22
Masalah kebijakan publik timbul apabila kondisi sumberdaya alam dan lingkungan tidak sama dengan yang diharapkan, atau dengan kata lain ada
perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Pentingnya peranan analisis kebijakan nampak jelas di sini serta merupakan kebutuhan untuk menuju
pencapaian suatu “good ocean governance”.
2.3. Konsep “Marine Cadastre”
Aspek hukum konsep “Marine Cadastre” ke dalam merupakan bagian dari konstitusi dan sistem hukum negara yang bersangkutan, sedangkan keluar
merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan internasional yang tertuang di dalam United Nations Convention on Law of the Sea UNCLOS.
Demikian pula, ditinjau dari aspek keilmuan studi “Marine Cadastre”, konsep ini merupakan bagian integral dari dasar teori dan konsep Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, atau sering pula disebut Integrated Coastal and Ocean Zone Management ICOZM, atau Integrated Coastal and Ocean
Management ICOM. “Marine cadastre” belum lama dikenal karena memang masih merupakan
konsepsi baru. Demikian pula belum banyak peneliti yang tertarik atau mendalami topik ini. Sudah banyak penelitian yang mendalami bidang
pengelolaan dan penataan ruang pesisir dan laut dari berbagai aspek atau pendekatan, namun masih sulit sekali didapatkan penelitian yang mengaitkan
bidang ini dengan konsep kadaster, yaitu: hak, batasan, dan kewajiban dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang.
Sistem penguasaaan lahan mengenal adanya konsep batas lahan. Demikian pula dalam sistem pesisir dan laut, konsepsi batas-batas boundary system
penguasaan dan pemanfaaatan lahan pesisir dan lautan mengenal pula sistem batas, zonasi, atau persil. Sesungguhnya sistem batas-batas perencanaan,
penguasaan, pemanfaatan dan pemantauan atau pengawasan ini telah dikenal sejak lama. Pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran persil atau zonasi laut
bukanlah merupakan hal yang baru.
23 Misalnya di Jepang, dokumen tentang hak penguasaan dan hak ulayat laut
telah dikenal sejak Era Feodal 1603 – 1867. Formalisasi keberadaan hak ulayat laut pada masa kekaisaran Edo dipercaya didasarkan oleh tradisi yang berlaku
sebelumnya. Setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, maka pada tahun 1876 pemerintah Jepang mengambil alih seluruh kepemilikan atas perusahaan
perikanan, kemudian menerbitkan lisensi dan perijinan perikanan perorangan dengan disertai pajak Ruddle, 1992.
Filosofi kadaster adalah “the boundary of use” atau “the boundary of tenure”, yaitu batas atau zonasi penguasaan, penggunaan, serta pemilikan lahan.
Sejarah dan filosofi kadaster dapat ditarik kembali jauh ke masa sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi di tepi Sungai Nil, Mesir, di mana terhampar luas daerah-
daerah pertanian yang subur. Penduduk di sekitar sungai ini telah menikmati hidup yang cukup makmur dari hasil pertanian serta perdagangan melalui
transportasi sungai. Namun suatu ketika terjadilah banjir besar akibat meluapnya air sungai yang cukup deras arusnya sehingga merusak tanah pertanian, rumah
dan bangunan lainnya permukiman penduduk di sekitar sungai termasuk merusak batas-batas tanahnya. Pasca kerusakan akibat bencana alam tersebut,
penduduk setempat membentuk tim untuk melakukan pengukuran pengembalian rekonstruksi batas-batas tanah yang telah hilang. Rekonstruksi batas-batas lahan
ini tidak hanya untuk pengembalian batas penggunaan dan pemilikan lahan saja, namun juga dimaksudkan untuk memungut kembali pajak-pajak tanahnya. Sejak
itu dikenallah kadaster sebagai suatu kegiatan bahkan institusi yang melakukan pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah.
Bentuk-bentuk persil laut dimaksud selama ini dikenal sebagai: pemintakat zonasi laut, batas budidaya ikan–kerang–rumput biota laut aquaculture,
batas penambangan pasir laut, batas alur pelayaran, batas laut lindung, batas wilayah hak ulayat laut dan sebagainya. Lebih jauh lagi dalam konteks penetapan
batas administrasi pemerintahan dan batas kedaulatan negara, yaitu batas- batas wilayah laut Kabupaten dan Kota, Propinsi, batas wilayah laut Negara
territorial sea, batas wilayah tambahan contiguous zone, dan batas ZEE, semuanya adalah merupakan penerapan dari konsep persil-persil laut.
24
Gambar 3. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau kanan dan blok-blok penambangan minyak dasar laut blok Ambalat di
wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia Rais, 2002a; dan KOMPAS, 1 November 2004
Isu-isu “mengkapling” laut acapkali dilempar sebagai isu yang berkonotasi negatif tanpa mengindahkan substansi atau pokok masalahnya. Kapling atau
zonasi atau persil laut justru sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, baik sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi pengelolanya, arahan, evaluasi, pemantauan, maupun perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut. Gambar 3
di atas menunjukkan beberapa “fakta” pengkaplingan laut dewasa ini di Indonesia, yaitu kapling ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau dan “claim” Pemerintah
Indonesia atas “kapling laut” yang diberi nama Blok Ambalat, yang di pihak lain oleh Pemerintah Malaysia diklaim pula sebagai Blok YZ.
Konsep “marine cadastre” merupakan pengembangan dari Kadaster Darat atau “land cadastre”. Federasi Surveyor Internasional FIG: Federation
Internationale des Geometres memberikan definisi dan ilustarsi kadaster sebagai berikut Gambar 4:
“A Cadastre is normally a parcel based and up-to-date land information system containing a record of interests in land i.e. rights, restrictions, and
responsibilities. It usually includes a geometric description of land parcels linked to other records describing the nature of the interests, and ownership or control
of those interests, and often the value of the parcel and its improvements. It may be established for fiscal purposes e.g. valuation and equitable taxation, legal
purposes conveyance, to assist in the management of land and land use e.g. for planning and other administrative purposes, and enables sustainable
development and environmental protection” FIG, 1995.
25
Gambar 4. Ilustrasi konsep kadaster FIG, 1995 Cukup banyak definisi tentang “marine cadastre”, namun beberapa
pengertian berikut ini cukup mewakili konsep-konsep dimaksud, yaitu antara lain adalah:
a. U.S. DOC: United States Department of Communication–NOAA: National Oceanic and Atmospheric Administration 2002:
“The U.S. Marine Cadastre is an information system, encompassing both nature and spatial extent of interests in property, value and use of marine
areas. Marine or maritime boundaries share a common element with their land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must
adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical
evidence of the boundary”.
b. Rais 2002a:
“Marine Cadastre atau Kadaster Laut adalah penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut, yaitu mencatat: penggunaan ruang laut oleh
aktifitas masyarakat dan pemerintah; ruang laut yang dilindungi, dikonservasi, taman nasional, taman suaka margasatwa, dan sebagainya; dan
penggunaan ruang laut oleh komunitas adat.”
26
c. Binns 2004:
“A Marine Cadastre is a spatial boundary management tool, which describes, visualises, and realises legally defined boundaries and associated rights,
restrictions, and responsibilities in marine environment, allowing them to be more effectively assessed, administered and managed”.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, serta ditambah dengan beberapa referensi konsep dari Universitas Melbourne Australia, Universitas New
Brunswick, Canada, dan FIG: International Federation of Surveyors, maka dapatlah dirumuskan suatu definisi operasional “marine cadastre” sehubungan
dengan penelitian ini, yaitu: “Marine Cadastre” adalah sistem penyelenggaraan administrasi publik
yang mengelola dokumen legal dan administratif, baik yang bersifat spasial maupun tekstual, mengenai kepentingan berupa: hak, kewajiban, dan batasannya,
termasuk catatan mengenai nilai, pajak, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang ada dan berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan ruang
perairan pesisir dan laut. “Marine Cadastre” diselenggarakan dalam rangka mewujudkan tertib
hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan ekosistem laut serta mendukung tertib perencanaan, penataan, dan pengelolaan wilayah laut
secara spasial terpadu. Sebagai suatu bagian dari sistem hukum “legal cadastre”, maka “marine cadastre” ditujukan untuk mengelola dan menyediakan
data, informasi, dan dokumen jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan ruang pesisir dan laut.
“Marine Cadastre” merupakan pengembangan dari “land cadastre”, namun tidak semua aspek “land cadastre” dapat diterapkan ke dalam konsep “marine
cadastre”. Berikut adalah perbedaan dan kesamaan di antara keduanya Tabel 2. Beberapa konsep dasar “marine cadastre” melengkapi pengertian tersebut
misalnya dapat dikemukakan tentang sistem batas. Dalam beberapa hal batas persil laut dapat ditandai dengan benda fisik di permukaan maupun di dasar laut
dangkal, namun dalam banyak hal batas persil laut hanya ditetapkan dalam sistem koordinat geografis namun tidak dibangun tanda-tanda fisik batas di laut.
27 Tabel 2. Perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan Land Cadastre
dengan kadaster kelautan Marine Cadastre dari berbagai sumber serta modifikasi dari BPN – LPPM ITB, 2003
No Unsur Aspek
“Land Cadastre” “Marine Cadastre”
1 Kepemilikan
Dikenal adanya Hak Milik atas persil tanah Pasal 16 UUPA;
Tidak dikenal hak milik pribadi atas bidang atau persil laut, yang ada adalah pembagian
kewenangan pengelolaan wilayah laut, baik diberikan kepada Negara, publik, masyarakat
hukum Adat, badan usaha, maupun perseorangan Rais, 2002.a;
2 Penguasaan pemanfaatan
Dikenal hak-hak sementara yaitu: HGB, HGU, HP Pasal 28, 35, dan 41 UUPA;
Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan Pasal 46 UUPA;
Dikenal Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan Pasal 47 UUPA;
Hak Atas Ruang UU No.241992 jo. PP 691996 Lisensi, konsesi dan perijinan eksploitasi
sumberdaya laut undang-undang sektoral;
3 Administrasi
Mencatat batas administratif desa, kabupatenkota, provinsi dan batas setiap
bidang tanah baik yang ada haknya maupun tidak;
Dikenalnya NIB Nomor Identifikasi Bidang tanah, Daftar Tanah, dan Sistem
Buku Tanah; Merupakan produk hukum sertipikat hak
atas tanah dan produk fiskal PBB BPHTB;
Mencatat persil pesisir dan laut serta batas-batas terkait, hak atas persil termasuk hak adat atau
ulayat; Batas-batasnya adalah batas yuridiksi laut
teritorial; batas administratif provinsi, kabupaten, dan lainnya; batas laut, selat dan teluk; batas estat
laut pemanfaatan ruang laut untuk kepentingan ekonomi masyarakat, perseorangan, dan badan
hukum;
Merupakan ruang laut 3-dimensi yang menggambarkan stratifikasi hak pada permukaan
laut, kolom air laut, dasar laut dan tanah di bawahnya Rais, 2002.a
4 Kelembagaan
BPN Badan Pertanahan Nasional sebagai “Legal Land Cadastre”
Direktorat PBB BPHTB Ditjen. Pajak Departemen Keuangan sebagai “Fiscal
Land Cadastre” Belum ada UU yang secara spesifik mengatur
perihal “Marine Cadastre” UU terkait:
UUPA 1960, UU No. 11 Tahun 1967 Pertambangan, UU No. 5 Tahun 1990
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 24 Tahun 1992 Penataan
Ruang, UU No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah;
Belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur perihal kelembagaan
“Marine Cadastre”: Opsi:
BPN sepanjang menyangkut administrasi manajemen hak-hak property rights atas
ruang pesisir dan laut; DKP menyangkut perihal administrasi dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut coastal and sea resources;
5 Teknis
Skala peta 1:1.000 dan 1: 500 untuk perkotaan dan 1:2.000 atau 1:2.500 untuk
perdesaan, serta 1:5.000 atau 1:10.000 untuk lokasi perkebunan besar;
Skala peta 1:1.000 atau 1:2.500 untuk wilayah “tidal interface”;
Skala 1:50.000 – 1:100.000 untuk wilayah laut kabupatenkota dan provinsi serta laut teritorial;
skala 1:100.000 – 1:1.000.000 untuk landas kontinen dan ZEE;
Warna dan legenda peta minimalis; “Fixed boundary system” untuk batas-
batas persil tanah dan batas administarsi lihat butir 2 di atas
Warna dan legenda peta: berwarna dan banyak legenda maritim
“Maritime boundary system” sistem batas: • Batas yuridiksi nasional sampai batas laut
territorial;
28
No Unsur Aspek
“Land Cadastre” “Marine Cadastre”
• Batas adminsitratif dan batas zona khusus laut lindung, kawasan konservasi, zona perikanan,
dan sebagainya; • Batas estat laut batas pemanfaatan dan
penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi oleh masyarakat, perseorangan, dan badan
hukum; • Batas kewenangan Negara sesuai UNCLOS
Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif;
Peta Kadaster Darat: menggambarkan batas-batas zonasi lahan yang diukur dan
berbagai jenis hak dan penggunaannya
Sistem koordinat menggunakan proyeksi TM 3
o
Transverse Mercator dengan lebar zone 3
o
dengan referensi datum WGS- 1984 a = 6.378.137 m dan f = 1298,26;
Ruang tanah lahan dalam referensi 2- dimensi ukuran luas, panjang dan lebar;
Peta Kadaster laut: memuat informasi persil-persil pesisir dan laut serta batas-batasnya yang terkait,
hak dan ketentuan hukum lainnya atas persil tersebut termasuk hak adat dan hak ulayat, serta
kewenangan yuridiksi yang menyangkut sumberdayanya Rais, 2002.a
Rais 2003: hal.27-28 mengusulkan agar semua peta di Indonesia kompatibel, maka sistem yang
digunakan sebaiknya sistem koordinat geosentris dengan Datum Geodesi Nasional Indonesia DGNI
1995 yang mengacu kepada WGS 1984 a = 6,378,137 m and f = 1298,26;
Ruang laut dalam referensi 3-dimensi yang menggambarkan stratifikasi hak rights pada
permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya Rais, 2002.a;
6 Terminologi
Dikenal adanya Tanah Negara dan Tanah Hak
Dikenal pula adanya Tanah Negara, yaitu tanah yang tertutup oleh air laut dan dasar laut sea bed
dan tanah di bawahnya, serta Laut Negara untuk menghindari istilah Laut Provinsi, Laut Kabupaten,
atau Laut Kota berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2004 a.l. Rais, 2002.a;
Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 juncto UUPA, UNCLOS juncto UU No. 171985, laut dapat dipartisi dalam persil-persil untuk penguasaan
dan pemanfaatannya. Contoh, untuk ruang usaha ekonomis seperti bididaya ikan, rumput laut, kerang, penambangan dasar laut dan di bawah dasar laut; sebagai
ruang laut konservasi seperti laut lindung dan taman nasional; sebagai ruang laut wisata dan rekreasi seperti arena selam, surfing, sailing dan fishing-sport; serta
sebagai ruang laut publik seperti alur pelayaran, pelabuhan dan sebagainya Rais, 2002.
Konsep “marine cadastre” di Australia melingkupi pengggunaan dasar laut sea floor, misalnya untuk jalur pipa dan kabel bawah laut sebagaimana dalam
Binns, 2004. Bahkan di Kanada penyelenggaraan “marine cadastre” merupakan barometer keberhasilan dari sebagian indikator ‘good governance’ Nichols et al.,
2001.
29
Konsep diagram “marine cadastre” yang banyak dijadikan referensi adalah gambaran yang dikemukakan Melbourne University, Australia Gambar 5.
Model ini banyak digunakan oleh berbagai pihak dan peneliti sebagai referensi. Konsepsi ini memberikan pendekatan holistik dalam gagasannya, yaitu dengan
menghubungkan keterkaitan tiga pintakat kegiatan: 1 Kegiatan terestrial aktifitas urban dan kegiatan industri serta pertanian,
2 Kegiatan pesisir pertanian, turisme dan rekreasi, serta hak-hak masyarakat adat, dan
Gambar 5. Diagram Konsepsi “Marine cadastre”: hak cipta © The University of Melbourne sebagaimana gambar dan teks
aslinya Collier, 2002
30
3 Kegiatan kelautan kawasan lindung laut, budidaya laut, eksploitasi mineral dan energi, pelayaran, wilayah tangkapan ikan, kabel dan pipa dasar laut, harta
karun, serta tempat pembuangan limbah di lautan.
2.4. Relevansi Konsep “Marine Cadastre” Dengan Teori ICZOM