S u m b e r H u ku m Ta ta N e ga ra 1. P e n ge rtia n S u m b e r H u ku m
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
153
saran a pengendalian dan sekaligus sistem referensi m e- n gen ai perilaku ideal dalam setiap tatan an sosial social
order. Sebab, jika ketiga jen is n orm a tersebut salin g m e- nun jang, m aka ketiga sistem referensi perilaku itu dapat
bekerja secara sim ultan dan salin g m endukung.
Akan tetapi, jika ketigan ya salin g bersitegang atau saling bersain g satu sam a lain , n iscaya akan tim bul kon -
flik an tar n orm a yang justru tidak sehat bagi ketiga sis- tem norm a itu sen diri. J ika dem ikian, m aka pada giliran -
n ya fun gsi ketiga jen is n orm a itu dalam m en untun m a- n usia ke arah perilaku ideal tidak akan bekerja dengan
efektif. Oleh karen a itu, ketigan ya harus dapat salin g m engisi satu sam a lain secara sinergis. Norm a etika da-
pat m en jadi sum ber n ilai bagi norm a hukum , sem en tara n orm a agam a dapat m enjadi sum ber bagi n orm a etika.
Dalam kon teks in i, pen gertian sum ber dapat dikatakan sebagai tem pat dari m an a sesuatu n ilai atau norm a
berasal.
Terkait den gan hal in i, pen tin g juga un tuk m em perban dingkan m engen ai pen ggunaan istilah sum -
ber hukum sources of law dalam sistem berpikir fiqh Islam dengan penggun aan n ya m en urut pen gertian ilm u
hukum pada um um nya. H al ini penting un tuk digam bar- kan karen a tradisi yan g dian ut dalam sistem fiqh Islam ,
perkataan sum ber hukum itu diartikan secara berbeda sam a sekali dari pen gertian yan g biasa dipakai dalam
ilm u hukum kontem porer. Dalam fiqh Islam , yang diarti- kan sebagai sum ber hukum itu, di satu pihak berarti
“sum ber rujukan”, tetapi di lain pihak kadang-kadang dapat diidentikkan den gan pengertian m etode penalaran
hukum legal reason in g.
Misaln ya, yan g dianggap sebagai sum ber hukum adalah i al-Quran, ii al-Sun n ah, dan iii ijtihad atau
inovasi inn ov ation dan in ven si inv ention. Ada pula sarjan a yan g m erum uskan kategori sum ber hukum itu
terdiri atas i al-Quran, ii al-H adits, iii ijm a, dan iv
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
154
qiy as. Ada lagi yan g m erum uskan sum ber hukum itu m e- liputi i syari’at yang diwahyukan wahyu, ii sun n ah
sebagai teladan rasul, dan iii akal dengan m engguna- kan m etode berpikir tertentu.
Dalam kajian ushul fiqh, sebagai caban g ilm u fil- safat hukum Islam , sering dibedakan pula antara pe-
n gertian “sum ber hukum ” atau m ashadir al-ahkam dan “dalil-dalil hukum ” atau adillat al-ahkam .
216
Pengertian m ashadir al-ahkam secara tekn is m enun juk kepada pe-
n gertian asal n orm a hukum atau rujukan hukum refe- rence, tem pat ditem ukannya kaidah hukum atau se-
suatu yan g m en un juk kepada adan ya hukum , yaitu al- Quran dan al-Sun n ah. Sedangkan , adillat al-ahk am atau
dalil hukum m erupakan sesuatu yan g dijadikan lan dasan berpikir yan g ben ar dalam m em peroleh atau m en em u-
kan, atau m endapatkan hukum .
H al yang dianggap sebagai adillat al-ahkam itu ada 4 em pat, yaitu al-Quran, al-Sun nah, Ijm a, dan Qiy as.
Baik al-Quran m aupun al-Sunn ah sam a-sam a dapat dise- but sebagai adillat al-ahkam dan sekaligus m ashadir al-
ahkam .
217
Kadang-kadang, kedua m akna sum ber hukum dan dalil hukum itu dicam puradukkan oleh para sarjan a,
tetapi keban yakan ulam a m em bedakan keduan ya dengan tegas. Oleh karena itu, m ashadir al-ahkam sum ber hu-
kum dapat dipaham i dalam arti sum ber hukum m ateriel dalam kon teks ilm u hukum kon tem porer, sedan gkan
adillat al-ahkm an dalil hukum dapat diseban din gkan dengan pen gertian sum ber hukum form il.
218
216
Nasrul Harun, Ushul Fiqh, cet. ke-1, jilid 1 Jakarta: Logos, 1996, hal. 15.
217
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001,
hal. 35-37. Lihat juga Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam” dalam Zaini Dahlan, dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1992, hal. 53-55.
218
Usman, Op. Cit., hal. 32.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
155
Pengertian sum ber hukum yang dem ikian itu, jelas san gat berbeda dari pen gertian sum ber hukum yang ter-
kait den gan pen gertian yan g biasa dipakai dalam ilm u hukum tata n egara ataupun ilm u hukum kon tem porer
pada um um n ya. Dalam hukum tata n egara In don esia, yan g disebut sebagai sum ber hukum itu m isaln ya adalah
i Un dan g-Un dan g Dasar, ii Un dang-un dan g dan Pe- raturan Pem erin tah sebagai Pen ggan ti Un dan g-un dang,
iii Peraturan Pem erintah, iv Peraturan Presiden , dan v Peraturan Daerah. Pen gertian sum ber hukum di sin i
jelas dim aksudkan un tuk m en unjuk kepada pen gertian tem pat asal ditariknya suatu kaedah hukum yan g bersifat
um um un tuk dipakai sebagai peralatan dalam m en ilai suatu peristiwa atau kaidah hukum yan g bersifat kon krit.
Pengertian yang kedua in i, jika diban din gkan dengan pen gertian sum ber hukum dalam ilm u fiqh yang
m em perlakukan qiy as atau an alogi sebagai salah satu sum ber hukum seperti diuraikan di atas, ten tulah jauh
bedanya. Qiy as atau an alogi adalah m etode berpikir, m etode pen alaran hukum legal reasoning yan g dipakai
untuk m en dapatkan kesim pulan atas sesuatu fakta kon krit concrete cases yan g din ilai dengan m engguna-
kan stan dar norm a hukum yang bersifat um um dan abstrak gen eral and abstract n orm .
Lain lagi pen ggun aan istilah sources of the constitution yan g dipakai oleh J ohn Alder dalam buku-
n ya “Constitutional and Adm in istrativ e Law ” 198 9.
219
Dalam bukunya itu, J ohn Alder sen gaja m em berikan judul pada Bab 2 Bagian I den gan “The Sources of the
Con stitution ”. Oleh karena J ohn Alder sendiri adalah sarjana Inggris yan g m en ulis ten tan g H ukum Tata Nega-
ra dan H ukum Adm inistrasi Negara dalam konteks Kera- jaan In ggris yang diken al tidak m em iliki n askah un dang-
undang dasar yan g tertulis dalam satu n askah yan g ter-
219
Alder, Op Cit., hal. 22-38. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
156
kodifikasi, m aka ten tu yan g dim aksudkan n ya itu adalah the sources of the UK Constitution .
Dikarenakan tidak m em iliki un dan g-un dan g dasar yan g bersifat tertulis, aturan kon stitusi di In ggris han ya
dikenal karen a m em ang berhubun gan den gan persoalan kon stitution al, yaitu hal-hal yan g penting m en gen ai ke-
kuasaan pem erin tahan .
Dikatakan oleh Alder:
220
“Ev en in a w ritten con stitution , the sources of consti- tutional law com prise a m ixture of strict law an d
political principles. The Un ited Kingdom con stitution relies heavily on the latter. Its legal sources are the
sam e as the sources of law generally ”.
Menurut J ohn Alder, sum ber-sum ber konstitusi tersebut dapat dibedakan dalam 7 tujuh m acam ben tuk
yan g m asin g-m asin g dapat diuraikan lagi secara lebih rinci satu persatu, yaitu:
221
1 The basic principle; 2 General political and m oral v alues;
3 Strict law i The law s enforced through the courts, ii The law an d custom of Parliam ent;
4 Conv entions of the Constitution ; 5 Political practices;
6 The rules of the political parties; 7 International law .
Dengan m em bandin gkan versi yan g diajukan oleh J ohn Alder dan para sarjan a lain n ya, m aka dapat dike-
m ukakan bahwa dem ikian ban yak versi yan g dipakai oleh para sarjana m en gen ai apa yan g diartikan sebagai
“sum ber hukum ” atau sources of law itu. Oleh karena itulah, Paton George Whitecross m en gem ukakan :
220
Ibid.
221
Ibid., hal. 23-24.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
157 “The term sources of law has m any m ean in gs an d its
frequent cause of error un less w e scrutin es carefully the particular m ean in g given to it in any particular text”.
222
Seperti juga dikatakan oleh van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de Studie v an het N ederlands-
recht”,
223
kadan g-kadan g perkataan sum ber hukum di- m aksud dipakai dalam kon teks sejarah, kadan g-kadan g
dalam kon teks filsafat, atau kadan g-kadan g dalam kon - teks sosial. J ika kita m em bandingkan konsep sum ber hu-
kum yan g diartikan oleh J ohn Alder tersebut di atas de- n gan pen gertian yang dipakai dalam ilm u fiqh, jelas se-
kali bedan ya, bahkan dengan pen gertian yan g lazim kita pergun akan sehari-hari.
Oleh sebab itu, seperti yan g dilakukan oleh Ut- recht,
224
kita dapat m em bedakan dua m acam pen gertian sum ber hukum sources of law , yaitu sum ber hukum
dalam arti form al atau form ele zin source of law in its form al sense dan sum ber hukum dalam arti substansial,
m aterial, atau in m ateriele zin source of law in its m ate- rial sense. Sum ber hukum dalam arti form al ialah tem -
pat form al dalam ben tuk tertulis dari m an a suatu kaedah hukum diam bil, sedan gkan sum ber hukum dalam arti
m aterial adalah tem pat dari m an a n orm a itu berasal, ba- ik yang berben tuk tertulis ataupun yan g tidak tertulis.
222
Whitecross, Textbook of Jurisprudence, op. cit., hal. 140. Bandingkan dengan Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 44.
223
Lihat Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Op. Cit., hal. 72-75, juga dalam Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 45.
224
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtisar, , hal. 133-134.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
158
2 . S u m b e r H u ku m Ta ta N e ga ra
Seperti dikem ukakan di atas, sum ber hukum dapat dibedakan antara yang bersifat form al source of law in
form al sense dan sum ber hukum dalam arti m aterial source of law in m aterial sense. Bagi kebanyakan
sarjan a hukum , biasanya yang lebih diutam akan adalah sum ber hukum form al, baru setelah itu sum ber hukum
m aterial apabila hal itu m em ang dipan dan g perlu. Sum - ber hukum dalam arti form al itu adalah sum ber hukum
yan g diken ali dari ben tuk form alnya. Den gan m en gu- tam akan bentuk form alnya itu, m aka sum ber norm a
hukum itu haruslah m em punyai ben tuk hukum terten tu yang bersifat m engikat secara hukum .
Oleh karen a itu, sum ber hukum form al itu haruslah m em pun yai salah satu bentuk sebagai berikut:
a. ben tuk produk legislasi ataupun produk regulasi ter- ten tu regels;
b. bentuk perjanjian atau perikatan terten tu yang m e- ngikat antar para pihak contract, treaty ;
c. ben tuk putusan hakim terten tu v onn is; atau d. bentuk-bentuk keputusan adm in istratif beschikking
terten tu dari pem egan g kewen an gan adm in istrasi n e- gara.
Sudah tentu, setiap bidan g hukum m em pun yai sum ber-sum ber hukum nya sendiri yang berbeda-beda
antara satu dengan yan g lain . Dalam bidang hukum tata n egara con stitution al law , dapat dibedakan lagi antara
hukum tata n egara um um dan hukum tata n egara positif. Di sam ping itu, di m asing-m asing negara, juga berlaku
sistem hukum nya secara sendiri-sendiri yang berbeda- beda pula pengertian n ya ten tang sum ber hukum itu.
Belum lagi, jika m asin g-m asing n egara itu m em pun yai tradisi hukum yan g berbeda pula satu den gan yan g lain -
n ya, m aka tentu sum ber hukum yan g diakui juga ber- beda-beda. Misalnya, sistem com m on law lebih m en gu-
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
159
tam akan asas precedent dan doktrin judge-m ade law , sehingga yurisprudensi peradilan lebih diutam akan, se-
dan gkan dalam sistem civ il law , peraturan tertulislah yan g lebih pen tin g daripada yan g lain .
Nam un dem ikian, di seluruh dun ia, keem pat ben - tuk form al n orm a hukum tersebut di atas, yaitu produk-
produk yan g berben tuk regeling, contract atau treaty , v on n is, dan beschikking diakui sebagai sum ber hukum
yang pentin g. Di sam ping itu, seperti dikem ukakan di atas, ada pula sum ber lain yang sifatn ya tidak tertulis.
Oleh karena itu, dalam berbagai bidang hukum , selain keem pat bentuk form al tertulis, dikenal pula adan ya
bentuk-ben tuk lain yang bersifat tidak tertulis.
Khusus dalam bidan g ilm u hukum tata n egara pada um um n ya v erfassungsrechtslehre, yan g biasa diakui
sebagai sum ber hukum adalah: 1 Un dan g-Un dang Dasar dan peraturan perun dang-
un dan gan tertulis; 2 Yurisprudensi peradilan;
3 Kon ven si ketatan egaraan atau con stitution al conv en - tions;
4 H ukum Intern asion al terten tu; dan 5 Doktrin ilm u hukum tata n egara terten tu.
Dalam kelim a sum ber hukum tata n egara tersebut, tercakup pula pen gertian -pen gertian yan g berken aan de-
n gan i n ilai-n ilai dan n orm a hukum yan g hidup sebagai kon stitusi yan g tidak tertulis, ii kebiasaan -kebiasaan
yang bersifat norm atif tertentu yang diakui baik dalam lalu lin tas hukum yan g lazim , dan iii doktrin -doktrin
ilm u pen getahuan hukum yang telah diakui sebagai ius com m inis opin io doctorum di kalangan para ahli yang
m em pun yai otoritas yan g diakui um um . Dalam setiap sistem hukum , ketiga hal in i biasa juga dianggap sebagai
sum ber hukum yang dapat dijadikan referensi atau ruju- kan dalam m em buat keputusan hukum .
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
160
Dalam bukunya “An Introduction to the Study of the Law of the Constitution”, Albert Ven n Dicey m enyatakan
bahwa:
“The rules w hich m ake up con stitution al law , as the term is used in En gland, include tw o sets of prin ciples
or m axim s of a totally distinct character”.
225
Pertam a, dalam pengertiann ya yang bersifat strict adalah hukum atau law s yang diterapkan oleh pengadi-
lan. Peraturan dalam kategori pertam a in i, m enurut Dicey, m en cakup juga sem ua norm a jen is rules, yan g ter-
tulis atau tidak tertulis w ritten or unw ritten , yang ditetapkan den gan un dan g-un dang atau sebagai pera-
turan tertulis enacted by statute atau han ya lahir dari adat istiadat yan g um um , tradisi, atau prin sip-prin sip
yan g diciptakan oleh hakim deriv ed from the m ass of custom , tradition, or judge-m ade m axim s yang diken al
sebagai the com m on law s.
Sem ua jen is peraturan dalam kategori pertam a in i, sepan jang dapat ditegakkan oleh pengadilan dapat dise-
but atau tercakup dalam pengertian constitutional law . Kriteria yan g dipakai oleh Dicey di sin i adalah dapat-
tidaknya n orm a hukum yan g bersan gkutan diterapkan oleh hakim di pen gadilan . Un tuk m enegaskan perbedaan
bentuk-ben tuk hukum tertulis yang m en gan dun g norm a hukum kon stitusi tersebut dengan ben tuk n orm a hukum
kon stitusi yan g lain , m aka hal itu disebut oleh Dicey secara keseluruhannya sebagai the law of the con stitu-
tion yang dibedakannya dari pengertian the conv entions of the constitution .
Constitution al rules dalam pen gertian yan g terak- hir, m enurut Dicey, terdiri atas:
225
Lihat A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Consti- tution, 10th edition, Oxford University Press, 1965, hal. 23-24.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
161 “con ven tion s, un derstan dings, habits, or practices
w hich, though they m ay regulate the con duct of the se- v eral m em bers of the souv ereign pow er, of the M inis-
try , or of other officials, are n ot in reality law s at all since they are not enforced by the courts. This portion
of con stitution al law m ay , for the sake of distin ction, be term ed the ‘con v en tion s of the con stitution ’, or con stitu-
tion al m orality ”.
226
Oleh karen a itu, dalam pan dan gan A.V. Dicey, perkataan con stitution al law m en cakup dua un sur pe-
n gertian , yaitu i the law of the constitution, dan ii the con v en tions of the con stitution . The law of the con stitu-
tion m erupakan a body of undoubted law , sedan gkan the con v en tions of the constitution terdiri atas m axim s atau
praktik-praktik yang m eskipun bersifat m en gatur para subjek hukum tata n egara yan g biasa m en urut undang-
un dan g dasar, bukan lah m erupakan hukum dalam arti yan g sebenarn ya.
227
Bagi A.V. Dicey, m eskipun keduan ya sam a-sam a m erupakan constitutional rules dan sam a-sam a dapat di-
sebut constitutional law dalam arti luas, tetapi the con - v en tion of the constitution itu lebih m erupakan constitu-
tion al m orality daripada the law of the constitution. Oleh karen a itu, m en urut A.V. Dicey, sum ber hukum tata
negara Inggris terdiri pula atas beberapa sum ber yang dapat dikelom pokkan dalam dua golon gan , yaitu:
1 The Law of the Constitution, m encakup:
a Dokum en-dokum en sejarah historic docum ents, seperti Magna Charta Tahun 1215 yan g biasa di-
sebut juga dengan The Great Charter of 1215, Petition of R ight, atau Bill of Rights 168 9;
226
Ibid.
227
Lihat juga Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, 7th edition, Oxford University
Press, 2003, hal. 239. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
162
b Un dan g-un dan g yan g ditetapkan oleh parlem en legislativ e acts, parliam entary statutes;
c Judicial decisions putusan -putusan pengadilan terdahulu;
d Principles an d rules of com m on law , yaitu prin - sip-prinsip yang sudah diterim a sebagai hukum ,
m eskipun tidak dituan gkan dalam ben tuk un - dan g-undan g atau peraturan tertulis tertentu, te-
tapi kebanyakan dikuatkan oleh putusan pen ga- dilan .
2 The Conv entions of the Constitution , yang m encakup: a Kebiasaan -kebiasaan habits;
b Tradisi-tradisi traditions; c Adat
istiadat custom s;
d Praktik-praktik practices and usages.
Dalam pan dan gan J ohn Alder, rincian sum ber- sum ber hukum tata n egara In ggris, m eliputi 7 tujuh
hal, yaitu i Prin sip dasar The Basic Principle; ii Nilai-nilai m oral dan politik General political and m o-
ral v alues; iii H ukum yan g m utlak Strict law yang m en urutn ya m eliputi a hukum yan g ditegakkan atau
diputuskan oleh pen gadilan The law s enforced through the courts, dan b hukum yang ditetapkan oleh parle-
m en dan kebiasaan parlem en The law and custom of Parliam ent; iv Kon vensi atau kebiasaan ketatan egara-
an Conv entions of the Constitution ; v Praktik-praktik, term asuk yang terjadi dalam praktik penyelenggaraan
kegiatan politik ketatan egaraan Political practices; vi Tata aturan partai politik The rules of the political par-
ties; dan vii H ukum in tern asion al International law .
Dalam hal in i, yan g dim aksud dengan prin sip dasar, n ilai-n ilai m oral dan politik, dan bahkan kebiasa-
an ketatan egaraan, sem uan ya bersifat tidak tertulis. Te- tapi m engapa dapat disebut sebagai sum ber hukum oleh
J ohn Alder? Baginya, prin sip dasar yang diakui um um
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
163
sejak dulu sam pai sekarang, m isalnya, W hat parliam ent say s is law ,
228
adalah prin sip dasar yan g m elan dasi cara berpikir hukum tata negara Inggris, m eskipun hal ter-
sebut tidak tertulis. Akan tetapi, justru prinsip-prin sip dasar sem acam itulah yan g m elan dasi suatu konstitusi,
term asuk kon stitusi yan g tertulis sekalipun. Betapapun juga, prinsip-prinsip dasar itulah yang m engekspresikan
asum si-asum si politik yang paling dasar yang beroperasi dalam setiap n egara the basic principle expresses the
m ost fundam ental political assum ptions operating in a particular country .
229
Bahkan secara lebih m endasar lagi, apa yang disebutnya sebagai basic principle ini se-
benarnya m irip dengan apa yang disebut oleh H ans Kel- sen den gan gerund n orm s n orm a dasar atau yang oleh
H ans Nawiasky disebut staatsfundam entalnorm .
Oleh J ohn Alder, n ilai-nilai m oral dan politik juga dikelom pokkan tersen diri:
“In a w ider sense certain general political an d m oral values pervade an y con stitution , an d fin d expression in
the form al rules of the con stitution. They are both pol- itical and legal because they should pervade the entire
sy stem of governm en t”.
230
Meskipun hal in i dapat dibenarkan , tetapi m en ge- lom pokkan n ya m en jadi satu ben tuk sum ber hukum yang
tersendiri, saya kira sudah sangat berlebihan. Oleh sebab itu, baik n ilai-n ilai m oral dan politik, m aupun apa yang
disebut J ohn Alder sebagai basic principles haruslah dili- hat sebagai satu kesatuan pengertian m engen ai n ilai-
n ilai dan n orm a yan g hidup sebagai constitutional rules yan g dianggap baik, dan oleh karen a itu dapat diakui ter-
m asuk ke dalam pen gertian kon stitusi yan g tidak tertulis.
228
Alder, Op. Cit., hal. 24.
229
Ibid.
230
Ibid. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
164
Dem ikian pula m en gen ai kebiasaan -kebiasaan ke- tatanegaraan, banyak sekali hal-hal yang sudah dianggap
kelazim an kon stitusion al yang tidak dipersoalkan orang lagi apakah ia tertulis atau tidak. Kebiasaan -kebiasaan
itulah yan g diken al den gan istilah kon ven si ketatan e- garaan atau con stitution al con v ention s. Men urut Dicey
dalam bukun ya “An Introduction to Study of the Law of the Con stitution”,
ban yak prin sip-prinsip pen tin g hukum kon stitusi yang m engam bil bentuk kon ven si ketata-
n egaraan . Prin sip-prin sip dim aksud term asuk kon ven si, kebiasaan, dan praktik-praktik yan g m eskipun bersifat
m en gatur, tetapi sam a sekali bukan hukum , karen a tidak ditetapkan oleh parlem en ataupun oleh pengadilan.
Di dalam praktik ketatan egaraan di In ggris, sebagian besar konvensi ketatanegaraan m engatur hubu-
n gan an tar caban g-caban g kekuasaan pem erin tahan pu- sat central gov ernm ent, khususn ya m en gen ai i the
relationship betw een the m onarch, m inisters, an d par- liam ent, ii the relation ship betw een m inisters am ong
them selv es, and iii the relation ship betw een m inisters and civ il serv ants.
231
Kadan g-kadan g kon ven si berfungsi sebagai dev ices for adjusting the strict law to m eet the
changing dem ands of politics. Dengan begitu, ia ber- fun gsi m elicinkan jalan sehingga norm a hukum dapat di-
jalan kan dengan kelen turan yang diperlukan dalam prak- tik. Oleh karen a itu, dapat ditem ukan ban yak con toh
konven si ketatanegaraan dalam praktik di Inggris. Misal- n ya, peraturan m en entukan bahwa “The Queen’s assent
is required for a v alid Act of Parliam ent”, tetapi dalam praktik hal itu berubah m en jadi The Queen m ust alw ay s
assent to a bill. Peraturan m en en tukan “Parliam ent m ust m eet at least ev ery three y ears” berubah karen a
konven si m enjadi Parliam ent m ust m eet annually .
232
231
Ibid., hal. 26-27.
232
Ibid. hal. 27-28.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
165
Selain itu, dalam ilm u hukum , pendapat para ahli yan g diken al luas dan diakui m em iliki otoritas di bidang-
n ya, lazim n ya diterim a juga sebagai sum ber hukum yang disebut den gan doktrin dalam ilm u hukum . Dalam sis-
tem hukum fiqh, m isalnya, dikenal juga pen dapat m az- hab-m azhab yan g diakui m engikat dan dijadikan refe-
ren si oleh hakim dalam m em utus sesuatu perkara. In ilah yan g saya n am akan sebagai the professor’s law ,
233
yaitu dijadikan hukum karen a pendapat ilm uwan hukum yang
diakui m en gikat. Seben arnya, inilah yan g din am akan sebagai doktrin dalam ilm u hukum , yaitu pen dapat ahli
yan g sudah diakui oleh para ahli lain n ya sehin gga ter- ben tuk suatu pen dapat yan g diakui oleh um um public
opinion atau dalam istilah latin n ya sudah m enjadi com - m inis opin io doctorum . Dalam ilm u hukum , pen dapat
sem acam itu juga diakui sebagai sum ber hukum yang m en gikat.
Den gan perkataan lain , kita dapat juga m en gajukan jum lah sum ber hukum itu dalam 7 tujuh ben tuk.
Nam un ketujuh sum ber hukum yang kita m aksudkan itu berbeda dari 7 tujuh sum ber hukum m en urut J ohn
Alder yang telah dikem ukakan di atas. Alder m enyebut adan ya un sur-un sur yan g dinam akann ya sebagai basic
principle, general political and m oral v alues, dan polical practices sebagai sum ber hukum tata negara Inggris.
Bahkan, the rules of the policial parties juga dim asuk- kan n ya dalam daftar sum ber hukum .
Terlebih lagi, custom of the parliam ent juga ia ka- tegorikan sebagai strict law yan g sejajar dengan hukum
tertulis serta putusan pen gadilan. Prin sip-prin sip dasar yang tidak tertulis serta nilai-n ilai m oral dan politik yang
dian ggap ideal juga term asuk ke dalam pengertian kon - stitusi yang tidak tertulis, karenanya sudah seharusn ya
233
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: MKRI-PSHTN, 2004.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
166
pula dijadikan sebagai sum ber hukum yang tidak tertulis. Inilah seben arnya yang disebut sebagai the liv in g con sti-
tution al v alues di ten gah-ten gah kehidupan kolektif war- ga n egara.
Oleh sebab itu, 7 tujuh m acam sum ber hukum ta- tan egara yan g kita m aksudkan itu adalah:
i Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis;
ii Un dan g-un dang dasar, baik pem bukaan nya m au-
pun pasal-pasaln ya; iii Peraturan perun dang-un dan gan tertulis;
iv Yurispruden si peradilan ; v
Kon ven si ketatan egaraan atau con stitution al con - v entions;
vi Doktrin ilm u hukum yang telah m enjadi ius com - m inis opinio doctorum ;
vii H ukum In tern asion al yan g telah diratifikasi atau telah berlaku sebagai hukum kebiasaan In tern asio-
n al.
234
Ketujuh m acam sum ber hukum tata n egara itu, da- pat diuraikan sebagai berikut.
1 Kon stitusi yang Tidak Tertulis Kon stitusi ada yan g tertulis dan ada yan g tidak ter-
tulis. Konstitusi yang tertulis disebut undang-undang da- sar, grondw et Belan da, grondgezets J erm an, atau
droit constitutionnel Peran cis. Sedan gkan yan g tidak tertulis tetap disebut sebagai kon stitusi yan g tidak tertu-
lis on schrev en con stitutie, un w ritten con stitution yang
234
Khusus mengenai International Law ini, diakui juga menjadi bagian dari sistem hukum nasional Inggris, tetapi harus melalui ratifikasi terlebih dahulu
sebelum menjadi hukum nasional dengan Acts of Parliament. Menurut Alder, secara formal, hukum internasional baru mengikat setelah diratifikasi men-
jadi hukum nasional, akan tetapi International Customary Law berdasarkan jurisprudensi kasus Maclaine-Watson vs DoT 1988 dianggap langsung
mengikat secara hukum. Lihat John Alder, Ibid., hal. 24.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
167
juga term asuk pengertian gerund-norm s atau n orm a dasar atau hukum dasar basic principles. Dalam uraian
J ohn Alder di atas, antara the basic principle dan gene- ral political and m oral v alues dibedakan satu sam a lain .
Nam un keduan ya berada dalam dun ia yan g sam a, yaitu dun ia n ilai-n ilai dan n orm a yan g tidak tertulis dan berisi
prinsip-prin sip yang diidealkan dalam peri kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip yang diidealkan itu dapat be-
rupa sesuatu yang diidealkan secara kogn itif collectiv e m inds, dan dapat pula dianggap ideal karena m em ang
tercerm in dalam pola perilaku nyata actual behav ioral realities dalam kehidupan berm asyarakat dan berne-
gara.
Den gan dem ikian , kita dapat m em bedakan an tara i pengertian-pen gertian n orm a kon stitusi dalam teks
textually w ritten constitutional rules, ii norm a kon - stitusi dalam pikiran warga negara cognitiv ely percei-
v ed constitutional rules, dan iii n orm a kon stitusi dal- am perilaku n yata segen ap warga n egara actually w or-
king constitutional rules. Apa yan g dim aksudkan de- n gan n ilai kon stitusi yan g tidak tertulis itu adalah yang
kedua dan yan g ketiga, yaitu n ilai-n ilai dan n orm a hu- kum tata n egara yan g dian ggap ideal tetapi tidak tertulis,
juga harus diterim a sebagai norm a kon stitusi yan g m e- n gikat dalam pen yelen ggaraan kegiatan bernegara. Nilai-
n ilai dan n orm a yan g dim aksud dapat berupa pikiran - pikiran kolektif dan dapat pula berupa kenyataan-ken ya-
taan perilaku yang hidup dalam m asyarakat n egara yang bersangkutan . Oleh sebab itu, constitution al rules di seti-
ap n egara berbeda-beda satu dengan yan g lain . Meski- pun pola konstitusi tertulisnya sam a, tetapi karen a ko-
m un itas kehidupan warganya berbeda, m aka ten tu constitution al rules yan g m en jadi sum ber hukum dalam
m em buat keputusan -keputusan kenegaraan harus ber- beda satu den gan yan g lain .
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
168
Di pihak lain, dalam kehidupan berm asyarakat dan bernegara, ketiga norm a kon stitusi itu sendiri kadang-
kadan g berjarak an tara satu sam a lain . Apa yan g ditulis di dalam teks kon stitusi den gan apa yang m en jadi
pikiran kolektif warga n egara boleh jadi tidak berse- suaian satu sam a lain. Dem ikian pula apa yan g ditulis di
dalam teks den gan apa yan g n yatan ya dilakukan dalam praktik pen yelen ggaraan kegiatan bern egara. Begitupun ,
ada juga yang dipikirkan den gan apa yan g dikerjakan kadan g-kadan g juga tidak cocok satu den gan yan g lain .
Keadaan ini ten tu tidak ideal. Sebab, an tara n orm a ideal ideal norm s den gan tindakan yan g dilakukan dalam
kenyataan actual behav iors tidak sam a. Un tuk m en ga- tasi persoalan jurang atau gap dan diskrepan si an tar
ketiga norm a aturan konstitusion al dengan kenyataan the actual realities itulah diperlukan pendidikan ke-
wargan egaraan civ ic education, pendidikan politik, serta kom un ikasi politik yang m en cerahkan .
Un dan g-un dang dasar yan g berisi n orm a-norm a ideal haruslah m enjadi liv ing constitution atau konstitusi
yan g hidup dan dekat den gan segen ap warga n egara. Setiap warga negara haruslah m erasa akrab dengan un -
dan g-un dan g dasar dan m erasa dilin dungi hak-hakn ya sebagai warga n egara oleh un dan g-un dan g dasar, serta
m en jadikan n ya sebagai pegangan dan referensi tertin ggi dalam setiap urusan kenegaraan. Sebagai satu kesatuan
sistem rujukan ketatan egaraan, un dang-undan g dasar juga dipercaya sebagai alat pem ersatu ban gsa dalam
kegiatan bern egara. Oleh karen a itu, adalah tugas para guru dan para pem im pin, baik form al m aupun in form al,
untuk m em ban gun keteladan an serta m entransform asi- kan n ilai-n ilai dan pengetahuan ketatan egaraan m en jadi
bagian dari kesadaran kogn itif dan kenyataan perilaku segen ap warga n egara. Tanggun g jawab pendidikan
civ ic education sem acam in i sudah seharusnya di- em ban oleh sem ua guru, sem ua pem im pin, sem ua in sti-
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
169
tusi ken egaraan dan pem erin tahan , serta sem ua pejabat publik dalam sistem ken egaraan dim an a saja m ereka
berada dan bekerja.
2 Un dan g-Un dang Dasar sebagai Kon stitusi Tertulis Un dan g-Un dan g Dasar m erupakan n askah kon sti-
tusi yang tertulis dalam satu kodifikasi w ritten constitu- tion, schrev en constitutie. Republik Indon esia pern ah
m em pun yai beberapa versi n askah yan g berbeda, yaitu: i UUD 1945 periode 1: 1945-1949, ii Kon stitusi RIS
Tahun 1949, iii UUDS Tahun 1950 , iv UUD 1945 periode 2: tahun 1959-1999, v UUD 1945 periode 3:
tahun 1999-20 0 0 , vi UUD 1945 periode 4: tahun 20 0 0 - 20 0 1, vii UUD 1945 periode 5: tahun 20 0 1-20 0 2, dan
viii UUD 1945 periode 6: tahun 20 0 2 sam pai dengan sekarang.
Naskah UUD 1945 dalam kedelapan periode itu berbeda-beda satu dengan yan g lain dikaren akan terjadi-
n ya perubahan -perubahan . Naskah yang terakhir setelah Perubahan Keem pat tahun 20 0 2 diberi nam a resm i Un -
dan g-Un dan g Dasar Negara Republik In donesia Tahun 1945. Dalam naskah terakhir ini, versi resm inya adalah
naskah yang terdiri atas 5 lim a dokum en, yaitu i n askah UUD 1945 versi Dekrit Presiden 5 J uli 1959, di-
tam bah 4 em pat naskah lam piran , yaitu ii n askah Perubahan Pertam a UUD 1945 tahun 1999, iii naskah
Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 20 0 0 , iv n askah Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 20 0 1, dan v n askah
Perubahan Keem pat UUD 1945 tahun 20 0 2. Perbedaan - perbedaan antar n askah itu dapat digam barkan sebagai
berikut: i Periode 1 1945– 1959: berisi n askah asli UUD 1945
tan pa disertai den gan penjelasan resm i, karen a pada awaln ya status pen jelasan in i han ya m erupakan
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
170
“Pen jelasan Ten tan g UUD 1945”, bukan dim aksud- kan sebagai “Penjelasan UUD 1945”;
235
ii Periode 2 1959-1999: berisi n askah UUD 1945 di- tam bah Pen jelasan UUD 1945;
236
iii Periode 3 1999-20 0 0 : berisi n askah UUD 1945 versi tahun 1959 ditam bah Perubahan Pertam a tahun
1999;
237
iv Periode 4 20 0 0 -20 0 1: berisi n askah UUD 1945 versi tahun 1959 ditam bah Perubahan Pertam a tahun
1999 dan Perubahan Kedua tahun 20 0 0 ;
238
235
Berita Repoeblik Indonesia Tahun II No. 7, 15 Februari 1946. Dalam Berita Repoeblik Indonesia ini, Penjelasan UUD 1945 tercantum dalam
halaman yang terpisah dari naskah UUD 1945, karena memang dimaksudkan sekedar sebagai Penjelasan Tidak Resmi tentang UUD 1945 itu. Bahkan
judulnya pada bagian terpisah dari naskah UUD 1945 ditulis “Pendjelasan Tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Indonesia” dengan catatan dari
redaksi: “Oentoek memberikan kesempatan lebih loeas lagi kepada oemoem mengenali isi Oendang-Oendang Dasar Pemerintah jang seoetoehnja, di ba-
wah ini kita sadjikan pendjelasan selengkapnja”. Tetapi setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, naskah Penjelasan yang terpisah itu dijadikan
bagian yang tidak terpisahkan dengan naskah UUD 1945, sehingga selanjut- nya dipakai sebagai penjelasan yang bersifat resmi dan dianggap mengikat
secara hukum.
236
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini sangat terkenal, karena salah satu isinya yaitu menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 setelah sebelumnya
tidak lagi diberlakukan secara nasional dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949. Di masa RIS, diberlakukan Konstitusi
RIS Tahun 1949, dan kemudian setelah bentuk negara kita kembali ke negara kesatuan diberlakukanlah UUDS Tahun 1950, sambil mempersiapkan
undang-undang dasar baru. Untuk itu, sesuai hasil Pemilu 1955, dibentuklah Konstituante dengan tugas menyusun naskah UUD baru itu. Oleh karena
Konstituante tidak berhasil menyelesaikan tugasnya, Presiden mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 sejak tanggal 5 Juli 1959.
237
Perubahan Pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Majelis Pe- rmusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999.
238
Perubahan Kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
171
v Periode 5 20 0 1-20 0 2: berisi n askah UUD 1945 versi tahun 1959 ditam bah Perubahan Pertam a tahun
1999, Perubahan Kedua tahun 20 0 0 , dan Perubahan Ketiga tahun 20 0 1;
239
vi Periode 6 20 0 2 s.d. sekarang: berisi naskah UUD 1945 versi tahun 1959 ditam bah Perubahan Pertam a
tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 20 0 0 , Peruba- han Ketiga tahun 20 0 1, dan Perubahan Keem pat
tahun 20 0 2.
240
Susun an n askah yang terakhir in ilah yan g dapat dikatakan n askah resm i sejak Perubahan Keem pat tahun
20 0 2, yaitu terdiri atas 5 lim a berkas yaitu i n askah UUD 1945 versi Dekrit Presiden 5 J uli 1949,
241
ii n askah Perubahan Pertam a UUD 1945, iii n askah
Perubahan Kedua UUD 1945, iv naskah Perubahan Ketiga UUD 1945, dan v naskah Perubahan Keem pat
UUD 1945. Kelim a n askah in i dicetak dalam ben tuk kon - solidasi oleh Sekretariat J en deral MPR, di m ana setiap
pasal baru diberi catatan kaki den gan kode bintan g , , , atau sesuai dengan nom or Perubahan
UUD 1945-n ya. Cara penulisan dan m en erbitkan atau m em bukukan nya jadi satu kesatuan yang terkonsolidasi
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000.
239
Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 19 November 2001. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001.
240
Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Ne-
gara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.
241
Dekrit Presiden beserta lampirannya berupa UUD 1945 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959. Lihat Sri
Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alum- ni, 1992, hal. 52-53.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
172
seperti in i, dapat dikatakan m erupakan cara penerbitan n askah yan g tidak resm i. Pen erbitan dem ikian dilakukan
sem ata-m ata un tuk m aksud m em udahkan pem bacan ya sesuai usulan yang saya sendiri berkali-kali sarankan
agar n askah Un dan g-Un dang Dasar 1945 yan g telah em - pat kali diubah itu dikon solidasikan m enjadi satu kesatu-
an n askah.
Dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 yang saya susun dan saya terbitkan sebelum Sekretariat J en -
deral MPR-RI m enerbitkan versi naskah kon solidasi itu, saya sen diri pun sudah m en yin ggung pen tin gn ya upaya
m en yatukan n askah UUD 1945 yan g telah em pat kali m e- n galam i perubahan itu.
242
Oleh sebab itulah saya m en erbitkan buku Kon solidasi Naskah UUD 1945 ter-
sebut disertai “footnotes” di setiap rum usan pasal dan ayat sebagai keteran gan yan g berisi kom en tar dan pen -
dapat saya m en gen ai setiap butir keten tuan UUD 1945 pasca Perubahan itu. Saya sen diri berpendapat bahwa
Kom isi Konstitusi
243
yan g diben tuk pada tahun 20 0 3, se- m estinya dim aksudkan un tuk dapat m enyelesaikan tugas
kon solidasi yang dem ikian itu. Sayangn ya, Kom isi Kon - stitusi m alah bekerja m elam paui m andatnya sendiri,
244
sehingga hasil kerjanya diabaikan sam a sekali oleh MPR. Akibatnya, aspirasi dan kebutuhan un tuk m engadakan
kon solidasi n askah UUD Negara Republik In don esia Tahun 1945 itu tidak berhasil dicapai.
Nam un sebagai gantin ya, Badan Pekerja MPR sen - diri berhasil m enjadikan lim a n askah terpisah itu m en ja-
242
Lihat Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Peruba- han Keempat, edisi ke-1 oleh PSHTN-FHUI, Jakarta, 2002, dan Edisi ke-2
oleh Watampone Press, 2003.
243
Komisi Konstitusi ini dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I MPR2002 Tahun 2002 dan Putusan Rapat Paripurna ke-6 lanjutan bertang-
gal 11 Agustus 2002 Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002.
244
Lihat dalam laporan Komisi Konstitusi, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2003.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
173
di satu kesatuan yang diterbitkan m enjadi n askah tersen - diri den gan m encontoh apa yan g saya kerjakan sebelum -
n ya. Nam un , n askah kon solidasi itu harus dian ggap ber- sifat tidak resm i, karen a pen yatuan n ya m en jadi satu
n askah itu bukan dilakukan secara resm i oleh sidang MPR, m elainkan hanya oleh kesepakatan intern tim kerja
Pan itia Ad H oc 1 Badan Pekerja MPR. Tim itulah yan g m em inta Sekretariat J en deral MPR un tuk m en erbitkan
naskah konsolidasi itu dalam satu rangkaian den gan nas- kah UUD 1945 selengkapnya. Maksudnya tiada lain ada-
lah un tuk m em udahkan para pem baca untuk m em pelaja- ri isi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 secara utuh dan m enyeluruh.
3 Peraturan Perun dang-undangan Tertulis Kelim a sum ber hukum , sebagaim an a telah diurai-
kan sebelum nya secara ringkas, secara um um diakui baik di dun ia teori m aupun praktik di berbagai n egara kon -
stitutional constitution al states. Nam un, di setiap n ega- ra dalam arti hukum tata negara positif, pen gaturan
rincin ya ten tu berbeda-beda satu sam a lain , terutam a berken aan den gan peraturan perun dan g-un dan gan yang
bersifat tertulis sebagai sum ber hukum pertam a dan utam a. Dalam sistem hukum In don esia pun dari waktu
ke waktu terjadi perubahan dem i perubahan . Terakhir, sebelum diadakan perubahan atas Un dan g-Un dang Da-
sar 1945, keten tuan m en genai sum ber tertib hukum itu diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX MPRS 1966 ten-
tan g Mem orandum DPR-GR m engenai Sum ber Tertib H ukum Republik In don esia dan Tata Urutan Peraturan
Perun dangan Republik Indon esia yan g kem udian diubah dengan Ketetapan MPR No. III MPR 20 0 0 .
245
245
Sebelumnya, Ketetapan MPRS No. XXMPRS1966 tentang Memoran- dum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia ini pernah ditinjau ulang, Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
174
Sesudah Perubahan UUD 1945, m aka pada tahun 20 0 4 telah diun dangkan Un dan g-un dang Nom or 10
Tahun 20 0 4 tentan g Pem bentukan Peraturan Perun - dan g-un dan gan
246
yan g kem udian m en jadi sum ber ruju- kan dalam rangka pem bentukan peraturan perundang-
undangan. Sum ber-sum ber hukum yan g pertam a in ilah yang disebut di atas sebagai sum ber hukum form al, yaitu
n askah un dan g-un dan g dasar dan peraturan perun dang- undangan tertulis lainnya.
Pada um um n ya, hukum tertulis itu m erupakan pro- duk legislasi oleh parlem en atau produk regulasi oleh
pem egang kekuasaan regulasi yan g biasan ya berada di tan gan pem erin tah atau badan -badan yan g m en dapat
delegasi kewen an gan regulasi lain n ya. Oleh karen a itu, bentuknya dapat berupa legislativ e acts seperti Undang-
Undang atau executiv e acts seperti Peraturan Pem erin - tah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Bank In donesia,
Peraturan KPU, KPPU, KPI, dan sebagainya. Dem ikian pula lem baga-lem baga pelaksan a un dan g-un dang lain -
n ya biasa diberi pula kewen angan untuk m enetapkan sen diri peraturan -peraturan yan g bersifat internal seper-
ti Mahkam ah Agun g m en etapkan Peraturan Mahkam ah Agun g PERMA,
247
Mahkam ah Konstitusi m enetapkan Peraturan Mahkam ah Konstitusi PMK,
248
Badan Pem eriksa Keuan gan juga dem ikian , dan lain -lain seba-
gain ya. Nam un, peraturan-peraturan yan g term asuk pe-
n gertian executiv e acts tersebut, tidak disebut secara
tetapi pada akhirnya dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan MPR No.V MPR1973.
246
Indonesia, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Peundang- undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389.
247
Lihat Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
248
Lihat Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
175
khusus dalam Undang-undang Nom or 10 Tahun 20 0 4. Menurut keten tuan Pasal 7 ayat 1 Un dang-un dan g No-
m or 10 Tahun 20 0 4 ten tang Pem ben tukan Peraturan Perundang-un dan gan, jen is dan hierarki peraturan per-
un dang-un dan gan Republik Indon esia han ya terdiri atas: i Un dan g-Un dang Dasar Negara Republik In donesia
Tahun 1945; ii Un dan g-un dang Peraturan Pem erintah Pen ggan ti
Un dan g-un dang; iii Peraturan Pem erin tah;
iv Peraturan Presiden ; v Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah Perda, sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 7 ayat 2 UU No. 10 Tahun 20 0 4 dan seba-
gain ya, m eliputi: a Peraturan Daerah provin si dibuat oleh dewan per-
wakilan rakyat daerah provinsi bersam a dengan gu- bernur;
b Peraturan Daerah kabupaten kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten kota bersam a
bupati walikota; c Peraturan Desa peraturan yang setingkat, dibuat
oleh badan perwakilan desa atau n am a lain n ya ber- sam a den gan kepala desa atau n am a lainn ya.
Ketentuan lebih lan jut m engenai tata cara pem - buatan Peraturan Desa peraturan yang setingkat, m en u-
rut Pasal 7 ayat 3, diatur den gan Peraturan Daerah kabupaten kota yan g bersangkutan . Selan jutn ya, dalam
Pasal 7 ayat 4 din yatakan bahwa jen is peraturan per- undang-un dan gan selain sebagaim an a dim aksud pada
ayat 1, diakui keberadaann ya dan m em punyai kekuatan hukum m en gikat sepan jan g diperin tahkan oleh peratu-
ran perun dan g-undangan yan g lebih tin ggi. Sebab, seper- ti diten tukan dalam ayat 5-n ya, kekuatan hukum pera-
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
176
turan perun dan g-undan gan adalah sesuai den gan hierar- ki sebagaim an a dim aksud pada ayat 1 tersebut.
4 Yurisprudensi Peradilan Sum ber berikutnya adalah yurispruden si. Dalam
sistem com m on law , putusan pengadilan in ilah yang jus- tru lebih utam a sesuai dengan asas precedent. Akan teta-
pi dalam tradisi civ il law , putusan pengadilan tidak di- anggap palin g utam a, m eskipun tetap dijadikan sebagai
salah satu sum ber hukum . Tidak sem ua putusan pen ga- dilan dapat dijadikan referensi yang m engikat. Untuk
dapat m en gikat sebagai sum ber hukum , putusan pen ga- dilan harus lebih dulu m em en uhi syarat sehin gga diakui
sebagai yurisprudensi yang harus pula dibedakan dari istilah yang sam a yan g biasa ditem ukan dalam literatur
com m on law .
Di In ggris, Am erika, Kan ada, dan Australia, istilah jurisprudence berarti ilm u hukum . Sebab sejak sem ula,
hukum dalam tradisi Anglo Saxon ia m em ang tum buh dari putusan-putusan pengadilan. Ilm u hukum dikem -
bangkan den gan cara m em pelajari kasus-kasus dan putusan pen gadilan . Oleh karen a itu, lam a kelam aan , is-
tilah jurispruden ce di In ggris dan n egara-n egara berba- hasa In ggris lainn ya yan g dipen garuhi oleh sistem hu-
kum An glo Saxon, berkem bang dalam pengertian ilm u hukum .
Dalam sistem kon tin en tal seperti di J erm an , Peran - cis, dan Belan da, putusan pen gadilan dian ggap sebagai
salah satu saja dari norm a hukum yang dipelajari dan di- jadikan sum ber hukum . Untuk itu, istilah jurisprudentie
di Belanda m en un juk kepada pengertian putusan penga- dilan yan g bersifat tetap yan g kem udian dijadikan refe-
ren si bagi hakim lain dalam m em eriksa perkara serupa di kem udian hari. Pen gertian in ilah yan g diadopsi ke da-
lam sistem hukum In don esia.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
177
Seperti dikem ukakan di atas, tidak sem ua putusan pengadilan dapat m en jadi atau dianggap sebagai yuris-
pruden si. Dalam sistem hukum In don esia, dipersyarat- kan bahwa putusan pen gadilan itu i harus sudah m eru-
pakan putusan yang berkekuatan hukum tetap inkracht v an gew ijs, ii dinilai baik dalam arti m em ang m eng-
hasilkan keadilan bagi pihak-pihak bersan gkutan , iii putusan yang harus sudah berulan g beberapa kali atau
dilakukan den gan pola yan g sam a di beberapa tem pat terpisah, iv n orm a yan g terkan dun g di dalam n ya m e-
m ang tidak terdapat dalam peraturan tertulis yang ber- laku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas, dan v putu-
san itu dinilai telah m em en uhi syarat sebagai yurispru- den si dan direkom en dasikan oleh tim eksam in asi atau
tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh Mahkam ah Agun g atau Mahkam ah Kon stitusi un tuk m en jadi yuris-
pruden si yan g bersifat tetap.
Untuk diakui sebagai yurispruden si yang bersifat tetap, putusan pen gadilan harus m em en uhi kelim a per-
syaratan tersebut secara kum ulatif.
249
Nam un dem ikian , sekali putusan pengadilan itu ben ar-ben ar telah diang-
gap sebagai yurisprudensi, m aka bagi para hakim di pe- n gadilan , statusn ya dianggap sebagai salah satu sum ber
hukum yang m en gikat seperti haln ya un dan g-un dang.
5 Kon ven si Ketatanegaraan Sum ber selanjutn ya adalah kon vensi ketatan egara-
an atau con stitution al con v ention s atau kadang-kadang disebut juga conv entions of the constitution .
250
Konven si
249
Bandingkan dengan Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Yurisprudensi, Jakarta: Prenada Media, 2004, hal.11-12. Baca juga Yuris-
prudensi dalam Perspektif Pembangunan Hukum Administrasi Negara, Ja- karta: Mahkamah Agung, 1995.
250
Hal tersebut misalnya dikemukan oleh A.V. Dicey dan kemudian diikuti oleh banyak sarjana Inggris lainnya, seperti misalnya John Alder yang me-
nyebutnya dengan istilah conventions of the constitution. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
178
tidak iden tik dengan kebiasaan. Dengan dem ikian , kon - ven si ketatan egaraan juga tidak identik den gan kebiasa-
an ketatan egaraan. Kebiasaan m en un tut adanya perula- n gan yang teratur, sedangkan kon vensi tidak selalu harus
didasarkan atas perulan gan . Kon vensi ketatan egaraan the conv entions of the constitution dapat berben tuk
kebiasaan, dapat pula berben tuk praktik-praktik prac- tices ataupun constitutional usages. Terhadap hal in i,
yan g pen tin g adalah bahwa kebiasaan, kelazim an , dan praktik yan g harus dilakukan dalam proses pen yelen gga-
raan negara, m eskipun tidak tertulis, dianggap baik dan berguna dalam pen yelenggaraan n egara m en urut un -
dan g-un dan g dasar. Oleh karen a itu, m eskipun tidak di- dasarkan atas keten tuan kon stitusi tertulis, hal itu tetap
din ilai pentin g secara kon stitusion al constitutionally m eaningful.
Oleh sebab itu, kon vensi ketatan egaraan atau kebiasaan ketatan egaraan sem acam itu dian ggap harus
ditaati sebagai konstitusi juga, yaitu sebagai konstitusi yan g tidak tertulis. Tentu, kon ven si atau kebiasaan itu
sen diri dapat saja diubah. Cara m en gubahn ya tidak sesulit jika dibandin gkan dengan konstitusi yang tertulis.
Kon ven si ketatan egaraan ataupun kebiasaan ketatan e- garaan dapat saja diubah den gan m elakukan pen yim -
pan gan yan g dian ggap perlu sebagai kon ven si baru yang untuk selan jutn ya, setelah dilakukan berulang-ulang,
m en jadi kebiasaan yan g baru pula.
Seperti diuraikan di atas, dalam praktik ketatane- garaan In ggris, sebagian besar kon ven si ketatan egaraan
m en gatur hubun gan an tar caban g-caban g kekuasaan pe- m erin tahan pusat central gov ern m ent, khususn ya m e-
n gatur i the relation ship betw een the m on arch, m in is- ters, an d parliam ent, ii the relationship betw een m i-
nisters am ong them selv es, an d iii the relationship bet-
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
179
w een m inisters and civ il serv ants.
251
Kadang-kadang kon ven si berfun gsi sebagai dev ices for adjusting the
strict law to m eet the changing dem ands of politics. Dengan begitu, kebiasan -kebiasaan ketatan egaraan itu
berfungsi m elan carkan jalan sehin gga norm a hukum dapat dijalan kan den gan m ulus dalam praktik.
Dalam pen galam an di Inggris, seperti contoh yang telah diuraikan sebelum n ya, peraturan tertulis tegas
m en en tukan bahwa “The Queen’s assent is required for a v alid Act of Parliam ent”. Dalam praktik hal itu berubah
dan akhirnya berkem bang sebagai konvensi yaitu bahwa The Queen m ust alw ay s assent to a bill. Peraturan ter-
tulis juga m en en tukan “Parliam ent m ust m eet at least ev ery three y ears”, tetapi kem udian berubah karena
konven si m enjadi Parliam ent m ust m eet annually .
Peraturan tertulis di In ggris juga m en en tukan bahwa “The Queen constitutes the executiv e branch of
gov ernm ent but cannot m ak e law nor raise taxes except through an Act of Parliam ent”. Tetapi dalam praktik, hal
tersebut berubah akibat adan ya kon vensi sehingga m en jadi beberapa n orm a, yaitu: a The Queen acts only
on the adv ice of Ministers; b The cabinet is collectiv ely responsible to Parliam ent for the con duct of the gov ern -
m ent, c M inisters are indiv idually responsbile to Par- liam ent for the con duct of their departm ents; d Legis-
lation inv olv ing taxation and public expen diture can be introduced only by m in isters; e Executiv e pow ers are
exercised through m in isters, w ho are collectiv ely an d indiv idually responsible to Parliam ent.
Contoh lain lagi adalah bahwa peraturan tertulis m en en tukan “The Queen appoints and dism isses m inis-
ters” tetapi dalam praktik berubah oleh kon ven si m enja- di i The Queen m ust appoint as Prim e M inister the
person w ho can com m an d the support of a m ajority of
251
Alder, Op. Cit., hal. 26-27. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
18 0
the H ouse of Com m ons – now aday s an elected party leader, ii The Queen m ust appoint and dism iss the per-
sons nom inated by the Prim e Min ister all of w hom m ust usually the M em bers of Parliam ent and m ost m em bers
of the H ouse of Com m ons, dan iii The gov ern m ent m ust resign if defeated on a v ote of confiden ce in the
H ouse of Com m ons.
252
Di In don esia juga dapat ditem ukan ban yak kon ven - si ketatan egaraan yan g dipraktikkan sejak dulu sam pai
sekarang. Um pam an ya, adanya kebiasaan penyeleng- garaan kegiatan Pidato Ken egaraan Presiden pada Rapat
Paripurna DPR-RI tanggal 16 Agustus setiap tahun, baik yan g berlaku sejak awal m asa pem erin tahan Presiden
Soeharto m aupun yang berlaku sam pai dengan sekarang. Di m asa pem erin tahan Presiden Soekarn o, pidato ken e-
garaan sem acam itu dilaksan akan lan gsung di hadapan rakyat di depan Istan a Merdeka pada setiap tanggal 17
Agustus, sekaligus dalam ran gka perayaan hari kem er- dekaan . Pidato Presiden Soekarn o di depan istan a ter-
sebut biasanya disebut sebagai “Am an at 17 Agustus”. Beberapa sarjana dan juga Presiden Soekarn o sendiri
m en yatakan bahwa pidaton ya itu m erupakan ben tuk per- tan ggun gjawabann ya sebagai Pem im pin Besar Revolusi,
bukan sebagai Presiden.
Nam un , setelah m asa Orde Baru, pidato ken egara- an tersebut diubah m en jadi pidato kenegaraan di depan
rapat paripurna DPR-RI, dan fun gsinya dikaitkan de- n gan penyam paian n ota keuangan dalam ran gka ran ca-
ngan APBN oleh Presiden kepada DPR-RI. Den gan dem i- kian, fungsi Pidato Presiden tersebut berubah m enjadi
pidato yan g bersifat lebih tekn is, dan bukan lagi sebagai pidato yang bersifat sim bolik dan sekaligus kerakyatan ,
sehingga tepat disebut sebagai Pidato Ken egaraan yang
252
Ibid. hal. 27-28.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 1
diadakan khusus satu kali dalam setiap tahun dalam rangka perayaan hari kem erdekaan .
H al in i diteruskan sam pai sekarang, sehin gga tim bul persoalan m en gen ai keterlibatan Dewan Perwaki-
lan Daerah setelah terbentuk sebagai lem baga n egara yan g tersen diri di sam pin g Dewan Perwakilan Rakyat.
Nam un , un tuk m engatasi hal itu, diadakan pen gaturan sehingga Presiden juga dijadwalkan m en yam paikan pi-
dato ken egaraan yan g tersen diri di hadapan Dewan Per- wakilan Daerah, yaitu pada setiap akhir bulan Agustus.
Pidato di depan DPD tersebut juga dim anfaatkan un tuk m en yam paikan keteran gan pem erin tah m en gen ai APBN,
khususn ya yan g berkaitan den gan kepen tingan daerah- daerah di seluruh Indonesia.
6 Doktrin Ilm u H ukum ius com m inis opinio docto- rum
Doktrin ilm u pen getahuan hukum juga dapat dija- dikan sum ber hukum the source of law , karen a pen da-
pat seoran g ilm uwan yan g m em pun yai otoritas dan kre- dibilitas dapat dijadikan rujukan yang m engikat dalam
m em buat keputusan hukum . Fatwa atau legal opinion m erupakan pendapat hukum yan g tidak m en gikat. Pen -
dapat hukum itu dapat diajukan oleh ilm uwan hukum m en gen ai sesuatu persoalan atau oleh lem baga n egara
resm i, seperti Mahkam ah Agun g, asalkan pengaturan m en gen ai hal itu m em ang tidak terdapat dalam pera-
turan tertulis yang berlaku. Dalam hal dem ikian , m aka pendapat hukum legal opinion itu dapat dijadikan ru-
jukan dalam m em buat keputusan asalkan m em en uhi beberapa persyaratan .
Persyaratan dim aksud adalah bahwa i ilm uwan yan g bersan gkutan diken al dan diakui luas sebagai ilm u-
wan yang m em iliki otoritas di bidangnya dan m em pu- nyai integritas yang dapat dipercaya; ii terhadap perso-
alan yang bersangkutan m em an g tidak ditem ukan dalam
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 2
peraturan tertulis yan g berlaku; iii pen dapat hukum dim aksud telah diakui keun ggulann ya dan diterim a oleh
um um , khususnya di kalangan sesam a ilm uwan. Dengan kata lain , pen dapat yang bersan gkutan sudah m en jadi
ius com m in is opinion doctorum atau sudah m en jadi prin sip atau pen dapat ilm iah yan g diterim a oleh um um
7 H ukum Intern asional H ukum publik in ternasional secara um um diang-
gap juga m en jadi sum ber hukum tata n egara. Meskipun sam a-sam a m en jadikan negara selaku subjek hukum se-
bagai objek kajiannya, antara hukum tata n egara consti- tutional law dengan hukum internasional publik Inter-
national public law jelas dapat dibedakan satu sam a lain . H ukum tata n egara m elihat negara dari segi in ter-
n aln ya, sedan gkan hukum in tern asional m elihat n egara dari hubun gan ekstern alnya dengan subyek-subyek nega-
ra lain.
3 . Co n to h S u m b e r H u ku m Ta ta N e gara In ggris
Sebagai perban din gan dapat dikem ukakan di sin i pen dapat A.W. Bradley dan K.D. Ewin g m engen ai sum -
ber hukum tata negara Inggris the sources of consti- tution al law in Britain yan g m en urutn ya sam a saja de-
n gan sum ber hukum pada um um nya. Perban dingan in i pen tin g, karen a berbeda den gan n egara-negara lain , Ing-
gris diken al tidak m em iliki n askah un dan g-un dan g dasar yang bersifat tertulis dalam arti terkodifikasi dalam satu
n askah. Men urut kedua sarjan a In ggris in i:
“In the absence of a w ritten con stitution , the tw o m ain sources of con stitutional law are the sam e as those of
law in gen eral, n am ely : a legislation or enacted law , and b judicial preceden t or case law .
253
253
Bradley and Ewing, Op Cit., hal 12-13.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 3
Un tuk lebih jelasn ya, keduan ya dapat dielaborasi- kan sebagai berikut:
a. Legislation Enacted Law Sum ber hukum pertam a adalah peraturan perun -
dan g-un dan gan tertulis, term asuk acts of Parliam ent, peraturan-peraturan tertulis yang ditetapkan oleh pem e-
rintah, dan peraturan -peraturan yan g ditetapkan oleh lem baga-lem baga lain n ya yan g m en dapat delegasi kewe-
n an gan regulasi dari parlem en . Oleh karena Inggris tidak m em iliki naskah undang-undang dasar tertulis yang ter-
sen diri, m aka sejak dulu sam pai sekaran g cukup ban yak undang-un dan g yang disahkan oleh parlem en yan g ber-
hubun gan den gan sistem pen yelenggaraan pem erin - tahan. Men genai hal in i yang dianggap paling penting di
antaran ya adalah:
1 Magn a Charta Magna Charta dian ugerahkan oleh Raja J ohn pada
tahun 1215 di Run n ym ede kepada the nobles, dan dalam berbagai ben tukn ya den gan persetujuan parlem en Ing-
gris dikonfirm asi oleh raja-raja berikutnya. Magna Char- ta m uncul dalam Statute Book yang dikonfirm asi oleh
Raja Edward I pada tahun 1297. Pentin gn ya piagam atau charter in i adalah di dalam n ya terdapat statem ent of
griev ances yan g dirum uskan atas nam a sebagian besar kom unitas rakyat w hich the king undertook to redress.
Piagam Magna Charta ini juga m erum uskan hak-hak bagi berbagai kelas m asyarakat abad perten gahan itu se-
suai den gan kebutuhan m ereka m asin g-m asin g. Gereja diharuskan untuk bebas, London dan kota-kota lain n ya
harus m en ikm ati kebebasan dan adat kebiasaan nya m a- sin g-m asin g, dan para pedagan g tidak boleh dipaksa un -
tuk m em bayar pajak yan g tidak adil.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 4
Walaupun peradilan den gan sistem juri dan den gan the w rit of habeas corpus dipen garuhi oleh sum ber-sum -
ber tradisi yang lain, Chapter 29 Magna Charta m enya- takan bahwa “n o m an should be pun ished except by the
judgem ent of his peers or the law of the land and that to none should justice be denied”. Ketentuan in i m en cer-
m in kan protes m elawan hukum an yang sewen an g-we- n an g dan pem batasan terhadap peradilan yang fair fair
trial, serta sistem hukum yang adil just legal sy stem . Sekarang, beberapa ketentuan Magna Charta itu m asih
terdapat dalam Statute Book tetapi telah diubah dengan sebutan the n earest approach to an irrepealable “funda-
m en tal statute” that En gland has ev er had.
254
2 Petition of R ight Dokum en atau n askah lain yang juga diun dan gkan
oleh Parlem en In ggris pada era konflik kon stitusional berikutn ya adalah Petition of R ight pada 1628 , yan g di-
tuangkan dalam Statute Book pada bagian 3 Car 1 c 1.
255
Petisi in i m engan dung protes m elawan kebijakan per- pajakan yan g diterapkan tanpa didasarkan atas persetu-
juan parlem en , pem en jaraan yan g sem en a-m en a, pen e- rapan keadaan darurat m iliter di m asa dam ai, dan pe-
m aksaan kebijakan pen gin apan bagi ten tara di tem pat- tem pat sipil priv ate persons. Terhadap protes-protes
itu, Raja akhirn ya m enyerah, m eskipun akibat selan - jutn ya dari kon sesi yan g diberikan itu diperlem ah lagi
oleh pandan gan Charles I yang m en yatakan bahwa hak prerogatifnya sendiri m asih tetap tidak terhapus.
254
Pollock and Maitland, History of English Law, Vol. 1, hal. 173; juga dalam R vs. Home Industry, ex Phansopkar, 1976, QB 606; R vs. Foreign
Secretary, ex Bancoult, 2001, QB 1067; dan A. Tomkins, 2001, PL. 571.
255
Halsbury’s Statutes, Vol. 10, hal. 26. Lihat juga Bradley and Ewing, Op. Cit., hal.13, ft. 10.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 5
3 Bill of R ight and Claim of R ight Revolusi Kem enan gan tahun 168 8 atau The glo-
rious rev olution of 168 8 m en yebabkan jatuhn ya J am es II of Englan d dan J am es VII of Scotland dari singgasan a-
nya, dan dipulihkannya kekuasaan m onarki di kedua ke- rajaan itu sesuai dengan syarat-syarat yan g diten tukan
oleh m asing-m asing parlem en Inggris dan Skotlandia. Di Inggris, yan g m enyetujui The Bill of Rights itu adalah
H ouse of Lords dan sisa-sisa anggota parlem en terakhir m asa Charles II pada tahun 168 9 yan g selan jutn ya di-
konfirm asi oleh parlem en yang terbentuk sesudah revo- lusi.
256
H al in ilah yan g selan jutn ya m en jadi lan dasan bagi kon stitusion alism e m odern Inggris dengan m en in ggal-
kan klaim yan g biasa diken al den gan the extrav agant claim s of the Stuarts to rule by prerogativ e right.
4 The Acts of Settlem ent Un dang-un dan g Pem ukim an Tahun 170 0 in i diun -
dan gkan oleh parlem en In ggris, tidak saja m en yediakan m ekan ism e suksesi ke sin ggasan a, tetapi juga m en am -
bahkan berbagai keten tuan penting yang bersifat kom - plem enter terhadap naskah Bill of Rights. The Bill of
R ights dan The Acts of Settlem ent tersebut m en an dai kem en an gan parlem en atas tun tutan atau klaim Raja
untuk m em erin tah m en urut prinsip hak prerogatif yang bersifat m utlak.
257
Sebagai con toh, dalam Acts of Sett- lem ent in i ditentukan bahwa:
“That shosoever shall hereafter com e to the possession of this crow n shall join in com m un ion w ith the Church
of England as by law established. That in case the crow n and im perial dign ity of this realm shall hereafter
com e to any person, not being a nativ e of this kingdom of En glan d, this n ation be n ot obliged to en gage in any
256
Ibid., hal. 14.
257
Ibid., hal. 15. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
18 6 w ar for the defence of any dom in ion s or territories
w hich do n ot belon g to the crow n of En glan d, w ithout con sen t of Parliam ent. That no person w ho has an
office or place of profit un der the King or receives a pension from the crow n shall be capable of serv ing as a
m em ber of the H ouse of Com m ons.” “That ... judges’ com m ission s be m ade ‘quam diu se ben e
gesserint’ [so lon g as they are of good behav iour], an d their salaries ascertained an d established, but upon the
address of both H ouses of Parliam ent it m ay be law ful to rem ove them . That n o pardon un der the great seal of
En glan d be pleadable to an im peachm en t by the Com - m on s in Parliam en t”.
258
5 Other Statutes of Con stitutional Im portance Di sam pin g itu, banyak lagi un dang-undang lain
yan g dalam sistem ketatan egaraan Inggris dian ggap m em pun yai constitutional im portance karen a diakui se-
bagai bagian dari pengertian hukum tata n egara In ggris dalam arti yan g luas. Untuk m enyebut beberapa di anta-
ranya yaitu the Act of Union w ith Scotland tahun 170 7, the Act of Union of Ireland, the Parliam ent Act tahun
1911 dan tahun 1949, the Crow n Proceedings Act tahun 1947, the European Com m un ities Act tahun 1972, the
British N ationality Act tahun 198 1, dan the Public Order Act tahun 198 6. Selain itu, dalam beberapa tahun ter-
akhir ini, terdapat pula beberapa undang-undan g baru yan g disahkan an tara tahun 1997 sam pai den gan tahun
20 0 0 . Misalnya, dapat dikem ukakan di sin i adalah the Scotlan d Act tahun 1998 , the H um an R ights Act tahun
1998 , dan the H ouse of Lords Act tahun 1999, serta undang-un dan g an ti-terorism e atau the Terrorism Act
tahun 20 0 0 .
Sekiran ya In ggris m em iliki naskah un dan g-un dang dasar tertulis, tentulah m ateri-m ateri un dan g-un dang
258
Ibid., hal. 40.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 7
tersebut di atas seharusn ya tercan tum dalam n askah un - dan g-un dan g dasar, sehin gga un tuk m en gadopsikan n ya
m em erlukan perubahan -perubahan n askah undang-un - dang dasar sebagaim ana m estinya. Oleh karena itu,
dikatakan oleh A.W. Bradley dan K.D. Ewing:
“.... in tw o respects a distinction is som etim es draw n betw een con stitution al and other legislation . First, the
H ouse of Com m ons m ay refer Bills of constitutional significance for detailed consideration to a com m ittee
of the w hole H ouse rather than to a stan ding com m ittee of the H ouse, but n ot all Bills of con stitution al sign i-
fican ce are treated in this w ay . Secon d, by the doctrin e of im plied repeal, a later Act, how ever, in the case of
som e statutes of special sign ifican ce, the courts are som etim es reluctant to hold that they hav e been ov er-
riden by a later Act. Un der this category m ight com e such Acts as the Bill of Rights 168 9, the Acts of Un ion
w ith Scotland an d Ireland, the European Com m unities Act 1972, an d the H um an R ights Act 1998”.
259
Seperti dikatakan oleh Lord Wilberforce, seorang hakim sen ior Inggris:
“In strict law there m ay be n o difference in status ... as betw een on e Act of Parliam en t an d an other, but I con -
fess to som e reluctan ce in holdin g that an Act of such con stitutional sign ifican ce as the Union w ith Irelan d
Act is subject to the doctrin e of im plied repeal or of obsolescen ce”.
260
Den gan doktrin im plied repeal itu berarti terjadi penghapusan secara diam -diam , sedangkan dengan dok-
trin obsolescence berarti terjadi proses penataan alam iah yan g m en yebabkan nya tidak terpakai lagi. Apalagi, m es-
kipun tidak dipersyaratkan , kebiasaan praktik penye-
259
Ibid.
260
Lord Wilberforce, Report by the Committee of Privileges on the Petition of the Irish Peers, 1966, HL. 53, hal. 16.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 8
lenggaraan referen dum apabila m uncul usulan un tuk m elakukan perubahan ketentuan konstitusion al terten tu
telah pula dikem ban gkan sejak tahun 1973.
b. Judicial Precedent Case Law Sum ber utam a lainn ya dari rule of law di Inggris
dapat ditem ukan dalam berbagai putusan pengadilan yan g lebih tin ggi atau pen gadilan terdahulu. Putusan -
putusan pengadilan dim aksud dapat ditem ukan dalam bentuk laporan-laporan resm i law reports ataupun
berita-berita n egara sebagai tem pat pen uan gan dan pem - beritaan resm i adan ya putusan pengadilan yan g telah
berkekuatan hukum tetap in kracht v an gew ijs. Di bawah doktrin preseden atau stare decisis,
261
putusan - putusan tersebut bersifat m en gikat bagi pen gadilan -pe-
n gadilan di bawahn ya ataupun bagi pen gadilan-pengadi- lan yang terkem udian .
262
c. The Com m on Law Secara harfiah, yang dim aksud den gan com m on
law itu adalah hukum kebiasaan , yaitu terdiri atas the law s and custom s yan g sejak dahulu kala diakui sebagai
hukum oleh para hakim dalam m en gadili suatu perkara tertentu yan g diajukan kepada m ereka. Dalam berbagai
laporan resm i m engen ai hal in i, dapat ditem ukan ber- bagai kasus hukum yan g berkaitan dengan the preroga-
tiv es of the Crow n, the rem edies of the subject against illegal acts by public authorities and officials, and the
w rit of habeas corpus, yan g dalam hukum In ggris m elin - dungi kebebasan warga n egara dari tindakan pem asu-
n gan dan pengekan gan yang m elan ggar hukum .
261
Dengan doktrin stare decisis ini berarti bahwa adalah tugas pengadilan untuk mengamati dan memperhatikan kasus-kasus terdahulu yang telah dipu-
tus.
262
Cross and Harris, “Precedent in English Law”, dalam Bradley and Ewing, Op. Cit., hal. 16.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
18 9
Sebagai con toh, dalam putusan Entick vs Carring- ton ditentukan bahwa Secretary of State tidak m em pu-
n yai kekuasaan un tuk m engeluarkan general w arrants for the arrest and search of those publishin g seditious
papers, dan pada kasus Burm ah Oil Co. v s Lord Adv o- cate yang m en en tukan bahwa kerajaan harus m em bayar
gan ti rugi atas subjek kekayaan yang diam bil dalam ran gka pelaksan aan kewen an gan prerogatifn ya. Con toh
kasus lain n ya yaitu Conw ay v s R im m er yan g m en en - tukan bahwa pengadilan m em punyai kewen angan un tuk
m em erin tahkan pen gadaan atau pem buatan dokum en dalam ran gka pem buktian untuk m an a hak-hak keu-
tam aan kerajaan diklaim oleh kem en terian dalam negeri atau H om e Secretary . Dem ikian pula dalam kasus M v s
H om e Office yang m en en tukan bahwa H om e Secretary telah m elakukan tindakan penghin aan terhadap pengadi-
lan contem pt of court den gan tidak m em atuhi perintah hakim untuk m em bawa seoran g guru berkebangsaan
Zaire kem bali ke In ggris.
Sem ua putusan -putusan dalam kasus-kasus ter- sebut di atas, dibuat oleh para hakim yang dikenal luas
tergolon g paling sen ior di In ggris. Putusan-putusan ter- sebut m en gandung norm a aturan yang sangat pentin g di
lapan gan hukum publik, yan g tidak m un gkin akan di- tetapkan sebagai n orm a hukum oleh parlem en. Dengan
tidak adan ya n askah un dang-un dan g dasar tertulis, putusan-putusan in i justru m enyediakan apa yan g dise-
but pon dasi hukum bagi konstitusion alism e Inggris the legal foundations of British constitutionalism .
263
Meski- pun dem ikian, putusan-putusan tersebut tidak dapat
dikatakan m en gikat sepan jan g waktu, karen a putusan - putusan itu juga dapat dikesam pingkan atau diubah oleh
263
Lihat Allan, Law, Liberty and Justice, chs 1, hal. 4. Lihat juga S. Sedley, dalam Richardson and Genn eds, Administrative Law and Government
Action, ch 2, 1994, 110 LQR 270. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
190
parlem en, bahkan dapat pula diubah secara retros- pektif.
264
d. Interpretation of the Statute Law Pengadilan tidak berwen ang untuk m em utus atau
m en en tukan keberlakuan undan g-un dan g buatan parle- m en Acts of Parliam ent.
265
Artinya, hakim di Inggris tidak diperken ankan m elakukan pengujian konstitusio-
n alitas atas un dan g-un dang judicial rev iew . Pen ga- dilan han ya berwen an g m en guji peraturan yang lebih
ren dah daripada un dan g-un dang judicial rev iew on the legality of regulations. Di sam ping itu, pengadilan Ing-
gris juga m em punyai kewenangan untuk m en afsirkan peraturan perun dang-un dan gan dalam hal pen gertian
dari suatu un dan g-un dang yan g bersan gkutan sedan g di- perselisihkan. Persoalan -persoalan pen ting m en genai
hukum publik dapat tim bul dari penafsiran terhadap undang-undang sebagaim ana terlihat dari 2 dua putu-
san H ouse Lords baru-baru in i.
Dalam putusan pertam a, H ouse of Lords m en en - tukan bahwa m enurut Undang-undang ten tang H ak
Asasi Man usia the H um an R ights Act tahun 1998 , se- seorang yan g terbukti bersalah di pen gadilan sebelum
berlakunya undang-undang, dan m ereka yang terbukti bersalah setelah berlakunya undang-un dang tersebut,
tidak dapat m engajukan perm ohonan bahwa haknya m e- n urut un dan g-undang in i telah dilan ggar.
266
Sedan gkan dalam putusan yang kedua, Menteri Lin gkun gan H idup the En v iron m en t Secretary , ber-
dasarkan un dan g-un dang tahun 198 5, m em pun yai ke- kuasaan yan g luas un tuk m elindungi penghun i dari ke-
264
Lihat “The War Damage Act” tahun 1965, reversed the Burmah Oil Decision seperti tersebut di atas.
265
A.W. Bradley and K.D. Ewing, Op. Cit., hal. 17.
266
R vs Lambert, 2001, 3 All ER 577; Cf. R vs Kansal No. 2, 2002, 1 All ER, hal. 257.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
191
n aikan harga sewa yan g dihasilkan oleh putusan pen ga- dilan m en gen ai sewa; para tuan tan ah atau rum ah
m en gklaim bahwa kekuasaan han ya dapat digun akan se- bagai ukuran m enghadapi inflasi. Dalam m en aati aturan -
aturan tersebut, para petinggi hukum m em bahas pende- katan pengadilan dalam m em utus m akn a undang-un -
dan g tahun 1958 itu. Seperti dikem ukakan oleh Lord Bingham , “the ov erriding aim ... m ust alw ay s be to giv e
effect to the inten tion of Parliam ent as expressed in the w ords used”.
267
Men urut Lord Nicholls:
“The task of the court is often said to be to ascertain the in tention of Parliam en t expressed in the language
under consideration. This is correct and m ay be helpful, so lon g as it is rem em bered that the ‘in ten tion of Parlia-
m ent’ is an objectiv e concept, n ot subjectiv e. The phrase is a shorthand referen ce to the inten tion w hich the court
reasonably im putes to Parliam en t in respect of the lan - guage used. It is not the subjectiv e in tention of the
m inister or other persons w ho prom oted the legislation. N or is it the subjectiv e inten tion of the draftsm an , or of
in div idual m em bers or even of a m ajority of in div idual m em bers of either H ouse”.
268
Lord Nicholls m en erangkan bahwa dalam m en cari m akna kata-kata yang dipakai oleh Parlem en, pengadilan
m enggunakan prinsip-prin sip baku dalam penafsiran sebagai pedom an. J ika diperlukan , pengadilan juga akan
m en ggunakan dukungan in tern al internal aids yang ditem ukan dalam bagian lain n ya dari un dan g-un dang
yan g bersan gkutan ataupun dukun gan ekstern al exter- nal aids seperti bahan -bahan dari luar un dan g-undang
untuk m engiden tifikasikan penyakit the m ischief yang in gin disem buhkan atau dipulihkan oleh undang-un -
267
R vs Environment Secretary, ex p Spath Holme Ltd, 2001, 2 AC 349, 388.
268
Ibid., 396, hal.17. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
192
dan g, dan tujuan yan g hen dak dicapai oleh proses legis- lasinya.
Dikaren akan sebagian besar kekuasaan pem erin - tahan berasal dari peraturan tertulis atau undang-un -
dan g, m aka hukum buatan hakim judge-m ade law yang bersum ber dari penafsiran terhadap peraturan ter-
tulis in terpretation of statutes m enjadi san gat pen ting dalam hukum adm in istrasi n egara. Prin sip-prin sip atau
pra-anggapan presum ptions dalam penafsiran pera- turan perun dan g-un dan gan yan g diterapkan oleh pen ga-
dilan adalah jaran g bersifat konklusif, dan m alah ka- dan g-kadan g m en un juk kepada pen gertian yan g berke-
balikan arah.
269
Tugas pen gadilan dalam m en em ukan pengertian atau akibat dari perkataan yan g dipilih oleh
parlem en m em erlukan an alisis tekstual atas perun dang- undangan yang bersangkutan. Akan tetapi, jika kebijakan
atau tujuan suatu undang-un dan g dapat ditentukan , san gat m un gkin un tuk m em berikan penafsiran yang
kon sisten den gan hal itu.
Sebelum n ya, ada aturan yan g m elaran g pengadilan untuk m elihat catatan atau risalah perdebatan di par-
lem en . Akan tetapi, pada tahun 1992, H ouse of Lords m em perbaiki ketentuan ini. Sekarang, pengadilan diper-
bolehkan m enggunakan dokum en-dokum en yang dise- but the H an sard itu sebagai alat bantu un tuk m elakukan
kon struksi statutory construction apabila suatu un - dan g-un dan g atau keten tuan dalam un dan g-un dang
yan g bersan gkutan bersifat am biguous atau tidak jelas. H al tersebut dilakukan karena dokum en-dokum en oten-
tik yang terdapat dalam arsip parlem en justru berisi per- n yataan -pernyataan yan g sangat jelas dari seoran g m en -
269
Lihat Marshall, Constitutional Theory, ch. 4; Cross, Statutory Interpretation; Bennion, Statutory Interpretation.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
193
teri atau para anggota parlem en yang m en gusun g ide ran can gan undang-un dan g yan g bersan gkutan .
270
Dalam penafsiran konstitusi dan peraturan perun - dan g-un dan gan, pra-an ggapan terten tu m em pun yai arti
kon stitusion al yang san gat pen tin g constitutional im - portance. Atas dasar pra-an ggapan tersebut, ban yak
undang-un dan g yang dapat dikatakan tidak m en gikat bagi pem erintah pusat. H al tersebut dikaren akan bahwa
m ahkota kerajaan Inggris diasum sikan tidak terikat oleh undang-undang, kecuali jika hal itu secara eksplisit
din yatakan berlaku atau dian ggap perlu diberlakukan secara diam -diam necessarily im plied.
4 . S u m b e r H u ku m P rim e r, S e ku n d e r, d an Te rtie r
Dalam pen elitian hukum diken al pula adan ya istilah sum ber prim er, sekunder, dan tertier. Pen gertian
sum ber di sini lebih konkrit sifatnya, yaitu sum ber fisik dari m ana suatu norm a hukum n orm dikutip atau
diam bil untuk diterapkan dalam m enilai sesuatu fakta feit. Pen gertian sum ber dalam arti dem ikian pada
um um n ya dian ggap pen tin g, baik dalam dun ia teori m aupun praktik, un tuk m en jam in bahwa pen gutipan
norm a dilakukan den gan benar. Kualifikasi sum ber hukum itu m en jadi pen tin g un tuk m en en tukan derajat
keterpercayaan atau tingkat kebenaran referensi atau perujukannya. Oleh sebab itu, kategori sum bernya dibe-
dakan an tara sum ber prim er yan g m em pun yai n ilai keterpercayaan paling tin ggi, karen a sifatn ya yan g lang-
sun g den gan sum ber sekun der m elalui perantara. Dem i- kian pula dengan sum ber yang tingkat keterpercaya-
ann ya palin g ren dah, yaitu sum ber tertier den gan lebih banyak perantara.
270
Pepper vs Freemans plc, 1989, AC 66. Ibid., hal. 18. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara
Jilid I
194
Misaln ya, jika seseoran g in gin m en gutip susuatu pasal un dan g-undang dalam tulisann ya, m aka ia dapat
i m en gutip bun yi pasal tersebut dari buku atau tulisan oran g lain yan g sudah lebih dulu m engulas atau m em -
bahas pasal un dan g-undang yan g bersan gkutan ; ii m en gutip bunyi pasal itu dari berita koran atau m ajalah;
iii m en gutip bunyi pasal itu dari buku un dan g-un dang terbitan penerbit swasta; iv m engutip bun yi pasal itu
dari kum pulan un dan g-un dang yan g diterbitkan oleh lem baga n egara atau in stan si pem erin tah yan g bersang-
kutan dengan un dan g-undang itu; atau v m en gutip bun yi pasal un dan g-un dang itu dari terbitan resm i Lem -
baran Negara Republik Indon esia. Dari kelim a cara m e- n gutip tersebut, yan g bersifat resm i dan dapat diper-
tan ggun gjawabkan secara ilm iah adalah yang terakhir, yaitu pen gutipan dari terbitan resm i Lem baran Negara
Republik In don esia.
Di sam pin g bahwa sum ber resm i itulah yan g din ilai dapat dipertanggungjawabkan kebenaran n ya secara il-
m iah, sum ber resm i itu juga m erupakan jam inan keabsa- han pengutipan itu secara hukum . Artin ya, keten tuan
m en gen ai pengutipan tersebut berlaku tidak saja di du- n ia ilm iah, tetapi juga haruslah dijadikan standar dalam
praktik pen erapan n orm a hukum itu di pen gadilan dan lem baga-lem baga pem buat keputusan hukum lain n ya.
Apabila pen gutipan suatu norm a hukum tidak dilakukan dari sum ber resm in ya, m aka den gan sen dirin ya hal itu
dapat dian ggap tidak ben ar secara ilm iah, dan sekaligus tidak “sah” secara hukum . Kita tidak dapat m em ben ar-
kan seorang hakim m em buat putusan dengan m en gutip suatu pasal undang-un dan g dari sum ber koran atau dari
sum ber buku terbitan swasta yang tidak dapat dipertang- gun gjawabkan ketepatan redaksion aln ya secara hukum .
Dem ikian pula den gan calon sarjan a hukum S1, S2, dan S3, dalam m enulis skripsi, tesis, dan disertasi, tidak da-
pat diben arkan m engutip sesuatu bun yi pasal un dan g-
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
195
undang atau peraturan perun dan g-undangan lain nya da- ri sum ber yang tidak resm i.
Sum ber resm i itu adalah Lem baran Negara, Tam bahan Lem baran Negara, dan Berita Negara, serta
Tam bahan Berita Negara, tergantung bentuk hukum per- aturan perun dan g-un dangan yan g bersan gkutan yang
ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Ada peraturan yan g pengun dan gan nya dilakukan dengan
penerbitan n ya dalam Lem baran Negara, Tam bahan Lem baran Negara, Berita Negara, atau Tam bahan Berita
Negara. Selain dari keem pat sum ber tersebut, ada pula sum ber-sum ber lain seperti risalah-risalah rapat dan
sidang yang berkaitan den gan pen yusun an , perum usan , perdebatan , dan pen gesahan peraturan perundang-
un dan gan itu sebagai keseluruhan atau bun yi keten tuan - keten tuan hukum terten tu yan g terdapat dalam pera-
turan perun dang-un dan gan yang bersangkutan yang m e- m an g dipersoalkan .
Dokum en-dokum en tersebut bernilai resm i dan oten tik, serta berisi fakta-fakta historis yan g dapat dijadi-
kan dasar rujukan dalam m em aham i pengertian sesuatu norm a hukum yang tertulis dalam teks resm i. Fungsin ya
tiada lain un tuk m en jam in agar produk peraturan perun - dan g-un dan gan yan g bersan gkutan dapat dijadikan alat
bukti bew ijsbaar dan m en jam in stabiliteit sistem hu- kum karena adanya kepastian m engenai kesatuan sistem
referen si hukum . Sem ua dokum en tersebut biasanya ter- dapat dalam arsip-arsip lem baga n egara atau lem baga
pem erin tah yang bersan gkutan dengan hal itu, dan wajib dipelihara dan disim pan den gan sebaik-baikn ya. Dengan
sistem penyim pan an filing atau kearsiapan yan g tepat dan ben ar, dim en si av ailability ketersediaan, reliabi-
lity keterpercayaan , dan legality keabsahan dari ar- sip-arsip hukum dim aksud benar-benar dapat terjam in
dengan sebaik-baikn ya.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
196
Selain dari sum ber-sum ber yan g bersifat resm i ter- sebut, m aka sum ber-sum ber lain nya haruslah dinilai
tidak resm i. Seperti yang tergam bar dalam keem pat con toh pengutipan tersebut di atas, dapat dikatakan bah-
wa pen gutipan m odel pertam a, kedua, ketiga, dan keem - pat sam a-sam a tidak dapat dipertan ggungjawabkan seca-
ra hukum dan ilm iah. Apabila din ilai dari tin gkat keter- percayaann ya dan jarak atau jum lah lapisan peran tara
dari m edia sum bern ya yan g resm i, m aka yan g dapat dikatakan paling dekat adalah pen gutipan dari sum ber
buku terbitan instan si resm i. Misalnya, him punan pera- turan perundang-undangan ten tang partai politik dan
pem ilihan um um dikum pulkan dan diterbitkan oleh Ko- m isi Pem ilihan Um um den gan m isaln ya m en gutipn ya
langsung dari sum ber Lem baran Negara, Tam bahan Lem baran Negara, Berita Negara, dan Tam bahan Berita
Negara. Buku kum pulan peraturan perun dan g-undangan terbitan Kom isi Pem ilihan Um um ini dapat dian ggap
sebagai sum ber sekunder, karen a fun gsinya sebagai pe- ran tara satu lapis ke sum ber resm inya tersebut.
Akan tetapi, tekn ik pen gutipan m odel pertam a dari buku atau tulisan oran g lain, m odel kedua dari berita
koran atau m ajalah, dan m odel ketiga dari buku-buku undang-un dan g terbitan pen erbitan swasta, tidak dapat
dikategorikan sebagai sum ber sekun der, apalagi sum ber prim er. Sering terjadi, n askah un dan g-un dan g yang di-
terbitkan oleh pen erbit swasta terdapat kesalahan ketik atau kesalahan tan da baca, ataupun pen ulisan huruf
besar m enjadi kecil dan huruf kecil m en jadi besar, yang dalam hukum sem ua itu m em pun yai arti dan pen garuh
yan g san gat besar dalam pen afsiran un tuk pelaksan a- ann ya. Apalagi pen gutipan yan g dilakukan di berbagai
m edia koran dan m ajalah, yang karen a waktu dan ruang yang terbatas, seringkali salah dalam pengutipan, sehing-
ga sangatlah berbahaya un tuk dian dalkan sebagai sum - ber rujukan n orm atif.
Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I
197
Oleh karena itu, m en urut saya, 3 tiga teknik pengutipan pertam a tersebut han ya m un gkin dikategori-
kan sebagai sum ber tertier yang sifatn ya han ya m en un - jang dan m em udahkan oran g m em baca peraturan per-
undang-un dan gan . Akan tetapi, jika sam pai kepada ke- perluan un tuk pen ulisan yan g bersifat resm i, m aka
pengutipan n ya harus lan gsun g diam bil dari sum ber pri- m er tersebut.
271
Penulisan resm i itu dapat berupa penu- lisan ilm iah, yaitu i karya ilm iah resm i seperti skripsi,
tesis, dan disertasi, ii laporan penelitian ilm iah, iii buku ilm iah yang bersifat stan dar, iv buku-buku teks
ilm iah yan g baku, v keputusan adm in istratif, vi kete- tapan pengadilan , dan vii putusan pengadilan.