Le o n D u gu it Tr a it e d e D r o it Co n s t it u t io n n e l

Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 123 dan g dalam arti yan g sesun gguhn ya, m elain kan han ya m en em ukan dan m en etapkan norm a-n orm a hukum le- gal n orm s yan g sebelum nya m em an g sudah ada dan hidup liv ing n orm s dalam kehidupan m asyarakat. De- n gan dem ikian, kon stitusi bukan lah sekedar m em uat n orm a-n orm a dasar ten tang struktur n egara, tetapi bah- wa struktur n egara yan g diatur dalam konstitusi itu m e- m an g sun gguh-sun gguh terdapat dalam ken yataan hidup m asyarakat sebagai de reele m achtsfactoren atau faktor- faktor kekuatan riel yang hidup dalam m asyarakat yang bersangkutan . 18 3 3 . Fe rd in a n d La s a lle U b e r Ve r fa s s u n g s w e s s e n Ferdinand Lasalle 18 25-18 64, dalam bukun ya “Uber Verfassungsw essen” 18 62, m em bagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu: 18 4 i Pengertian sosiologis dan politis sociologische atau politische begrip. Kon stitusi dilihat sebagai sin - tesis an tara faktor-faktor kekuatan politik yang n yata dalam m asyarakat de reele m achtsfactoren, yaitu m isaln ya raja, parlem en , kabin et, kelom pok- kelom pok pen ekan preassure groups, partai poli- tik, dan sebagain ya. Din am ika hubungan di an tara kekuatan-kekuatan politik yan g nyata itulah sebe- narnya apa yang dipaham i sebagai konstitusi; ii Pengertian juridis juridische begrip. Kon stitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang m em uat keten tuan dasar m engen ai ban gun an n egara dan sendi-sendi pem erin tahan n egara. Ferdinand Lasalle ini sangat dipen garuhi oleh ali- ran pikiran kodifikasi, sehin gga san gat m enekankan pen - 183 Djokosoetono, Op. Cit. Lihat juga Busroh, Op Cit., hal. 96. 184 Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, Leiden: A.W: Sijthoff Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 124 tin gn ya pen gertian juridis m en gen ai konstitusi. Di sam - ping sebagai cerm in hubungan an tar an eka kekuatan politik yang n yata dalam m asyarakat de reele m achts- factoren, kon stitusi itu pada pokoknya adalah apa yan g tertulis di atas kertas un dan g-un dan g dasar m en gen ai lem baga-lem baga n egara, prin sip-prin sip, dan sen di-sen - di dasar pem erin tahan negara. 4 . P a n d a n gan H e rm a n n H e lle r S t a a t s le h r e Dalam bukun ya “Staatsrecht”, Profesor H erm ann H eller diken al m en gem ban gkan m etode m en dapatkan pengetahuan yan g din am akan m ethode v an k en n is v erk- rijging. Di dalam bukun ya in i, H erm ann H eller m en ge- m ukakan tiga pen gertian kon stitusi, yaitu: i Die politische v erfassung als gesellschaftlich w irk- lichkeit. Kon stitusi dilihat dalam arti politis dan so- siologis sebagai cerm in kehidupan sosial-politik yang n yata dalam m asyarakat; ii Die v erselbstandigte rechtsv erfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam m asyarakat; iii Die geschreiben v erfassung. Kon stitusi yang ter- tulis dalam suatu n askah un dan g-undang dasar se- bagai hukum yang tertin ggi yang berlaku dalam suatu n egara. Men urut H erm ann H eller, undan g-un dan g dasar yan g tertulis dalam satu n askah yan g bersifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah m erupa- kan salah satu ben tuk atau sebagian saja dari pen gertian kon stitusi yan g lebih luas, yaitu kon stitusi yan g hidup di ten gah-ten gah m asyarakat. Artinya, di sam pin g konstitu- si yang tertulis itu, segala nilai-nilai norm atif yang hidup dalam kesadaran m asyarakat luas, juga term asuk ke da- lam pengertian konstitusi yan g luas itu. Oleh karen a itu pula, dalam bukun ya “Verfassungslehre”, H erm an n Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 125 H eller m em bagi konstitusi dalam 3 tiga tingkatan , yaitu: 1 Kon stitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada ting- kat pertam a ini, kon stitusi tum buh dalam pen gertian sosial-politik. Ide-ide konstitusion al dikem ban gkan karen a m em an g m encerm inkan keadaan sosial poli- tik dalam m asyarakat yan g bersan gkutan pada saat itu. Kon stitusi pada tahap ini dapat digam barkan se- bagai kesepakatan -kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam ben tuk hukum terten tu, m elain kan tercerm in kan dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga m asyarakat; 2 Kon stitusi dalam pengertian H ukum . Pada tahap ke- dua in i, kon stitusi sudah diberi ben tuk hukum ter- ten tu, sehin gga perum usan n orm atifn ya m enun tut pem berlakuan yan g dapat dipaksakan . Konstitusi da- lam pen gertian sosial-politik yan g dilihat sebagai ke- n yataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku da- lam kenyataan. Oleh karen a itu, setiap pelan ggaran terhadapn ya haruslah dapat diken ai an cam an san ksi yang pasti; 3 Kon stitusi dalam pen gertian Peraturan Tertulis. Pe- n gertian yan g terakhir in i m erupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkem ban gan pen gertian rechtsv erfassung yang m uncul sebagai akibat pen ga- ruh aliran kodifikasi yan g m en ghendaki agar berba- gai n orm a hukum dapat dituliskan dalam n askah yang bersifat resm i. Tujuan n ya adalah un tuk m aksud m encapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum rechtseineheid, kesederhanaan hukum rechtsv e- reen v oudiging, dan kepastian hukum rechtszeker- heid. Nam un , m en urut H erm an n H eller, kon stitusi tidak dapat dipersem pit m aknan ya han ya sebagai undan g-un - dan g dasar atau kon stitusi dalam arti yang tertulis seba- Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 126 gaim an a yang lazim dipaham i karena pengaruh aliran kodifikasi. Di sam pin g undang-un dan g dasar yan g tertu- lis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup da- lam kesadaran hukum m asyarakat. 5 . P a n d a n ga n Ca rl S ch m itt V e r fa s s u n g s le h r e Menurut Carl Schm itt, dalam bukun ya, “Verfas- sungslehre”, kon stitusi dapat dipaham i dalam 4 em pat kelom pok pengertian. Keem pat kelom pok pengertian itu adalah: a konstitusi dalam arti absolut absoluter v er- fassungsbegriff, b konstitusi dalam arti relatif relati- v er v erfassungsbegriff, c kon stitusi dalam arti positif der positiv e v erfassungsbegriff, dan d kon stitusi da- lam arti ideal idealbegriff der v erfassung. 18 5 Keem pat kelom pok pengertian tersebut dapat di- rinci lagi m enjadi 8 delapan pengertian , yaitu 1 Kon - stitusi dalam arti absolut Absolute Verfassungsbegriff. Dalam arti absolute, arti kon stitusi dapat dibedakan dalam 4 em pat m acam , yaitu: i konstitusi sebagai cer- m in dari de reaale m achtsfactoren, ii Konstitusi dalam arti absolut sebagai form a-form arum v orm der v or- m en, iii konstitusi dalam arti absolut sebagai factor integratie, iv konstitusi dalam arti absolut sebagai n orm a-n orm arum norm der n orm en; 2 Kon stitusi dalam arti relatif Relatiev e Verfassungsbegriff yang dapat dibagi lagi m en jadi 2 dua, yaitu v konstitusi dalam arti m ateriel Constitutite in Materiele Zin dan vi kon stitusi dalam arti form il Constitutite in Form ele Zin; Sedan gkan dua arti yang terakhir adalah 3 Kon sti- 185 Mengenai hal ini baca selengkapnya himpunan perkuliahan Profesor Djokosoetono, Op Cit. Lihat juga Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit.; Busroh, Op. Cit.; Ismail Suny, Padmo Wahyono, Sri Soemantri, dan penulis lainnya yang mengikuti kuliah-kuliah Profesor Djokosoetono ataupun cucu-cucu muridnya. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 127 tusi dalam arti positif Positiev e Verfassungsbegriff sebagai kon stitusi dalam arti yan g ke-7, dan vii kon - stitusi dalam arti ideal Idealbegriff der v erfassung se- bagai konstitusi dalam arti yang ke-8 viii. Kedelapan arti konstitusi m en urut Profesor Carl Schm itt tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Kon stitusi dalam Arti Absolut Absolute Verfas- sungsbegriff sebagai cerm in dari de reele m achts- factoren Kon stitusi pada pokokn ya dapat dipaham i sebagai sekum pulan n orm a-n orm a hukum dasar yan g terben tuk dari pengaruh-pengaruh antar berbagai faktor kekuasaan yan g n yata de reele m achtsfactoren dalam suatu n e- gara. Berbagai faktor kekuasaan yang nyata itu adalah raja, pem erin tah kabin et, parlem en , partai-partai politik, kelom pok pen ekan pressure groups atau kelom pok kepen tin gan , pers, lem baga peradilan, lem baga-lem baga yan g m en jalankan fun gsi-fun gsi kekuasaan n egara lain - n ya, dan sem ua organ isasi yan g ada dalam n egara yang bersangkutan . Den gan perkataan lain , sem ua kekuatan politik yan g ada dalam negara itu secara n yata m em pen garuhi terbentuknya norm a-norm a dasar yang kem udian ter- susun m en jadi apa yan g disebut sebagai konstitusi itu. Oleh karen a itu, seperti dalam pandan gan Ferdinand Lassalle, 186 konstitusi itu m enggam barkan hubungan - hubungan an tar faktor-faktor kekuasaan yang n yata de riele m achts factoren dalam din am ika kehidupan ber- n egara. Di dalam pen gertian pertam a in i, kon stitusi di- anggap sebagai kesatuan organ isasi yang nyata yang 186 Lihat dan bandingkan lebih lanjut pandangan dari Ferdinand Lassalle dalam Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991, hal. 73. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 128 m en cakup sem ua ban gun an hukum dan sem ua organ i- sasi-organ isasi yang ada di dalam n egara. 18 7 2 Kon stitusi dalam Arti Absolut Absolute Verfas- sungsbegriff sebagai form a-form arum v orm der v orm en Kon stitusi pada pokokn ya dapat dilihat sebagai v orm atau ben tuk dalam arti ia m en gan dun g ide ten tang ben tuk n egara, yaitu ben tuk yan g m elahirkan ben tuk lain n ya atau v orm der v orm en , form a-form arum . Ben- tuk n egara yan g dim aksud di sin i adalah n egara dalam arti keseluruhan n ya sein ganzheit, yang dapat berben - tuk dem okrasi yan g bersen dikan iden titas atau berben - tuk m onarki yang bersendikan represen tasi. Dalam kai- tan ini, ada 3 tiga asas staatsprin cipe yang dapat di- tarik dari pengertian dem ikian, yaitu i principe v an de staatsv orm , asas dari ben tuk n egara; ii principe v an en uit de staatsv orm , yaitu asas dari atau yan g tim bul dari bentuk negara; dan iii regeringsprincipe atau asas pem erintahan. Asas ben tuk n egara principe v an staatsv orm m en cakup prinsip kesam aan atau identiteit dan repre- sentatie. Identiteit m erupakan asas-asas yang berhu- bungan den gan bentuk dem okrasi, di m ana bagi rakyat yan g m em erin tah dan yang diperin tah berlaku prin sip persam aan iden titas atau identik satu sam a lain. Se- 187 Carl Schmitt, Verfassungslehre, Berlin unverandester neudruk: Duncker Humbolt, 1957, hal. 4. Vervassung ist der konkrete Gesamtzustand poli- tischer Einheit und sozialer Ordnung eines bestimmmten Staats. Zu jedem Staat gehoren politische Einheit und soziale Ordnung, irgendwelche Prin- zipien der Einheit und Ordnung, irgendiene im kritischen Falle bei interes- seb und Machtkonflikten maszgebende Entscheuidungsintanz. Diesen Gesamtzustand politischer Einheit und sozialer Ordnung kann man Ver- fassung nennen. Der Staat wurde aufhoren zu existieren, wenn diese Verfas- sung, d.h. diese Einheit and Ordnung aufhorte. Diese Verfassung ist eine “Seele”, sein konkretes heben und seine individuelle Existenz. Lihat juga Georg Jellinek, Allgemeine Staatslehre, hal. 491, menyebutkan: “die Ver- fassung Als eine Ordnung, der gemasz der staatliche Wille sich bildet”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 129 dan gkan , represen tatie atau perwakilan m erupakan asas yan g berhubun gan den gan prin sip bahwa yan g m e- m erin tah dipan dang sebagai wakil dari rakyat repre- sentant v an het v olk. Mengapa dalam dem okrasi terdapat sen di iden ti- tas dan dalam m onarki terdapat sen di representasi? Dem okrasi, baik langsung m aupun tidak langsung, ber- sen di pada rakyat yan g m em erin tah dirinya sen diri, se- hingga an tara yan g m em erin tah dan yan g diperin tah bersifat identik yaitu sam a-sam a rakyat. Dalam m o- n arki, asas yan g dipakai adalah represen tasi karen a baik raja m aupun kepala negara dalam negara yang dem ok- ratis han ya m erupakan wakil atau m an dataris dari rak- yat, karen a pada dasarn ya kekuasaan itu ada pada rak- yat dan berasal dari rakyat. 18 8 Sem en tara itu, asas dari atau yan g tim bul dari ben - tuk n egara principe v an en uit de staatsv orm m enca- kup asas-asas dari ben tuk n egara principe v an de staatsv orm dan asas atau sendi-sen di dasar tertib n e- gara principe uit de staatsv orm . Men urut Carl Schm itt, para sarjana klasik dan m odern seperti tercerm in dalam pan dan gan Arsitoteles dan H an s Kelsen , sam a-sam a m e- m an dan g pen tingnya prin sip kebebasan v rijheid, free- dom dan persam aan gelijkheid, equality sebagai san - daran bagi sistem dem okrasi m odern . 3 Kon stitusi dalam Arti Absolut Absolute Verfas- sungsbegriff sebagai factor integratie Men urut Rudolf Sm en d, kon stitusi juga dapat dili- hat sebagai faktor in tegrasi. Secara teoritis integration 188 Carl Schmitt, Op. Cit, hal. 4-5, Vervassung ist eine besondere Art poli- ticher und sozialer Ordnung Verfassung bedentet hier diekonkrete Art der Uber und Unterordnung, wiel cs in der sozialer Wirklichkeit keine Ordnung ohne Uber und Unterordnung gibt. Hier ist Verfassung die besondere Form der Herrschaft, die zu jedem Staat gehort und von seiner pilitschen Ex~sl mz nicht zu trennen ist, Z.B. Monarchie, Aristokratie oder Demokratie, oder wie man die Staatformen ein teilen will Verfassung is hier ist Staatsform. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 130 theory , in tegrasi itu sen diri dapat dibedakan ke dalam tiga m acam , yaitu i persoonlijk e integratie, ii zake- lijke integratie, dan iii fun ction eele integratie. Per- soonlijke in tegratie m en gandaikan jabatan kepem im - pinan sebagai faktor in tegrasi, m isaln ya, presiden. Sedan gkan dalam zakelijke integratie, yan g m en jadi fak- tor pen en tu adalah hal-hal yan g objektif dan zakelijk, bukan yang bersifat subjektif atau persoonlijk . Misaln ya, dikatakan bahwa bangsa Indon esia dipersatukan di ba- wah satu kesatuan sistem konstitusi berdasarkan UUD 1945, sesuai den gan prinsip the rule of law , an d not of m an . Ban gsa In don esia juga dipersatukan sebagai bang- sa oleh satu bahasa persatuan atau bahasa n asion al, yaitu bahasa In donesia. Sem en tara itu, in tegrasi fun gsional functioneele integratie adalah faktor in tegrasi yang bersifat fun gsional, baik dalam arti yan g kon krit atau dalam arti yang abstrak. Dalam arti fun gsional yan g konkrit, m isaln ya, in - tegrasi m elalui pem ilihan um um pem ilu atau referen - dum yang m em persatukan perhatian segen ap warga ne- gara ke arah satu tujuan , yaitu m enen tukan pilihan po- litik m en genai siapa yan g akan ditetapkan duduk m en - jadi wakil rakyat atau pejabat publik terten tu. Sedan g- kan, integrasi yang bersifat abstrak dan sim bolis, m isal- n ya, adalah ben dera dan lam ban g garuda Pan casila yang dapat pula berfun gsi sebagai faktor integrasi fungsional fun ction eele in tegratie. 4 Kon stitusi dalam Arti Absolut Absolute Verfas- sungsbegriff sebagai n orm a-norm arum norm der n orm en Den gan m en dasarkan diri pada teori stuffenbau des rechts yang dikem bangkan oleh H an s Kelsen , Carl Schm itt m enyatakan bahwa norm a dasar gerund norm adalah norm a yang m enjadi dasar bagi terben tuk dan berlakunya norm a hukum lain nya. Suatu norm a berlaku karen a didasarkan atas n orm a yang lebih tinggi, dan Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 131 dem ikian seterusnya sam pai ke norm a yan g palin g tin ggi yaitu gerund n orm . Oleh karen a itu, setiap norm a diben - tuk oleh n orm a yan g lebih tin ggi, norm a-n orm arum atau n orm der norm en. Berhubun g dengan itu, norm a dasar yang tertinggi berfun gsi sebagai ursprung atau tem pat asal m ulan ya norm a diturun kan , sehin gga gerun d norm itu disebut juga den gan ursprungsn orm atau n orm a asal. Di pihak lain, gerun d norm itu sendiri pada pokoknya juga m erupakan ben tukan norm atif yan g bersifat hipo- tesis. Un tuk itu, gerund norm biasa disebut juga dengan hy pothetisch n orm . 5 Kon stitusi dalam Arti Relatif R elatiev e Verfassungs- begriff sebagai kon stitusi dalam Arti Materiel Con - stitutite in M ateriele Zin Kon stitusi dalam arti relatif dim aksudkan sebagai kon stitusi yan g terkait den gan kepen tingan golongan - golon gan tertentu dalam m asyarakat proces relativ e- ring. 18 9 Golon gan dim aksud terutam a adalah golongan borjuis liberal yan g m enghen daki adanya jam inan su- paya hak-haknya tidak dilan ggar oleh pen guasa. J am i- n an itu diletakkan dalam Un dan g-Un dan g Dasar yang ditulis sehingga orang tidak m udah m elupakan nya dan juga tidak m udah hilan g serta dapat dijadikan alat bukti bew ijsbaar apabila seseorang m em erlukan n ya. Dalam arti yang kedua in i, kon stitusi dapat pula dibagi lagi ke dalam dua sub pen gertian yakni i konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-hakn ya dijam in tidak dilan ggar oleh penguasa, dan ii konstitusi dalam arti form il atau konstitusi yang tertulis. 189 Ibid., hal. 11. “Die Relatieverung des Verfassungsbegrieffes besteht hochster und letzter Normen bedaulen Verfassung ist Norm der Normen. darin, dasz statt der einheitlichen Verfassung in Ganzen nur das einzefne Verfassungsgestz, der Begriff des Verfassungs geselzes aber nach ausz Emlichen und nebensachlichen, sog formalen Kenn-Zeichen bestimmt wird.” Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 132 6 Kon stitusi dalam Arti Relatif R elatiev e Verfassungs- begriff sebagai konstitusi dalam Arti Form il Consti- tutie in Form ele Zin Mengin gat adan ya kon stitusi dalam arti form il constitutie in form ele zin, m aka dapat diajukan per- tan yaan apakah yang dim aksud den gan konstitusi dalam arti m ateriil constitutie in m ateriele zin ? Konstitusi dalam arti m ateriil adalah konstitusi yang dilihat dari segi isinya. Isi kon stitusi itu m en yan gkut hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan negara. Karen a pentingnya hal-hal yan g bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan n egara tersebut, m aka un tuk m em buat kon - stitusi itu diperlukan prosedur yan g khusus. Prosedur khusus itu dapat dilakukan sepihak, dua pihak, atau banyak pihak. Prosedur itu dilakukan sepihak karen a ia m erupakan kehen dak dari satu orang yang m enam akan dirin ya ekspon en dari rakyat atau seoran g diktator. Bisa juga dilakukan oleh dua pihak karen a Kon stitusi m e- rupakan hasil persetujuan dari dua golongan dalam m asyarakat yaitu m isalnya an tara rakyat di satu pihak dan Raja di lain pihak pada zam an abad perten gahan . Sedan gkan , bisa banyak pihak dikaren akan Konstitusi itu m erupakan hasil persetujuan dari banyak pihak yaitu an tara wakil-wakil rakyat yan g duduk dalam suatu badan yan g bertugas m em buat Kon stitusi badan Kon stitusi. Hasil dari persetujuan atau perjan jian itu di- letakkan dalam suatu n askah tertulis. Di sin ilah m uncul pen gertian yan g sam a an tara kon stitusi dalam arti form il constitutite in form ele zin dan konstitusi dalam arti tertulis gedocum enteerd constitutie. Padahal, ke- duan ya berbeda satu den gan yan g lain , karen a konstitusi dalam arti form il constitutie in m ateriele zin itu pada Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 133 pokoknya tidak selalu dalam ben tuk yang tertulis. Dalam pengertian konstitusi dalam arti form il, yang terpen ting adalah prosedur pem ben tukan kon stitusi yan g harus dilakukan secara khusus. Kekhususan kon stitusi m e- rupakan keniscayaan, karena isi konstitusi itu sendiri diakui san gatlah pen tin g dan m en dasar, yaitu berkenaan den gan perikehidupan bern egara yan g m enyangkut n asib seluruh rakyat. Oleh karena itu, cara m em ben tuk, m engubah, dan m en ggan ti konstitusi haruslah diten - tukan secara istim ewa pula. 7 Kon stitusi dalam Arti Positif Positiev e Verfassungs- begriff Selain yan g diuraikan di atas, Carl Scm itt juga m e- n yebut adanya pengertian kon stitusi dalam arti positif positiev e v erfassungsbegriff 190 yan g dihubungkan n ya dengan ajaran m en gen ai dezisionism us atau teori ten - tan g keputusan . Dalam pan dangan Carl Schm itt, Kon sti- tusi dalam arti positif tersebut m engandung pengertian sebagai produk keputusan politik yang tertinggi, 191 yang dihubungkann ya dengan terbentukn ya Un dan g-Undang Dasar Weim ar pada tahun 1919. Un dan g-Un dang Dasar Weim ar itu sangat m enen tukan n asib rakyat seluruh J erm an, karena Un dang-Undan g Dasar itu m en im bulkan perubahan yan g san gat m en dasar terhadap struktur pe- m erin tahan yan g lam a ke stelsel pem erin tahan yan g ba- ru. Sistem pem erin tahan lam a yang didasarkan atas stel- sel m on arki di m ana Raja m em egang kekuasaan yang san gat kuat dan sen tral diubah oleh Kon stitusi Weim ar itu m en jadi suatu pem erintahan dengan sistem parle- 190 Ibid., hal. 20. “Die Verfassung als Gesamt-Entscheidung uber Art und Vorm der politischen Einheit”. 191 Bandingkan dengan Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1988. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 134 m en ter. Dalam hubungan nya den gan Kon stitusi pada arti positif atau the positiv e m eaning of the con stitution , m aka ajaran Profesor Carl Schm itt in i dapat pula di- terapkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di In don esia. Misaln ya, kita dapat m en gajukan pertan yaan apakah pem bentukan Un dang-Undang Dasar 1945 itu m erupakan kon stitusi dalam arti positif atau bukan ? Dikarenakan pem buatan Undang-Un dan g Dasar 1945 han ya m erupakan salah satu di an tara keputusan-kepu- tusan politik yan g tinggi, m aka ia belum m erupakan Konstitusi dalam arti positif. Proklam asi Kem erdekaan pada tan ggal 17 Agustus 1945 adalah suatu Kon stitusi dalam arti positif, karen a ia m erupakan satu-satun ya keputusan politik yan g tertin ggi yan g dilakukan oleh bangsa Indon esia yang m erubah dari suatu ban gsa yang dijajah m en jadi bangsa yang m erdeka. Un dan g-Undang Dasar 1945 dilahirkan sesudah proklam asi kem erdekaan , sebagai tin dak lanjut dari proklam asi kem erdekaan itu. 8 Kon stitusi dalam Arti Ideal Idealbegriff der v erfas- sung Kon stitusi dalam arti yang terakhir ini disebut oleh Carl Schm itt sebagai kon stitusi dalam arti ideal ideal- begriff der v erfassung atau ideal m eaning of the consti- tution. 192 Disebut ideal karena konstitusi itu dilihat se- bagai sesuatu yan g diim pikan atau diidam kan oleh kaum borjuis liberal seperti tersebut di atas sebagai jam in an 192 Ibid., hal. 36 dst. “Idealbegriff der Verfassung in einem auszeichnenden Sinne, wegen eines bestimmten Inhaltes sogenannte ‘Verfassung’ Ins- besondere hal das Liberale Burgertum in seinem Kampl gegen die absolute Monarchie einem bestimmten idealbegriff von Verfassung angsgestellt und ihn mit dem Begriff der Verfassung schiechin dentifizirt. Man sprach also nur dan non ‘Verfassung’, wenn die Forderungen burgerlibber Freiheit erfullt und dem Burgertum ein maszgebender pplitischer Ein flusz geilichert was”. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 135 bagi rakyat agar hak-hak asasin ya dilindungi. Pandangan ideal tentan g konstitusi tersebut dapat dikatakan lahir sesudah terjadinya Revolusi Perancis, di m ana ketika itu yan g m en jadi tun tutan golon gan revolusion er Peran cis adalah agar pihak penguasa tidak m elakukan tin dakan yan g sewenang-wen ang terhadap rakyat.

C. N ilai d a n S ifa t Ko n s titu s i 1. N ilai

Ko n s titu s i Nilai konstitusi yan g dim aksud di sin i adalah n ilai v alues sebagai hasil pen ilaian atas pelaksan aan norm a- n orm a dalam suatu kon stitusi dalam ken yataan praktik. Sehubun gan den gan hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “R eflection on the Value of Constitutions” m em - bedakan 3 tiga m acam n ilai atau the v alues of the con- stitution, yaitu i n orm ativ e v alue; ii nom inal v alue; dan iii sem antical v alue. J ika berbicara m engenai n ilai kon stitusi, para sarjan a hukum kita selalu m engutip pen - dapat Karl Loewen stein m en gen ai tiga n ilai n orm atif, n om in al, dan sem an tik in i. 193 Men urut pan dan gan Karl Loewen stein , dalam se- tiap kon stitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatan ya sebagai praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam kon- stitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan n yatan ya di lapangan . 193 Lihat misalnya, Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal.4; Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1994, hal. 156-157; I. Nyoman Dekker, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Suatu Pengantar, Malang: IKIP Malang, 1993, hal. 12; R.G. Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 21-22; Demikian pula hal ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Isma’il Suny, Prof. Sri Soemantri, Prof. Padmo Wahyono, Prof. Abu Daud Busroh, Prof. Solly Lubis, dan sebagainya. Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 136 J ika an tara n orm a yang terdapat dalam konsititusi yang bersifat m engikat itu dipaham i, diakui, diterim a, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padan ya, m aka kon stitusi itu din am akan sebagai kon stitusi yan g m em punyai nilai norm atif. Kalaupun tidak seluruh isi kon stitusi itu dem ikian , akan tetapi setidak-tidakn ya n orm a-n orm a terten tu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila m em ang sun gguh-sun gguh ditaati dan berja- lan sebagaim an a m estin ya dalam kenyataan , m aka n orm a-n orm a kon stitusi dim aksud dapat dikatakan ber- laku sebagai kon stitusi dalam arti norm atif. Akan tetapi, apabila suatu undang-un dan g dasar, sebagian atau seluruh m ateri m uatann ya, dalam kenyataannya tidak dipakai sam a sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengam bilan keputusan dalam pe- nyelenggaraan kegiatan bernegara, m aka konstitusi ter- sebut dapat dikatakan sebagai kon stitusi yang bern ilai n om in al. Man akala dalam ken yataan nya keseluruhan bagian atau isi un dan g-un dan g dasar itu m em an g tidak dipakai dalam praktik, m aka keseluruhan un dan g- un dan g dasar itu dapat disebut bernilai nom in al. Misal- n ya, n orm a dasar yang terdapat dalam kon stitusi yang tertulis schrev en con stitutie m en en tukan A, akan tetapi kon stitusi yan g dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis v erbis dalam konstitusi sam a sekali hanya bernilai nom inal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu han ya sebagian saja dari keten tuan un dan g-un dan g dasar, sedan gkan sebagian lain n ya tidak dilaksan akan dalam praktik, se- hingga dapat dikatakan bahwa yan g berlaku n orm atif han ya sebagian , sedangkan sebagian lain nya hanya ber- nilai nom in al sebagai n orm a-n orm a hukum di atas kertas “m ati”. Sedangkan kon stitusi yan g bern ilai sem an tik adalah kon stitusi yang n orm a-n orm a yang terkan dun g di dalam n ya han ya dihargai di atas kertas yang in dah dan Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 137 dijadikan jargon, sem boyan , ataupun “gin cu-gin cu keta- tanegaraan” yang berfun gsi sebagai pem anis dan sekali- gus sebagai alat pem ben aran belaka. Dalam setiap pi- dato, norm a-norm a kon stitusi itu selalu dikutip dan dija- dikan dasar pem ben aran suatu kebijakan, tetapi isi ke- bijakan itu sam a sekali tidak sungguh-sungguh m elaksa- n akan isi am anat n orm a yan g dikutip itu. Kebiasaan se- perti ini lazim terjadi di banyak negara, terutam a jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia m eka- n ism e untuk m en ilai kon stitusion alitas kebijakan-kebi- jakan ken egaraan state’s policies yan g m ungkin m e- n yim pan g dari am an at un dan g-un dang dasar. Dengan dem ikian , dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian - bagian terten tu ataupun keseluruhan isi undan g-undang dasar itu, dapat bern ilai sem an tik saja. Sem en tara itu, pen gertian -pen gertian m en gen ai sifat kon stitusi biasanya dikaitkan den gan pem bahasan ten tang sifat-sifatn ya yang lentur fleksibel atau kaku rigid, tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang for- m il atau m ateriil. Men genai sifat-sifat konstitusi ter- sebut, dapat diuraikan sebagai berikut. 2 . Ko ns titusi Fo rm il dan Materiil Kon stitusi, constitution Am erika Serikat, atau v erfassung J erm an, dibedakan dari un dang-undang dasar atau grundgesetz J erm an ataupun gron dw et Be- landa. Dikaren akan kesalahpaham an dalam cara pan - dan gan ban yak orang m en gen ai kon stitusi, m aka penger- tian konstitusi itu serin g diiden tikkan dengan pen gertian un dang-un dan g dasar. Kesalahan in i disebabkan an tara lain oleh pen garuh paham kodifikasi yan g m en ghen daki sem ua peraturan hukum dibuat dalam ben tuk yan g ter- tulis w ritten docum ent dengan m aksud un tuk m en - capai kesatuan hukum unifikasi hukum , kesederhanaan hukum , dan kepastian hukum rechtszekerheid. Begitu besar pengaruh paham kodifikasi ini, m aka di seluruh Pengantar I lmu Hukum Tata Negara Jilid I 138 dun ia berkem bang an ggapan bahwa setiap peraturan , di- karen akan pen tin gn ya m aka harus ditulis, dan dem ikian pula dengan konstitusi. Di zam an m odern sekarang in i, dapat dikatakan ban gsa Am erika Serikatlah yan g per- tam a m enuliskan konstitusi dalam satu n askah, m eski- pun leluhur m ereka di Inggris tidak m engenal n askah kon stitusi yan g tertulis dalam satu n askah. Oleh karena itu, dalam bahasa In ggris dan Am e- rika, tidak tersedia kata yang tepat untuk m enggam bar- kan perbedaan an tara kon stitusi dan un dan g-un dan g dasar sebagaim an a perbedaan an tara kedua pengertian in i dalam bahasa J erm an, Perancis, Belan da, dan n ega- ra-n egara Eropa Kontin en tal lain n ya. Dalam bahasa J erm an jelas dibedakan an tara v erfassung dan gerund- gesetz, atau dalam bahasa Belan da antara constitutie dan gron dw et. Un tuk m em aham i perbedaan m engen ai kedua pengertian konstitusi dan un dan g-un dan g dasar itu, kita dapat m enggun akan antara lain pan dan gan H er- m ann H eller sebagai rujukan . Dari pandangan H er- m ann H eller ini jelas tergam bar bahwa konstitusi itu m em an g m em pun yai arti yan g lebih luas dari pada un dan g-un dan g dasar. H erm an H eller m em bagi konsti- tusi itu dalam tiga fase pen gertian , yaitu: 194 1 Pada m ulan ya, apa yan g dipaham i sebagai kon sti- tusi itu m encerm inkan kehidupan politik di dalam m asyarakat sebagai suatu ken yataan Die politische v erfassung als gesellschaftliche w irklichkeit dan ia belum m erupakan kon stitusi dalam arti hukum ein rechtsv erfassung. Den gan perkataan lain , Konsti- tusi itu m asih m erupakan pen gertian sosiologis atau politis dan belum m erupakan pen gertian hukum . 194 Heller, Op. Cit., hal. 249 dst.