Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

ICOZM Integrated Coastal and Ocean Zone Management atau sering disingkat ICZM merupakan cabang ilmu baru di Indonesia, bahkan menurut IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1994, juga merupakan cabang ilmu baru di dunia. ICZM adalah: “pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatnya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan” Dahuri et al., 2001. Senada dengan pengertian di atas dinyatakan bahwa ICM: “can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions are made for the sustainable use, development, and protection of coastal and marine areas and resources. Integrated coastal management is a process that recognizes the distinctive character of the coastal area - itself a valuable resource - and the importance of conserving it for current and future generations” Cicin-Sain dan Knecht 1998. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa: “The major functions of integrated coastal management are: 1 area planning; 2 promotion of economic development; 3 stewardship of resources; 4 conflict resolution; 5 protection of public safety; dan 6 proprietorship of public submerged lands and waters”. Cicin-Sain and Knecht, ibid. Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan dan interaksi antara daratan dan lautan, sehingga menjadikan wilayah ini dalam posisi yang sangat rentan, unik, bernilai, dan tertekan. Mengingat posisi alam dan topografi wilayah pesisir sebagai “penampung” limpahan kegiatan di darat, maka respons sistem pesisir terhadap aktifitas manusia di darat tersebut sangat sensitif. Kegiatan di daratan seperti pertanian, pembangunan perkotaan dan industri, kehutanan dan 9 pertambangan, perumahan dan lain sebagainya menyumbang lebih dari 70 dari seluruh polusi wilayah pantai dan lautan, mulai dari transpor erosi dan sedimen, material dan bahan-bahan kimia serta bahan beracun lainnya Collier, 2002. Mengingat demikian besarnya pengaruh daratan terhadap pesisir, maka konsep pembangunan pesisir tidak hanya bersifat sektoral melainkan multisektor dan interdisiplin dan berbasis lautan, namun harus pula berbasis daratan, sehingga merupakan suatu konsep pembangunan wilayah yang integral Clark, 1995. Hal inilah yang belum banyak kalau tidak dapat dikatakan belum ada dilakukan di Indonesia, di mana perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah masih bersifat parsial. Sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta sumberdaya buatan merupakan obyek-obyek yang dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan. Sumberdaya non-hayati dan sumberdaya hayati yang menjadi obyek utama penelitian ini adalah: pasir laut, ekosistem mangrove dan terumbu karang, karena sumberdaya inilah yang mendominasi keberadaannya pada lokasi studi. 1 Ekosistem laut: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik panambangan pasir laut Penambangan pasir laut telah mengakibatkan meningkatnya kekeruhan air laut, perubahan sirkulasi air laut akibat pengerukan dasar laut, rusaknya bagan-bagan ikan dan keramba budidaya ikan nelayan akibat gelombang arus kapal pengangkut pasir, serta bermigrasinya ikan tangkap yang mengakibatkan kerugian nelayan setempat. Kegiatan penambangan pasir laut telah berlangsung selama lebih kurang tiga puluh tahun sejak tahun 1970. Kegiatan ini dihentikan sementara dengan terbitnya Inpres Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut. Namun, aktifitas tersebut dibuka kembali melalui Keppres Nomor 33 Tahun 2003, dan kemudian karena menimbulkan kontroversi lagi maka kegiatan ini ditutup kembali dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 117MPPKEPII 2003. 10 2 Ekosistem mangrove: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik, khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum Kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan suatu kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah. Berdasarkan hasil penelitian Global Environment Facility United Nations Development ProgramInternational Maritime Organization GEFUNDPIMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas di Selat Malaka, termasuk wilayah pesisir dan laut pulau Bintan Chua, 1999, maka kerusakan wilayah dan sumberdaya mangrove telah mengakibatkan kehilangan dan dampak lebih besar lagi apabila diukur dampak berganda dari kerusakan dimaksud, yaitu: a. Nilai fungsi pemijahan dan pembesaran ikan pada mangrove, b. Nilai fungsi penyaringan karbon pada mangrove, c. Nilai fungsi pencegahan erosi pada mangrove, d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove, dan e. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem untuk mangrove. 3 Ekosistem terumbu karang: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik, khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum Demikian pula kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan suatu kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah pada ekosistem terumbu karang telah mengakibatkan kehilangan dan dampak lebih besar lagi apabila diukur dampak berganda dari kerusakan dimaksud, yaitu: a. Nilai fungsi produksi organik dan penyaringan karbon pada terumbu karang, b. Nilai fungsi perlindungan garis pantai oleh terumbu karang, c. Nilai keanekaragaman terumbu karang, d. nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem pada terumbu karang e. Nilai eko-turisme terumbu karang, dan f. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem terumbu karang. 11

2.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut