95 Tabel 12. Relasi antara prioritasi kriteria aspek konflik pemanfaatan ruang dan
SDKP dengan realisasi program pembangunan sumber: Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005 dan data hasil kuesioner
No. Kriteria Bobot Prioritas
ProgramKegiatan Pembangunan
Realisasi Skor Realisasi
1 Penurunan pelanggaran
pemanfaatan ruang dan SDKP
0.293 P
2
Penyusunan tata ruang kelautan
79.12 0.232 2 Penurunan
konflik pemanfaatan ruang dan
SDKP 0.153 P
4
Tidak ada
dalam programkegiatan
Pemda Kepri 0 0
3 Perbaikan ekosistem
lingkungan hidup 0.261 P
3
a. Pendamping
rehabilitasi dan pengelolaan
terumbu karang b.
Pendamping program padang
lamun 20
94.26 0.149
∑n= 57.13
4 Peningkatan perlindungan hukum
terhadap hak-hak rakyat atas pemanfaatan ruang
dan SDKP 0.293
P
1
Tidak ada
dalam programkegiatan
Pemda Kepri 0 0
∑ bobotskor 1
0.381
b. Program dan kegiatan yang dilaksanakan dengan pembiayaan APBD tidak konsisten dengan atau tidak mendukung prioritasi kebijakan yang mereka
tetapkan berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dalam penelitian ini; Peningkatan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas pemanfaatan
ruang dan SDKP merupakan prioritas pertama P
1
, namun dalam Renstra dan APBD Kabupaten Kepulauan Riau tidak muncul program dan kegiatan
dimaksud.
5.3. Analisis Persepsional Konsep “Marine Cadastre”
Pembuatan kuesioner “riset persepsional” konsep “marine cadastre” ini dimaksudkan untuk menjajaki tingkat pengetahuan, pemahaman, dan pandangan
masyarakat dalam hal ini responden mengenai konsep ini. Tentu saja kuesioner ini tidak lepas dari aspek-aspek tujuan dan manfaat penyelenggaraan “Marine
cadastre” oleh suatu negara lihat bab tinjauan pustaka. Konsep “marine cadastre” berkaitan erat pula dengan tahapan berikutnya
dari analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, yaitu tahapan “perumusan masalah kebijakan”. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab
96 pendahuluan serta sesuai dengan ketersediaan dan karakteristik data hasil
pendataan lapangan, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisis hirarki, yakni sebuah teknik untuk mengidentifikasi sebab-sebab yang mungkin dari suatu
situasi masalah. Analisis hirarki membantu para analis untuk mengidentifikasi tiga macam sebab, yakni sebab yang mungkin, sebab yang masuk akal, dan sebab
yang dapat ditindaklanjuti Dunn 1994.
Gambar 24. Analisis hirarki untuk perumusan masalah kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “Marine cadastre” di
Kabupaten Kepulauan Riau.
MASALAH KEBIJAKAN
SUBSTANSI KEBIJAKAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Masalah Substansi
Masalah Legal
Masalah Administrasi
dan Keteknikan
Orientasi Pembangunan
Keterpaduan Kebijakan
Transparansi Partisipasi
Legitimasi RTRW
Masih Orientasi
Daratan Belum Nyata
Sustainable
Belum Integrasi Tataruang
Darat-Laut Belum Ada
Rencana Detil Pesisir-Laut
Belum Transparan
Belum Melibatkan
Masyarakat Belum Jadi
PERDA Belum Ada
Administrasi “3R”
Belum Ada Pengelola 3R
Belum Ada Custodian
Data Spasial
Penganggaran
Konsistensi Tidak Muncul
Program Khusus Revisi Setiap
Tahun Tidak Ada
Pengendalian dan Law Enforcement
97
Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara, kuesioner, serta laporan pertanggungjawaban kepala daerah, maka dilakukan pemetaan hirarki
tentang masalah yang ada atau dihadapi dalam kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut pada lokasi penelitian periksa Gambar 24.
Masalah-masalah kebijakan tersebut tersebut adalah:
1 Masalah substansi kebijakan:
a. Perihal orientasi pembangunan: rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Riau masih berorientasi pembangunan wilayah daratan;
Rencana tata ruang kelautan baru tertuang dalam rencana untuk tahun 2006 – 2015, namun dalam pelaksanaannya tidak secara nyata komitmen
terhadap “sustainable” atau berwawasan lingkungan; b. Perihal keterpaduan: Belum ada keterpaduan rencana tata ruang, baik
ditinjau dari aspek keterpaduan rencana tata ruang darat-laut, maupun ditinjau dari aspek keterpaduan antara wilayah Kota Tanjungpinang
maupun wilayah Kabupaten Kepulauan Riau; Padahal Pulau Bintan merupakan satu kesatuan geografis dan ekosistem di mana kedua
pemerintahan daerah berada dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya; Pemanfaatan ruang pesisir dan laut oleh suatu daerah dapat mengakibatkan
kerugian bagi daerah lainnya, apalagi mengingat sifat laut yang merupakan benda fluida berupa air dan arus maupun gelombang
;
c. Perihal transparansi dan partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah: Belum ada transparansi dan partisipasi dalam penyusunan
rencana tata ruang wilayah, masyarakat belum terlibat sebagaimana seharusnya dan mereka hanya mengikuti “sosialisasi” RTRW secara
parsial yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masing-masing; d. Perihal legitimasi rencana tata ruang wilayah: Sejak tahun 1992, yaitu
sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka setiap kali penyusunan rencana tata ruang wilayah
senantiasa stagnant dalam bentuk Buku Rencana yang diterbitkan oleh Bappeda dan belum pernah dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah
PERDA sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 Ayat 6 undang- undang dimaksud;
98
e. Perihal pengadministrasian setiap kepentingan 3R di wilayah pesisir