Tujuan dan Manfaat Penyelenggaraan “Marine Cadastre”

36

2.6. Tujuan dan Manfaat Penyelenggaraan “Marine Cadastre”

Tujuan penyelenggaraan “marine cadastre” oleh suatu negara, adalah untuk: 1 Mengadministrasikan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan laut berikut sumberdaya alam dan buatan serta termasuk pula semua kepentingan, hak, batasan dan kewajiban yang ada di wilayah itu; 2 Mewujudkan ketertiban wilayah, yaitu tertib administrasi, tertib hukum, tertib tata ruang wilayah, tertib pemanfaatan dan penggunaan ruang dan sumberdaya wilayah, serta tertib pemeliharaan wilayah dan ekosistem wilayah; 3 Memberikan perspektif manajemen sumberdaya alam kepada pemerintah dan mengembangkannya agar manfaat dan kegunaan “marine cadastre” menjadi lebih nyata bagi para pemangku kepentingan, seperti: pemerintah dan daerah, sektor industri, serta masyarakat akademis US DOI–MMS, 2004 dan masyarakat disektor pesisir dan kelautan khususnya; 4 Menyediakan infrastruktur data spasial yang komprehensif di mana hak, batasan, dan kewajiban di lingkungan pesisir dan kelautan dapat dinilai, diadministrasikan, dan dikelola US DOI–MMS, 2004; 5 Menyediakan informasi wilayah laut yang berguna untuk: 1 mengidentifikasi masalah dan prioritas; 2 merumuskan dan menerapkan kebijakan dan strategi pembangunan kelautan yang sesuai dan tepat sasaran; 3 membantu perencanaan tata guna ruang dalam aktifitas pembangunan kelautan; 4 menyediakan suatu proses perijinan yang proporsional dalam mendukung pembangunan perekonomian sektor kelautan; 5 dapat menerapkan suatu sistem pengelolaan pajak yang tepat dan efisien; dan 6 mengawasi tata guna ruang untuk dapat mengidentifikasi permasalahan baru dan mengevaluasi pengaruh dari suatu kebijakan kelautan BPN – LPPM ITB, 2003. Direktorat Jenderal Pajak telah memungut PBB Pajak Bumi dan Bangunan atas bangunan-bangunan kelautan seperti penambangan minyak “offshore”, rumpon dan bagan-bagan ikan, dan bangunan kelautan, jasa kelautan serta akuakultur lainnya. Manfaat dari penyelenggaraan “marine cadastre” bagi suatu negara, adalah: 1 Tersedianya mekanisme untuk mendefinisikan, menggambarkan, menganalisis, dan menghitung, serta menyatakan hak kedaulatan dari setiap 37 jengkal lahan di wilayah pesisir dan lepas pantai berikut kekayaan alam atau sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya; 2 Tersedianya mekanisme untuk mengidentifikasi tumpang tindih dan konflik hak, kepentingan, dan tanggungjawab di wilayah pesisir dan lautan serta untuk mendorong dan menyelenggarakan kepemerintahan yang baik di bidang kelautan good ocean governance US DOI – MMS, 2004; 3 Tersedianya serta meningkatnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan ruang laut sekaligus meningkatkan perlindungan terhadap terjadinya degradasi lingkungan akibat kegiatan pembangunan kelautan BPN – LPPM ITB, 2003; Sementara itu, dalam pengembangan konsep “Multi-Purpose Marine Cadastre”, maka Tamtomo 2006 telah mengenalkan konsep Total Asset Value TAV, yaitu agregat nilai Total Real Property Value TRPV ditambah dengan Total Economic Value TEV dari suatu “persil laut”, khususnya persil pada perairan pesisir near shore parcel. 2.7. Aspek Yuridis Dalam Penyelenggaraan “Marine Cadastre” Kadaster, ditinjau dari definisi dan pengertiannya sendiri, adalah sebuah institusi hukum. Pertama, karena di dalam sistem kadaster dikandung tiga pilar utama, yaitu 3R FIG, 1995, Dale and McLaughlin, 1988, yang terdiri dari: rights: hak-hak, restrictions: batasan atas penguasaan dan penggunaan hak-hak tersebut, dan responsibilities: tanggungjawab terhadap penguasaan dan penggunaan hak-hak tersebut. Oleh karena itu maka kadaster memenuhi syarat sebagai sebuah struktur hukum. Kedua, karena tujuan kadaster adalah mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi dan praktik hukum atas penggunaan hak, pemenuhan kewajiban, dan implementasi batasan tersebut Larsson, 1991; maka dengan sendirinya kadaster merupakan dan menjalankan fungsi-fungsi hukum. Sehubungan dengan itu, maka “marine cadastre”, meskipun tidak dengan serta merta dapat langsung dipersamakan dengan kadaster daratan karena adanya perbedaan sifat dan karakteristik obyek dan subyek hukumnya, merupakan institusi hukum pula, karena “marine cadastre” memenuhi kedua syarat tersebut 38 di atas. Apabila “marine cadastre” telah mempunyai dasar hukum bagi legitimasi penyelenggaraannya, maka dengan sendirinya ia akan mempunyai implikasi hukum dalam pelaksanaannya. Cockburn dan Nichols 2002 menyatakan bahwa setidaknya ada 4 empat hal yang akan berimplikasi dan oleh karena itu harus dipertimbangkan. Pertama, jenis-jenis hak apakah yang ada dalam konteks kelautan. Kedua, rezim hukum apa yang mengatur atau menentukan hak-hak tersebut. Ketiga, apakah dapat ditentukan atau diletakkan hirarki atas hak-hak tersebut, dan Ke-empat, adalah bagaimana dapat diletakkan hubungan di antara hak-hak tersebut satu dengan lainnya Gambar 7. Gambar 7. Kerangka Hukum Pelaksanaan “Marine Cadastre” Cockburn dan Nichols, 2002: p.3 Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya dapat dipahami beberapa karakteristik serta doktrin yang membedakan “land cadastre” dengan “marine cadastre”. Untuk itu perlu merujuk kembali pada Tabel 3 tentang perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan dengan kadaster kelautan marine cadastre. Selebihnya, Cockburn, Nichols dan Monahan 2003 mengajak untuk memahami tentang konsepsi persil laut dibandingkan dengan persil tanah. Kerangka Hukum “Marine Cadastre” KewenanganNegara Hak Wilayah Administrasi Berpengaruh pada: Hak Privat Hak Publik • Hak Guna Usaha • Hak Penambangan • Hak Kabel Laut • Hak Akses • Hak Penangkapan Ikan • Navigasi, dsb. 39 Di laut di mana sumberdaya dan kegiatan, dan oleh karena itu hak, batasan, dan kewajiban, dapat ada atau timbul seiring dengan waktu dan ruang, serta dapat bergerak atau berpindah sesuai perubahan waktu dan ruang, maka konsepsi persil laut menjadi kompleks. Pertama, kepemilikan individual secara penuh, sebagaimana dikenal dalam persil tanah, tidaklah dikenal dalam konteks ruang lautan sama dengan pendapat Rais, 2002: “ ... the ocean is an heritage of human kind, available to anyone but owned by none ...”, tidak ada hak milik pribadi di lautan, yang ada adalah kewenangan pengelolaan saja. Hak penguasaan dari negara, hak-hak publik, dan hukum internasional adalah faktor-faktor yang akan banyak mempengaruhi hak- hak privat, dan dapat dipastikan pula bahwa kepemilikan pribadi yang eksklusif atas atas kolom persil laut tidak mendapat pengakuan. Kedua, dapat dikatakan hanya sedikit sekali aktifitas di sektor kelautan yang hanya menggunakan permukaan air laut saja sebagai ruang kegiatan utamanya. Hampir semua kegiatan kelautan sesungguhnya berada pada volume atau kolom laut, sehingga dengan demikian hampir semua hak-hak kelautan, seperti akuakultur, penambangan laut, perikanan laut, dan hak-hak berlabuh dan bahkan navigasi laut secara inheren memiliki sifat-sifat tiga dimensi bandingkan dengan persil tanah yang bersifat dua dimensi. Demikian pula kemungkinan berlapis-lapisnya beberapa hak yang mungkin ada pada ruang laut sangat terbuka, mengingat banyak kemungkinan sesuatu hak pada kolom permukaan air laut bagian atas berlapis dengan sesuatu hak lainnya pada kolom air di bawahnya, dan bahkan sesuatu hak pada dasar laut seabed. Untuk mengawasi dan mengatur aktifitas kelautan, gambaran mengenai hak-hak yang ada dalam ruang atau kolom laut yang lebih akurat sangatlah diperlukan. Ketiga, adanya suatu kenyataan bahwa tidak semua atau bahkan pada umumnya batas persil atau kolom laut tidak dapat ditandai dengan batas fisik, khususnya persil laut yang terletak dilepas pantai. Batas-batas tersebut hanya dapat ditandai dalam peta atau publikasi lainnya. Nichols dan Monahan 1999 menamakan sistem penetapan batas persil laut dengan “fuzzy boundary system”, sedangkan Hoogsteden and Robertson. 1999 justru mengatakannya sebagai “seamless boundary system” tegas. 40 Dalam konteks sistem penguasaan dan pemilikan properti property tenureships di Indonesia, maka “state of the arts” konsep “marine cadastre” harus pula mencerminkan kekhasan sistem dimaksud. Dengan kata lain harus ada keberanian untuk meletakkan konsep ini secara aktual, agar dapat menampung kebutuhan masyarakat dan pembangunan, dengan pertimbangan bahwa: 1 Ruang perairan laut teritorial adalah ruang perairan yang dihitung dari rata- rata air laut surut terendah sejauh 12 nautical miles ke arah laut; 2 Adanya sistem penguasaan atau pemilikan dalam wilayah perairan pantai dangkal shallow shore-water, misalnya: rumah-rumah nelayan di atas air laut, bagan-bagan dan keramba ikan, pelantar “jalan” di atas air laut sebagai akses publik yang dikenal di Kepulauan Riau, dan sebagainya; 3 Adanya kekosongan hukum dalam pengaturan hak-hak kepemilikan di wilayah ini, padahal sistem kepemilikan lahan telah berlaku di masyarakat. Sejalan dengan itu, maka obyek “Marine Cadsatre” dalam perspektif hukum agraria Indonesia harus dapat membedakan antara ruang perairan pantai dan ruang laut. Perlunya pemilahan kedua wilayah ini secara spesifik karena adanya perbedaan substansial di antara keduanya, meskipun keduanya merupakan satu wilayah yang tidak terpisahkan. Perbedaan dimaksud adalah: 1 Ruang perairan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan fragile, baik ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem merupakan wilayah “tumpahan” seluruh dampak aktifitas di daratan yang terbuang atau mengalir ke laut, maupun ditinjau dari aspek hukum dan sosial-ekonomi, yaitu sangat berhubungan erat dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah land tenureships daratan pesisir; 2 Ruang perairan pantai merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh karena itu tenureship system lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau karakteristik tenureships daratan land-based tenure maupun ruang laut sea- based tenure secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UU No. 5 Tahun 1960 UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya. 41 3 Ruang laut, yaitu ruang laut teritorial di luar perairan pantai, di lain pihak, umumnya tidak berkaitan langsung dengan tenureship system di daratan; Hak-hak yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan, kecuali untuk konstruksi pengeboran minyak lepas pantai rigs dan bagan-bagan ikan dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan. Dalam bab hasil penelitian dan pembahasan akan ditelaah mengenai hak- hak di wilayah perairan pantai dan laut dalam konteks lokus penelitian khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. 2.8. Pemetaan dan Penetapan Hak-Hak di Wilayah Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” Beberapa negara di dunia telah melaksanakan “marine cadastre” dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah pesisir dan lautan. Negara-negara dimaksud antara lain: Canada, Amerika Serikat, dan Australia. Di Negara Belanda, meskipun tidak menggunakan nomenklatur “marine cadastre”, namun batas laut teritorial negara ini telah diukur dan dipetakan serta didaftar dalam Kantor Kadaster Belanda, semacam Badan Pertanahan Nasional di Indonesia. Dalam Gambar 8 berikut ini adalah contoh pelaksanaan “marine cadastre” pada pilot proyek di Negara Bagian Victoria, Australia. Peta ini menggambarkan berbagai representasi hak yang cukup lengkap, yaitu hak-hak publik, privat, dan kolektif adat, serta hak-hak atas pengelolaan sumberdaya dan lingkungan hidup. Hak-Hak Guna Dasar Laut sea-bed rights untuk jalur pipa dan kabel bawah laut dipetakan dalam bentuk garis-garis warna hijau. Hak-Hak Ulayat Laut dan hak-hak masyarakat tradisional native title claims di wilayah pesisir dan laut dipetakan dalam bentuk persil-persil pesisir dan laut. Hak Pengelolaan untuk National Marine Parks dipetakan dalam bentuk persil-persil laut berwarna merah muda. Hak atas wilayah laut teritorial negara dipetakan dalam zona-zona berwarna coklat muda cream, sedangkan wilayah laut tambahan contiguous zone dipetakan dalam zona-zona berwarna tekstur hijau muda, dan keduanya dipetakan dengan garis batas zona berwarna hitam. 42 Gambar 8. Peta “Marine Cadastre” di Negara Bagian Victoria, Australia Binns, 2005 U ۞ Skala Tanpa Skala 43 Gambar 9. Peta “Marine Cadastre” di Florida Sanctuary, USA US-DOC NOAA, 2002 44 Demikian pula, sebagaimana tersaji dalam Gambar 9 adalah contoh pelaksanaan “marine cadastre”. Peta ini menggambarkan secara lebih khusus kepada pengadministrasian sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut di Negara Bagian Florida, Amerika Serikat. Hak atas wilayah laut teritorial Florida State Waters dipetakan dalam zona-zona dengan garis berwarna biru muda. Hak Negara atas Taman Nasional National Park Boundaries dipetakan dalam persil atau zona yang dibatasi oleh garis berwarna merah, yang meliputi batas di darat dan di laut dalam satu kesatuan zona tidak dipisahkan. Pengadministrasian wilayah taman nasional ini merupakan “state of the art” dari suatu pelaksanaan “marine cadastre”, di mana dalam hal-hal tertentu, antara “land cadastre” dan “marine cadastre” dapat diintegrasikan ke dalam satu peta. Hak-hak pengelolaan negara untuk taman-taman suaka marga satwa laut National Wildlife Refuge dipetakan dalam zona-zona atau persil-persil berwarna hijau. Sementara itu, zona-zona lindung laut Ecological Reserves dipetakan dengan zona warna ungu muda, dan zona-zona pengelolaan laut Existing Management Areas dipetakan dalam warna hijau muda. Penerapan konsep “marine cadastre” di Amerika Serikat dan Australia ini harus dapat menjadi teladan bagi Indonesia, terlebih karena negara ini merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.

3. METODOLOGI PENELITIAN