Imobilisasi Sel Saccharomyces Cerevisiae Menggunakan Alginat- Kitosan Dan Uji Stabilitasnya Untuk Produksi Etanol Dari Molase Secara Fermentasi Batch

(1)

IMOBILISASI SEL Saccharomyces cerevisiae MENGGUNAKAN

ALGINAT- KITOSAN DAN UJI STABILITASNYA UNTUK

PRODUKSI ETANOL DARI MOLASE SECARA

FERMENTASI BATCH

SKRIPSI

ADRI HUDA

100802040

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

IMOBILISASI SEL

Saccharomyces cerevisiae

MENGGUNAKAN

ALGINAT-KITOSAN DAN UJI STABILITASNYA UNTUK

PRODUKSI ETANOL DARI MOLASE SECARA

FERMENTASI BATCH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ADRI HUDA 100802040

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul : IMOBILISASI SEL Saccharomyces cerevisiae

MENGGUNAKAN ALGINAT-KITOSAN DAN UJI STABILITASNYA UNTUK PRODUKSI ETANOL DARI MOLASE SECARA FERMENTASI BATCH

Kategori : SKRIPSI

Nama : ADRI HUDA

Nomor Induk Mahasiswa : 100802040

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUANALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Agustus 2014 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Firman Sebayang, MS. Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 195607261985031001 NIP. 195408301985032001 Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

IMOBILISASI SEL Saccharomyces cerevisiae MENGGUNAKAN ALGINAT-KITOSAN DAN UJI STABILITASNYA UNTUK

PRODUKSI ETANOL DARI MOLASE SECARA FERMENTASI BATCH

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dari ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2014

ADRI HUDA 100802040


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan Syukur serta Penghargaan yang Paling tinggi saya ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkah kepada saya baik keberkahan Ilmu, Waktu dan Kesempatan sehingga saya dapat menyelesaikan skrips iini. Shalawat beriring kan salam saya ucapkan untuk Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menjadi Tokoh dan Motivator yang ada dalam diri saya, sehingga dalam Penyusunan skripsi ini saya selalu diberi kemudahan oleh Nya.

Dengan segenap jiwa dan raga saya, saya mengucapkan terimakasih kepada Orang tua saya Risda, dan kepada Andung dan Atuk saya, H. Abdullah Sani dan Hj. Rahil yang dengan penuh kasih sayang serta tak bosan-bosannya selalu membimbing dan mendukung apa yang saya lakukan selama jenjang studi Strata 1 ini. Terimakasih juga telah menjadi Orang tua yang sempurna yang selalu memberikan kasih dan sayang yang tulus kepada saya. Penghargaan juga saya berikan kepada Om saya Yasirwan Sani, SE dan Nizhamul, SE yang selal umemberi motivasi dan sumbangan materi kepada saya.Terimakasih juga saya ucapkan kepada adik-adik saya Dara Amanda Tasya dan Alvino Gunawan yang telah menjadi motivasi saya selama kuliah untuk menjadi yang terbaik. Untuk Sahabat saya, Alfi Fadhli, Muhammad Syarif Hidayat, Yudi Umara dan (Alm) Faizin S. Hasibuan yang selalu menemani saya selama ini. Saya persembahkan skripsi ini untuk kalian semua yang sangat berpengaruh terhadap hidup saya.

Saya juga mengucapkan Terimakasih setulus hati kepada :

1. Dr. Rumondang Bulan, M.S sebagai Dosen Pembimbing I dan Drs. Firman Sebayang, M.S sebagai dosen Pembimbing II yang selalu menjadi tempat Diskusi dan member masukan kepada saya dalam menyelesaikan Penelitian dan Skripsisaya.

2. Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Marpongahtun sebagai Dosen Wali saya, Dr. Yuniarti Yusak serta seluruh dosen Kimia FMIPA USU, Prof. Harlem Marpaung sebagai Pembina IMK yang selalu membimbing saya untuk memimpin IMK selama periode 2014-2015.

4. Rekan-rekan asisten Laboratorium Biokimia/KBM FMIPA USU, Muhammad Sadani, Maimunah, Sumariah, FahrurezaArifni, Bang Saipul, Bang Ari, Kak Tika dan Kak Echa, serta Adik-adik 2011 Firdha, Alex, Habibi, Isti, Novi dan Putri.

5. Bang Cristy, Bang Grand, Bang Stephanus, Sumanraj, YabesAnugrah, Suwandy dan KeluargaBesar Kimia 2010, Kimia 2007 dan Kimia 2013 yang telah menerima saya dalam Keluarga dan menjadi teman dalam suka dan duka selama menjalani Kuliah.


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan Penelitian tentang imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan alginat-kitosan dan uji stabilitasnya untuk pembuatan etanol dari molase secara fermentasi batch . Imobilisasi ini dilakukan menggunakan metode Mikrokapsul dengan lapisan dalam mikrokapsul adalah kalsium alginat 3% yang dicampur dengan sel Saccharomyces cerevisiae sedangkan lapisan luar adalah kitosan 1%. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur stabilitas dari bead yang dihasilkan dengan membandingkan jumlah etanol yang dihasilkan pada tiap fermentasi. Kadar etanol ditentukan secara kromatografi gas. Stabilitas diukur berdasarkan uji permukaan bead setelah fermentasi, uji efisiensi penggunaan bead dalam fermentasi dan uji tekanan osmosis. Uji interaksi antara masing-masing penyusul bead menggunakan mikroskop cahaya dan FT-IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar etanol dari hasil fermentasi berpengaruh terhadap stabilitas dari bead dimana stabilitas bead berkurang setiap akhir fermentasi begitu pula dengan etanol yang dihasilkan. Kadar etanol diperoleh 37,54314% pada fermentasi pertama, 26,65614% pada fermentasi kedua dan 13,29089% pada fermentasi ketiga.


(7)

IMMOBILIZATION CELL OF Saccharomyces cerevisiae USING ALGINATE-CHITOSAN AND ITS STABILITY FOR ETHANOL PRODUCTION FROM

MOLASSES WITH BATCH FERMENTATION

ABSTRACT

The research has been performed to immobilize cells of Saccharomyces cerevisiae using alginate-chitosan its stability for ethanol production from molasses with batch fermentation. This immobilization was done by microcapsul method with inner layer of calcium alginate 3% which mixed with Saccharomyces cerevisiae cells and outer layer was chitosan 1%. This research was aimed at studying stability of bead which appeal with ethanol production of fermentation. Ethanol concentration was analyzed by gas chromatography. The stability of bead was estimated with surface of bead at the end of fermentation, Efficient using bead of fermentation and osmotic pressure test. Interaction of alginate-cells and chitosan was estimated with light mcroscopy and FT-IR. The result showed that ethanol production of fermentation had effect with bead stability. Stability decreasing of bead showed ethanol production also. The first of fermentation results 37,54314%, second 26,65614% and third 13,29089%.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar tabel xi

Daftar gambar xii

Daftar lampiran xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Permasalahan 4

1.3 Pembatasan masalah 5

1.4 Tujuan penelitian 5

1.5 Manfaat penelitian 6

1.6 Lokasi penelitian 6

1.7 Metodologi penelitian 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Etanol 8

2.2 Molase 9

2.3 Sel Saccharomyces cerevisiae 11

2.3.1. Sumber energi 13

2.3.2. Pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae 14

2.4 Alginat 16

2.5 Kitosan 18

2.6 Imobilisasi sel 19

2.6.1 Metode imobilisasi 20

2.7 Fermentasi 22

2.7.1 Pengertian fermentasi 22

2.7.2 Pembagian fermentasi 23

2.7.3 Mekanisme fermentasi 24

2.8 Kromatografi gas 25

2.9 Mikroskop cahaya 25

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27

3.1 Alat dan Bahan 27

3.1.1 Alat-alat 27


(9)

3.2 Prosedur penelitian 29

3.2.1 Pembuatan larutan pereaksi 29

3.2.1.1 Pembuatan larutan asam asetat 2 % 29 3.2.1.2 Pembuatan larutan alginat 3 % 29 3.2.1.3 Pembuatan larutan CaCl2 2% 29 3.2.1.4 Pembuatan larutan kitosan 1 % - CaCl2 2% 30 3.2.1.5 Pembuatan larutan buffer sitrat pH 4 30

3.2.2 Pembuatan larutan media 30

3.2.2.1 Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) 30 3.2.2.2 Pembuatan media Yeast Pepton Glukosa (YPG) 31

3.2.2.3 Pembuatan media starter 31

3.2.2.4 Pembuatan media fermentasi 31 3.2.3. Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae 31

3.2.3.1 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan sebar 31 3.2.3.2 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae

pada medium cair YGP 32

3.2.3.3 Pembuatan starter sel Saccharomyces cerevisiae 32 3.2.4 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae 32 3.2.5 Fermentasi molase menggunakan

sel Saccharomyces cerevisiae terimobil 32 3.2.6 Analisis kadar gula reduksi sebelum dan setelah fermentasi 33 3.2.7 Analisis kadar etanol yang dihasilkan dari

proses fermentasi 33

3.2.6.1 Pemisahan etanol dari hasil fermentasi 33 3.2.6.2 Analisis kadar etanol menggunakan

kromatografi gas 33

3.2.8 Pengujian stabilitasi dari

sel Saccharomyces cerevisiae terimobil 34 3.2.8.1 Pengujian stabilitas bead menggunakan

uji tekanan osmosis 34

3.2.8.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan

kerusakan setelah fermentasi 34 3.2.8.3 Pengujian stabilitas bead berdasarkan

jumlah pemakaian bead pada fermentasi 34 3.2.9 Pengujian interaksi antara sel S.cerevisiae,

Ca-alginat dan kitosan 34

3.3 Bagan Penelitian 35

3.3.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae 35 3.3.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae 36 3.3.3 Fermentasi molase menggunakan


(10)

3.3.4 Regenerasi bead 38

3.3.5 Analisis kadar etanol 38

3.3.6 Pengujian stabilitas dari bead

sel Saccharomyces cerevisiae terimobil 39 3.3.7 Pengujian interaksi antara sel S.cerevisiae,

Ca-alginat dan kitosan 39

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 40

4.1 Hasil penelitian 40

4.1.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae 40 4.1.1.1 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae

dengan metode cawan sebar 40

4.1.1.2 Uji positif sel Saccharomyces cerevisiae 41 4.1.1.3 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae

pada media YGP 41

4.1.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae 42 4.1.2.1 Menghitung jumlah sel total 42

4.1.2.1.1 Menghitung jumlah sel Saccharomyces cerevisiae yang tidak terimobilisasi 43

4.1.3 Analisis kadar gula reduksi

sebelum dan sesudah fermentasi 45

4.1.4 Analisis kadar etanol dari hasil fermentasi 45 4.1.3.1 Analisis kualitatif dan kuantitatif etanol 45 4.1.5 Pengujian stabilitas dari sel Saccharomyces cerevisiae 46

4.1.4.1 Pengujian stabilitas bead menggunakan

uji tekanan osmosis 46

4.1.4.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan

setelah fermentasi 47

4.1.5 Pengujian interaksi antara sel Saccharomyces cerevisiae

Ca-alginat-kitosan 48

4.1.5.1 Uji menggunakan mikroskop cahaya 48

4.1.5.2 Uji menggunakan FT-IR 49

4.2 Pembahasan 50

4.2.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae 50 4.2.1.1Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae

dengan metode cawan sebar 50

4.2.1.2 Uji positif sel Saccharomyces cerevisiae 50 4.2.1.3 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae

pada media YGP 51

4.2.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae 51 4.2.3 Fermentasi molase menggunakan sel


(11)

Saccharomyces cerevisiae terimobil 53 4.2.4 Analisis kadar etanol dari proses fermentasi 53 4.1.3.1 Analisis kualitatif dan kuantitatif etanol 54 4.2.5 Pengujian stabilitas dari sel Saccharomyces cerevisiae 56

4.2.5.1 Pengujian stabilitas bead menggunakan

uji tekanan osmosis 56

4.2.5.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan

setelah fermentasi 56

4.2.5.3 Pengujian stabilitas bead berdasarkan

jumlah pemakaian pada proses fermentasi 58 4.2.6 Pengujian interaksi antara

sel Saccharomyces cerevisiae-Ca-alginat-kitosan 59 4.2.6.1 Uji menggunakan mikroskop cahaya 59

4.2.6.2 Uji menggunakan FT-IR 59

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 60

5.1 Kesimpulan 60

5.2 Saran 60

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

tabel

Tabel 2.1 Komposisi kimia molase black strap 10

Tabel 2.2 Kandungan kimia S. Cerevisiae 12

Tabel 2.3 Komposisi sel Saccharomyces cerevisiae 12 Tabel 2.4 Kandungan asam amino dalam Saccharomyces cerevisiae 13 Tabel 4.1 Jumlah sel Saccharomyces cerevisiae pada media starter 42 Tabel 4.2 Jumlah sel yang dihitung dari masing-masing hasil

pencucian bead 43

Tabel 4.3 Hubungan antara konsentrasi gula reduksi, laju konsumsi

glukosa dan etanol 45

Tebel 4.4 Uji Kualitatif dan kuantitatif Etanol 46


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar

Gambar 2.3 Sel Saccharomyces cerevisiae dengan perbesaran 10 x 40 12 Gambar 2.4 Kurva pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae 15 Gambar 2.5 Struktur dasar penyusun alginat 16 Gambar 2.6 Proses terbentuknya egg box dari alginat 18 Gambar 2.7 Struktur dasar penyusun dari kitosan 19 Gambar 2.8 Proses pembentukan etanol dari glukosa 24 Gambar 4.1 Sel Saccharomyces cerevisiae tumbuh dalam media PDA

setelah 48 jam 40

Gambar 5.a Sel Saccharomyces cerevisiae dengan pembesaran 10 x 40 41 Gambar 5.b Sel Saccharomyces cerevisiae dengan pembesaran 10 x10 41 Gambar 6.a Media YPG sebelum ditumbuhkan dengan

sel Saccharomyces cerevisiae 42 Gambar 6.b Media YPG setelah ditumbuhkan oleh

sel Saccharomyces cerevisiae 42 Gambar 7.1 Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil 44 Gambar 7.2 Gambar permukaan bead dengan pengujian osmosa

menggunakan NaCl 0,2 %. Analisa menggunakan

mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10 46 Gambar 8.a Permukaan bead sebelum fermentasi; 47 Gambar 8.b Permukaan bead setelah fermentasi ke 1; 47 Gambar 8.c Permukaan bead setelah fermentasi ke 2; 47 Gambar 8.d Permukaan bead setelah fermentasi ke 3. 47 Gambar 9.a Permukaan bead yang dibelah dan dilihat dari samping; 48 Gambar 9.b Permukaan bead yang dibelah dan dilihat dari atas 48 Gambar 10.1 Hasil FT-IR sel Saccharomyces cerevisiae terimobil 49


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran

Judul Halaman

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 5

Hasil kromatografi gas etanol hasil fermentasi - Fermentasi ke 1

- Fermentasi ke 2 - Fermentasi ke 3 Perhitungan jumlah sel

- Media Starter - Cucian ke I + CaCl2

- Cucian ke II + CaCl2 + Kitosan Spektrum FT-IR Natrium alginat Spektrum FT-IR Kitosan

Spektrum FT-IR sel Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi alginat-kitosan

Perhitungan kadar glukosa sebelum dan sesudah fermentasi metode lane eynon

65 65 66 67 68 68 68 68 69 70 71 72


(15)

ABSTRAK

Telah dilakukan Penelitian tentang imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan alginat-kitosan dan uji stabilitasnya untuk pembuatan etanol dari molase secara fermentasi batch . Imobilisasi ini dilakukan menggunakan metode Mikrokapsul dengan lapisan dalam mikrokapsul adalah kalsium alginat 3% yang dicampur dengan sel Saccharomyces cerevisiae sedangkan lapisan luar adalah kitosan 1%. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur stabilitas dari bead yang dihasilkan dengan membandingkan jumlah etanol yang dihasilkan pada tiap fermentasi. Kadar etanol ditentukan secara kromatografi gas. Stabilitas diukur berdasarkan uji permukaan bead setelah fermentasi, uji efisiensi penggunaan bead dalam fermentasi dan uji tekanan osmosis. Uji interaksi antara masing-masing penyusul bead menggunakan mikroskop cahaya dan FT-IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar etanol dari hasil fermentasi berpengaruh terhadap stabilitas dari bead dimana stabilitas bead berkurang setiap akhir fermentasi begitu pula dengan etanol yang dihasilkan. Kadar etanol diperoleh 37,54314% pada fermentasi pertama, 26,65614% pada fermentasi kedua dan 13,29089% pada fermentasi ketiga.


(16)

IMMOBILIZATION CELL OF Saccharomyces cerevisiae USING ALGINATE-CHITOSAN AND ITS STABILITY FOR ETHANOL PRODUCTION FROM

MOLASSES WITH BATCH FERMENTATION

ABSTRACT

The research has been performed to immobilize cells of Saccharomyces cerevisiae using alginate-chitosan its stability for ethanol production from molasses with batch fermentation. This immobilization was done by microcapsul method with inner layer of calcium alginate 3% which mixed with Saccharomyces cerevisiae cells and outer layer was chitosan 1%. This research was aimed at studying stability of bead which appeal with ethanol production of fermentation. Ethanol concentration was analyzed by gas chromatography. The stability of bead was estimated with surface of bead at the end of fermentation, Efficient using bead of fermentation and osmotic pressure test. Interaction of alginate-cells and chitosan was estimated with light mcroscopy and FT-IR. The result showed that ethanol production of fermentation had effect with bead stability. Stability decreasing of bead showed ethanol production also. The first of fermentation results 37,54314%, second 26,65614% and third 13,29089%.


(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Etanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat dijadikan sebagai energi alternatif dari bahan bakar nabati (BBN). Etanol mempunyai beberapa kelebihan dari pada bahan bakar lain seperti premium antara lain sifat etanol yang dapat diperbaharui, menghasilkan gas buangan yang ramah lingkungan karena gas CO2 yang dihasilkan rendah (Jeon, 2007).

Molase adalah sirup yang mengandung glukosa dan fruktosa yang sangat sulit untuk dikristalkan. Molase merupakan produk limbah dari industri gula dimana produk ini masih banyak mengandung gula dan asam – asam organik, sehingga merupakan bahan baku yang sangat baik untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan etanol ataupun industri etanol. Bahan ini merupakan produk samping dari industri gula pasir dengan kandungan gula dari molase terutama sukrosa berkisar 40-55% 2008).

Proses produksi etanol dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Teknik fermentasi batch konvensional yang biasa dilakukan adalah dengan cara mencampurkan ragi yang mengandung sel Saccharomyces cerevisiae dengan substrat yang mengandung glukosa. Teknik ini memiliki beberapa kelebihan yaitu proses yang sederhana, pengontrolan reaksi yang mudah dan hasil yang dihasilkan relatif tinggi dikarenakan massa kritis dari sel lebih cepat terjadi. Namun teknik ini memiliki beberapa kelemahan antara lain sulitnya proses


(18)

isolasi produk hasil fermentasi dan juga sel yang digunakan tidak dapat diperoleh kembali sehingga ragi yang digunakan hanya dapat digunakan sekali saja. Teknik ini juga memiliki kekurangan antara lain sel yang digunakan dapat rusak dan mati diakibatkan oleh faktor inhibisi dari produk hasil fermentasi yaitu etanol. Etanol merupakan senyawa yang dapat memecah dinding sel dari sel Saccharomyces cerevisiae sehingga ketersediaan etanol dengan kapasitas tertentu dapat menyebabkan kematian sel Saccharomyces cerevisiae semakin cepat. Kadar etanol yang dapat ditoleransi oleh sel sebesar 14%. Sel Saccharomyces cerevisiae bebas juga tidak dapat mentoleransi dari perubahan lingkungan seperti pH dan suhu dari lingkungan media fermentasinya.

Untuk dapat mengatasi masalah diatas maka dilakukan suatu teknik imobilisasi sel dengan metode penjebakan dalam mikrokapsul, dimana sel Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dibatasi pergerakannya dalam suatu matrix dengan tidak mengurangi daya aktifitas dari sel tersebut, namun dapat meningkatkan daya aktivitasnya dan melindungi sel tersebut dari perubahan lingkungan. Keunggulan dari teknik imobilisasi yaitu dapat meningkatkan produktivitas volumetrik , meningkatkan konsentrasi produk dalam proses fermentasi, mampu menurunkan konsentrasi substrat (Goksungur et al, 2001) dan membuat proses pemisahan produk lebih mudah dikarenakan sel yang digunakan tidak larut dalam media fermentasi.

Salah satu metode yang sangat umum dalam teknik imobilisasi sel adalah mikrokapsul. Metode ini didasarkan pada penjebakan sel di dalam suatu bead yang terdiri dari senyawa makromolekul ionotropik yang dapat membetuk gel jika bereaksi dengan suatu kation multivalen. Metode ini dapat dilakukan dengan cara mencampurkan sel dengan sebuah polimer anionik (makromolekul ionotropik) dan kemudian diikatsilangkan dengan kation multivalen untuk membentuk suatu struktur yang dapat menjebak sel. Adapun contoh zat pembawa yang dapat digunakan untuk menjebak sel adalah alginat (Smidsrod and Skjakbraek, 1990). Alginat merupakan matrix imobilisasi yang paling baik, dikarenakan oleh beberapa alasan antara lain : efisien dalam penggunaan, mudah digunakan, dapat dimodifikasi, dan tidak bersifat toksik.


(19)

Firman Sebayang (2006) telah melakukan penelitian tentang Pembuatan etanol dari molase secara fermentasi menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae yang terimobilisasi pada kalsium alginat. Sel yang terimobil hanya terjebak pada satu lapisan (single layer) dari matrix, cara ini memiliki kelemahan yaitu ketidakmampuan sel dalam menahan pergerakan pertumbuhan sel yang terjadi di dalam bead. Hal ini disebabkan sel yang dijebak dapat memperbanyak diri didalam bead. Akibatnya sel yang dijebak dengan lapisan single kalsium alginat cenderung akan bocor dan sel akan terlepas dari dalam mikrokapsul.

Untuk dapat mengatasi hal diatas, bead dari kalsium alginat harus dilapisi kembali dengan suatu lapisan luar yang tidak mengandung sel sehingga bead yang dihasilkan dapat terlapisi oleh dua lapisan (Yokotsuka et al, 1997). Penambahan lapisan dari bead dapat meningkatkan kestabilan dari bead sehingga dapat efisiensi penggunaan bead dapat meningkat. Salah satu lapisan yang dapat digunakan untuk melapisi bead Ca-Alginat-sel adalah kitosan. Hal ini didasarkan pada kemampuan dari kitosan yang memiliki gugus positif amino untuk mengisi kenegatifan dari gugus asam karboksil dari alginat secara ikatan ionik sehingga membentuk suatu kompleks polielektrolit (Takahashi et al, 1990). Atas dasar diatas, maka kitosan dapat digunakan sebagai lapisan kedua dari bead kalsium alginat yang menjebak sel Saccharomyces cerevisiae.

Liouni (2007) telah melakukan penelitian tentang uji fisik dari sel Saccharomyces cerevisiae terimobil alginat-kitosan tersebut tanpa membahas uji kimia dan aspek etanol yang dihasilkan serta tidak membahas efisiensi dari penggunaan bead yang digunakan. Atas dasar tersebut penulis ingin mencoba untuk melakukan sebuah penelitian tentang imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan kalsium alginat-kitosan dalam produksi etanol dari molase secara fermentasi batch dimana akan dilihat kadar etanol yang dihasilkan dari tiap fermentasi. Penelitian ini juga mengukur efisiensi penggunaan bead dalam proses fermentasi molase tersebut dengan mengukur perulangan penggunaan dari


(20)

bead dalam proses fermentasi serta pengaruh kerusakan permukaan bead terhadap kadar etanol yang dihasilkan.

Pengujian kadar etanol dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Hal ini didasarkan pada sifat fisik dari etanol yang mudah menguap. Kromatografi gas merupakan teknik kromatografi yang digunakan untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap (Mardoni et al, 2007). Pengujian stabilitas bead dilakukan dengan melihat permukaan dari bead pada awal dan setiap akhir fermentasi menggunakan mikroskop cahaya dan juga diuji menggunakan uji tekanan osmosis. Pengujian ini didasarkan untuk mengetahui bagaimana pengaruh fermentasi dan lapisan kitosan dalam melapisi dan meningkatkan sifat fisik dari bead terhadap laju difusi substrat dan produk dari dan ke dalam bead, pengaruh ion perusak kestabilan bead dan faktor inhibisi dari etanol. Pengujian interaksi antara sel S. cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan dilakukan dengan mikroskop cahaya dan fourier transform infra red (FT-IR). Penggunaan mikroskop dapat digunakan untuk melihat secara langsung lapisan dari kitosan dan alginat yang menyusun dari bead. Penggunaan FT-IR bertujuan untuk melihat apakah terdapat spektrum senyawa kitosan dan alginat yang menyusun dari sel imobil, terdapatnya spektrum tersebut menjadi landasan bahwa telah terlapisi ca-alginat-sel dengan kitosan.

1.2Permasalahan

1. Bagaimana stabilitas sel Saccharomyces cerevisiae terimobil jika digunakan pada produksi etanol dari molase secara fermentasi batch?

2. Bagaimana jumlah produk etanol yang diperoleh menggunakan sel terimobil serta pengaruh kerusakan permukaan bead terhadap etanol yang dihasilkan?


(21)

1.3 Pembatasan masalah

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada:

1. Sel Saccharomyces cerevisiae yang digunakan adalah sel yang telah diisolasi dari ragi roti saf-instan yang dijual di pasar sore Padang bulan

2. Molase yang digunakan adalah molase Black Strap

3. Molase yang digunakan memiliki kadar % gula reduksi sebesar 35.585% kemudian diencerkan hingga 14.295% dimana kadar gula reduksinya diuji menggunakan penentuan gula reduksi metode lane-eynon

4. Natrium alginat yang digunakan memiliki konsentrasi 3 % 5. Kitosan yang digunakan memiliki konsentrasi 1 %

6. Buffer yang digunakan adalah buffer sitrat 0,1 M dengan pH 4.0 7. Suhu fermentasi dilakukan pada suhu 30oC

8. Waktu fermentasi yang digunakan adalah 48 jam

9. Jumlah (g) beadyang dipergunakan dalam fermentasi adalah 150 g 10.Jumlah (ml) media fermentasi yang digunakan adalah 150 ml

11.Etanol yang dianalisis kadarnya adalah etanol yang dipisahkan dengan media fermentasi menggunakan alat rotarievaporator.

1.4Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui stabilitas sel Saccharomyces cerevisiae terimobil jika digunakan pada produksi etanol dari molase secara fermentasi batch

2. Untuk mengetahui jumlah produk etanol yang diperoleh menggunakan sel terimobil serta pengaruh kerusakan permukaan bead terhadap etanol yang dihasilkan


(22)

1.5Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil dapat dimanfaatkan pada industri etanol maupun dalam pengolahan limbah molase (tetes tebu) dari pabrik gula tebu sehingga dapat menghasilkan etanol yang maksimal dangan penggunaan biomassa yang lebih efektif

1.6Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA-USU, Laboratorium Kultur Jaringan FMIPA USU dan Laboratorium Terpadu USU.

1.7Metodologi Penelitian

1. Penelitian ini adalah eksperimen yang dilakukan di laboratorium. , dimana dilakukan isolasi sel Saccharomyces cereviceae dari ragi roti saf-instan dengan teknik cawan sebar kemudian dikembangkan dalam medium cair YPG (Yeast Peptone Glucose). Sel pada medium cair kemudian dijadikan starter sel. Sel Saccharomyces cerevisiae yang sudah murni diimobilisasi menggunakan alginat – kitosan dengan teknik mikrokapsul dengan menggunakan jarum suntik (syringe) sehingga menghasilkan bead, bead yang merupakan sel yang telah diimobilisasi tersebut di cuci mengggunakan NaCl 0,9% sebanyak 3 kali. bead yang telah dicuci selanjutnya digunakan sebagai biomassa dalam fermentasi dari molase. Pengujian substrat hasil fermentasi dilakukan untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan,


(23)

selanjutnya bead dicuci kembali menggunakan akuades sebanyak 3 kali dan digunakan dalam fermentasi berikutnya hingga diperoleh jumlah etanol yang menurun secara signifikan atau memiliki konsentrasi yang sama dengan fermentasi menggunakan sel bebas. Setiap selesai fermentasi dilakukan uji kerusakan permukaan bead menggunakan mikroskop cahaya. Bead yang dihasilkan juga dianalisa interaksi antara penyusunnya menggunakan mikroskop cahaya. Pengujian stabilitas bead dilakukan dengan melihat permukaan dari bead pada awal dan setiap akhir fermentasi menggunakan mikroskop cahaya dan juga diuji menggunakan uji tekanan osmosis.

Adapun variabel – variabel dalam penelitian adalah:

1. Variabel bebas adalah variabel yang mempunyai pengaruh terhadap jumlah etanol yang terbentuk yaitu :

- Stabilitas dan bentuk permukaan dari mikrokapsul yang terbentuk

- Konsentrasi glukosa dari molase

2. Variabel terikat adalah variabel yang terukur terhadap perubahan perlakuan. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat yaitu :

- Jumlah etanol yang terbentuk

- Efisiensi penggunaan sel Saccharomyces cerevisiae yang terimobilisasi (bead) dalam fermentasi

- Konsentrasi glukosa dari molase tiap akhir fermentasi

3. Variabel tetap adalah variabel yang dibuat tetap sehingga tidak menyebabkan terjadinya perubahan variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel tetap adalah :

- Konsentrasi alginat

- Konsentrasi kitosan

- Konsentrasi CaCl2

- Waktu fermentasi

- pH dan suhu fermentasi


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etanol

Etanol atau sering juga disebut dengan alkohol adalah suatu cairan transparan, mudah terbakar, tidak berwarna, mudah menguap, dengan rumus kimia C2H5OH, dapat bercampur dengan air, eter, dan kloroform, yang diperoleh melalui fermentasi karbohidrat dari ragi yang disebut juga dengan etil alkohol (Bender, 1982).

Etanol atau etil alkohol (C2H5OH) termasuk kelompok hidroksilyang memberikan polaritas pada molekul dan mengakibatkan meningkatnya ikatan hidrogen intermolekuler. Etanol memiliki massa jenis 0.7893 g/mL. Titik didih etanol pada tekanan atmosfer adalah 78.32 °C. Indeks bias dan viskositas pada temperatur 20°C adalah 1.36143 dan 1.17 cP (Kirk and Othmer, 1965). Etanol digunakan pada berbagai produk meliputi campuran bahan bakar, produk minuman, penambah rasa, industri farmasi, dan bahan-bahan kimia.

Etanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat dijadikan sebagai energi alternatif dari bahan bakar nabati (BBN). Etanol mempunyai beberapa kelebihan dari pada bahan bakar lain seperti premium antara lain sifat etanol yang dapat diperbaharui, menghasilkan gas buangan yang ramah lingkungan karena gas CO2 yang dihasilkan rendah (Jeon, 2007).


(25)

1. Etanol untuk konsumsi umumnya dihasilkan dengan proses fermentasi atau peragian bahan makanan yang mengandung pati atau karbohidrat, seperti beras dan umbi. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya berkadar rendah. Untuk mendapatkan etanol dengan kadar yang lebih tinggi diperlukan proses pemurnian melalui penyulingan ataupun destilasi. Etanol untuk keperluan industri dalam skala lebih besar dihasilkan dari fermentasi tetes tebu, yaitu hasil samping dalam industri gula tebu atau gula bit.

2. Melalui sintesis kimia melalui reaksi antara gas etilen dan uap air dengan asam sebagai katalis. Katalis yang dipakai biasanya asam fosfat. Asam sulfat juga dapat digunakan sebagai katalis, namun sangat jarang digunakan. 2008).

Etanol dapat dijadikan sebagai bahan bakar, namun harus etanol dengan kadar kemurnian yang tinggi atau terbebas oleh air. Adapun cara pemurnian etanol dapat dilakukan dengan destilasi tetapi kemurniannya hanya sampai 96% karena adanya peristiwa azeotrop antara campuran etanol dan air. Untuk dapat memperoleh etanol dengan kadar yang tinggi maka dilakukan suatu cara yaitu absorbsi fisik atau molecular sieve. Dalam penggunaan etanol sebagai bahan bakar, tidak dapat langsung digunakan pada kendaraan bermotor, namun etanol harus ditambahkan dengan bensin. Sebagai contoh sebanyak 10% etanol dari 1 liter bensin dapat digunakan sebagai bahan bakar (disebut E10). Namun haruslah berhati-hati dalam penggunaan bahan bakar ini, karena etanol yang digunakan harus benar-benar bebas dari air, dikarenakan ketersediaan air dapat menyebabkan kerusakan dan korosi pada mesin.

Etanol merupakan hasil fermentasi yang memiliki masalah pada proses fermentasi itu sendiri yakni timbulnya etanol dapat berakibat rusaknya struktur membran plasma mikroba serta terjadinya denaturasi protein penyusun dari sel tersebut. Adanya ketersediaan etanol di dalam media fermentasi dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroba penghasil etanol (Supriyanto, 2010)


(26)

2.2 Molase

Dalam industri gula dari tebu diperoleh suatu limbah dari sisa pengkristalan gula pasir berbentuk cairan berwarna coklat kehitaman yang disebut dengan molase. Molase adalah sirup yang mengandung glukosa dan fruktosa yang sangat sulit untuk dikristalkan. Molase merupakan produk limbah dari industri gula dimana produk ini masih banyak mengandung gula dan asam – asam organik, sehingga merupakan bahan baku yang sangat baik untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan ataupun industri etanol. Bahan ini merupakan produk samping dari industri gula pasir dengan kandungan gula dari molase terutama sukrosa berkisar 40-55%

Molase dapat dikonversi menjadi etanol melalui proses fermentasi, biasanya pH molase berkisar antara 5,5-6,5. Molase yang telah diencerkan hingga 10-18% telah memberikan hasil yang memuaskan dalam menghasilkan etanol dari proses fermentasi

Molase dari tebu dapat dibedakan menjadi 3 jenis. Molase kelas 1, kelas 2 dan “black strap”. Molase kelas 1 didapatkan saat pertama kali jus tebu dikristalisasi. Saat dikristalisasi terdapat sisa jus yang tidak mengkristal dan berwarna bening. Maka sisa jus ini langsung diambil sebagai molase kelas 1. Kemudian molase kelas 2 atau biasa disebut dengan “Dark” diperoleh saat proses kristalisasi kedua. Warnanya agak kecoklatan sehingga sering disebut dengan istilah “Dark”. Dan molase kelas terakhir yaitu “Black Strap” diperoleh dari kristalisasi terakhir. Warna “Black Strap” ini memang mendekati hitam (coklat tua)


(27)

Tabel 2.1. Komposisi kimia molase black strap

Komposisi Presentase (%)

Bahan Kering

Total Gula sebagai Gula invert

- N - P2O5 - CaO - MgO - K2O Total Abu 77-84 52-67 0,4-1,5 0,6-2,0 0,1-1,1 0,03-0,1 2,6-5,0 7-11

2.3 Sel Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembangbiak dengan membelah diri melalui "budding cell" . Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel . Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah (Nikon et al, 2004) .

Taksonomi Saccharomyces cerevisiae menurut Sanger (2004), sebagai berikut: Super kingdom : Eukaryota

Phylum : Fungi

Subphylum : Ascomycota Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomycetaceae


(28)

Genus : Saccharomyces

Species : Saccharomyces cerevisiae

Khamir dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula kompleks disakarida yaitu sukrosa (Marx, 1991). Selain itu untuk menunjang kebutuhan hidup diperlukan oksigen, karbohidrat, dan nitrogen. Pada uji fermentasi gula – gula mempunyai reaksi positif pada gula dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, raffinosa, trehalosa, dan negatif pada gula laktosa (Lodder, 1970). Gambar 2.3 menunjukkan bentuk sel Saccharomyces cerevisiae dengan bentuk blastospora bulat lonjong yang dilihat menggunakan mikroskop cahaya.

Gambar 2.3 Sel Saccharomyces cerevisiae dengan perbesaran 10 x 40

Komposisi kimia S. cerevisiae dapat di lihat dalam tabel 2.2

Tabel 2.2 Kandungan kimia S. cerevisiae

Komposisi senyawa Presentasi (%)

Protein Karbohidrat Lemak Mineral lain

50-52 30-37 4-5 7-8


(29)

Suriawiria (1990) melaporkan komposisi kimia sel khamir yang hampir sama pada Tabel 2.3 dan kandungan asam aminonya Tabel 2.4.

Tabel 2.3 Komposisi sel Saccharomyces cerevisiae

Komposisi senyawa Presentase (%)

Abu Asam Nukleat Lemak Nitrogen 5,0-9,5 6,0-12,0 2,0-6,0 7,5-8,5 (Suriawiria, 1990)

Tabel 2.4 Kandungan asam amino dalam Saccharomyces cerevisiae

Komposisi senyawa Presentase (%)

Fenilalanin Isoleusin Lisin Leusin Metionin Sistin Treonin Triptofan Valin 4,1-4,8 4,6-5,3 7,7-7,8 7,0-7,8 1,6-1,7 0,9 4,8-5,4 1,1-1,3 5,3-5,8 (Suriawiria, 1990)

Penggunaan sel Saccharomyces cerevisiae dalam produksi etanol didasarkan pada beberapa faktor yaitu mudahnya diperoleh sel Saccharomyces cerevisiae di sekitar kita, dan juga didasarkan pada jenis karbohidrat yang digunakan sebagai medium. Untuk


(30)

memproduksi etanol dari molase yang sebagian besar merupakan sukrosa maka sel Saccharomyces cerevisiae adalah sel yang tepat. Hal ini dikarenakan sel ini mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat dan mempunyai toleransi terhadap konsentrasi gula (sukrosa) yang tinggi, selain itu etanol yang dihasilkan dapat ditoleransi oleh sel ini (Sa’id, 1987).

Menurut Fraenkel (1982), temperatur pertumbuhan yang optimum untuk sel Saccharomyces cerevisiae adalah 28 – 36o C dan pH optimum untuk pertumbuhan adalah 4,5 – 5,5 ( Moat and Foster, 1998)

2.3.1 Sumber Energi

Sel Saccharomyces cerevisiae dapat hidupnya memperoleh energi dari bahan – bahan organik dan anorganik. Sel ini mendapatkan energi dari ikatan karbon, hal ini digunakannya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya yang seluruhnya diperoleh dari molekul glukosa, sukrosa, asam organik ataupun alkohol yang telah diubah menjadi senyawa kompleks seperti protein, polisakarida, lemak dan lignin (Gattaway and evans, 1984).

Menurut Buckle (1987) karbon dan energi yang diperlukan oleh sel Saccharomyces cerevisiae diperoleh dari gula dan karbohidrat lain seperti glukosa. Karbohidrat merupakan sumber karbon paling banyak yang digunakan dalam fermentasi oleh sel ini.

Dalam industri etanol digunakan khamir jenis Saccharomyces cerevisiae yang sering juga disebut khamir permukaan (top yeast), yaitu khamir yang bersifat fermentatif kuat dan tumbuh dengan cepat pada suhu 20oC. Khamir permukaan ini tumbuh secara bergerombol dan melepaskan karbon dioksida dengan cepat, yang mengakibatkan sel terapung pada permukaan (Fardiaz, 1992).


(31)

Kemampuan untuk menkonversi gula menjadi etanol ini disebabkan oleh adanya peran dari enzim zimase dan invertase. Enzim zimase adalah enzim yang berperan sebagai pemecah sukrosa dari gula menjadi monosakarida-monosakaridanya (glukosa dan fruktosa), selanjutnya terdapat enzim invertase yang mengubah glukosa menjadi etanol. Konsentrasi gula yang umumnya dibuat untuk pembuatan etanol berkisar 14-20 persen. Jika konsentrasi lebih tinggi akan menghambat aktivitas dari khamir dikarenakan menurunnya oksigen terlarut yang diperlukan khamir. Lama dari fermentasi sekitar 30 – 70 jam dengan kondisi anaerob (Judoamidjojo et al. 1992)

Jika pemberian O2 berlebihan (kondisi aerob), sel S.cerevisiae akan melakukan respirasi secara aerobik, dalam keadaan ini enzim khamir dapat memecah senyawa gula lebih sempurna, dan akan dihasilkan karbondioksida dan air.

2.3.2 Pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae

Pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologi yang saling mempengaruhi secara berurutan. Proses pertumbuhan ini sangat kompleks meliputi pemasukan nutrien dasar dari lingkungan ke dalam sel, konversi bahan-bahan nutrien menjadi energi dan berbagai constituen vital cell serta perkembangbiakan. Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel serta kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimia (Anonymous, 2008).

Adapun kurva pertumbuhan mikroba secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.4. .


(32)

Pada dasarnya pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae dapat berlangsung tanpa batas, akan tetapi karena pertumbuhan sel Saccharomyces cerevisiae berlangsung dengan mengkonsumsi nutrien sekaligus mengeluarkankan produk-produk metabolisme yang terbentuk maka setelah waktu tertentu laju pertumbuhan akan menurun dan akhirnya pertumbuhan berhenti sama sekali. Berhentinya pertumbuhan dapat disebabkan karena berkurangnya beberapa nutrien esensial dalam medium atau karena terjadinya akumulasi aututuksin dalam medium atau kombinasi dari keduanya (Ansori, 1989).

Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada umumnya berada dalam kultur murni. Ragi yang beredar dipasaran biasanya mengandung mikroba jenis yeast. Didalam ragi Saccharomyces cerevisiae dicampur dengan tepung beras dan dikeringkan, biasanya berbentuk agak bulat dengan diameter 3 cm serta berwarna putih.

2.4 Alginat

Asam alginat adalah senyawa komplek yang termasuk karbohidrat koloidal hidrofilik hasil polimerisasi D-asam mannuronat dengan rumus kimianya (C6H8O6)n dimana harga n diantara 80 sampai 83. Ada dua jenis monomer penyusun asam alginat yaitu asam D-mannuronat dan asam L-guloronat. Berikut struktur kimia penyusun alginat seperti gambar 2.5 (painter et al, 1986).


(33)

Gambar 2.5 Struktur dasar penyusun alginat

Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat dalam molekul. Asam alginat tidak larut dalam air dan mengendap pada pH < 3,5 sedangkan garam alginat dapat larut dalam air dingin atau air panas dan mampu membentuk larutan yang stabil. Natrium alginat tidak dapat larut dalam pelarut organik tetapi dapat mengendap dengan alkohol. Alginat sangat stabil pada pH 5 – 10, sedangkan pada pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil akibat adanya degradasi ß- eliminatif. Ikatan glikosidik antara asam mannuronat dan guluronat kurang stabil terhadap hidrolisis asam dibandingkan ikatan dua asam mannuronat atau dua asam guluronat. Kemampuan alginat membentuk gel terutama berkaitan dengan proporsi L-guluronat (An Ullman’s, 1998).

Asam alginat diproduksi dengan cara ekstraksi alga coklat (Phaeophyceae) dan banyak digunakan sebagai bahan pembentuk gel dan pengental yang bersifat thermoreversibel dalam berbagai bidang industri, juga dipakai sebagai suspending emulsifying, dan stabilizing agent.

Alginat memiliki sifat hidrofilik sehingga banyak dimanfaatkan dalam industri pembekuan makanan karena alginat dapat mengikat air. Sifat mengikat air ini juga


(34)

dimanfaatkan dalam industri kosmetik karena dengan adanya alginat, kosmetik dapat menempel dengan erat di jaringan kulit dengan kelembapan yang tetap terjaga.

Alginat memiliki sifat koloid, dapat membentuk gel dan hidrofilik, selain digunakan di berbagai industri diatas, kemampuan alginat tersebut dapat digunakan dalam proses imobilisasi. Dari penelitian yang telah banyak dilakukan, alginat merupakan matrix imobilisasi yang paling baik, karena efisien, mudah digunakan, dapat dimodifikasi, dan tidak bersifat toksik. Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat dalam molekul.

Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam, dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan, alginat cepat mengalami degradasi dengan adanya oksigen, terutama dengan naiknya kelembaban udara. Alginat dengan visositas tinggi lebih cepat terdegradasi dibandingkan alginat dengan viskositas sedang atau rendah. Urutan stabilitas alginat selama penyimpanan adalah natrium alginat > ammonium alginat > asam alginat (Sembiring, 2010)

Kemampuan alginat membentuk gel juga ditentukan oleh kadar asam guluronat yang menyusun struktur alginat. Kekuatan gel ditentukan oleh ukuran molekul dan komposisi struktur yang menyusun alginat. Tinggi kandungan asam guluronat di dalam alginat akan menyebabkan alginat dapat mengikat ion divalent lebih baik dibandingkan dengan alginat yang memiliki sedikit asam guluronat.

Kekakuan strukutur alginat dalam aplikasi imobilisasi ditentukan oleh adanya ion divalent. Kekakuan strukutur alginat akan bertambah secara umum seiring dengan bertambahnya afinitas terhadap ion – ion divalent. Berikut urutan ion yang dapat membuat

kekakuan dari alginat berdasarkan urutan afinitasnya, Mn>Co>Zn>Cd>Ni>Cu>Pb>Ca>Sr>Ba. Namun tidak semua ion-ion ini dapat diaplikasikan dalam imobilisasi sel. Ion Ca2+ adalah ion yang paling umum digunakan untuk tujuan imobilisasi sel karena toksisitasnya yang paling rendah (Betha, 2009)


(35)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rantai asam guluronat melengkung sedangkan rantai asam mannuronat merata. Hal ini menyebabkan keduanya mempunyai perbedaan dalam berikatan dengan ion Ca2+. Penambahan Ca2+ pada asam guluronat menjadikannya bentuk gel, seperti Ca2+ masuk kedalam egg box antar unit monomer (Sembiring, 2010), seperti yang di tunjukkan dalam gambar 2.6.

Gambar 2.6 Proses terbentuknya egg box dari alginat

2.5 Kitosan

Kitosan adalah poli – (2,6– amino – 2 – deoksi - β -(1 – 4) – D – glukopiranosa dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah dibeberapa organisme. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85 – 93% (Sugita et al, 2009).

Kitosan mempunyai nama lain selain kitin yaitu Kitosan Askorbat, N-karboksibutill kitosan. Kitosan berbentuk lembaran tipis , tidak berbau, berwarna putih, dan terdiri dari dua jenis polimer yaitu poli asetilamin-2-glukosa) dan poli (2-deoksi-2-aminoglukosa) yang berikatan secara beta (1,4). Adapun struktur kitosan dapat dilihat pada gambar 2.7.


(36)

Gambar 2.7 Struktur dasar Penyusun dari Kitosan

Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa = 6,5) hal yang sangat jarang terjadi secara alamiah. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan:

a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuata gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.

b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul, dan membran.

c. Dapat digunakan sebagai pengkhelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan sistem produksi terhadap efek dekstruksi dari ion (Meriaty, 2002)

2.6 Imobilisasi Sel

Proses produksi etanol dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Teknik fermentasi konvensional yang biasa dilakukan adalah dengan mencampur sel ragi yang mengandung Saccharomyces cerevisiae dengan substrat yang mengandung glukosa. Namun teknik ini memiliki beberapa kelemahan antara lain sulitnya proses isolasi produk hasil fermentasi dan sel ragi yang digunakan tidak dapat diperoleh kembali sehingga ragi yang digunakan hanya dapat digunakan sekali saja. Teknik ini juga memiliki kekurangan antara lain sel ragi yang digunakan dapat mati diakibatkan oleh faktor inhibisi dari produk hasil fermentasi yaitu etanol yang merupakan senyawa yang dapat memecah sel ragi tersebut sehingga ketersediaan etanol sebenarnya menyebabkan kematian ragi semakin cepat. Kadar etanol yang dapat ditoleransi oleh sel S.cerevisiae sebesar 14%. sel S.cerevisiae juga tidak dapat mentoleransi dari perubahan lingkungan seperti pH dan suhu dari lingkungan medianya.


(37)

Untuk dapat mengeliminasi kelemahan-kelemahan tersebut maka dilakukan imobilisasi sel Sacchaomyces cerevisiae tersebut. Dengan demikian sel yang diperoleh lebih tahan terhadap inhibisi dari etanol yang dihasilkan. Sel terimobil ini juga dapat menahan perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya seperti perubahan pH dan suhu, dan tentunya dapat digunakan lagi berulang-ulang setelah mengkatalisis suatu reaksi sintesis tertentu (Chibata, 1978).

Sel terimobilisasi dapat didefenisikan sebagai sel yang secara fisik ditempatkan dalam suatu ruang tertentu yang sudah di atur dengan kondisi tertentu dan tetap memiliki aktifitas katalitiknya dan dapat digunakan secara berulang-ulang ataupun secara berlanjut (Chibata, 1978).

Imobilisasi sel juga merupakan salah satu usaha untuk mempermudah proses pemisahan produk hasil fermentasi molase yaitu etanol dengan sel Saccharomyces cerevisiae selama reaksi berlangsung dengan menggunakan sistem dua fase, yaitu satu fase mengandung sel dan fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi proses kontaminasi dari produk terhadap sel yang digunakan (Chaplin, 1990).

Imobilisasi juga diartikan sebagai suatu modifikasi tempat sel untuk hidup dengan meniru keadaan dari tempat berkembangnya sel sehingga sel tetap dapat berkembang dan bekerja dalam proses katalisis suatu reaksi yang berkesinambungan (Zaborsky, 1973).

2.6.1 Metode Imobilisasi

Metode untuk imobilisasi enzim dapat dibagi atas 3 kategori dasar, yaitu: 1. Metode Carrier-binding

Metode ini dibagi menjadi tiga berdasarkan cara pengikatan enzimnya, yaitu adsorpsi fisika, pengikatan ionik, dan pengikatan kovalen.


(38)

Metode ini berdasarkan pada adsorpsi fisika dari protein enzim pada permukaan pembawa yang tidak larut dalam air. Kelemahan dari metode ini dimana enzim yang diserap dapat bocor selama pemakaian karena gaya ikat antara protein enzim dan pembawa lemah.

b. Metode pengikatan ionik

Metode pengikatan ionik berdasarkan pengikatan ionik dari protein enzim pada pembawa yang tidak larut dalam air yang mengandung residu penukar ion. Kelemahan metode ini dimana kebocoran dapat terjadi dimana dalam larutan substrat dengan kekuatan ionik yang tinggi atau pada variasi pH.

c. Metode pengikatan kovalen

Pada metode ini diperlukan kondisi reaksi yang sulit dan biasanya dilakukan tidak dalam keadaan kamar. Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa ikatan kovalen mengubah bentuk konformasi dan pusat aktif enzim yang mengakibatkan kehilangan aktivitas atau perubahan spesifitas aktivitas.

2.Metode Ikat Silang

Metode ini berdasarkan pembentukan ikatan kimia seperti dalam metode ikat kovalen,namun pembawa yang digunakan tidak larut dalam air. Imobilisasi enzim dilakukan dengan pembentukan ikat silang intermolekuler diantara molekul enzim dengan penambahan reagent bi-atau multifungsional.

3. Metode Penjebakan

Metode penjebakan berdasarkan pengikatan enzim dalam kisi matriks polimer atau melingkupi enzim dalam membran semipermiabel dan dibagi menjadi tipe kisi dan mikrokapsul.

a. Tipe kisi (lattice type)

Metode penjebakan tipe kisi meliputi penjebakan enzim dalam bidang batas (intersititial space) dari suatu ikat – silang yang tidak larut dalam air misalnya gel matriks.


(39)

b. Mikrokapsul

Penjebakan dengan cara mikrokapsul melibatkan pelingkupan enzim dengan membran polimer semipermiabel.Prosedur untuk mikroenkapsulasi enzim dapat dibagi kedalam tiga kategori (Chibata,1978) yaitu :

1. Polimerisasi interfasial

2. Pengeringan cair (liquid drying) 3. Pemisahan fase (phase separation)

Teknik penjebakan yang umum untuk mikroorganisme dalam butiran adalah pembentukan gel ionotropik dari makromolekul dengan kation multivalensi. Penjebakan dapat terjadi dengan mencampurkan mikroorganisme dengan polimer anionik dan kemudian diikatsilang larutan tersebut dengan kation multivalensi sehingga membentuk struktur yang menjebak mikroorganisme tersebut. (Liouni,2007).

Dalam penelitian kali ini dilakukan teknik mikrokapsul. Dasar dari penggunaan teknik mikrokapsul didasarkan pada kestabilan yang lebih tinggi pada proses fermentasi, sederhana dalam pembuatan dan penggunaan, terjadi interaksi yang kuat, mudah dalam pemisahan produk dan juga mudah dalam modifikasi (Mosbach, 1976).

2.7 Fermentasi

2.7.1 Pengertian Fermentasi

Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut di antaranya karbondioksida (CO2) (Afrianti,2004).

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan


(40)

tetapi definisi yang lebih jelas mengatakan bahwa fermentasi diartikan sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor electron eksternal (Darmanto, 2006). Fermentasi juga dapat diartikan sebagai perubahan gradual oleh enzim, bakteri, khamir dan jamur. Contoh fermentasi yang ada di kehidupan sehari – hari antara lain pengasaman susu, perubahan gula menjadi alkohol serta oksidasi senyawa nitrogen organik (Hidayat et al, 2006).

2.7.2 Pembagian Fermentasi

Menurut Afrianti (2004) fermentasi berdasarkan kebutuhan O2, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Ferementasi aerob (proses respirasi)

Fermentasi aerob yaitu disimilasi bahan-bahan yang disertai dengan pengambilan oksigen. Semua organisme untuk hidupnya memerlukan sumber energi yang diperoleh dari hasil metabolisme bahan pangan, dimana organisme itu berada. Bahan energi yang paling banyak digunakan mikroorganisme untuk tumbuh adalah glukosa. Dengan adanya oksigen maka mikroorganisme dapat mencerna glukosa menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi. Contoh : fermentasi asam asetat, asam nitrat, dan sebagainya.

2. Fermentasi anaerob

Fermentasi anaerob yaitu fermentasi yang tidak membutuhkan adanya oksigen, Beberapa mikroorganisme dapat mencerna bahan energinya tanpa adanya oksigen. Jadi hanya sebagian bahan energi itu dipecah, yang dihasilkan adalah sebagian dari energi, karbondioksida dan air, termasuk sejumlah asam laktat, asetat, etanol, asam volatil, alkohol dan ester. Biasanya dalam fermentasi ini menggunkan mikroba yeast, jamur dan bakteri. Fermentasi tipe anaerob menghasilkan sejumlah kecil energi, karbondioksida, air, dan produk akhir metabolik organik lain, seperti asam laktat, asam asetat, dan etanol serta sejumlah kecil asam organik volatil lainnya, alkohol dan ester (Buckle et.al, 1985). Pada


(41)

proses fermentasi anaerob mula-mula glukosa dipecah menjadi asam piruvat yang melalui lintasan Embden Meyerhoff Pamas (EMP). Setelah itu terjadi dekarboksilasidehida asam piruvat menjadi asetaldehida. asetaldehida tereduksi menjadi etanol yaitu menerima elektron hasil oksidasi asam gliseraldehida 3- phosphat. Melalui proses fermentasi anaerob ini 90% glukosa akan dirubah menjadi etanol dan CO2 (Ansori, 1989).

Reaksi pada Gambar 2.8 asetaldehida bertindak sebagai penerima hidrogen dalam fermentasi, dimana hasil reduksinya oleh NADH2 menghasilkan etanol, dan NAD yang teoksidasi kemudian dapat digunakan lagi untuk menangkap hidrogen (Fardiaz,1992)

Gambar 2.6 Proses fermentasi glukosa

Gambar 2.8 Proses pembentukan etanol dari glukosa

2.7.3 Mekanisme fermentasi

Didalam fermentasi , kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung dari jumlah akseptor elektron terakhir yang dapat dipakai. Sel – sel melakukan fermentasi menggunakan enzim-enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi , dalam hal ini yaitu asam menjadi senyawa yang memiliki muatan positif, sehingga dapat menangkap elektron terakhir dan menghasilkan energi (Fardiaz, 1990)

Untuk memperoleh hasil fermentasi yang optimum, terdapat hal – hal yang harus dipenuhi untuk pertumbuhan dari sel (Winarno, 1980) yaitu :


(42)

- pH dari Reaksi yang berlangsung

- Konsentrasi substrat yang digunakan

- Temperatur selama fermentasi dan

- Kemurnian dari Sel yang digunakan.

Jika tumbuh dalam keadaaan anaerobik, sel Saccharomyces cerevisiae lebih cenderung memfermentasi substrat karbohdirat untuk menghasilkan etanol bersama sedikit produk akhir, sesuai dengan jalur glikolisis menurut Buckle, (1987).

2.8Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan teknik kromatografi yang digunakan untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa yang dapat dipisahkan dengan kromatografi gas sangat banyak, namun ada batasan-batasannya. Senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian. Temperatur ini berkisar 50-300oC. Jika senyawa yang diuji tidak dapat menguap dan stabil pada temperatur pengujian, maka senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan kromatografi gas (Mardoni et al, 2007).

Penentuan kadar etanol yang terdapat dalam sampel dapat dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas (GC). Metode ini dapat digunakan karena metode ini mampu memisahkan zat-zat organik (berupa cairan komplek), waktu analisis relatif singkat, jumlah sampel yang dibutuhkan untuk analisis relatif kecil, dan kepekaan tinggi (Munson, 1981).

Kromatografi gas, fase geraknya berupa gas inert, sedangkan fase diamnya dapat berupa zat padat atau zat cair. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya (Khopkar, 2003).


(43)

2.9Mikroskop cahaya

Mikroskop cahaya merupakan jenis mikroskop yang menggunakan cahaya matahari atau lampu sebagai sumber cahaya. Pada dasarnya mikroskop cahaya bekerja sebagai suatu alat pembesar tingkat dua. Suatu lensa objektif melakukan pembesaran awal, dan suatu lensa okuler ditempatkan sedemikian rupa sehingga memperbesar bayangan pertama untuk kedua kalinya. Pembesaran seluruhnya diperoleh dengan mengalikan kekuatan pembesaran lensa objektif dan lensa okuler.

Untuk dapat melihat bagaimana interaksi dari penyusun bead, dapat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya, hal ini berlandaskan bahwa pada setiap penyusun dari bead memiliki bentuk permukaan yang berbeda. Melalui mikroskop cahaya masing-masing penyusun dapat dilihat dari bentuk permukaan yang berbeda-beda sehingga dapat ditentukan komponen penyusun dari bead.

Liouni (2007) menggunakan mikroskop cahaya sebagai alat untuk melihat jumlah bead yang rusak dari pengujian stabilitas mekanik dari bead. Mikroskop cahaya dapat digunakan sebagai alat untuk melihat permukaan dari bead dikarenakan perbesaran hingga 1000x sehingga dapat dijadikan cara untuk melihat pori dan permukaan dari benda. Bead yang terbentuk dan yang digunakan dalam fermentasi juga dianalisis menggunakan mikroskop cahaya dikarenakan mikroskop cahaya mudah dalam penggunaan, biaya operasional relatif murah dan menghasilkan gambar yang jelas.


(44)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat – Alat

1. Gelas ukur Pyrex

2. Cawan petridish Pyrex

3. Gelas beaker Pyrex

4. Tabung reaksi Pyrex

5. Rak tabung reaksi

6. Labu takar Pyrex

7. Neraca analitis Mettler Toledo

8. Sentrifugasi 7000 rpm Gemmy Corp KCE

9. Vortex BIORAD-2000

10.Inkubator Gallenkamp

11.Pipet tetes 12.Botol akuades 13.Indikator universal 14.Ose stick

15.Hockey stick 16.Cotton bud 17.Bola karet 18.Penangas air

19.Pipet volumetri Pyrex

20.Spatula


(45)

22.Labu takar Pyrex

23.Labu alas Pyrex

24.Rotarievaporator Buchi

25.Piknometer Pyrex

26.Buret Pyrex

27.Labu rotarievaporator Pyrex

28.Aluminium foil

29.Termometer Fisher

30.Luminar airflow ESCO Class II Biosafety

31.Corong

32.Batang pengaduk 33.Jarum suntik (Syringe) 34.Hot plate stirrer 35.Magnetic bar 36.Autoclave 37.Botol vial

38.FT-IR Shimadzu IR Prestige-21

39.Mikroskop cahaya Zeiss Axiocam ERC-5S

40.Haemocytometer Marienfield

3.1.2 Bahan – Bahan

1. Ragi roti saf-instan

2. Alginat p.a.(E.Merck)

3. CaCl2.2H2O p.a(E.Merck)

4. Molase 5. Kertas saring

6. Media potato dextrose agar p.a(E.Merck)


(46)

8. D-glukosa p.a(E.Merck)

9. Yeast extract p.a(E.Merck)

10.Akuades p.a(E.Merck)

11.MgSO4.7H2O p.a(E.Merck)

12.ZnSO4.2H2O p.a(E.Merck)

13.(NH4)2SO4 p.a(E.Merck)

14.K2HPO4 p.a(E.Merck)

15.KH2PO4 p.a(E.Merck)

16.Asam sitrat p.a(E.Merck)

17.Natrium sitrat p.a(E.Merck)

18.Kitosan

19.Asam asetat glasial p.a(E.Merck)

20.NaCl p.a(E.Merck)

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pembuatan larutan pereaksi

3.2.1.1 Pembuatan larutan asam asetat 2 %

Sebanyak 2 ml asam asetat 100% p.a dimasukkan dalam labu takar 100 ml kemudian diencerkan dengan akuades hingga garis tanda sehingga konsentrasi asam asetat 2%

3.2.1.2 Pembuatan larutan alginat 3 %

Sebanyak 1,5 gram natrium alginat p.a dilarutkan dalam 50 ml akuades sambil dipanaskan diatas air mendidih hingga larut sehingga konsentrasi alginat menjadi 3%. Kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.


(47)

3.2.1.3 Pembuatan larutan CaCl2 2%

Sebanyak 20 gram kristal CaCl2.2H2O dilarutkan dalam 1000 ml akuades hingga larut sehingga konsentrasi CaCl2 menjadi 2%

3.2.1.4 Pembuatan larutan kitosan 1 % - CaCl2 2%

Sebanyak 1 gram kitosan dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 2% hingga larut sehingga konsentrasi kitosan 1 %. Larutan kitosan kemudian dicampurkan dengan larutan CaCl2 2%. Kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 Menit.

3.2.1.5 Pembuatan larutan buffer sitrat pH 4

Sebanyak 2,10 gram asam sitrat p.a dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades hingga larut sehingga konsentrasi larutan asam sitrat 0,1 M. Kemudian sebanyak 2,94 gram natrium sitrat dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades hingga larut sehingga konsentrasi larutan garam natrium sitrat 0,1 M. Kemudian untuk membuat larutan buffer sitrat dengan pH 4 maka sebanyak 33 ml larutan asam sitrat 0,1M dicampurkan dengan 17 ml larutan natrium sitrat 0.1 M, keduanya dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan diencerkan hingga garis tanda.

3.2.2 Pembuatan larutan media

3.2.2.1.Pembuatan media potato dextrose agar (PDA)

Sebanyak 3,9 gram media PDA dilarutkan dalam 100 ml akuades sambil dipanaskan hingga mendidih. Kemudian di autoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit. Media


(48)

didinginkan hingga suhu kamar. Media PDA kemudian dituang kedalam cawan petri dan dibiarkan hingga mengeras.

3.2.2.2.Pembuatan media yeast pepton glukosa (YPG)

Sebanyak 2,00 gram yeast extract, 4,00 gram pepton dan 4,00 glukosa dilarutkan dalam 200 ml akuades sambil dipanaskan hingga mendidih, kemudian diautoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit kemudian didinginkan hingga suhu kamar.

3.2.2.3. Pembuatan media starter

Sebanyak 100 ml media YPG ditambahkan dengan 0,1 gram (NH4)2SO4, 0,04 gram MgSO4.7H2O, 0,2 gram KH2PO4 dan 10 ml buffer sitrat 0,1 M dengan pH 4, Kemudian larutan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dan didinginkan hingga suhu kamar.

3.2.2.4. Pembuatan media fermentasi

Sebanyak 1000 ml molase 14.295% ditambahkan 1 g K2HPO4/l, 1 g KH2PO4/l, 2 g (NH4)SO4/l dan 0,2 g MgSO4/l. pH dari larutan berkisar antara 4-5, larutan disterilisasi pada autoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit.


(49)

3.2.3.Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae

3.2.3.1 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan sebar

Sebanyak 1 gram ragi roti saf-instan disuspensikan dalam 10 ml akuades hingga larut kemudian diambil 1 ose suspensi tersebut dan disebarkan menggunakan ose stick pada permukaan media PDA. Kemudian media disimpan dalam inkubator pada suhu 30oC selama 48 Jam.

3.2.3.2 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae pada media cair YGP

Sebanyak 3 ose dari koloni terpisah hasil biakan sel Saccharomyces cerevisiae dari media sebelumnya kemudian dibiakkan kembali dalam media cair YGP pada suhu 30oC selama 48 jam.

3.2.3.3 Pembuatan starter sel Saccharomyces cerevisiae

Diinokulasikan 10 ml subkultur sel Saccharomyces cerevisiae murni kedalam media starter dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 48 Jam.

3.2.4 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan teknik mikrokapsul merujuk pada Liouni (2007) dimana suspensi sel Saccharomyces cerevisiae dicampurkan dengan 50 ml Na-alginat 3 % dan diaduk hingga homogen, kemudian diteteskan menggunakan jarum suntik ukuran 3 ml ke dalam 250 ml CaCl2 2%. Tetesan alginat akan memadat selama kontak dengan larutan CaCl2 2%, membentuk suatu butiran (bead) yang telah menjerat sel


(50)

Saccharomyces cerevisiae. Bead dibiarkan selama 30 menit didalam larutan CaCl2 2% lalu disaring. Bead yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam larutan kitosan 1% - CaCl2 2% dan dibiarkan selama 12 jam lalu disaring dan dicuci dengan NaCl 0,9. Bead disimpan pada suhu 4oC dalam larutan yeast extract 0,2% sampai bead tersebut digunakan.

3.2.5 Fermentasi molase menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

Sebanyak 300 gr bead diinkubasi dalam yeast extract 2% selama 15 menit pada suhu 30oC kemudian disaring. Bead selanjutnya dimasukkan kedalam media fermentasi yang telah disterilisasi. Fermentasi dilakukan pada suhu 30oC selama 48 jam.

3.2.6 Analisis kadar Gula reduksi sebelum dan setelah Fermentasi

Analisis kadar gula reduksi dari molase dilakukan menggunakan metode Lane-eynon dimana sampel diuji kadar glukosanya sebelum dan sesudah fermentasi. Pada tiap akhir fermentasi, media fermentasi dipisahkan dengan produk fermentasi berupa etanol , kemudian media fermentasi yang merupakan molase tersebut diuji kadar gula reduksinya kembali. Jumlah penurunan dari gula reduksi pada tiap akhir fermentasi diasumsikan sebagai laju konsumsi glukosa dari sel.

3.2.7 Analisis kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi

Untuk menguji kadar etanol yang diperoleh dari hasil fermentasi maka pemisahan etanol perlu dilakukan. Setelah etanol diperoleh selanjutnya kadar etanol ditentukan dengan kromatografi gas.


(51)

3.2.7.1 Pemisahan etanol dari hasil fermentasi

Setelah proses fermentasi berakhir, di saring bead dengan menggunakan kertas saring kemudian filtrat dirotarievaporator pada suhu 78oC hingga tidak terdapat destilat menetes. Kemudian destilat diuji kadarnya dan diukur volumenya.

3.2.7.2 Analisis kadar etanol menggunakan kromatografi gas

Analisis kuantitatif etanol merujuk pada sholikhah (2010) dengan menggunakan kromatografi gas dimana dilakukan dengan cara menginjeksikan 1 µl larutan etanol kedalam inlet. Luas dari puncak kromatogram dihitung dalam persamaan regresi linier dengan ketentuan y adalah luas area atau peak dama cm2 dan x adalah kadar % etanol.

3.2.8 Pengujian stabilitasi dari sel Saccharomyces cerevisiae terimobil 3.2.8.1 Pengujian stabilitas beadmenggunakan uji tekanan osmosis

Uji tekanan osmosis dapat dilakukan dengan cara menggunakan larutan NaCl 0,02 % selama 15 menit kemudian direndam ke dalam akuades selama 60 menit dan dilihat secara fisik apakah terjadi kerusakan dari bead yang dihasilkan menggunakan mikroskop cahaya (Gaserød et al, 1999).

3.2.8.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan setelah fermentasi

Bead dilihat permukaannya menggunakan mikroskop cahaya kemudian dipergunakan dalam fermentasi, setelah fermentasi bead hasil dari fermentasi pertama di lihat permukaan fisik bead tersebut apakah terdapat kerusakan dipermukaannya, Begitu juga bead yang digunakan pada proses fermenasi kedua dan ketiga (Gaserød et al,1999).


(52)

3.2.8.3 Pengujian stabilitas bead berdasarkan jumlah pemakaian bead pada fermentasi

Analisis ini didasarkan pada penggunaan bead pada proses fementasi dengan jumlah alkohol yang hampir sama hingga alkohol yang dihasilkan menurun jumlahnya secara signifikan ataupun mendekati hasil tanpa menggunakan bead (sel bebas).

3.2.9 Pengujian interaksi antara sel S.cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan

Analisis ini dilakukan untuk melihat interaksi antara masing-masing penyusun bead, Analisis ini dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dan FT-IR dengan sampel bead Sel S.cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan. Diharapkan hasil dari masing-masing analisa dapat digunakan untuk melihat interaksi dari masing-masing lapisan penyusun bead.


(53)

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae

1 g ragi saf-instan disuspensikan dalam 10 ml akuades

0,1 ml larutan ragi diinokulasikan pada media PDA dengan teknik cawan sebar

Diinkubasi pada suhu 30oC selama 48 jam selama 48 Jam

3 Ose koloni yang tumbuh di media PDA diinokulasi pada media YGP

Diinkubasi kembali pada suhu 30oC selama 48 jam selama 48 Jam

Diinokulasikan 10 ml subkultur Saccharomyces cerevisiae murni kedalam media starter

Diinkubasi kembali pada suhu 30oC 48 jam selama 48 Jam


(54)

3.3.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

50 ml starter sel Saccharomyces cerevisiae dicampurkan dengan 50 ml larutan alginat 3%

Diteteskan kedalam larutan CaCl2 2% menggunakan jarum suntik (Syringe)

Bead mikrokapsul

sel Saccharomyces cerevisiae - Ca-alginat

Dibiarkan mengeras selama 30 menit sambil distirrer dengan kecepatan 80 rpm

Dimasukkan bead yang telah mengeras kedalam larutan kitosan 1% - CaCl2 2% selama 12 Jam

Mikrokapsul

sel Saccharomyces cerevisiae - Ca-alginat -

Disaring bead yang terbentuk kemudian dicuci menggunakan NaCl fisiologis sebanyak 3 kali

Sel Saccharomyces cerevisiae yang telah terimobil didalam mikrokapsul


(55)

3.3.3 Fermentasi molase menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

Fermentasi dilakukan selama 48 jam dengan kondisi yang telah

Dipisahkan Etanol dengan media fermentasi

Etanol Media fermentasi

Diuji kadar glukosa 150 gr bead mikrokapsul sel

Saccharomyces cerevisiae terimobil

Bead diinkubasi dalamyeast extract 2% selama 15 menitpada suhu

Bead disaring

Bead dimasukkan ke dalam 150 ml media fermentasi


(56)

3.3.4 Regenerasi bead

3.3.5 Analisis kadar etanol

Disaring bead dari larutan hasil fermentasi untuk

memperoleh bead kembali

Bead yang dihasilkan kemudian dicuci kembali dengan menggunakan akuades dan disimpan dalam

yeast extrack 0,2% dan disimpan pada suhu 4oC sebelum digunakan kembali

Proses pemisahan etanol dari hasil fermentasi dilakukan dengan menggunakan rotarievaporator

pada suhu 78oC

etanol


(57)

3.3.6 Pengujian stabilitas dari bead sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

3.3.7 Pengujian interaksi antara sel S.cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan

` `

Bead sel Saccharomyces

cerevisiae terimobil

Efisiensi penggunaan

bead pada fermentasi

etanol

Dilakukan uji kerusakan bead menggunakan tes

tekanan osmotik Uji kerusakan

permukaan bead setelah fermentasi

Bead sel Saccharomyces

cerevisiae terimobil

Fourier Transform Infra

Red (FT-IR) Mikroskop


(58)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae

4.1.1.1 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan sebar

Sel Saccharomyces cerevisiae dikembangibiakkan pada media PDA menggunakan teknik cawan sebar dengan menyebar suspensi sel Saccharomyces cerevisiae komersial diatas media PDA kemudian diratakan menggunakan hockey stick sehingga merata keseluruh permukaan media PDA. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30oC. Gambar 4.1 menunjukkan sel Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh didalam media PDA.

Gambar 4.1 Sel Saccharomyces cerevisiae tumbuh dalam media PDA setelah 48 jam


(59)

4.1.1.2 Uji positif sel Saccharomyces cerevisiae

Pengujian sel yang tumbuh dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan melihat sifat morfologis dari sel Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh. Gambar 5.a dan 5.b menunjukkan bentuk sel dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40.

Gambar 5.a Gambar 5.b

Gambar 5.a Sel Saccharomyces cerevisiae dengan pembesaran 10 x 40; 5.b Sel

Saccharomyces cerevisiae dengan pembesaran 10 x10

4.1.1.3 Pengembangbiakan Saccharomyces cerevisiae pada Media YGP

Sel Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh di media PDA selanjutnya di tumbuhkan kembali kedalam media Yeast Glucose Peptone (YPG) dimana dilakukan untuk memudahkan proses penjebakan sel ke dalam matrix. Kekeruhan yang timbul di media YPG menunjukkan telah tumbuhnya sel Saccharomyces cerevisiae pada media YPG. Gambar 6.a dan 6.b menunjukkan media YPG sebelum pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiaei dan setelah pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae.


(60)

Gambar 6.a Gambar 6.b

Gambar 6.a Media YPG sebelum pengembangibiakan sel Saccharomyces

cerevisiae; 6.b Media YPG setelah sel Saccharomyces cerevisiae

berkembangbiak

4.1.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

4.1.2.1 Menghitung jumlah sel total

Sel / ml = n x 4 x 104 x d

Keterangan : n = jumlah sel yang dihitung menggunakan Haemocytometer

d = Faktor Pengeceran (Fardiaz, 1992)


(61)

Tabel 4.1 Jumlah sel Saccharomyces cerevisiae pada media starter

No Sampel n1 n2 n3 Nrata-rata Jumlah sel/ml

1

Media YPG + Sel Saccharomyces cerevisiae

43 40 36 39.6 15,8 x 107

Dalam penelitian ini digunakan 50 ml sel sehingga jumlah total sel yang digunakan adalah :

Total Sel = Total Volume (ml) x Jumlah Sel/ml Total Sel = 50 ml x 15,8 x 107 Sel/ml

Total Sel yang digunakan = 79 x 108 Sel (a)

4.1.2.1.1 Menghitung jumlah sel Saccharomyces cerevisiae yang tidak terimobilisasi

Tabel 4.2 menunjukkan hasil perhitungan sel menggunakan Haemocytometer dari masing-masing sampel hasil pencucian bead.

Tabel 4.2 Jumlah Sel yang dihitung dari masing-masing hasil pencucian bead

No Sampel n1 n2 n3 nrata-rata Jumlah Sel / ml

1 Sel + media YPG 43 40 36 39.6 15,8 x 107 2 Cucian I + CaCl2 13 21 19 17.6 0,704 x 107 3 Cucian II +

CaCl2+Kitosan

11 17 13 13,6 0,544 x 107

Hasil Pencucian Bead pertama (Cucian I) diperoleh sebanyak 134 ml dan Pencucian Bead kedua (Cucian II) diperoleh sebanyak 51 ml


(62)

Jumlah Sel yang terlepas adalah sebagai berikut :

Jumlah Sel terlepas pada Pencucian Bead ke I

Jumlah Sel terlepas = Jumlah total cucian (ml) x Jumlah Sel/ml Jumlah Sel terlepas = 134 ml x 0,704 x107 sel/ml

Jumlah Sel terlepas = 9,4 x 108 Sel (b)

Jumlah Sel terlepas pada Pencucian Bead ke II

Jumlah Sel terlepas = Jumlah total cucian (ml) x Jumlah Sel/ml Jumlah Sel terlepas = 151 ml x 0,544 x107 sel/ml

Jumlah Sel terlepas = 8,2 x 108 Sel (c)

Jumlah Sel yang terimobilisasi = Jumlah Sel Total – Jumlah Sel terlepas

Jumlah Sel yang terimobilisasi = Jumlah Sel Total – (Pencucian I + Pencucian II) Jumlah Sel yang terimobilisasi = 79 x 108 Sel – (9,4 x 108 Sel + 8,2 x 108 Sel)

Jumlah Sel yang terimobilisasi = 61,4 x x 108 Sel

Efisiensi penjebakan sel Saccharomyces cerevisiae (EP)


(63)

Gambar 7.1 menunjukkan bead yang merupakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

Gambar 7.1 Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

4.1.3 Analisis kadar gula reduksi sebelum dan sesudah Fermentasi

Tabel 4.3 menunjukkan konsentrasi gula reduksi dari masing-masing molase dan laju konsumsi glukosa dari sel terimobil pada tiap fermentasi dan etanol yang dihasilkan.

Tabel 4.3 Hubungan antara konsentrasi gula reduksi,laju konsumsi glukosa dan etanol

Molase

Konsentrasi gula reduksi

(g/l)

Konsentrasi gula reduksi

(%)

Laju konsumsi

glukosa (g/l)

Konsen trasi etanol

(%)

Sebelum fermentasi 142.95 14.295 - -

Hasil dermentasi ke 1 130.75 13.075 12.2 37,54314 Hasil fermentasi ke 2 125.42 12.542 5.33 26,65614 Hasil fermentasi ke 3 120.53 12.053 4.89 13,29089


(64)

4.1.4 Analisis kadar etanol dari hasil fermentasi 4.1.3.1 Analisis kualitatif dan kuantitatif etanol

Untuk menentukan bahwa sampel yang diperoleh dari hasil fermentasi adalah etanol, maka dilakukan uji kualitatif etanol yang dilakukan dengan cara menambahkan Pereaksi H2SO4(p) + K2CrO4 pada sampel. Setelah positif etanol selanjutnya dilakukan uji kuantitatif untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan Penentuan konsentrasi etanol secara kuantitatif menggunakan kromatografi gas dilakukan dengan melihat waktu retensi dari etanol. Semakin tinggi konsentrasi etanol maka waktu retensi akan semakin cepat dan juga sebaliknya. Berikut adalah hasil pengukuran konsentrasi etanol dari hasil fermentasi berdasarkan waktu retensinya. Tabel 4.4 menunjukkan hasil uji kualitatif dan kuantitatif dari etanol hasil fermentasi.

Tabel 4.4 Hasil Uji kualitatif dan kuantitatif etanol hasil fermentasi

No Sampel Penambahan

H2SO4(p) + K2CrO4

Waktu retensi

Konsentrasi etanol (%)

1 Etanol hasil fermentasi ke I larutan biru 4,858 37,54314 2 Etanol hasil fermentasi ke II larutan biru 4,856 26,65614 3 Etanol hasil fermentasi ke III larutan biru 4,890 13,29089


(65)

4.1.5 Pengujian stabilitas dari sel Saccharomyces cerevisiae

4.1.5.1 Pengujian stabilitas bead menggunakan uji tekanan osmosis

Hasil dari Pengujian stabilitas bead menggunakan uji tekanan osmosis dapat dilihat pada gambar 7.2

s

Gambar 7.2 Gambar Permukaan bead dengan pengujian osmosa menggunakan

NaCl 0,2 %. Analisa menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10

4.1.4.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan setelah fermentasi

Pengujian ini dilakukan berdasarkan analisis permukaan dari bead sebelum dan setelah fermentasi. Adapun fermentasi dilakukan secara berulang-ulang dan setiap akhir fermentasi dilakukan pengujian konsentrasi dari etanol. Fermentasi dihentikan jika terjadi pengurangan jumlah etanol secara signifikan atau memiliki kadar yang sama dengan hasil fermentasi menggunakan sel tanpa diimobil (sel bebas). Pada setiap akhir dari fermentasi


(66)

dilakukan pengujian permukaan bead untuk mengetahui pengaruh fermentasi terhadap kerusakan dari permukaan bead pasca fermentasi. Berikut hasil analisis permukaan bead sebelum dan setelah fermentasi menggunakan analisis permukaan menggunakan mikroskop cahaya.

Gambar 8.a Gambar 8.b

Gambar 8.c Gambar 8.d

Gambar 8.a Permukaan bead sebelum fermentasi; 8.b Permukaan bead setelah fermentasi ke 1; 8.c Permukaan bead setelah fermentasi ke 2; 8.d Permukaan bead setelah fermentasi ke 3.


(67)

4.1.5 Pengujian interaksi antara sel Saccharomyces cerevisiae-Ca-alginat-kitosan 4.1.5.1 Uji interaksi menggunakan mikroskop Cahaya

Pengujian ini didasarkan pada analisis permukaan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10. Adapun hasilnya sebagai berikut :

Gambar 9.a Gambar 9.b

Gambar 9.a Permukaan bead yang dibelah dan dilihat dari samping; 9.b Permukaan bead yang dibelah dan di lihat dari atas


(68)

4.1.5.2 Uji menggunakan Fourier Transform Infra Red (FT-IR)

Hasil FT-IR Bead Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil sebagai berikut :

4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500

1071,76-1032,27 C-O 1411,88 COO -1595,43 NH2 3337,90 OH 1018,04 C-O 1408,04 COO -3247,13 OH 1025,56 C-O 3361,17

OH 3361,17 NH2

panjang gelombang cm-1

sel imobil alginat kitosan

Gambar 10.1 Hasil FT-IR Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

Tabel 4.5 Gugus fungsi FT-IR

Gugus Fungsi Frekuensi (cm-1) hasil Frekuensi (cm-1) teori

C-O

1018.8 (A) 1025.56 (K)

1071.76 (B)

1250 – 1000

COO- 1408.04 (A)

1411.88 (B) Dekat 1400

NH2

1588.93 (K)

1595.43 (B) 1640 – 1550

OH

3247.13 (A) 3361.17 (K) 3337.9 (B)

3500 – 3200 Keterangan : A=alginat; K=kitosan; B=bead (Pavia,2008)


(69)

4.2. Pembahasan

4.2.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae

Sel Saccharomyces cerevisiae diisolasi untuk meregenerasi sel yang akan di imobilisasi dan digunakan dalam proses fermentasi. Sel komersil yang dijual dipasaran sudah disimpan begitu lama didalam media sehingga harus diregerasi dan dipisahkan dari media awal pada saat dijual. Isolasi bertujuan untuk menumbuhkan secara spesifik sel yang akan diimobilisasi, dikarenakan sel komersil yang dijual terdapat beberapa sel ataupun mikroba lain yang akan terjebak juga jika tidak diisolasi dan ditumbuhkan kembali sebelum imobilisasi.

4.2.1.1Pengembangbiakan Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan sebar

Pengembangbiakan sel dilakukan di media PDA dikarenakan sel Saccharomyces cerevisiae termasuk golongan sel yang dapat mudah tumbuh pada media yang mengandung glukosa. Tidak ada media spesifik untuk pertumbuhan sel ini. Pengembangbiakan pada media PDA menghasilkan suatu biomassa yang tumbuh dipermukaan media. Biomassa ini berwarna kuning muda, permukaan berkilau, licin dan tekstur lunak dan memiliki bentuk blastospora berbentuk bulat telur, silindris ataupun bulat lonjong sesuai dengan yang dijelaskan Nikon (2004). Berdasarkan penampakan biomassa yang tumbuh di media PDA tersebut, diasumsikan bahwa biomassa yang tumbuh di media PDA adalah sel Saccharomyces cerevisiae. Analisa bentuk blastospora dilakukan pada uji positif sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan mikroskop cahaya (Nikon, 2004).


(1)

(2)

Lampiran 2. Perhitungan Jumlah Sel

2.1 Media Starter

Sel / ml = n x 4 x 106 x d

n rata-rata = ( 43 + 40 + 36 ) / 3 = 39,6 Sel

Sel / ml = 39,6 x 4 x 106x 100 Sel / ml = 15,8 x 109Sel / ml

2.2 Cucian ke I + CaCl2

n rata-rata = ( 13 + 21 + 19 ) / 3 = 17,6 Sel

Sel / ml = 17,6 x 4x 106x 10 Sel / ml = 0,704 x 109Sel / ml

2.3 Cucian ke II + CaCl2 + Kitosan

n rata-rata = ( 11 + 17 + 13 ) / 3 = 13,6 Sel

Sel / ml = 13,6 x 4 x 106x 10 Sel / ml = 0,544 x 109Sel / ml


(3)

(4)

(5)

Lampiran 5. Spektrum FT-IR Sel Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi Alginat-Kitosan


(6)

Lampiran 6. Perhitungan kadar glukosa sebelum dan sesudah fermentasi metode lane eynon

Penentuan faktor korelasi larutan soklet (K-Na-Tartrat, CuSO4) Volume larutan soklet (K-Na-Tartrat, CuSO4) = 10 ml

Volume larutan standar (glukosa 2.5 mg/ml) = 23 ml Larutan gula invert pada table lane eynon = 51.1

Total gula reduksi untuk mereduksi larutan soklet = 23 ml x 2,5 mg/ml

= 57.5 mg

Faktor korelasi = =

= 1.125

Penentuan kadar gula reduksi

Sampel Molase V titan Fk Fp

Konsentrasi (g/l)

Konsentrasi (%)

Awal 16 1.125 100 355.85 35.585

Pengenceran 41 1.125 10 142.95 14.295

Hasil fermentasi ke 1 45 1.125 10 130.75 13.075

Hasil fermentasi ke 2 47 1.125 10 125.42 12.542

Hasil fermentasi ke 3 49 1.125 10 120.53 12.053