipher the authors’ purposes or intentions in writing particular novel or maintaining a particular social tradition, just as we aim in conversation to grasp a friend’s intentions in speaking as he does. … that creative interpretation is only a special case of conversational interpretaion”. 387 Ibid., hal. 52, “…that creative interpretation is not conversational but constructive” Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 7 kreatif dalam pan dan gan kon struktif adalah in teraksi antara m aksud dan tujuan . 38 8 2 Artistic interpretation Menem ukan m aksud penulis bukanlah persoalan yan g m udah, sebab kita harus berupaya m em aham i m aksud m elalui pem aknaan un gkapan kesadaran m en - tal. Pen afsiran artistik tidak selalu berm aksud m engiden - tifikasikan beberapa jen is kesadaran pikiran dalam m en ggunakan pengaruhn ya terhadap pikiran pen yusun ketika dia m en gatakan , m en ulis, atau m elakukan se- suatu. 38 9 Maksud intention selalu lebih kom pleks dan problem atikal com plex and problem atical m atter. 3 Social interpretation Pen afsiran praktik sosial dan kerja seni secara esen sialitas lebih m en ekan kan pada m aksud daripada penyebab. Penafsiran praktik sosial tidak dim aksudkan m en em ukan apa yan g dilakukan warga m asyarakat, m e- lain kan ada berbagai faktor baik ekon om i atau psikologi dari suatu perbuatan dengan fokus pen gam atan pada suatu lingkungan yan g dekat den gan apa yan g m ereka lakukan . 390 4 Constructive interpretation Pertam a, tahap pra-pen afsiran di m an a aturan -atu- ran dan batasan -batasan yan g digun akan un tuk m em be- rikan isi ten tatif dari praktik yang diperkenalkan. Kedua, 388 Ibid., “Creative interpretation, on the constructive view, is a matter of interaction between purpose and object”. 389 Ibid., hal. 55. 390 Ibid., hal. 51, “For the interpretation of social practices and works of art is essentially concerned with purposes rather than mere causes. The citi- zens of courtesy do not aim to find, when they interpret their practice, the various economic or psychological or phsycological determinants of their corvergent behavior.” Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 8 tahap diin terpretasikan , yaitu pen afsir m enjustifikasi un - sur-unsur pokok praktik. J ustifikasi tidak perlu sem ua harus sesuai bagi penafsir. Nam un yang terpen ting pe- n afsir m am pu m elihat dirin ya sen diri sebagai pen afsir praktis, dan m en em ukan suatu yang baru. Ketiga, setelah tahap pen afsiran, penafsir m en yesuaikan pen dirian -n ya ten tang praktik seben arn ya atau m en yelesaikan . 391 5 Literal interpretation Pen dapat berbeda diperdebatkan bagi teori legislasi yang lebih dikenal dewasa in i. H al in i kadang-kadang di- sebut sebagai teori pen afsiran literal, walaupun tidak se- cara khusus m enjelaskan gam bar. Penafsiran literal ber- tujuan bahwa kata-kata dalam UU diberikan apabila kita m en yebutn ya m akn a yang tidak sesuai den gan konteks- n ya. Artinya, m akn a kita berikan kalau kita tidak m em i- liki in form asi khusus ten tang kon teks yang m ereka guna- kan atau m aksud-m aksud dari pen ulis. Metode in ter- pretasi ini m ensyaratkan bahwa tidak ada ketergan tu- ngan konteks dan kualifikasi-kualifikasi tersem bun yi di- buat terhadap bahasa um um . 392 391 Ibid., hal. 66, “Second, there must be an interpretive stage at which the interpreter settles on some general justification for the main elements of the practice identified at the preinterpretive stage.…The justification need not fit every aspect or feature of the standing practice, but it must fit enough for the interpreter to be able to see himself as interpreting that practice, not inventing a new one. Finally, there must be a postinterpretive or reforming stage, at which he adjusts his sense of what the practice ‘really’ requires so as better to serve the justification he accepts at the interpretive stage.” 392 Ibid , hal. 17-18, “The dissenting opinion, written by Judge Gray, argued for a theory of legislation more popular then than it is now. This is some- times called a theory of ‘literal’ interpretation, though that is not a parti- cularly illuminating description. It proposes that the words of a statute be given what we might better call their acontextual meaning, that is, the meaning we would assign them if we had no special information about the context of their use or the intentions of their author. This method of inter- pretation requires that no context-dependent and unexpressed qualications Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 28 9 6 Conversational interpretation Metode in i adalah m etode yan g tidak lazim atau agak berbeda dari cara-cara yan g biasa digun akan. Pe- n afsiran in i bukan dim aksudkan un tuk m en jelaskan sua- ra seseoran g. Pen afsiran in i m en an dai m akn a dalam m en jelaskan m otif-m otif dan m aksud-m aksud m akn a yan g dirasakan pem bicara, dan m en yim pulkan sebagai pern yataan ten tan g m aksud pem bicara dalam m en ga- takan apa yang dia perbuat. Dalam tekn ik penafsiran in i, penafsir hen dak m en em ukan m aksud atau m akna yang diucapkan orang lain dalam berbagai peristiwa yang se- cara tepat untuk m akn a dalam m asyarakat, seperti m isal- nya sopan -santun . 393 Sebab, m aksud dem ikian adalah esen si bagi struktur yan g m enafsirkan pelaksan aan per- jan jian sebagai hal yan g berbeda dari pem aham an pihak lain dalam m en afsirkan sesuai pern yataan yang m ereka buat dalam penerapann ya. H al itu berlanjut bahwa pakar sosial harus berpartisipasi dalam praktik sosial jikalau dia m engharapkan un tuk m em aham in ya, sebagaim ana dibedakan dari pem aham an an ggota-an ggota lain n ya. 394 be made to general langguage, so Judge Gray insisted that the real statute, constructed in the proper way, contained no exceptions for murderers.” 393 Ibid., hal. 50, “…is puposive rather than causal in some more mechanical way. It does not aim to explain the sounds someone makes the way a biologist explains a frog’s croak. It assigns meaning in the light of the motives and purposes and concerns it supposes the speaker to have, and it reports its conclusions as statements about his ‘intention’ in saying what he did”. 394 Ibid., hal. 54-55, “…that the techniques of ordinary conversational interpretation, in which the interpreter aims to discover the intentions or meanings of another person, would in many event be in appropriate ketepa- tantepat for the interpretation of a social practice like courtesy kesopa- nankebaikanrasa hormat because it is essential to the structure of such a practice that interpreting the practice be treated pakta as different from understanding what other participants mean by the statements they make in its operation. It follows that a social scientist must participate in a social Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 290 Profesor Sutan dyo dalam salah satu tulisannya yang m em perbin cangkan sem iotika, m engem ukakan ten tang the sem iotic jurisprudence. Sem iotika m en gkaji ten tang tan da-tanda kebahasaan yan g tidak lain dari hasil kon - septualisasi oleh subjek-subjek atau intersubjek. Dari berbagai pendapat para sarjana yang digam - barkan di atas, pada garis besarn ya dapat dibedakan ke dalam 23 dua puluh tiga m etode pen afsiran , yaitu: 1 Metode Pen afsiran Literlijk atau Literal Metode ini dapat diartikan sebagai penafsiran let- terlijk atau harfiah w hat does the w ord m ean ? yang m em fokuskan pada arti atau m akn a kata w ord. Utrecht m em beri penjelasan tentan g pen afsiran m enurut arti kata atau istilah taalkundige interpretasi in i, yaitu kewajiban bagi hakim m en cari arti kata dalam un dang- undang den gan cara m em buka kam us bahasa atau m e- m in ta keteran gan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup hakim harus m em pelajari kata tersebut dalam susun an kata-kata kalim at atau hubungan n ya den gan peraturan - peraturan lainn ya. Cara penafsiran in i, m enurut Utrecht, m erupakan penafsiran yan g pertam a ditem puh atau usa- ha perm ulaan un tuk m en afsirkan . 395 2 Metode Pen afsiran Gram atikal bahasa Metode pen afsiran gram atikal atau interpretasi ba- hasa w hat does it linguistically m ean?. Penafsiran yang m en ekan kan pada m akna teks yan g di dalam n ya kaidah hukum din yatakan . Pern afsiran den gan cara dem ikian bertolak dari m akna m enurut pem akaian bahasa sehari- practice if he hopes to understand it, as distinguished from understanding its members”. 395 Utrecht, Op. Cit., hal. 208. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 291 hari atau m akn a tekn is-yuridis yang sudah dilazim kan. 396 Menurut Visser’t H oft, di negara-n egara yan g m engan ut tertib hukum kodifikasi, teks harfiah un dan g-undang di- n ilai sangat pentin g. Nam un , pen afsiran gram atikal saja tidak cukup jika ten tan g hal yan g ditafsirkan itu sudah m en jadi perdebatan . 397 3 Metode Pen afsiran Restriktif Pitlo dan Sudikn o m en gartikan pen afsiran in i seba- gai kegiatan m en afsirkan den gan cara m em batasi pen af- siran sesuai dengan kata yang m akn anya sudah terten tu. J ika suatu n orm a hukum yan g sederhan a sudah diru- m uskan secara jelas atau expresis v erbis, m aka tidak di- perlukan lagi untuk m enerapkan m etode-m etode pen af- siran yan g bersifat kom pleks. Cukuplah kiran ya hal ter- sebut dipaham i den gan m akn an ya yan g sudah jelas itu. 398 4 Metode Pen afsiran Eksten sif Men urut Pitlo dan Sudikno, hasil pen afsiran in i m elebihi hasil penafsiran gram atikal. Pen alaran yang di- gunakan dalam m etode ekstensif ini m erupakan kebali- kan dari penalaran dalam m etode restriktif. Penafsiran restriktif bersifat m em batasi, sedangkan penafsiran eks- ten sif bersifat m em perluas, sehingga penafsiran dilaku- kan tidak han ya terbatas kepada m akn a tekn is dan gra- m atikal kata-kata yan g terkan dun g dalam suatu rum usan n orm a hukum yan g bersangkutan. 399 396 Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 25. 397 Ibid., hal. 26. 398 Hamidi, Op. Cit. 399 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 292 5 Metode Penafsiran Oten tik Penafsiran otentik atau resm i authentiek e atau officiele interpretatie, m enurut Utrecht, m erupakan pe- n afsiran sesuai dengan tafsir yan g din yatakan oleh pem - buat undan g-undang legislator dalam un dan g-undang itu sen diri. 40 0 Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam pen jelasan n ya. Men urut Sudikno dan Pitlo, pen afsiran yang dem ikian hanya boleh dilakukan berdasarkan m akn a yang sudah jelas dalam undang- undang. 6 Metode Pen afsiran Sistem atik Metode ini m enafsirkan m en urut sistem yang ada dalam hukum sy stem atische interpretatie, dogm atische in terpretatie itu sendiri. Artinya, m enafsirkan dengan m em perhatikan n askah-n askah hukum lain . J ika yan g ditafsirkan adalah pasal dari suatu un dan g-un dan g, m a- ka keten tuan -keten tuan yan g sam a apalagi satu asas da- lam peraturan lain n ya juga harus dijadikan acuan. 40 1 Dalam penafsiran in i, sebagaim ana telah diuraikan sebe- lum n ya, m akn a form ulasi sebuah kaidah hukum atau m akn a dari sebuah istilah yan g ada di dalam n ya ditetap- kan lebih jauh den gan m en gacu pada hukum sebagai sistem . Lan gkah yang dilakukan yaitu den gan m en cari m akn a kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yan g ada kaitann ya dan m elihat pula pada kaidah-kaidah lain n ya. Men urut Visser’t, dalam sebuah sistem hukum yang m en itikberatkan pada kodifikasi, m aka m erujuk pada sistem un dan g-un dan g atau kitab un dan g-un dang m erupakan hal biasa. Perundang-undan gan adalah se- buah sistem . Keten tuan -ketentuan yang ada di dalam n ya saling berhubungan sekaligus saling berhubungan ter- sebut m enen tukan m akn a. Akan tetapi dalam tatan an 400 Utrecht, Op. Cit., hal. 217. 401 Ibid., hal. 212-213. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 293 hukum yan g tidak terkodifikasi, m erujuk pada sistem di- m un gkin kan sepan jan g karakter sistem atis dapat di- asum sikan dian daikan. 40 2 7 Metode Pen afsiran Sejarah Un dan g-un dan g Metode ini m en dasarkan diri pada m akn a historis yan g terkan dun g dalam perum usan un dang-un dang itu sendiri w hat is historical background of the form ula- tion of a text. Pen afsiran Sejarah Un dan g-un dang in i salah satu m etode pen afsiran sejarah dalam arti sem pit, yaitu pen afsiran den gan m erujuk pada sejarah penyusu- n an nya, m em baca risalah, catatan pem bahasan oleh kom isi-kom isi, dan naskah-n akah lain yang berhubu- n gan den gan pem bahasan term asuk surat-m en yurat yan g berkaitan den gan pen yusunan suatu undang. Menurut Utrecht, pen afsiran sejarah un dan g-un dang m em fokuskan diri pada latar belakan g sejarah peru- m usan n askah, dan bagaim an a peredebatan yan g terjadi ketika naskah itu hendak dirum uskan. 40 3 Oleh karen a itu, yang dibutuhkan adalah kajian m en dalam ten tang n otulen -n otulen rapat, catatan -cata- tan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam bentuk tulisan ilm iah m aupun kom entar tertulis yan g pern ah dibuat, otobiografi yang bersan gkutan , hasil wawancara yan g dibuat oleh warta- wan den gan yan g bersan gkutan , atau wawancara khusus yan g sen gaja dilakukan un tuk keperluan m en elaah pe- ristiwa yan g bersan gkutan . Men urut H oft, pen afsiran sejarah un dan g-un dan g m erupakan pen afsiran dengan m erujuk pada sejarah pen yusun an n ya, m em baca risalah, catatan pem bahasan oleh kom isi-kom isi, dan naskah- n askah lain yang berhubun gan den gan pem bahasan ter- 402 Ph. Viser’t Hoft, Op.Cit. 403 Utrecht, Op.Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 294 m asuk surat-m en yurat yan g berhubungan den gan pe- n yusun an suatu un dan g. 40 4 8 Metode Pen afsiran H istoris dalam arti Luas Metode pen afsiran den gan sejarah hukum , m en u- rut pen dapat Utrecht, m en cakup dua pengertian , yaitu i penafsiran sejarah perum usan un dang-undan g seperti yan g sudah diuraikan di atas; dan ii penafsiran sejarah hukum itu sendiri, yaitu m elalui penafsiran sejarah hu- kum yan g bertujuan m en cari m akn a yan g dikaitkan dengan kon teks kem asyarakatan m asa lam pau. 40 5 Dalam arti sem pit, yaitu m etode penafsiran sejarah un dang- un dan g sudah diuraikan di atas. Sedan gkan pada bagian in i diuraikan m engenai m etode penafsiran historis dalam arti luas. Dalam hal in i, untuk m encari dan m en em ukan m akn a historis suatu pen gertian n orm atif dalam un dang- undang, pen afsir juga harus m erujuk pen dapat-pen dapat pakar dari m asa lam pau. Term asuk pula m erujuk kepada hukum -hukum m asa lalu yan g relevan . Men urut Utrecht, penafsiran den gan cara dem ikian dilakukan den gan m e- n afsirkan suatu n askah m en urut sejarah hukum rechts- historische interpretatie. Pen afsiran historis dem ikian itu dilakukan pula dengan m enyelidiki asal usul naskah dari sistem hukum yang pernah diberlakukan, term asuk pula m en eliti asal n askah dari sistem hukum lain yang m asih diberlakukan di negara lain . 40 6 Bagi hakim , m en urut Scholten , m akna penafsiran historis berdasar- kan kebutuhan praktik. Pada um um nya yang terpen ting bagi hakim ialah m en getahui m aksud pem buat n askah hukum pada waktu ditetapkan . H ukum bersifat din am is, dan perkem bangan hukum m en gikuti perkem bangan 404 Ph. Visser’t Hoft, Op.Cit. 405 Utrecht, Op.Cit. 406 Ibid., hal. 209. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 295 m asyarakat. Oleh karen a itu, m akn a yan g dapat diberikan kepada suatu kata dalam n askah hukum posi- tif sekarang berbeda dengan m aknanya pada waktu dite- tapkan . Oleh sebab itu pula penafsiran m enurut sejarah hakikatn ya han ya m erupakan pedom an saja. 40 7 Akan tetapi, penafsiran historis tidak han ya m en elaah risalah sebagai story perum usan n askah, tetapi juga m en elaah sejarah sosial, politik, ekon om i dan social ev ent lainn ya ketika rum usan naskah tersebut dibahas. Artin ya, pen afsiran historis bisa m eram bah ke pen afsian sosio-historis baik dari aspek sosial, ekonom i, politik, dan kejadian -kejadian pen tin g yan g m em beri nuan sa ke- pada sebuah n askah hukum . Misaln ya, ketika Pasal 33 UUD 1945 dirum uskan , suasan a an ti kolon ialism e se- dan g m arak, sehin gga pen olakan terhadap yan g berlatar belakang liberalism e dan kapitalism e sangat kuat dan sangat logis terjadi ketika itu. Latar belakan g yang sam a juga dapat m en jadi sebab m en gapa hak asasi m an usia sangat kurang dirin ci dalam rum usan UUD 1945 versi aslin ya. Mem an g ben ar bahwa hak asasi m an usia ada kaitan nya den gan in di- vidualism e yan g m en jadi basis paham liberalism e ekon o- m i, politik, dan kapitalism e dalam bidan g ekon om i. Akan tetapi, ketika Pasal 33 ditafsirkan pada tahun 20 0 5 atau 50 tahun kem udian apakah konteks sosio-historis tahun 1945 harus ditan ggalkan? Sepan jan g kekuatan argum en - tasi dapat m enun jukkan bahwa liberalism e m em ang terbukti ben ar-benar m engancam sistem ekonom i n asio- n al dalam sistem ekon om i global, m aka apapun alasan - n ya liberalism e ekstrim harus ditolak dan prin sip pe- n guasaan n egara harus dipertahan kan den gan penye- suaian di sana-sin i. 407 Ibid., hal. 210-211. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 296 9 Metode Pen afsiran Sosio-H istoris Metode in i m en yan gkut penafsiran sosio-historis asbab al-n uzul dan asbab al-w urud, yaitu berkenaan den gan persoalan w hat does the social context behind the form ulation of the text. Berbeda dari pen afsiran historis, dalam penafsiran sosio-historis in i, dipertim - bangkan pula berbagai konteks perkem bangan m asya- rakat yan g m elahirkan n orm a yang hen dak ditafsirkan itu den gan seksam a. Di pihak lain, berbeda pula dengan penafsiran sosiologis, penafsiran sosio-historis ini lebih m em usatkan perhatian pada kon teks sejarah m asyarakat yan g m em pengaruhi rum usan naskah ketika n orm a hu- kum yang bersangkutan terbentuk di m asa lalu. 10 Metode Pen afsiran Sosiologis Metode pen afsiran sosiologis sociological inter- pretation ini m endasarkan diri pada penafsiran yang bersifat sosiologis w hat does social context of the ev ent to be legally judged. Konteks sosial ketika suatu naskah dirum uskan dapat dijadikan perhatian un tuk m en afsir- kan n askah. Peristiwa yang terjadi dalam m asyarakat acapkali m em pengaruhi legislator ketika sebuah n askah hukum dirum uskan. 11 Metode Pen afsiran Teleologis Metode pen afsiran teleologis m em usatkan perha- tian pada persoalan , apa tujuan yan g hen dak dicapai oleh n orm a hukum yang diten tukan dalam teks w hat does the articles w ould like to achiev e. Pen afsiran ini di- fokuskan pada pen guraian atau form ulasi kaidah-kaidah hukum m en urut tujuan dan jangkauann ya. Tekan an taf- siran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai lan dasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut m em pen garuhi in terpretasi. Dalam Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 297 pen afsiran yan g dem ikian in i juga diperhitun gkan kon - teks ken yataan kem asyarakatan aktual. 40 8 Utrecht tidak m engenal penafsiran teleologis, se- dan gkan m en urut H oft, pen afsiran seperti in i dilakukan dengan cara m engacu kepada form ulasi norm a hukum m en urut tujuan dan jan gkauan n ya. Dalam m en afsirkan secara teleologis, fokus perhatian adalah fakta bahwa pada norm a hukum m en gadung tujuan yang m en jadi da- sar atau asas sekaligus m em pengaruhi interpretasi. Bisa jadi suatu n orm a m engan dung fun gsi atau m en gandung m aksud un tuk m elindungi kepen tingan tertentu, se- hingga ketika keten tuan tersebut diterapkan, m aksud tersebut harus dipen uhi. Pen afsiran teleologis juga m em - perhitungkan kon teks fakta kem asyarakatan aktual. Cara in i tidak terlalu diarahkan un tuk m en em ukan pertautan pada kehen dak dari pem bentuk undang-un dan g pada waktu perum usann ya. Maksudnya, lebih diarahkan ke- pada m akn a aktual atau m akn a obyektif n orm a yang di- tafsirkan, sebagaim ana telah disin ggun g sebelum nya. 12 Metode Pen afsiran H olistik Metode pen afsiran holistik m en gum akan aspek ke- seluruhan unsur yan g terkait. Teori pen afsiran holistik m en gaitkan pen afsiran suatu n askah hukum dengan kon teks keseluruhan jiwa dari n askah hukum tersebut. Ide yan g terkandung di dalam m etode in i m en gandaikan bahwa setiap n askah hukum seperti un dan g-undang ataupun un dang-undan g dasar haruslah dilihat sebagai satu kesatuan sistem norm a hukum yang m engikat un tuk um um integral an d integrated constitution or legis- lation, sehin gga kandungan m akna yan g diatur di dalam n ya tidak dapat dipaham i pasal dem i pasaln ya, m elain harus dim en gerti sebagai satu kesatuan yang m en yeluruh holistik. 408 Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 30. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 298 13 Metode Pen afsiran Tem atis-Sistem atis Di sin i yan g m en jadi pusat perhatian adalah per- soalan w hat be the substantiv e them e of the articles for- m ulated, or how to understand the substantiv e them e of the articles sy stem atically according to the grouping of the form ulation. Misaln ya, ketentuan m engenai pem ili- han um um berkala dalam Article 68 Kon stitusi Am erika Serikat m en en tukan bahwa pem ilihan um um berkala di- selenggarakan dalam waktu selam bat-lam batn ya 30 hari sebelum m asa jabatan anggota Nasion al Assem bly berakhir. Pem ilihan um um an ggota Nation al Assem bly dim aksud diselenggarakan m en urut tata cara yang diatur dengan un dan g-undan g. Selan jutnya diten tukan pula bahwa tan ggal pen yelen ggaraan pem ilihan um um itu di- tetapkan dengan keputusan Presidential decree dengan keten tuan bahwa sidan g pertam a para anggota National Assem bly yang baru terpilih harus sudah diadakan pada hari Kam is kedua sesudah terpilih sekuran g-kuran gn ya 2 3 jum lah seluruh an ggota Nation al Assem bly on the second Thursday follow ing the election of at least tw o thirds of the total num ber of Deputies. Sebelum terpilih seoran g Ketua Nation al Assem bly Presiden t of the N ational Assem bly , persidangan dipim pin oleh 2 dua oran g an ggota yan g tertua usian ya. 40 9 J ika diperhatikan , 409 Article 68 UUD Amerika Serikat itu berbunyi, ”Regular elections to the National Assembly shall be held within sixty days prior to the expiration of the term of the current Assembly. Procedures for elections to the National Assembly shall be prescribed by law. The date of elections shall be fixed by Presidential decree. The first session of a newly elected National Assembly shall convene on the second Thursday following the election of at least two thirds of the total number of Deputies. Until the election of the President of the National Assembly, its meetings shall be chaired by the Deputy who is the most senior in age”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 299 jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Am erika Serikat m en gatur m en genai tem a yan g berken aan den gan pro- sedur pen yelen ggaraan pem ilihan um um . 14 Metode Pen afsiran An tisipatif atau Futuristik Metode pen afsiran in i dilakukan dengan cara m e- rujuk suatu ran can gan undan g-un dan g yan g sudah m en dapat persetujuan bersam a, tetapi belum disahkan secara form il. Kem ungkinan lain juga dapat terjadi, m i- salnya, suatu rancan gan undang-un dan g sudah disiap- kan un tuk dibahas atau sedang dibahas dalam parlem en, tetapi diperkirakan ada m ateri-m ateri terten tu yang di- n ilai sudah pasti lolos untuk pada saatn ya disahkan m en - jadi n orm a hukum yan g m engikat. J ika hakim di pengadilan m elihat ke depan forw ard looking atau antisipatif dan futuristik, ia dapat m enerapkan norm a- norm a hukum yang belum berlaku secara form il itu dalam m em eriksa dan m em utus sesuatu kasus yang untuk tujuan m ewujudkan keadilan yan g n yata m em - butuhkan referensi yang bersifat futuristik tersebut. Dengan cara dem ikian , m aka para hakim dapat m elihat n ilai-n ilai keadilan den gan kacam ata yan g m em andang jauh ke m asa yang akan datang. Den gan kata lain , hakim dapat m enilai dan m en erapkan suatu norm a hukum yang ada dengan m en afsirkan nya dari sudut pandan g hukum baru. 15 Metode Penafsiran Evolutif-Dinam is Istilah pen afsiran yang dem ikian digun akan oleh Visser’t H oft dikarenakan bahwa m etode pen afsiran evo- lutif-din am is ini dilakukan karen a adan ya perubahan pan dan gan dalam din am ika kehidupan m asyarakat. 410 Situasi dan kondisi kem asyarakatan secara luas m engala- m i perubahan yan g m endasar. Oleh karena itu, m akna 410 Visser’t Hoft, Op.Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 0 yan g harus diberikan kepada norm a hukum yan g ditaf- sirkan haruslah bersifat m endobrak perkem bangan se- telah dibelakukannya suatu norm a hukum tertentu. Sa- lah satu ciri pen tin g m etode pen afsiran in i ialah diabai- kan n ya m aksud asli pem ben tuk un dan g-un dan g the original intent dari keharusan un tuk dijadikan refe- ren si. Makn a obyektif atau aktual m aupun subyektif dari suatu norm a sam a sekali tidak dianggap berperan lagi. Sem ua itu dian ggap tidak lagi relevan den gan kebutuhan n yata untuk m en egakkan keadilan di lapangan . 16 Metode Pen afsiran Kom paratif Pitlo dan Sudikn o m en gartikan penafsiran in i se- bagai kegiatan m enafsirkan dengan cara m em ban ding- kan dengan berbagai sistem hukum . Perbandingan dapat dilakukan un tuk m aksud m em aham i hukum sen diri atau dapat pula dim aksudkan un tuk m en em ukan prin sip- prin sip yan g berlaku um um dari objek-objek yan g diper- ban dingkan. Den gan dem ikian , perban din gan dapat di- lakukan an tar dua objek atau an tar ban yak objek. Di sam pin g itu, perbandin gan dapat dilakukan den gan cara m em ban din gkan un sur-un sur yan g sam a dan atau unsur-unsur yan g berlain an dari objek-objek yan g diper- ban dingkan satu sam a lain . H asil dari proses perban - dingan itu pada akhirn ya adalah untuk diterapkan dalam m en yelesaikan suatu kasus atau perm asalahan hukum den gan seadil-adiln ya dan setepat-tepatn ya. 411 17 Teori Pen afsiran Filosofis Pen afsiran filosofis m em usatkan perhatian pada segi w hat is the underly ing philosophical thought yang terkan dung dalam perum usan teks hukum yan g ditaf- sirkan. Pen afsiran in i m em punyai fokus perhatian pada aspek filosofis yan g terkandung dalam norm a hukum 411 Jazim Hamidi, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 1 yan g hen dak ditafsirkan. Misaln ya, ide n egara hukum dalam Kon stitusi Republik V Peran cis Art. 66: “N o per- son m ay be detain ed arbitrarily ”. Tidak seorangpun yan g dapat ditahan han ya didasarkan atas kebijaksanaan penguasa. Dem ikian pula ide n egara hukum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yan g m en yatakan , “Negara In don e- sia adalah Negara H ukum ”, ide dem okrasi terpusat dalam Konstitusi Cin a dem ocratic centralism , dan lain sebagainya. Ide-ide yang dirum uskan itu tidak dapat di- paham i han ya den gan pen dekatan biasa, m elain kan harus dim en gerti secara m en dalam , yaitu pada latar be- lakan g filosofis tum buhn ya ide n egara hukum itu sen diri dalam sejarah perkem ban gan um at m an usia, baik yang terkait dengan konsep rule of law m aupun den gan kon - sep rechtsstaat. 18 Metode Pen afsiran In terdisiplin er Men urut Pitlo dan Sudikn o, m en ggun akan logika penafsiran den gan m en gunakan bantuan ban yak cabang ilm u pen getahuan , ban yak cabang ilm u hukum sen diri, ataupun dari ban yak m etode pen afsiran, juga dianjurkan . Metode in i dianggap pentin g, karena banyak kasus yang kom pleks yan g tidak dapat dipecahkan jika kita han ya m endekatin ya dari satu sudut pandang saja. Apalagi, untuk tujuan m ewujudkan keadilan , kadang-kadang per- m asalahan yan g dihadapi san gat kom pleks sifatn ya dan m em erlukan pen dekatan -pen dekatan yan g in terdisiplin . Oleh karena itu, m etode penafsiran dem ikian disebut se- bagai m etode penafsiran interdisipliner. 412 19 Metode Penafsiran Multidisipliner Metode penafsiran m ultidisiplin in i berbeda dan dibedakan dari pen afsiran in terdisiplin , sebagaim an a yan g sudah dikem ukakan di atas. Kadang-kadang ada 412 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 2 kasus-kasus yang tidak m em erlukan pendekatan in terdi- siplin yan g m enyeluruh, m elainkan cukup dengan m eng- gun akan ban tuan pen afsiran m enurut suatu caban g ilm u di luar ilm u hukum . Misalnya, suatu pem buktian un tuk m en en tukan seseorang bersalah atau tidak yan g sem ata- m ata tergan tung kepada pen afsiran yang terdapat dalam ilm u kedokteran . Un tuk m enerapkan suatu norm a hu- kum terhadap kasus yan g kon krit tergan tun g kepada penafsiran m enurut ilm u kedokteran , sehingga pen af- siran tersebut dapat dikatakan dilakukan den gan m en g- gun akan tafsir ilm u lain di luar ilm u hukum . Metode penafsiran yan g dem ikian in ilah yang disebut sebagai penafsiran m ultidisiplin, bukan in terdisiplin seperti yang sudah diuraikan di atas. 20 Metode Pen afsiran Kreatif Creativ e Interpretation Menurut Dworkin , interpretasi kreatif creativ e in terpretation dapat digun akan , tetapi han ya terhadap kasus khusus dari interpretasi conv ersation al. Pen afsi- ran in i dim aksudkan un tuk m en gun gkap m aksud pen yu- sun atau m aksud-m aksud dalam tulisan . Misaln ya, n ovel atau tradisi terten tu m asyarakat yan g biasan ya diung- kapkan m asyarakat dalam percakapan sehari-hari. Bah- wa interpretasi kreatif han ya untuk kasus khusus pe- nafsiran lisan. Interpretasi kreatif bukan lah sekedar m e- n an gkap m akn a dalam percakapan m elainkan m eng- kon struksikan atau m en yusun m akn a. Pen afsiran kreatif dalam pan dangan kon struktif adalah in teraksi an tara m aksud dan tujuan . 413 21 Metode Penafsiran Artistik Sebagaim an a dikem ukakan oleh Dworkin , m elaku- kan kegiatan penafsiran den gan cara m en em ukan m ak- sud penulis bukanlah persoalan yan g m udah dan seder- 413 Dworkin, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 3 han a. Oleh karena itu, berupaya un tuk m em aham i suatu m aksud, dilakukan m elalui pem akn aan ungkapan kesa- daran m en tal. Pen afsiran artistik tidak selalu berm aksud m en gidentifikan sikan beberapa jen is kesadaran pikiran dalam m en ggun akan pen garuhn ya terhadap pikiran pe- n yusun ketika dia m engatakan, m en ulis, atau m elakukan sesuatu. Dalam hal ini, m aksud selalu lebih kom pleks dan problem atikal. 414 22 Metode Pen afsiran Kon struktif Metode pen afsiran konstruktif ini, m en urut Dwor- kin , dapat dilakukan den gan tiga tahap. Pertam a, tahap pra-pen afsiran dim an a aturan -aturan dan batasan -bata- san yan g digunakan un tuk m em berikan isi ten tatif m e- n gen ai praktik yang diperkenalkan . Kedua, adalah tahap interpretasi sendiri, di m ana penafsir m en justifikasi un sur-un sur pokok yan g tim bul dari praktik. J ustifikasi tidak perlu sem ua harus sesuai bagi penafsir. Men jadi sa- n gat pentin g dalam hal ini, bahwa m am pu m elihat diri- n ya sendiri sebagai pen afsir praktis dan m en em ukan suatu yang baru. Ketiga, setelah tahap penafsiran, penaf- sir m enyesuaikan pen diriann ya ten tang praktik seben ar- n ya atau m en yelesaikan . 23 Metode Penafsiran Kon versasional. Metode in i seben arn ya agak berada di luar kebiasa- an pen afsiran yan g biasa digun akan . Pen afsiran kon ver- sasional con v ersation al in terpretation in i bukan di- m aksudkan untuk m en jelaskan suara seseorang. Penaf- siran in i m en an dai m akna dalam m enjelaskan m otif- m otif dan m aksud-m aksud m engen ai m akn a yan g dira- sakan pem bicara, dan m enyim pulkan sebagai pern yataan ten tang m aksud pem bicara dalam m en gatakan apa yang dia perbuat. Pen afsir hendak m en em ukan m aksud atau 414 Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 4 m akn a yan g diucapkan oleh oran g lain dalam berbagai peristiwa yang secara tepat untuk m akna dalam m asyara- kat, m isaln ya sopan -santun. Sutandyo dalam salah satu tulisan n ya sem iotika, m engem ukakan ten tan g the sem io- tic jurispruden ce. Sem iotika m en gkaji ten tan g tan da- tanda kebahasaan yang tidak lain dari hasil konsep- tualisasi oleh subjek-subjek atau intersubjek. Dalam hubun gann ya den gan pen afsiran , dapat dikem ukakan pula pen dapat J erzy Wroblewski yan g m e- n gem bangkan m eta-teori rasion alistik dan relativistik m en gen ai pen afsiran dan im plem en tasi un dan g-undang legal statutes, yaitu teori ten tang interpretasi atau teori ten tang ideologi-ideologi penafsiran un dan g-un dang. 415 Dalam pen afsiran diken al pula adanya tipe-tipe argum en-argum en yan g digun akan , MacCorm ick an d Sum m ers, 1991, yaitu: 416 1 The argum ent from ordinary m ean ing, atau m eng- gunakan argum en m akn a um um yang berlaku dalam m asyrakat; 2 The argum ent from technical m ean ing, atau m eng- gunakan argum en teknis yan g dipakai dalam istilah- istilah tekn is; 3 The argum ent from contextual-harm onization ; 4 The argum ent from precedent; 5 The argum ent from analogy ; 6 The argum ent from relev ant principles of law ; 7 The argum ent from history ; 8 The argum ent from purpose; 9 Substantiv e reasons; 10 The argum ent from intention. 415 Jerzy Wroblewsky, dalam Aleksander Peczenik, “Kinds of Theory of Legal Argumentation”, http:www. ivr2003.netPeczenik_Argumenta- tion.htm. 416 Aleksander Peczenik, Op. Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 5 William Eskrige dalam bukunya m engem ban gkan teori din am ika pen afsiran un dan g-undang dy n am ic theory of statutory interpretation den gan m en yatakan , “…that statutory in terpretation changes in response to new political aligm ents, new interpreters, and new ideo- logies”. Sem en tara Aulis Aarn io m en gatakan, tugas dogm atik hukum adalah m en gin terpretasikan dan m en - sistem atisasi norm a-nom a hukum The tasks of legal dogm atic are interpretation and sy stem atization of legal n orm s. Dua kebutuhan pokok dalam pen afsiran hukum , m en urutn ya, adalah rasion alitas dan aksepta- bilitas. Sistem atisasi berm aksud m elakukan reform ulasi n orm a-n orm a hukum dalam pen gun gkapan abstrak da- lam hubungan nya terhadap kon sep-kon sep dasar. Sistem atisasi adalah pem bawa tradisi hukum . Dikatakan oleh Aulis Aarn io, in terpretasi adalah aktivitas herm en utik yan g m en justifikasi dalam hubungan n ya terhadap audien hukum , yan g dikarakterisasikan sebagai esen sia secara relativistik dalam pengertian m en gakui kem un gkin an perselisihan ten tang evaluasi. Dworkin m en gatakan : “The adjudicative prin ciple of in tegrity in structs judges to iden tify legal rights and duties, so far as possible, on the assum ption that they w ere all created by a sin gle author — the com m unity personified – expressing a coheren t con ception of justice an d fairn ess. […] Accor- ding to law as in tegrity , proposition s of law are true if they figure in or follow from the priciples of justice, fairness, and procedural due process that prov ide the best con tructiv e in terpretation of the com m unity ’s legal practice”. Selan jutnya Dworkin m engatakan pula: “Law as in tegrity […] holds that people hav e as legal rights w hatever rights are spon sored by the priciples that prov ide the best justification of legal practice as a w hole. Dw orkin claim ’s … that the true theory of legal Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 6 practice is the theory that puts legal practice in its ‘best light’. By ‘best light’ Dw orkin m ean s a m easure of de desirability or goodness: the true theory of legal prac- tice, say s Dw orkin , potray s the practice at its m ost desireable. Now w hy w ould that be the case? W hat’s betw een the desirability of a theory and its truth?”. Terlepas dari segala m acam m etode atau teori penafsiran di atas, suatu hal yan g perlu m en jadi per- hatian serius adalah bahwa hukum , baik yang tertulis m aupun tidak tertulis, adalah kon sep yan g berasal dari kata-kata yan g dahulunya diucapkan oleh satu, dua, atau lebih banyak orang yan g kem udian disusun dalam kali- m at. Tiap-tiap perkataan itu di dalam nya m en gandung beberapa atau bahkan ban yak m akn a, sehingga hukum dalam konteks n orm a sesun gguhn ya adalah sim bol- sim bol atau tan da-tanda yang disusun sedem ikian rupa dalam bentuk pasal yang dituangkan dalam rum usan un dan g-un dan g dasar, un dan g-un dan g, atau peraturan - peraturan tertulis lain nya. H ukum yan g tertulis dalam batas-batas terten tu dapat ditelusuri m aksudnya, m eskipun adakalan ya keti- ka harus diterapkan pada suatu kasus dalam ban yak situasi dan kon disi sosial tern yata tidak m udah. Korupsi, m isaln ya, adalah kata yang m em erlukan kecerm atan dalam penerapannya m eskipun sudah jelas rum usan n ya. Dem ikian pula kata “jasa” dalam kon teks hukum , apakah oran g yang m en erim a im balan atas jasan ya m em ban tu m em perken alkan kepada pan itera kepala di pengadilan dapat dian ggap terlibat dalam kejahatan , jikalau tern yata oran g diperken alkan itu kem udian m en yuap pen itera tersebut. Dalam pen erapan hukum selain pen afsiran , seperti telah diuraikan sebelum n ya, diken al pula kegiatan pe- n em uan hukum atau m etode kon struksi. Metode in i digun akan ketika juris hakim , pen un tut um um , dan Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 7 pakar hukum m enghadapi ketiadaan atau kekosongan aturan untuk m enyelesaikan persoalan kon krit. Pen e- m uan hukum secara lebih um um pada prinsipn ya adalah reaksi terhadap situasi-situasi problem atikal yang dipa- parkan dalam peristilahan hukum . Tujuan n ya adalah m em beri jawaban terhadap persoalan -persoalan dan m en cari pen yelesaian sen gketa kon kret. 417 Tentan g pen e- m uan hukum in i sebagian pakar m em isahkan nya dari penafsiran hukum , sebagian lagi m en gan ggapnya ter- m asuk m etode pen afsiran hukum . Kon struksi hukum m en urut teori dan praktik dapat dilakukan den gan 4 em pat m etode, yaitu: 1 An alogi atau Metode argum entum per analogium . Cara kerjan ya, m etode in i diawali dengan pen carian esen si um um suatu peristiwa hukum yan g ada dalam un dan g-un dang. Esen si yan g diperoleh kem udian di- coba terhadap peristiwa yan g dihadapi. Apakah peris- tiwa itu m em iliki kesam aan prinsip dengan prin sip yang terdapat dalam esen si um um tadi. Um pam an ya apakah seoran g yan g “m em an cing belut” dapat diberi san ksi, sem entara laran gan yang tertera di sudut kolam berbunyi “dilaran g m em ancin g ikan ”; 2 Metode Argum entum a Contrario. In i digunakan jika ada keten tuan un dan g-undang yan g m engatur hal terten tu un tuk peristiwa terten tu, sehin gga un tuk hal lain yan g sebaliknya dapat ditafsirkan sebalikn ya; 3 Metode penyem pitan hukum . Misalnya “perbuatan m elawan hukum ” dapat dipersem pit artinya untuk peristiwa terten tu yang term asuk perbuatan m elawan hukum , sehingga terdapat peristiwa yang dapat di- kategorikan perbuatan m elawan hukum ; 4 Fiksi H ukum . 417 J.A.Pointer, Op.Cit. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 8

B. H e rm e n e u tika H u ku m

Men afsirkan atau m en gin terpretasi, m en urut Arief Sidharta, in tin ya adalah kegiatan m en gerti atau m em a- ham i. 418 H akikat m em aham i sesuatu adalah yan g disebut filsafat herm eneutik. H erm en eutika atau m etode m e- m aham i atau m etode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bin gkai keterkaitan an tara teks, konteks, dan kontekstualisasi. 419 Mem aham i se- suatu adalah m enginterpretasi sesuatu agar m em a- ham inya. Dalam hubun gan in i Gadam er m engatakan , se- perti dikutip oleh Arief Sidharta, 420 Ilm u H ukum adalah sebuah eksam plar H erm eneutik in optim a form a, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan berm asyarakat. Sebab, dalam m en erapkan Ilm u H ukum ketika m engha- dapi kasus hukum , m aka kegiatan in terpretasi tidak han ya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga ter- hadap kenyataan yan g m en yebabkan m unculn ya m asa- lah hukum itu sen diri. Dalam m elakukan in terpretasi ten tu saja an tara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat per- bedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun . Oleh karen a itu, ketika m elakukan inter- pretasi acapkali m uncul dua sudut pandang yang ber- beda antara teks yan g hendak ditafsirkan den gan pan - dangan pen afsir sendiri. Kedua pan dangan itu kem udian diram u den gan berbagai aspek yang dipedom ani oleh penafsir, yaitu keadilan , kepastian hukum , prediktabi- litas, dan kem anfaatan. Titik tolak herm eneutika adalah kehidupan m anu- siawi dan produk budayanya, term asuk teks-teks hukum yan g dihasilkan olehn ya. 421 Gregory Leyh m en gatakan , 418 B. Aref Sidharta, dalam kata Pengantar, Jazim Hamidi, Op Cit., hal. xi-xv. 419 Hamidi, Op. Cit., hal. 45. 420 Ibid., hal. xiii. 421 Ibid., hal. 39. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 30 9 herm en eutika hukum adalah m erekonstruksikan kem bali dari seluruh problem a herm eneutika dan kem udian m em ben tuk kem bali kesatuan herm en eutika secara utuh, di m an a ahli hukum dan teologi bertem u den gan para ahli hum an iora. 422 Tujuan herm en eutika hukum itu ada- lah untuk m enem patkan perdebatan kon tem porer ten - tan g pen afsiran atau interpretasi hukum di dalam ke- ran gka herm en eutika pada um um n ya. 423 Dalam hubun gan den gan pen afsiran atau inter- pretasi, Alexan der Peezenick m enyatakan, “...statem ents are partly a result of the author’s philosophical back- ground, partly a useful tool for political debate”. 424 Pan - dan gan kon vesion al dalam pen afsiran un dan g-undang m en gan ggap bahwa pen gadilan harus berupaya m e- n em ukan tujuan atau m aksud dari pem buat undang- undang the fram ers’ intent. Pen afsiran dem ikian se- jalan den gan pan dangan bahwa proses pem bentukan un dan g-un dan g didom in asi oleh kesepakatan n ilai-n ilai di an tara berbagai kelom pok kepen tin gan . Bagi pem ben - tuk un dang-un dan g, kesepakatan adalah produk tawar m en awar political bargain. Metode serupa juga digun akan dalam pen afsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penem uan m aksud pem ben tuk undang-un dan g, bagaim an apun , lebih sulit ketim ban g m en em ukan m aksud yan g m elatarbelakan gi kon trak-kon trak perdata, sebab badan pem buat undang m em iliki ciri kem ajem ukan. 425 Pern yataan -pern yataan 422 Ibid., hal. 42. 423 Ibid., hal. 45. 424 Peczenik, Op. Cit. 425 Posner, Op. Cit., hal. 576-577. The conventional view of statutory interpretation is that the court endeavors mengusahakan to discover menemukan and effect to the itentions of the enacting legislature. This is consisten with viewing the legislative process as one dominated by deals kesepakatan among intrest groups; in this view legislative enacment is a bargained sale and the same methods used in the interpretation of ordinary Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 310 pribadi an ggota badan pem ben tuk un dan g-un dan g, tidak bisa otom atis dianggap pen gun gkapan pan dan gan m ayo- ritas yan g palin g m em pen garuhi suatu un dan g-undang. Pen dukun g kelom pok-kelom pok kepen tin gan boleh jadi m en yem bun yikan tujuan yang seben arn ya dari legislasi. Penafsiran konstitusi, di J erm an m isaln ya, m enu- rut Leibholz, Mahkam ah Kon stitusi J erm an adalah m ahkam ah yan g bebas, m em ban tu dengan m em berikan jam inan kebebasan bagi pengadilan dan m en jalan kan fun gsi adm in istrasi hukum dalam pengertian m ateril. 426 Putusan -putusan Mahkam ah Kon stitusi J erm an disebut hukum yan g sesun gguhn ya real law . Keputusan-kepu- tusan nya m erupakan putusan yan g m urn i bersifat hukum , di m ana hakim -hakim tidak m elakukan pen e- m uan-pen em uan di luar batas substansi hukum dasar, m elain kan m en gun gkapkan m akn a esen si hukum seba- gai suatu pen dirian atau sikap. H ukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkam ah Kon stitusi private contracts are appropriate tepat. The process of dicovering legisla- tive intent, however, is more difficult than that of discovering the intent behind an ordinary contract because of the plural nature of enacting body. The statements of individual legislators, even of legislative commitees, can- not automatically be assumed to express the views of the ‘silent majority’ that is necessary for enacment. Furthermore, the proponents pendukung of interest groups legislation may conceal the true objective of the legislation in order to increase the information cost of opponents. Yet to some extent at least, this reticense is self-defeating. What is concealed from the public is likely to be cocealed from the judges, leading the construct a public interest rationale that may blunt the redistributive thrust of the legislation but sometimes exaggerate it-when?. 426 G. Leibholz , Politics and Law, Leiden: A.W. Sythoff, 1965, hal. 271- 276. “The Federal Constitutional Court is called upon to realize law; its decisions are,.., genuine judicial decisions, where the judges do not in their findings go beyond the limits of the content of the Basic Law, but express in their findings the essential meaning of that law, as it already stands. Written constitutional law too is subject to changes, and the Federal Consti- tutional Court is called upon in a special degree to participate in these changes throught he exercise of its judicial functions”.