Mikroskop cahaya Kesimpulan Imobilisasi Sel Saccharomyces Cerevisiae Menggunakan Alginat- Kitosan Dan Uji Stabilitasnya Untuk Produksi Etanol Dari Molase Secara Fermentasi Batch

2.9 Mikroskop cahaya

Mikroskop cahaya merupakan jenis mikroskop yang menggunakan cahaya matahari atau lampu sebagai sumber cahaya. Pada dasarnya mikroskop cahaya bekerja sebagai suatu alat pembesar tingkat dua. Suatu lensa objektif melakukan pembesaran awal, dan suatu lensa okuler ditempatkan sedemikian rupa sehingga memperbesar bayangan pertama untuk kedua kalinya. Pembesaran seluruhnya diperoleh dengan mengalikan kekuatan pembesaran lensa objektif dan lensa okuler. Untuk dapat melihat bagaimana interaksi dari penyusun bead, dapat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya, hal ini berlandaskan bahwa pada setiap penyusun dari bead memiliki bentuk permukaan yang berbeda. Melalui mikroskop cahaya masing-masing penyusun dapat dilihat dari bentuk permukaan yang berbeda-beda sehingga dapat ditentukan komponen penyusun dari bead. Liouni 2007 menggunakan mikroskop cahaya sebagai alat untuk melihat jumlah bead yang rusak dari pengujian stabilitas mekanik dari bead. Mikroskop cahaya dapat digunakan sebagai alat untuk melihat permukaan dari bead dikarenakan perbesaran hingga 1000x sehingga dapat dijadikan cara untuk melihat pori dan permukaan dari benda. Bead yang terbentuk dan yang digunakan dalam fermentasi juga dianalisis menggunakan mikroskop cahaya dikarenakan mikroskop cahaya mudah dalam penggunaan, biaya operasional relatif murah dan menghasilkan gambar yang jelas. Universitas Sumatera Utara BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat – Alat 1. Gelas ukur Pyrex 2. Cawan petridish Pyrex 3. Gelas beaker Pyrex 4. Tabung reaksi Pyrex 5. Rak tabung reaksi 6. Labu takar Pyrex 7. Neraca analitis Mettler Toledo 8. Sentrifugasi 7000 rpm Gemmy Corp KCE 9. Vortex BIORAD-2000 10. Inkubator Gallenkamp 11. Pipet tetes 12. Botol akuades 13. Indikator universal 14. Ose stick 15. Hockey stick 16. Cotton bud 17. Bola karet 18. Penangas air 19. Pipet volumetri Pyrex 20. Spatula 21. Labu erlenmeyer Pyrex Universitas Sumatera Utara 22. Labu takar Pyrex 23. Labu alas Pyrex 24. Rotarievaporator Buchi 25. Piknometer Pyrex 26. Buret Pyrex 27. Labu rotarievaporator Pyrex 28. Aluminium foil 29. Termometer Fisher 30. Luminar airflow ESCO Class II Biosafety 31. Corong 32. Batang pengaduk 33. Jarum suntik Syringe 34. Hot plate stirrer 35. Magnetic bar 36. Autoclave 37. Botol vial 38. FT-IR Shimadzu IR Prestige-21 39. Mikroskop cahaya Zeiss Axiocam ERC-5S 40. Haemocytometer Marienfield

3.1.2 Bahan – Bahan

1. Ragi roti saf-instan 2. Alginat p.a.E.Merck 3. CaCl 2 .2H 2 O p.aE.Merck 4. Molase 5. Kertas saring 6. Media potato dextrose agar p.aE.Merck 7. Peptone p.aE.Merck Universitas Sumatera Utara 8. D-glukosa p.aE.Merck 9. Yeast extract p.aE.Merck 10. Akuades p.aE.Merck 11. MgSO 4 .7H 2 O p.aE.Merck 12. ZnSO 4 .2H 2 O p.aE.Merck 13. NH 4 2 SO 4 p.aE.Merck 14. K 2 HPO 4 p.aE.Merck 15. KH 2 PO 4 p.aE.Merck 16. Asam sitrat p.aE.Merck 17. Natrium sitrat p.aE.Merck 18. Kitosan 19. Asam asetat glasial p.aE.Merck 20. NaCl p.aE.Merck 3.2 Prosedur Penelitian 3.2.1 Pembuatan larutan pereaksi

3.2.1.1 Pembuatan larutan asam asetat 2

Sebanyak 2 ml asam asetat 100 p.a dimasukkan dalam labu takar 100 ml kemudian diencerkan dengan akuades hingga garis tanda sehingga konsentrasi asam asetat 2

3.2.1.2 Pembuatan larutan alginat 3

Sebanyak 1,5 gram natrium alginat p.a dilarutkan dalam 50 ml akuades sambil dipanaskan diatas air mendidih hingga larut sehingga konsentrasi alginat menjadi 3. Kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit. Universitas Sumatera Utara

3.2.1.3 Pembuatan larutan CaCl

2 2 Sebanyak 20 gram kristal CaCl 2. 2H 2 O dilarutkan dalam 1000 ml akuades hingga larut sehingga konsentrasi CaCl 2 menjadi 2

3.2.1.4 Pembuatan larutan kitosan 1 - CaCl

2 2 Sebanyak 1 gram kitosan dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 2 hingga larut sehingga konsentrasi kitosan 1 . Larutan kitosan kemudian dicampurkan dengan larutan CaCl 2 2. Kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 o C selama 15 Menit.

3.2.1.5 Pembuatan larutan buffer sitrat pH 4

Sebanyak 2,10 gram asam sitrat p.a dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades hingga larut sehingga konsentrasi larutan asam sitrat 0,1 M. Kemudian sebanyak 2,94 gram natrium sitrat dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades hingga larut sehingga konsentrasi larutan garam natrium sitrat 0,1 M. Kemudian untuk membuat larutan buffer sitrat dengan pH 4 maka sebanyak 33 ml larutan asam sitrat 0,1M dicampurkan dengan 17 ml larutan natrium sitrat 0.1 M, keduanya dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan diencerkan hingga garis tanda. 3.2.2 Pembuatan larutan media 3.2.2.1.Pembuatan media potato dextrose agar PDA Sebanyak 3,9 gram media PDA dilarutkan dalam 100 ml akuades sambil dipanaskan hingga mendidih. Kemudian di autoklaf pada suhu 121 o C selama 30 menit. Media Universitas Sumatera Utara didinginkan hingga suhu kamar. Media PDA kemudian dituang kedalam cawan petri dan dibiarkan hingga mengeras. 3.2.2.2.Pembuatan media yeast pepton glukosa YPG Sebanyak 2,00 gram yeast extract, 4,00 gram pepton dan 4,00 glukosa dilarutkan dalam 200 ml akuades sambil dipanaskan hingga mendidih, kemudian diautoklaf pada suhu 121 o C selama 30 menit kemudian didinginkan hingga suhu kamar.

3.2.2.3. Pembuatan media starter

Sebanyak 100 ml media YPG ditambahkan dengan 0,1 gram NH 4 2 SO 4, 0,04 gram MgSO 4 .7H 2 O, 0,2 gram KH 2 PO 4 dan 10 ml buffer sitrat 0,1 M dengan pH 4, Kemudian larutan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit dan didinginkan hingga suhu kamar.

3.2.2.4. Pembuatan media fermentasi

Sebanyak 1000 ml molase 14.295 ditambahkan 1 g K 2 HPO 4 l, 1 g KH 2 PO 4 l, 2 g NH 4 SO 4 l dan 0,2 g MgSO 4 l. pH dari larutan berkisar antara 4-5, larutan disterilisasi pada autoklaf pada suhu 121 o C selama 30 menit. Universitas Sumatera Utara

3.2.3. Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae

3.2.3.1 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan

sebar Sebanyak 1 gram ragi roti saf-instan disuspensikan dalam 10 ml akuades hingga larut kemudian diambil 1 ose suspensi tersebut dan disebarkan menggunakan ose stick pada permukaan media PDA. Kemudian media disimpan dalam inkubator pada suhu 30 o C selama 48 Jam.

3.2.3.2 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae pada media cair YGP

Sebanyak 3 ose dari koloni terpisah hasil biakan sel Saccharomyces cerevisiae dari media sebelumnya kemudian dibiakkan kembali dalam media cair YGP pada suhu 30 o C selama 48 jam.

3.2.3.3 Pembuatan starter sel Saccharomyces cerevisiae

Diinokulasikan 10 ml subkultur sel Saccharomyces cerevisiae murni kedalam media starter dan diinkubasi pada suhu 30 o C selama 48 Jam.

3.2.4 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan teknik mikrokapsul merujuk pada Liouni 2007 dimana suspensi sel Saccharomyces cerevisiae dicampurkan dengan 50 ml Na-alginat 3 dan diaduk hingga homogen, kemudian diteteskan menggunakan jarum suntik ukuran 3 ml ke dalam 250 ml CaCl 2 2. Tetesan alginat akan memadat selama kontak dengan larutan CaCl 2 2, membentuk suatu butiran bead yang telah menjerat sel Universitas Sumatera Utara Saccharomyces cerevisiae. Bead dibiarkan selama 30 menit didalam larutan CaCl 2 2 lalu disaring. Bead yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam larutan kitosan 1 - CaCl 2 2 dan dibiarkan selama 12 jam lalu disaring dan dicuci dengan NaCl 0,9. Bead disimpan pada suhu 4 o C dalam larutan yeast extract 0,2 sampai bead tersebut digunakan.

3.2.5 Fermentasi molase menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

Sebanyak 300 gr bead diinkubasi dalam yeast extract 2 selama 15 menit pada suhu 30 o C kemudian disaring. Bead selanjutnya dimasukkan kedalam media fermentasi yang telah disterilisasi. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 o C selama 48 jam.

3.2.6 Analisis kadar Gula reduksi sebelum dan setelah Fermentasi

Analisis kadar gula reduksi dari molase dilakukan menggunakan metode Lane-eynon dimana sampel diuji kadar glukosanya sebelum dan sesudah fermentasi. Pada tiap akhir fermentasi, media fermentasi dipisahkan dengan produk fermentasi berupa etanol , kemudian media fermentasi yang merupakan molase tersebut diuji kadar gula reduksinya kembali. Jumlah penurunan dari gula reduksi pada tiap akhir fermentasi diasumsikan sebagai laju konsumsi glukosa dari sel.

3.2.7 Analisis kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi

Untuk menguji kadar etanol yang diperoleh dari hasil fermentasi maka pemisahan etanol perlu dilakukan. Setelah etanol diperoleh selanjutnya kadar etanol ditentukan dengan kromatografi gas. Universitas Sumatera Utara

3.2.7.1 Pemisahan etanol dari hasil fermentasi

Setelah proses fermentasi berakhir, di saring bead dengan menggunakan kertas saring kemudian filtrat dirotarievaporator pada suhu 78 o C hingga tidak terdapat destilat menetes. Kemudian destilat diuji kadarnya dan diukur volumenya.

3.2.7.2 Analisis kadar etanol menggunakan kromatografi gas

Analisis kuantitatif etanol merujuk pada sholikhah 2010 dengan menggunakan kromatografi gas dimana dilakukan dengan cara menginjeksikan 1 µl larutan etanol kedalam inlet. Luas dari puncak kromatogram dihitung dalam persamaan regresi linier dengan ketentuan y adalah luas area atau peak dama cm 2 dan x adalah kadar etanol.

3.2.8 Pengujian stabilitasi dari sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

3.2.8.1 Pengujian stabilitas bead menggunakan uji tekanan osmosis

Uji tekanan osmosis dapat dilakukan dengan cara menggunakan larutan NaCl 0,02 selama 15 menit kemudian direndam ke dalam akuades selama 60 menit dan dilihat secara fisik apakah terjadi kerusakan dari bead yang dihasilkan menggunakan mikroskop cahaya Gaserød et al, 1999.

3.2.8.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan setelah fermentasi

Bead dilihat permukaannya menggunakan mikroskop cahaya kemudian dipergunakan dalam fermentasi, setelah fermentasi bead hasil dari fermentasi pertama di lihat permukaan fisik bead tersebut apakah terdapat kerusakan dipermukaannya, Begitu juga bead yang digunakan pada proses fermenasi kedua dan ketiga Gaserød et al,1999. Universitas Sumatera Utara

3.2.8.3 Pengujian stabilitas bead berdasarkan jumlah pemakaian bead pada

fermentasi Analisis ini didasarkan pada penggunaan bead pada proses fementasi dengan jumlah alkohol yang hampir sama hingga alkohol yang dihasilkan menurun jumlahnya secara signifikan ataupun mendekati hasil tanpa menggunakan bead sel bebas.

3.2.9 Pengujian interaksi antara sel S.cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan

Analisis ini dilakukan untuk melihat interaksi antara masing-masing penyusun bead, Analisis ini dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dan FT-IR dengan sampel bead Sel S.cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan. Diharapkan hasil dari masing-masing analisa dapat digunakan untuk melihat interaksi dari masing-masing lapisan penyusun bead. Universitas Sumatera Utara 3.3 Bagan Penelitian 3.3.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae 1 g ragi saf-instan disuspensikan dalam 10 ml akuades 0,1 ml larutan ragi diinokulasikan pada media PDA dengan teknik cawan sebar Diinkubasi pada suhu 30 o C selama 48 jam selama 48 Jam 3 Ose koloni yang tumbuh di media PDA diinokulasi pada media YGP Diinkubasi kembali pada suhu 30 o C selama 48 jam selama 48 Jam Diinokulasikan 10 ml subkultur Saccharomyces cerevisiae murni kedalam media starter Diinkubasi kembali pada suhu 30 o C 48 jam selama 48 Jam Starter sel Saccharomyces cerevisiae Universitas Sumatera Utara

3.3.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

50 ml starter sel Saccharomyces cerevisiae dicampurkan dengan 50 ml larutan alginat 3 Diteteskan kedalam larutan CaCl 2 2 menggunakan jarum suntik Syringe Bead mikrokapsul sel Saccharomyces cerevisiae - Ca-alginat Dibiarkan mengeras selama 30 menit sambil distirrer dengan kecepatan 80 rpm Dimasukkan bead yang telah mengeras kedalam larutan kitosan 1 - CaCl 2 2 selama 12 Jam Mikrokapsul sel Saccharomyces cerevisiae - Ca-alginat - Disaring bead yang terbentuk kemudian dicuci menggunakan NaCl fisiologis sebanyak 3 kali Sel Saccharomyces cerevisiae yang telah terimobil didalam mikrokapsul Universitas Sumatera Utara

3.3.3 Fermentasi molase menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

Fermentasi dilakukan selama 48 jam dengan kondisi yang telah Dipisahkan Etanol dengan media fermentasi Etanol Media fermentasi Diuji kadar glukosa 150 gr bead mikrokapsul sel Saccharomyces cerevisiae terimobil Bead diinkubasi dalam yeast extract 2 selama 15 menit pada suhu Bead disaring Bead dimasukkan ke dalam 150 ml media fermentasi Universitas Sumatera Utara

3.3.4 Regenerasi bead

3.3.5 Analisis kadar etanol

Disaring bead dari larutan hasil fermentasi untuk memperoleh bead kembali Bead yang dihasilkan kemudian dicuci kembali dengan menggunakan akuades dan disimpan dalam yeast extrack 0,2 dan disimpan pada suhu 4 o C sebelum digunakan kembali Proses pemisahan etanol dari hasil fermentasi dilakukan dengan menggunakan rotarievaporator pada suhu 78 o C etanol Kromatografi gas Universitas Sumatera Utara

3.3.6 Pengujian stabilitas dari bead sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

3.3.7 Pengujian interaksi antara sel

S.cerevisiae, Ca-alginat dan kitosan ` ` Bead sel Saccharomyces cerevisiae terimobil Efisiensi penggunaan bead pada fermentasi etanol Dilakukan uji kerusakan bead menggunakan tes tekanan osmotik Uji kerusakan permukaan bead setelah fermentasi Bead sel Saccharomyces cerevisiae terimobil Fourier Transform Infra Red FT-IR Mikroskop cahaya Universitas Sumatera Utara BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae 4.1.1.1 Pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan sebar Sel Saccharomyces cerevisiae dikembangibiakkan pada media PDA menggunakan teknik cawan sebar dengan menyebar suspensi sel Saccharomyces cerevisiae komersial diatas media PDA kemudian diratakan menggunakan hockey stick sehingga merata keseluruh permukaan media PDA. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30 o C. Gambar 4.1 menunjukkan sel Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh didalam media PDA. Gambar 4.1 Sel Saccharomyces cerevisiae tumbuh dalam media PDA setelah 48 jam Universitas Sumatera Utara

4.1.1.2 Uji positif sel Saccharomyces cerevisiae

Pengujian sel yang tumbuh dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan melihat sifat morfologis dari sel Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh. Gambar 5.a dan 5.b menunjukkan bentuk sel dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40. Gambar 5.a Gambar 5.b Gambar 5.a Sel Saccharomyces cerevisiae dengan pembesaran 10 x 40; 5.b Sel Saccharomyces cerevisiae dengan pembesaran 10 x10

4.1.1.3 Pengembangbiakan Saccharomyces cerevisiae pada Media YGP

Sel Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh di media PDA selanjutnya di tumbuhkan kembali kedalam media Yeast Glucose Peptone YPG dimana dilakukan untuk memudahkan proses penjebakan sel ke dalam matrix. Kekeruhan yang timbul di media YPG menunjukkan telah tumbuhnya sel Saccharomyces cerevisiae pada media YPG. Gambar 6.a dan 6.b menunjukkan media YPG sebelum pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiaei dan setelah pengembangbiakan sel Saccharomyces cerevisiae. Universitas Sumatera Utara Gambar 6.a Gambar 6.b Gambar 6.a Media YPG sebelum pengembangibiakan sel Saccharomyces cerevisiae; 6.b Media YPG setelah sel Saccharomyces cerevisiae berkembangbiak

4.1.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

4.1.2.1 Menghitung jumlah sel total

Sel ml = n x 4 x 10 4 x d Keterangan : n = jumlah sel yang dihitung menggunakan Haemocytometer d = Faktor Pengeceran Fardiaz, 1992 Tabel 4.1 menunjukkan jumlah sel Saccharomyces cerevisiae pada media starter. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.1 Jumlah sel Saccharomyces cerevisiae pada media starter No Sampel n 1 n 2 n 3 N rata-rata Jumlah selml 1 Media YPG + Sel Saccharomyces cerevisiae 43 40 36 39.6 15,8 x 10 7 Dalam penelitian ini digunakan 50 ml sel sehingga jumlah total sel yang digunakan adalah : Total Sel = Total Volume ml x Jumlah Selml Total Sel = 50 ml x 15,8 x 10 7 Selml Total Sel yang digunakan = 79 x 10 8 Sel a

4.1.2.1.1 Menghitung jumlah sel Saccharomyces cerevisiae yang tidak terimobilisasi

Tabel 4.2 menunjukkan hasil perhitungan sel menggunakan Haemocytometer dari masing- masing sampel hasil pencucian bead. Tabel 4.2 Jumlah Sel yang dihitung dari masing-masing hasil pencucian bead No Sampel n 1 n 2 n 3 n rata-rata Jumlah Sel ml 1 Sel + media YPG 43 40 36 39.6 15,8 x 10 7 2 Cucian I + CaCl 2 13 21 19 17.6 0,704 x 10 7 3 Cucian II + CaCl 2 +Kitosan 11 17 13 13,6 0,544 x 10 7 Hasil Pencucian Bead pertama Cucian I diperoleh sebanyak 134 ml dan Pencucian Bead kedua Cucian II diperoleh sebanyak 51 ml Universitas Sumatera Utara Jumlah Sel yang terlepas adalah sebagai berikut : Jumlah Sel terlepas pada Pencucian Bead ke I Jumlah Sel terlepas = Jumlah total cucian ml x Jumlah Selml Jumlah Sel terlepas = 134 ml x 0,704 x10 7 selml Jumlah Sel terlepas = 9,4 x 10 8 Sel b Jumlah Sel terlepas pada Pencucian Bead ke II Jumlah Sel terlepas = Jumlah total cucian ml x Jumlah Selml Jumlah Sel terlepas = 151 ml x 0,544 x10 7 selml Jumlah Sel terlepas = 8,2 x 10 8 Sel c Jumlah Sel yang terimobilisasi = Jumlah Sel Total – Jumlah Sel terlepas Jumlah Sel yang terimobilisasi = Jumlah Sel Total – Pencucian I + Pencucian II Jumlah Sel yang terimobilisasi = 79 x 10 8 Sel – 9,4 x 10 8 Sel + 8,2 x 10 8 Sel Jumlah Sel yang terimobilisasi = 61,4 x x 10 8 Sel Efisiensi penjebakan sel Saccharomyces cerevisiae EP EP = 77,72 Universitas Sumatera Utara Gambar 7.1 menunjukkan bead yang merupakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil Gambar 7.1 Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil

4.1.3 Analisis kadar gula reduksi sebelum dan sesudah Fermentasi

Tabel 4.3 menunjukkan konsentrasi gula reduksi dari masing-masing molase dan laju konsumsi glukosa dari sel terimobil pada tiap fermentasi dan etanol yang dihasilkan. Tabel 4.3 Hubungan antara konsentrasi gula reduksi,laju konsumsi glukosa dan etanol Molase Konsentrasi gula reduksi gl Konsentrasi gula reduksi Laju konsumsi glukosa gl Konsen trasi etanol Sebelum fermentasi 142.95 14.295 - - Hasil dermentasi ke 1 130.75 13.075 12.2 37,54314 Hasil fermentasi ke 2 125.42 12.542 5.33 26,65614 Hasil fermentasi ke 3 120.53 12.053 4.89 13,29089 Universitas Sumatera Utara

4.1.4 Analisis kadar etanol dari hasil fermentasi 4.1.3.1 Analisis kualitatif dan kuantitatif etanol

Untuk menentukan bahwa sampel yang diperoleh dari hasil fermentasi adalah etanol, maka dilakukan uji kualitatif etanol yang dilakukan dengan cara menambahkan Pereaksi H 2 SO 4p + K 2 CrO 4 pada sampel. Setelah positif etanol selanjutnya dilakukan uji kuantitatif untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan Penentuan konsentrasi etanol secara kuantitatif menggunakan kromatografi gas dilakukan dengan melihat waktu retensi dari etanol. Semakin tinggi konsentrasi etanol maka waktu retensi akan semakin cepat dan juga sebaliknya. Berikut adalah hasil pengukuran konsentrasi etanol dari hasil fermentasi berdasarkan waktu retensinya. Tabel 4.4 menunjukkan hasil uji kualitatif dan kuantitatif dari etanol hasil fermentasi. Tabel 4.4 Hasil Uji kualitatif dan kuantitatif etanol hasil fermentasi No Sampel Penambahan H 2 SO 4p + K 2 CrO 4 Waktu retensi Konsentrasi etanol 1 Etanol hasil fermentasi ke I larutan biru 4,858 37,54314 2 Etanol hasil fermentasi ke II larutan biru 4,856 26,65614 3 Etanol hasil fermentasi ke III larutan biru 4,890 13,29089 Universitas Sumatera Utara

4.1.5 Pengujian stabilitas dari sel Saccharomyces cerevisiae

4.1.5.1 Pengujian stabilitas bead menggunakan uji tekanan osmosis

Hasil dari Pengujian stabilitas bead menggunakan uji tekanan osmosis dapat dilihat pada gambar 7.2 s Gambar 7.2 Gambar Permukaan bead dengan pengujian osmosa menggunakan NaCl 0,2 . Analisa menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10

4.1.4.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan setelah fermentasi

Pengujian ini dilakukan berdasarkan analisis permukaan dari bead sebelum dan setelah fermentasi. Adapun fermentasi dilakukan secara berulang-ulang dan setiap akhir fermentasi dilakukan pengujian konsentrasi dari etanol. Fermentasi dihentikan jika terjadi pengurangan jumlah etanol secara signifikan atau memiliki kadar yang sama dengan hasil fermentasi menggunakan sel tanpa diimobil sel bebas. Pada setiap akhir dari fermentasi Universitas Sumatera Utara dilakukan pengujian permukaan bead untuk mengetahui pengaruh fermentasi terhadap kerusakan dari permukaan bead pasca fermentasi. Berikut hasil analisis permukaan bead sebelum dan setelah fermentasi menggunakan analisis permukaan menggunakan mikroskop cahaya. Gambar 8.a Gambar 8.b Gambar 8.c Gambar 8.d Gambar 8.a Permukaan bead sebelum fermentasi; 8.b Permukaan bead setelah fermentasi ke 1; 8.c Permukaan bead setelah fermentasi ke 2; 8.d Permukaan bead setelah fermentasi ke 3. Universitas Sumatera Utara

4.1.5 Pengujian interaksi antara sel Saccharomyces cerevisiae-Ca-alginat-kitosan

4.1.5.1 Uji interaksi menggunakan mikroskop Cahaya

Pengujian ini didasarkan pada analisis permukaan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10. Adapun hasilnya sebagai berikut : Gambar 9.a Gambar 9.b Gambar 9.a Permukaan bead yang dibelah dan dilihat dari samping; 9.b Permukaan bead yang dibelah dan di lihat dari atas Universitas Sumatera Utara

4.1.5.2 Uji menggunakan

Fourier Transform Infra Red FT-IR Hasil FT-IR Bead Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil sebagai berikut : 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 1071,76-1032,27 C-O 1411,88 COO - 1595,43 NH 2 3337,90 OH 1018,04 C-O 1408,04 COO - 3247,13 OH 1025,56 C-O 3361,17 OH 3361,17 NH 2 panjang gelombang cm -1 sel imobil alginat kitosan Gambar 10.1 Hasil FT-IR Sel Saccharomyces cerevisiae terimobil Tabel 4.5 Gugus fungsi FT-IR Gugus Fungsi Frekuensi cm -1 hasil Frekuensi cm -1 teori C-O 1018.8 A 1025.56 K 1071.76 B 1250 – 1000 COO - 1408.04 A 1411.88 B Dekat 1400 NH 2 1588.93 K 1595.43 B 1640 – 1550 OH 3247.13 A 3361.17 K 3337.9 B 3500 – 3200 Keterangan : A=alginat; K=kitosan; B=bead Pavia,2008 Universitas Sumatera Utara 4.2. Pembahasan 4.2.1 Isolasi sel Saccharomyces cerevisiae Sel Saccharomyces cerevisiae diisolasi untuk meregenerasi sel yang akan di imobilisasi dan digunakan dalam proses fermentasi. Sel komersil yang dijual dipasaran sudah disimpan begitu lama didalam media sehingga harus diregerasi dan dipisahkan dari media awal pada saat dijual. Isolasi bertujuan untuk menumbuhkan secara spesifik sel yang akan diimobilisasi, dikarenakan sel komersil yang dijual terdapat beberapa sel ataupun mikroba lain yang akan terjebak juga jika tidak diisolasi dan ditumbuhkan kembali sebelum imobilisasi.

4.2.1 .1 Pengembangbiakan Saccharomyces cerevisiae dengan metode cawan sebar

Pengembangbiakan sel dilakukan di media PDA dikarenakan sel Saccharomyces cerevisiae termasuk golongan sel yang dapat mudah tumbuh pada media yang mengandung glukosa. Tidak ada media spesifik untuk pertumbuhan sel ini. Pengembangbiakan pada media PDA menghasilkan suatu biomassa yang tumbuh dipermukaan media. Biomassa ini berwarna kuning muda, permukaan berkilau, licin dan tekstur lunak dan memiliki bentuk blastospora berbentuk bulat telur, silindris ataupun bulat lonjong sesuai dengan yang dijelaskan Nikon 2004. Berdasarkan penampakan biomassa yang tumbuh di media PDA tersebut, diasumsikan bahwa biomassa yang tumbuh di media PDA adalah sel Saccharomyces cerevisiae. Analisa bentuk blastospora dilakukan pada uji positif sel Saccharomyces cerevisiae menggunakan mikroskop cahaya Nikon, 2004. Universitas Sumatera Utara

4.2.1.2 Uji positif sel Saccharomyces cerevisiae

Sifat fisik dari Biomassa yang tumbuh di media PDA sangat mirip dengan yang dijelaskan Nikon 2004. Untuk melihat bentuk Blastospora, maka dilakukan analisa menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40. Hasil dari pengamatan diperoleh Gambar 5.a dan 5.b yang menunjukkan bentuk blastospora dari sel Saccharomyces cerevisiae. Bentuk ini sesuai dengan teori dari Nikon, 2004 dan menjadi bukti bahwa sel yang tumbuh di media PDA merupakan sel Saccharomyces cerevisiae.

4.2.1.3 Pengembangbiakan Saccharomyces cerevisiae pada media YGP

Setelah positif bahwa sel yang tumbuh merupakan sel Saccharomyces cerevisiae , selanjutnya dilakukan pengembangbiakan kembali ke media cair. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses penjebakan imobilisasi dari sel tersebut, bentuk lunak dan berada pada media padat PDA membuat proses pencampuran antara sel dengan matrix penjebak sulit dilakukan. Untuk itu dilakukan penumbuhan kembali sel dalam media cair. Media tumbuh cair yang digunakan adalah yeast glucose peptone YGP. Diambil 3 ose sel Saccharomyces cerevisiae dari media PDA kemudian di inokulasikan kedalam media YPG dan diinkubasi sambil diguncang shake pada kecepatan 150 rpm pada suku 30 o C selama 48 jam. Setelah 48 jam, Media dikeluarkan dan akan terlihat kekeruhan dari media YPG yang mengindikasikan bahwa sel Saccharomyces cerevisiae telah tumbuh. Kemudian sel yang telah tumbuh dimasukkan ke media starter yang berisi nutrien yang dibutuhkan sel sehingga pertumbuhan sel akan maksimal sebelum diimobilisasi.

4.2.2 Imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae

Dalam proses imobilisasi sel ini dilakukan tahap awal, yaitu menghitung jumlah sel yang berada di media starter. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak sel Universitas Sumatera Utara Saccharomyces cerevisiae yang terjebak didalam bead. Dengan menggunakan Haemocytometer diperoleh jumlah sel awal yang akan dijebak a. Selanjutnya Imobilisasi dilakukan dalam 2 tahap. Pertama starter sel Saccharomyces cerevisiae dicampurkan dengan larutan natrium alginat dan dihomogenkan. Setelah homogen campuran keduanya diteteskan menggunakan jarum suntik ke dalam larutan CaCl 2 2 dan dibiarkan selama 30 menit untuk memantapkan proses pengerasan dari Ca-alginat yang terbentuk. Setelah 30 menit, bead dicuci menggunakan akuades sebanyak 3 kali. Air cucian dan CaCl 2 yang digunakan selanjutnya dihitung kembali jumlah sel yang tidak terjebak. Karena dalam proses penjebakan tidak semua sel akan terjebak dalam matrix b. Tahap kedua, setelah bead Ca-alginat sudah mengeras, maka bead tersebut kemudian direndam dalam larutan kitosan 1-CaCl 2 2 selama 12 jam. Hal ini bertujuan untuk memberi lapisan pada bead pertama sehingga stabilitas dari bead akan meningkat. Dalam penambahan lapisan kitosan ini kita juga menambahkan CaCl 2 2, hal ini dikarenakan penambahan ion kalsium dalam larutan kitosan meningkatkan presentase ikatan yang terjadi antara kitosan dan alginat Gaserod et al, 1998. Setelah 12 Jam maka bead disaring dan dicuci dengan menggunakan NaCl fisiologis NaCl 0,9 untuk menghilangkan sisa-sisa ion natrium yang ada pada permukaan bead. Ion natrium ini dapat menganggu kestabilan dari bead yang terbentuk. Prinsip pencucian bead ini berdasarkan pencucian menggunakan ion senama. Artinya dalam hal ini kita ingin menghilangkan ion natrium sehingga kita mencucinya menggunakan NaCl yang mengandung natrium, kemudian dicuci kembali menggunakan akuades untuk menghilangkan sisa NaCl yang tertinggal. Setelah pencucian bead siap untuk digunakan. Sama seperti tahap pencucian pertama, di tahap ini air cucian bead beserta larutan kitosan dan CaCl 2 selanjutnya dihitung jumlah sel yang terlepas c. Untuk mengetahui jumlah sel yang terikat maka dapat digunakan persamaan : Jumlah sel yang terimobilisasi = Jumlah sel total – Jumlah sel terlepas. Adapun jumlah sel Universitas Sumatera Utara yang terlepas pada tiap fermentasi tidak dapat dihitung secara pasti, hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain, media fermentasi yang digunakan berwarna gelap dan sel yang terdapat didalamnya tidak dapat dihitung menggunakan haemocytometer. Kedua sel yang terlepas cenderung akan berkembangbiak ketika kontak langsung dengan media fermentasi yang memiliki glukosa. Hal ini dikarenakan sifat dari sel yang berkembang biak jika terdapat media tumbuhnya sehingga jumlah sel yang terlepas pada proses fermentasi tidak dapat dihitung secara pasti. Adapun Efisiensi penjebakan sel sebesar 77.72 .

4.2.3 Fermentasi Molase menggunakan sel Saccharmoyces cerevisiae terimobil

Fermentasi dilakukan dengan menggunakan molase yang sudah diuji kadar gula reduksinya menggunakan metode Lane-eynon. Sebelum dipergunakan dalam fermentasi perlu dipastikan bahwa didalam molase tidak terdapat alkohol yang terkandung didalamnya. Pengujian kadar alkohol didalam molase dapat dilakukan dengan cara memisahkan alkohol yang terkandung didalam molase menggunakan alat rotarievaporator kemudian di uji secara kualitatif dan kuantitatif. Setelah dipisahkan dan diuji kadar alkoholnya , molase kemudian dipergunakan sebagai substrat dalam fermentasi. Dari penelitian ini dipergunakan molase yang bebas alkohol, artinya didalam molase tersebut tidak terdapat alkohol sehingga kontaminasi alkohol di dalam molase tidak ada. Molase yang digunakan juga disterilisasi agar menghilangkan kontaminasi dari mikroba yang terkandung didalam Molase. Sterilisasi dilakukan menggunakan autoklaf dengan pemanasan pada suhu 212 o C selama 15 menit. Fermentasi dilakukan dengan sistem batch tertutup tanpa ada proses pemisahan gas CO 2 sebagai hasil samping Fermentasi. Kontaminasi CO 2 dapat berpengaruh terhadap hasil Fermentasi. Fermentasi dilakukan dengan cara mengguncang shake reaktor dengan kecepatan yang telah ditentukan. Pengguncangan berfungsi untuk memberikan kontak yang lebih banyak antara substrat dengan sel yang terimobil. Cara ini dianggap penting agar proses fermentasi berjalan dengan hasil yang maksimal. Universitas Sumatera Utara

4.2.4 Analisis Kadar Etanol dari Proses Fermentasi

Analisis kadar Etanol hasil fermentasi dilakukan setelah etanol dipisahkan dari media fermentasi. Etanol tidak dapat secara langsung dianalisis pada media fermentasi. Hal ini disebabkan rendahnya etanol yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah glukosa yang tidak terfermentasi. Jika dilakukan analisis kadar etanol pada fermentasi tidak diperoleh peak etanol yang dominan, artinya akan cenderung timbul peak pengotor. Analisis kualitatif etanol juga tidak dapat dilakukan jika etanol belum dipisahkan dengan media fermentasi. Maka dari itu dilakukan pemisahan etanol dengan media fermentasi. Etanol yang masih bercampur dengan Media Fermentasi dipisahkan dengan menggunakan Rotarievaporator sehingga diperoleh destilat berupa Etanol. Destilat selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui kadar dari Etanol yang dihasilkan.

4.2.4.1 Analisis kualitatif dan kuantitatif etanol

Dari pengujian etanol secara kualitatif menggunakan pereaksi H 2 SO 4 p + K 2 CrO 4 diperoleh keseluruhan destilat dari tiap fermentasi memberikan uji positif terhadap pereaksi ini hal ini ditunjukkan oleh perubahan warna dari pereaksi dari kuning menjadi biru. Etanol dalam suatu larutan uji dapat dioksidasi dengan larutan K 2 CrO 4 . Prinsip yang digunakan adalah reaksi reduksi oksidasi Redoks antara etanol dengan Kalium kromat dalam suasana asam. Dari hasil pengujian menggunakan Kromatografi gas diperoleh kadar etanol hasil fermentasi yang menurun secara signifikan. Pada fermentasi pertama diperoleh kadar etanol yang cukup tinggi sebesar 37,54314. Tingginya kadar etanol yang dihasilkan diakibatkan etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi tidak secara langsung kontak dengan sel sehingga dehidrasi sel yang diakibatkan oleh etanol faktor inhibisi etanol dapat dihindari sehingga sel dapat menghasilkan etanol dengan kadar yang tinggi. Dengan menggunakan bead yang sama, dilakukan fermentasi ke dua,dimana diperoleh kadar etanol Universitas Sumatera Utara yang menurun secara signifikan sebesar 26,65614. Hal ini disebabkan oleh menurunnya sifat fisik dari bead setelah fermentasi pertama. Hal ini dapat dilihat di pembahasan stabilitas bead setelah fermentasi. Pada fermentasi ketiga terjadi penurunan yang sangat tajam yaitu kadar etanol yang dihasilkan sebesar 13,29089. Hasil ini hampir sama dengan jumlah etanol yang dihasilkan tanpa diimobilisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktifitas sel yang terjebak telah berakhir. Sehingga bead tidak dapat dipergunakan lagi di fermentasi berikutnya. Dalam analisa destilat ini juga diperoleh hasil kadar metanol yang sangat tinggi di tiap akhir fermentasi. Ada beberapa teori yang dapat dijadikan landasan mengapa metanol banyak terbentuk di akhir fermentasi. adanya reaksi sintropik oksidasi etanol pada kondisi anaerobik. Hal ini dapat dibagi dalam beberapa tahap reaksi seperti berikut :

1. Reaksi sintropik pasangan

Etanol Asam asetat

2. Reaksi metanogenesis

Adanya gas metana dan ketersediaan oksigen dalam reaktor menyebabkan terjadinya proses reaksi oksidasi parsial yang terjadi sesuai reaksi berikut : Teori lain yang dapat dijadikan landasan mengapa metanol terbentuk adalah reaksi antara karbondioksida dengan hidrogen . Adanya gas hidrogen mengakibatkan reaksi antara hidrogen dengan karbondioksida hasil respirasi sel menghasilkan metanol sesuai reaksi CH 4 + ½ O 2 CH 3 OH Universitas Sumatera Utara hal ini yang menyebabkan tingginya kadar metanol hasil fermentasi. Hal ini juga menjadi asumsi bahwa cukup banyak etanol yang telah dioksidasi menjadi asetat dan metanol pada proses fermentasi ini. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pemisahan karbondioksida hasil respirasi sel sehingga dapat bereaksi dengan gas hidrogen hasil oksidasi dari etanol membentuk metanol .

4.2.5 Pengujian Stabilitas dari Sel Saccharomyces cerevisiae

4.2.5.1 Pengujian Stabilitas bead menggunakan Uji Tekanan Osmosis

Pengujian ini didasarkan pada pemberian suatu larutan Uji NaCl yang mengadung kation Na + yang dapat menjadi perusak stabilitas dari gel alginat. Alginat dapat membentuk gel dikarenakan adanya substitusi dari natrium dari alginat dengan kalsium. Kation bivalen seperti kalsium dan barium dapat membuat gel jika bereaksi dengan alginat membentuk kalsium alginat atau barium alginat. Pengujian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kekuatan ataupun kekuataan dari bead itu sendiri jika didalam larutan substrat fermentasi terdapat ion-ion dan kation seperti K + , Na + ataupun ion seperti sitrat, phospat, dan laktat yang dapat mengurangi stabilitas dari materi imobilisasi dalam hal ini alginat Smidsrod and Skjak-Braek, 1990. Dari Gambar 7.1 dilihat bahwa permukaan bead masih belum rusak. Terdapat beberapa bercak noda dari efek yang ditimbulkan dari uji ini. Kitosan sebagai lapisan kedua dari bead dapat menahan kontak langsung dari kalsium alginat dengan larutan NaCl sehingga dapat menahan kerusakan dari bead. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan kitosan terhadap ketahanan dari bead. Penambahan kitosan sebagai lapisan kedua dari bead meningkatkan stabilitas dari bead.

4.2.5.2 Pengujian stabilitas bead berdasarkan kerusakan setelah fermentasi

Pengujian ini dilakukan untuk melihat permukaan bead pada awal dan akhir dari setiap fermentasi. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari kerusakan bead terhadap Universitas Sumatera Utara jumlah etanol yang dihasilkan. Semakin rusak bead yang dihasilkan, maka kemungkinan sel yang lepas juga akan semakin besar sehingga produktivitas etanol akan semakin menurun. Dari gambar 8 kita dapat melihat kondisi dari permukaan bead pada saat sebelum dan sesudah digunakan. Terlihat permukaan bead masih baik dan tidak terdapat kerusakan dipermukaan Gambar 8.a . Pada gambar 8.b diperoleh bead setelah fermentasi pertama. Dapat kita lihat efek yang ditimbulkan pada fermentasi awal membuat perubahan yang tampak terhadap permukaan bead. Terdapat beberapa kerusakan dipermukaan dari bead setelah fermentasi pertama. Pada gambar berikutnya Gambar 8.c diperoleh kerusakan bead yang semakin parah terdapat beberapa perbesaran lubang pori-pori dari bead yang dapat menjadi daerah tempat lepasnya sel Saccharomyces cerevisiae. Gambar 8.d merupakan gambar permukaan bead setelah fermentasi ketiga, diperoleh hasil permukaan dimana permukaan bead sudah sangat rusak, terdapat banyak pori-pori yang menyebar hampir diseluruh permukaan bead, dari gambar dapat dilihat bahwa warna dari bead juga telah berubah menjadi gelap. Hal ini dikarenakan substrat berupa molase telah terjebak dan lengket didalam bead . Dari gambar diperoleh bahwa setiap fermentasi diperoleh kerusakan bead yang cukup signifikan, sehingga kerusakan ini dapat kita korelasikan dengan produktivitas etanol yang dihasilkan pada setiap fermentasi. Pada Fermentasi pertama diperoleh jumlah etanol yang tinggi yaitu 37,54314. Konsentrasi etanol yang dihasilkan sangat tinggi, diatas dari Batas maksimum toleransi dari sel Saccharomyces cerevisiae terhadap etanol sebesar 14 . Hal ini menjadi bukti keunggulan dari teknik imobilisasi ini, dikarenakan dapat meningkatkan produktivitas etanol dari suatu biomassa. Adanya penjebakan ini, menyebabkan etanol yang dihasilkan tidak akan kontak langsung dengan sel. Sehingga proses inhibisi dari etanol terhadap sel akan terhindar dan produktivitas etanol akan meningkat. Pada fermentasi kedua diperoleh beberapa kerusakan dipermukaan bead, ini dapat menjadi suatu permasalahan mengapa konsentrasi etanol menurun cukup signifikan di fermentasi kedua yaitu 26,65614 . Kerusakan dari bead menyebabkan sel Saccharomyces cerevisiae dapat lepas dan kontak Universitas Sumatera Utara secara langsung dengan sel sehingga produtivitas dari etanol akan menurun. Begitu juga dengan hasil fermentasi ketiga, dimana etanol yang dihasilkan sangat rendah jika dibandingkan dengan fermentasi sebelumnya yaitu 13,29089. Kerusakan dari bead ini dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain perpecahan dari permukaan bead akibat adanya pertumbuhan dari sel selama fermentasi, meningkatnya gas didalam bead dan terdapatnya substrat yang tertahan didalam bead sehingga bead menjadi padat serta akumulasi dari semuanya. Jumlah sel yang terlepas pada tiap proses fermentasi tidak dapat dihitung secara pasti. Hal ini dikarenakan media fermentasi yang digunakan berwarna gelap dan cukup pekat sehingga penghitungan jumlah sel menggunakan haemocytometer tidak dapat dilakukan. Asumsi yang dapat digunakan dalam mengetahui berapa banyak sel yang terjebak didalam bead setelah fermentasi dapat dilakukan berdasarkan jumlah etanol yang dihasilkan. Tahap fermentasi berikutnya menunjukkan bahwa jumlah etanol yang dihasilkan terus menurun secara signifikan tiap akhir fermentasi. Hal ini berarti sel yang terjebak sudah banyak terlepas dari bead dan terkontaminasi dengan media fermentasi. Akibatnya produktivitas sel akan ikut menurun. Lepasnya sel ini diakibatkan adanya terbentuk pori-pori dipermukaan dari bead yang digunakan.

4.2.5.3 Pengujian stabilitas bead berdasarkan jumlah pemakaian pada

fermentasi Berdasarkan tabel 4.3 dan 4.4 tentang uji kualitatif dan Uji kuantitatif dari etanol hasil fermentasi diperoleh destilat hasil fermentasi sebanyak 3 buah destilat. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan bead yang sama diperoleh 3 kali perulangan penggunaan bead sebelum mengalami kerusakan. Peningkatan dari penggunaan biomassa ini dikarenakan stabilitas dari bead yang digunakan sangat baik. Hal ini didorong oleh penggunaan lapisan kitosan dari bead sehingga proses kerusakan bead selama fermentasi akan berkurang. Kerusakan dari tiap-tiap fermentasi juga dapat dilihat dari gambar 8 Universitas Sumatera Utara dimana pengaruh kerusakan dari tiap fermentasi cenderung tidak terjadi secara langsung. Hal ini dikarenakan adanya lapisan kedua dari kitosan sehingga menyebabkan pengaruh dari substrat dan faktor perusak bead dapat di atasi oleh adanya kitosan di lapisan luar.

4.2.6 Pengujian interaksi antara sel Saccharomyces cerevisiae-Ca-alginat-kitosan

4.2.6.1 Uji menggunakan mikroskop cahaya

Dalam uji ini dapat kita lihat terdapat lapisan gelap pada lapisan terluar dari bead. Hal ini dapat diasumsikan bahwa lapisan tersebut adalah kitosan. Hal ini didasarkan pada penambahan lapisan kitosan terjadi setelah lapisan alginat – sel terbentuk. Sehingga tidak ada kontak langsung antara sel dengan kitosan karena alginat telah melapisi sel diawal. Uji menggunakan mikroskop cahaya tidak dapat dijadikan dasar untuk melihat posisi secara pasti kitosan di luar permukaan. Uji menggunakan FT-IR dapat dijadikan dasar bahwa lapisan akhir yang melekat di luar bead merupakan kitosan, hal ini dikarenakan jika terdapat spektrum spesifik dari kitosan pada bead, maka didalam bead tersebut terdapat kitosan.

4.2.6.2 Uji menggunakan FT-IR

Dalam analisa menggunakan FT-IR, diperoleh bahwa didalam sampel terdapat gugus fungsi kitosan yaitu pada panjang gelombang 1595,43 cm -1 untuk N-H , 1032 cm -1 untuk C-O serta gugus fungsi Alginat pada panjang gelombang 1411,88 cm -1 untuk garam karboksilat simetris COO - , 3337,9 cm -1 untuk OH, dan 1071,76 cm -1 untuk C-O. Hal ini menunjukkan terdapatnya kitosan dan alginat didalam penyusun bead. Hal ini juga didukung oleh uji menggunakan mikroskop cahaya dimana terdapat lapisan kerak dilapisan terluar bead yang dapat diasumsikan sebagai kitosan, Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan bead, pelapisan kitosan dilakukan setelah bead Ca-alginat-sel telah terbentuk. Sehingga lapisan kitosan berada diluar bead Ca-alginat-sel. Adapun Peran kitosan adalah Universitas Sumatera Utara sebagai pelapis yang meningkatkan stabilitas dari bead. Kitosan tidak dicampurkan sejak awal dikarenakan sifat antibaketri dari kitosan sendiri sehingga dikhawatirkan jika ditambahkan diawal, akan mempengaruhi aktivitas dari sel Saccharomyces cerevisiae yang terjebak. Universitas Sumatera Utara BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Stabilitas Sel Saccharomyces cerevisae yang diimobilisasi menggunakan alginat- kitosan meningkat dengan adanya lapisan luar kitosan. Hal ini dibuktikan dengan uji tekanan osmosis dan uji kerusakan permukaan setelah fermentasi. 2. Etanol yang diperoleh dari tiap-tiap fermentasi menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae terimobil yaitu 37,54314 pada fermentasi ke 1; 26,65614 pada fermentasi ke 2; dan 13,29089 pada fermentasi ke 3. Jumlah etanol yang dihasilkan memiliki hubungan dengan kerusakan permukaan yang terjadi pada permukaan sel terimobil bead, dimana semakin rusak permukaan dari bead maka jumlah etanol yang dihasilkan akan semakin rendah.

5.2. Saran