Analisis Ekonomi Eksisting Wilayah Pesisir dan Laut 48.83 48.73 47.90

104 c. Sebanyak 75 responden menjawab bahwa masyarakat belum berperan serta dalam proses penyusunan RTRW bersama dengan Pemda, demikian pula sebanyak 75 responded menjawab bahwa Pemda belum mengumumkan dan menyebarluaskan RTRW yang telah ditetapkan, 25 menjawab telah dilakukan “sosialisasi” RTRW secara sporadik dan terbatas; dan d. Seluruh responden 100 berkeyakinan bahwa masyarakat belum berperan serta dalam pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Gambar 27. 20 40 60 80 100 Perda Tata Ruang Hak Atas Ruang Part. Masy. Penyusunan Part. Masy. Pemanfaatan Sudah Tidak Tahu Belum Gambar 27. Diagram balok persepsi responden tentang peran serta masyarakat dalam program pemanfaatan ruang pesisir dan laut berkenaan dengan konsep “Marine cadastre”

5.4. Analisis Ekonomi Eksisting Wilayah Pesisir dan Laut

Ekonomi wilayah pesisir dan kelautan secara eksplisit tercermin dalam sektor-sektor: perikanan tangkap dan budidaya, industri maritim, angkutan laut, serta jasa-jasa hiburan, rekreasi, dan lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005c. Keterkaitan sektor industri sebagai sektor pesisir dan kelautan berkenaan dengan penggunaan ruang wilayah pesisir untuk kegiatan industri. Kabupaten Kepulauan Riau mempunyai dua kawasan industri, yaitu Kawasan Industri Lobam, Kecamatan Bintan Utara, dan Kawasan Industri Kecamatan Bintan Timur di Kijang. Selanjutnya, keterkaitan sektor jasa-jasa hiburan, rekreasi, dan lingkungan sebagai sektor pesisir dan kelautan berkenaan pula dengan penggunaan ruang 105 wilayah pesisir dan sebagai komponen dari pariwisata bahari. Kegiatan utama pariwisata bahari di pulau Bintan adalah obyek wisata Lagoi di pesisir utara Kecamatan Teluk Sebong, obyek wisata Trikora di pesisir timur Kecamatan Gunung Kijang, dan obyek wisata di pulau Mapur Kecamatan Bintan Timur. Tabel 13. Matriks Ekonomi Eksisting 1 Sektor Pesisir dan Kelautan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau sumber: Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005c, serta hasil olahan. TahunMilyar Rupiah No. Sektor Pesisir Dan Kelautan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 2 3 4 5 6 7 1 Perikanan 15.38 18.82 22.77 26.58 31.90 38.28 2 Industri 306.41 329.50 352.90 383.17 412.81 444.74 3 Hotel 2 8.19 9.23 10.03 10.96 12.08 13.32 4 Restoran 3 5.52 6.31 7.22 7.88 8.87 9.90 5 Angkutan Laut 24.60 29.33 33.16 36.39 41.46 47.26 6 Jasa Penunjang 1.20 1.34 1.44 1.53 1.66 1.80 Jumlah 361.30 394.53 427.52 466.51 508.78 555.30 PDRB 720.70 808.04 880.67 957.39 1 053.84 1 159.22 Kontribusi Sektor Pesisir Dan Kelautan Terhadap PDRB

50.13 48.83

48.54 48.73

48.28 47.90

Keterangan: 1 Diambil dari data Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kepulauan Riau Tahun 2000 - 2004 Menurut Lapangan Usaha, Atas Dasar Harga Berlaku Miliar Rupiah dari sumber: Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005c dengan prediksi kenaikan rata- rata per tahun per sektorsub sektor selama periode lima tahun 2000 – 2004 untuk pengisian angka PDRB tahun 2005. 2 Hotel masuk ke dalam sektor pesisir dan kelautan berkenaan dengan penggunaan ruang wilayah pesisir dan sebagai komponen dari pariwisata bahari. 3 Restoran masuk ke dalam sektor pesisir dan kelautan berkenaan dengan penggunaan ruang wilayah pesisir dan sebagai komponen dari pariwisata bahari. Ekonomi wilayah pesisir dan kelautan dalam penelitian ini merujuk kepada angka Produk Domestik Regional Bruto PDRB. Perubahan struktur ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-masing sektor terhadap pencapaian PDRB daerah tersebut. Manfaat dari data PDRB adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi, pergeseran struktur ekonomi dan pendapatan perkapita. Berkenaan dengan itu, maka dapat disusun sebuah 106 matriks ekonomi eksisting sektor pesisir dan kelautan pulau Bintan sebagai ditampilkan dalam Tabel 13. Kontribusi kegiatan sektor pesisir dan kelautan terhadap PDRB adalah sebesar 47.90 untuk tahun 2005. Kontribusi tersebut masing-masing disumbangkan oleh: sektor perikanan sebesar 3.30 , sektor industri sebesar 38.36 , sub sektor hotel dan restoran sebesar 2.00 , sub sektor angkutan laut sebesar 4,08 , dan sub sektor jasa penunjang sebesar 0.16 . Kecenderungan yang menarik yang dapat dilihat dari matriks tersebut adalah: Pertama, sektor perikanan tangkap dan budidaya hanya menyumbang sebesar 3.30 terhadap PDRB, padahal Kabupaten Kepulauan Riau kaya akan sumberdaya perikanan. Dibandingkan dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki, sektor perikanan belum memberikan peranan yang cukup berarti terhadap ekonomi wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Dengan luas wilayah lautan 57 906 km 2 yang merupakan 96.75 persen dari total luas wilayah, kontribusi sektor perikanan terhadap ekonomi wilayah hanya mencapai 2.14 pada tahun 2003, 3.03 pada tahun 2004, dan 3.30 pada tahun 2005 . Kondisi ini mencerminkan pemanfaatan sumberdaya perikanan belum optimal dan belum memberikan nilai tambah yang tinggi. Kabupaten Kepulauan Riau mempunyai potensi perikanan yang sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kondisi ini juga ditunjang dengan posisi geografis yang berada di pertemuan antara Laut Cina Selatan dengan laut pedalaman Indonesia Laut Jawa dan Selat Malaka. Potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan laut dan Laut Cina Selatan mencapai 378.2 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan TAC: total allowable catch adalah 302.5 ribu ton. Berkaitan dengan angka ini, potensi sumberdaya ikan yang masuk dalam wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Riau adalah 106 018 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebanyak 84 814 ton Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005b; 2005c. Kedua, meskipun setiap sektor dan sub sektor pesisir dan kelautan menunjukkan kontribusi yang meningkat dari tahun ke tahun rata-rata dengan pertumbuhan 1.1 per tahun, namun total kontribusi ini cenderung menurun 107 terhadap PDRB. Sumbangan tersebut terus menurun sejak tahun 2000, yaitu sebesar 50.13 , menjadi 48.83 pada tahun 2001, 48.54 pada tahun 2002, meningkat sedikit menjadi 48.73 pada tahun 2003, menurun kembali menjadi 48.28 pada tahun 2004, dan 47.90 pada tahun 2005. Padahal sektor pesisir dan kelautan ini didukung sepenuhnya oleh kontribusi dari sektor industri. Hal ini mengindikasikan bahwa, di satu pihak penggarapan sektor pesisir dan kelautan belum optimal, sementara itu di lain pihak kegiatan sektor-sektor lain mengalami peningkatan yang signifikan. Sektor-sektor dimaksud adalah: pertanian tanaman pangan, perkebuanan, dan kehutanan, pertambangan, bangunan, perdagangan, angkutan darat dan komunikasi, keuangan, dan jasa. Peningkatan angka PDRB sebagaimana nampak dalam uraian di atas, ternyata tidak mencerminkan pemerataan pendapatan di kalangan masyarakat. Pada tahun 2004, distribusi pendapatan relatif tidak merata, hal ini terlihat pada 40 penduduk yang berpenghasilan rendah hanya menerima 6.47 dari jumlah pendapatan, golongan yang berpendapatan menengah menikmati 38.63 dari total pendapatan, dan golongan yang berpendapatan tinggi sebesar 54.90 dari seluruh pendapatan. Apabila dilihat dari pendapatan per kapita masing-masing golongan juga terjadi perbedaan yang signifikan yaitu golongan yang berpenghasilan menengah memperoleh pendapatan sebesar Rp. 1 166 329.7 golongan yang berpenghasilan menengah memperoleh pendapatan sebesar Rp. 6 964 624.5 dan golongan yang berpenghasilan tertinggi memperoleh pendapatan sebesar Rp. 19 798 190.4 lihat Tabel 14. Valuasi ekonomi dengan metode Total Economic Valuation untuk kondisi eksisting diperlukan dan merupakan bagian dari materi atau bahan pembanding untuk Analisis “Ex-Post Θ Ex-Ante” Retrospektif – Prospektif pada bagian akhir disertasi ini. Valuasi ekonomi aksisting harus dikaitkan dengan skema DPSIR, yaitu faktor-faktor yang mendorong driving forces dan memberikan “tekanan” pressure kepada nilai ekonomi kawasan, keadaan lingkungan yang berubah state, dampak perubahan keadaan lingkungan impact, dan upaya-upaya responses yang dilakukan pemerintah dan masyarakat yang mempengaruhi nilai ekonomi kawasan dimaksud. 108 Tabel 14. Pendapatan Perkapita Kabupaten Kepulauan Riau Tahun 2000 – 2004 sumber Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005c. Tahun 2000 2004 Pendapatan Pendapatan Prosentase Perkapita Prosentase Perkapita No Kelompok Pendapatan Rp Pendapatan Rp 1 40 Penduduk Penghasilan Rendah 6.23 1 061 214.8 6.47 1 166 329.7 2 40 Penduduk Penghasilan Sedang 37.87 6 450 720.9 38.63 6 964 624.5 3 40 Penduduk Penghasilan Tinggi 55.9 19 044 625.0 54.9 19 798 190.4 Rata-rata Pendapatan Perkapita Penduduk 0.5016 6 813 583.68 0.4916 7 211 576.95 Urutan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ekonomi berdasarkan Skema DPSIR tersebut adalah sebagai berikut: 1 Driving forces, yaitu akar masalah yang menyebabkan “tekanan-tekanan” pada lingkungan hidup, seperti kebutuhan manusia akan tanah mata pencarian, energi, industri, transportasi, dan sebagainya. Setiap kegiatan pembangunan dipastikan menimbulkan resiko-resiko, demikian pula setiap kegiatan manusia untuk mengembangkan diri dan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, dan untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan serta kenyamanan dalam hidup dan kehidupannya. Perencanaan dan program pemerintah serta keinginan masyarakat yang merupakan “driving forces” yang mengakibatkan “pressures” atau tekanan terhadap lingkungan kawasan pesisir dan kelautan di pulau Bintan adalah: a. kebutuhan untuk memperoleh pendapatan daerah dari penambangan pasir darat dan pasir laut; b. kebutuhan masyarakat akan kayu bakar dan arang dengan memanfaatkan kayu mangrove; c. kebutuhan mata pencarian masyarakat melalui penangkapan ikan dan pengambilan karang untuk bangunan, termasuk kebutuhan pemerintah dan dunia usaha untuk melakukan perluasan pelabuhan, kegiatan perhotelan dan resort dan lain sebagainya pada kawasan terumbu karang. 109 2 Pressures, yaitu tekanan-tekanan terhadap lingkungan hidup, misalnya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup lainnya, yaitu dengan: a. Telah dilakukan penambangan: pasir kuarsa darat di Kecamatan Bintan Timur dengan kapasitas 8.9 juta m3 dan di Kecamatan Bintan Utara dengan kapasitas 50 juta m3; dan pasir laut dengan memberikan area Kuasa Penambangan KP sebanyak 19 sembilan belas KP di perairan laut pulau Bintan Gambar 30; b. Telah berlangsung eksploitasi dan kegiatan manusia atas hutan mangrove akibat seperti penebangan bakau untuk bahan baku arang dan kayu api serta pengalihgunaan lahan menjadi dermaga atau tempat pembuatan kapal, yaitu dari hamparan hutan mangrove di pulau Bintan seluas 14 521 hektar, telah mengalami kerusakan seluas 10 600 hektar rata-rata kerusakan 2.43 per tahun selama kurun waktu 30 tahun terakhir; c. Telah berlangsung eksploitasi dan kegiatan manusia atas terumbu karang, yaitu dari hamparan terumbu karang di pulau Bintan seluas 17 100 hektar, secara umum telah mengalami kerusakan seluas 12 654 hektar; Bahkan khusus di wilayah Kecamatan Bintan Utara sekitar 91 terumbu karang dalam keadaan buruk rusak dan sedang, atau rata-rata kerusakan 2.47 per tahun selama kurun waktu 30 tahun terakhir sumber: hasil kuesioner, Januari 2006; Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005b; 2005c. 3 State, yaitu “keadaan” lingkungan yang berubah akibat adanya “tekanan- tekanan” pressures sebagaimana dimaksudkan di atas, yaitu: a. Kerusakan alam dan ekosistem kawasan penambangan pasir darat lihat contoh foto pada Gambar 28 dan pasir laut; Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan Camat Bintan Timur, penambangan pasir laut telah mengakibatkan meningkatnya kekeruhan air laut, perubahan sirkulasi air laut akibat pengerukan pendalaman dasar laut, rusaknya bagan-bagan ikan dan keramba budidaya ikan nelayan akibat gelombang arus kapal pengangkut pasir, serta bermigrasinya ikan tangkap yang mengakibatkan kerugian nelayan setempat; 110 Kegiatan penambangan pasir laut dihentikan sementara dengan terbitnya Inpres Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut juncto Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33MEN2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut Untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut. Namun, aktivitas tersebut dibuka kembali melalui Keppres Nomor 33 Tahun 2003, dan karena menimbulkan kontroversi lagi maka kemudian ditutup kembali dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 117MPPKEPII 2003; Kerusakan sumberdaya dan ekosistem laut pulau Bintan khususnya, dan gugusan kepulauan Riau pada umumnya, tercermin dari kebutuhan impor pasir kuarsa dan pasir laut oleh Singapura, yaitu: a 1,1 milyar meter kubik untuk pengurukan Jurong Island, b 900 juta meter kubik untuk Western Island, c 400 juta meter kubik untuk North Island, d 300 juta meter kubik untuk Changi Bay, e 200 juta meter kubik untuk Pulau Tekong; Kebutuhan ini bertambah lagi untuk pengurukan Pasir Panjang Phase II sebanyak 150 juta meter kubik, Tuas membutuhkan 40 juta meter kubik, Pulau Sentosa sebanyak 15 juta meter kubik, dan Pungol sebanyak 10 juta meter kubik KOMPAS, 29 November 2002. Duapuluh lima tahun yang lalu, luas wilayah daratan negara Singapura hanya 527 kilometer persegi km2, namun pada tahun 1991 bertambah luas menjadi 633 km2, tahun 1998 bertambah lagi menjadi 674 km2, pada tahun 2001 menajdi 760 km2 dan ditargetkan hingga tahun 2010 menjadi seluas 834 km2 KOMPAS, 21 Oktober 2003; WALHI Riau, 10 September 2004. Penambangan pasir darat: bahan galian pasir darat telah diusahakan yang meliputi areal seluas 1 445.58 hektar, yang terdiri dari: areal seluas 378.22 hektar di Kecamatan Teluk Bintan, areal seluas 386.36 ha di Kecamatan Gunung Kijang, areal seluas 531 ha di Kecamatan Bintan Utara, dan areal seluas 150 ha di Kecamatan Bintan Timur. 111 Gambar 28. Kerusakan alam akibat penambangan pasir darat di sekitar Lobam, Kecamatan Bintan Utara KOMPAS, 12 April 2005 Gambar 29. Kerusakan mangrove akibat pengalihgunaan lahan di Kecamatan Bintan Timur. 112 Pasir darat ini umumnya diekspor ke Singapura, maka kerusakan juga terjadi pada daerah pantai yang digunakan sebagai dermaga pengangkutan, yang dapat diperkirakan meliputi luasan wilayah sekitar 1 dari areal penambangan, atau setara dengan luasan 14.46 hektar. Sehingga seluruh kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan pasir darat ini meliputi areal seluas 1 460.04 hektar. Penambangan pasir laut: saat ini telah diterbitkan 19 sembilan belas KP: Kuasa Penambangan eksploitasi dan 10 sepuluh KP eksplorasi, yang telah mengakibatkan KP: “Kerusakan Prinsip” sumberdaya alam dan ekosistem laut di kawasan perairan laut sekitar pulau Bintan, berupa kekeruhan air laut, abrasi pantai, pelumpuran dan kerusakan terumbu karang Gambar 30. b. Kerusakan alam dan ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove, sehingga dalam wilayah kerusakan mangrove seluas 10 600 hektar lihat contoh foto dalam Gambar 29, telah terjadi kerusakan fungsi penyaringan dan pengendapan sedimen, fungsi dan lokasi pemijahan spawning ground dan lokasi pembesaran nursery ground bagi berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, serta fungsi penyangga keseimbangan alam, khususnya wilayah pesisr dan laut; c. Kerusakan alam dan ekosistem pesisir khususnya ekosistem terumbu karang, sehingga di dalam wilayah kerusakan terumbu karang seluas = 12 654 hektar, telah terjadi kerusakan fungsi kawasan sebagai produsen organik yang tinggi. Hal ini diakibatkan karena kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai “kolam” untuk menampung segala masukan dari luar telah mengalami kerusakan. Demikian pula telah terjadi kerusakan bahkan kepunahan keragaman spesies penghuni terumbu karang, serta tempat berkembang-biaknya ikan- ikan hias yang merupakan komoditas ekspor selain untuk pasar dalam negeri telah mengalami kerusakan pula. Kecuali ekosistem terumbu karang di daerah wisata Lagoi, maka terumbu karang di sekitar pula Bintan ini belum berfungsi sebagai lokasi wisata bawah laut. 113 4 Impact, yaitu dampak perubahan keadaan lingkungan terhadap, ekosistem, keanekaragaman hayati, nilai amenitas kenyamanan, nilai finansial, dan lain sebagainya, dinyatakan dalam nilai kerusakan lingkungan, sebagai berikut: a. Nilai kerusakan ekosistem pesisir dan laut akibat penambangan pasir laut: Kerugian masyarakat dan negara akibat penambangan pasir mencapai 971.4 juta meter kubik, yang telah berlangsung sejak tahun 1970 hingga dihentikannya sementara kegiatan penambangan ini pada tahun 2002, rata- rata sebesar S 1.7 milyar atau setara dengan Rp. 9.52 triliun. Kerugian ini belum termasuk kerugian akibat penambangan liar yang mencapai rata-rata 200 juta meter kubik per tahun atau setara dengan kerugian sebesar Rp. 1.96 triliun per tahun. Penambangan ini dilakukan oleh 67 perusahaan pemegang KP Kuasa Penambangan eksploitasi , di mana 19 di antaranya beroperasi di wilayah perairan laut pulau Bintan Departemen Kelautan dan Perikanan dalam KOMPAS 21 Oktober 2003; WALHI Riau, 10 September 2004; Dinas Pertambangan Kabupaten Kepulauan Riau, 2005. Dari angka ini, maka dapat diperkirakan kerugian ekonomi, lingkungan, dan sosial masyarakat pulau Bintan sebesar rata-rata 96 . 1 . 52 . 9 . 67 19 Rp Rp + ∗ triliun = Rp. 3 255 522 000,- atau Rp. 3.2 triliun lebih. b. Nilai kerusakan dan nilai ekonomi ekosistem mangrove: Nilai kerusakan ekosistem mangrove adalah nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Toepfer, Direktur Eksekutif badan PBB “The United Nations Environmental Program” UNEP, nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan mangrove adalah US 11 326.00 per hektar KOMPAS, 22 Januari 2005 atau dengan kurs Rp. 9,000,- untuk US 1.00 maka nilai kerusakan tersebut adalah Rp. 101 934 000,- per hektar. Toepfer menyatakan nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan akibat tsunami di Aceh yang meliputi 25 000 hektar mangrove dan 29 200 hektar terumbu karang seluruhnya bernilai US 675 juta; dari angka ini diperoleh nilai kerusakan mangrove sebesar US 11 326.00 per hektar, dan terumbu karang tanpa nilai ekowisata rata-rata adalah sebesar US 13 419.00 per hektar. 114 Gambar 30. Peta KP: Kuasa Penambangan eksplorasi warna merah dan KP: Kuasa Penambangan eksploitasi warna kuning sumber Dinas Pertambangan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005. 115 Dengan menggunakan nilai ini, maka nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan mangrove di pulau Bintan mencapai Rp. 1 080 500 400 000,- satu triliun delapan puluh milyar lima ratus juta empat ratus ribu rupiah. c. Nilai kerusakan dan nilai ekonomi ekosistem terumbu karang: Dengan menggunakan nilai UNEP tersebut di atas, maka nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan terumbu karang di pulau Bintan adalah sebesar Rp. 120 771 000,- per hektar atau seluruhnya berjumlah Rp. 1 528 236 234 000,- satu triliun lima ratus duapuluh delapan milyar dua ratus tigapuluh enam juta dua ratus tigapuluh empat ribu rupiah. Komponen-komponen analisis valuasi ekonomi eksisting lainnya serta uraian perhitungannya setelah melalui Skema DPSIR tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1 Biaya-biaya Ekonomi: Terdiri dari: a. Biaya program dan pembangunan, diambil dari data pengeluaran sektor dan sub sektor atau kegiatan yang dibiayai oleh APBD tahun 2005, dengan asumsi kenaikan sebesar rata-rata 3 setiap tahun dari data empat tahun terakhir; b. Nilai kerusakan sumberdaya dan ekosistem, diambil dari perhitungan “warisan” atau “eksisting” kerusakan ekosistem pasir laut, mangrove dan ekosistem terumbu karang pada posisi tahun 2005, dengan asumsi berkurang 8 setiap tahun pasir laut, karena dihentikannya penambangan, namun terjadi penambahan tingkat kerusakan 2.43 mangrove dan 2.47 terumbu karang setiap tahun, sesuai rata-rata tingkat kerusakan setiap tahun selama kurun waktu 30 tahun terakhir, dihitung dari nilai kerusakan sebagaimana disebutkan di atas Toepler, 2005; DKP, 2003; WAHLI Riau, 2005, Dinas Pertambangan Kabupaten Kepulauan Riau, 2005. 2 Keuntungan Ekonomi: Terdiri dari: a. DUV: Direct Use Value, adalah nilai yang diperoleh langsung dari pemanfaatan sumberdaya dan ekosistem; Dalam hal ini output berupa 116 barang dan jasa langsung yang diambil dari sektor pesisir dan kelautan PDRB tahun 2005 lihat Tabel 13, dengan asumsi kenaikan sebesar rata- rata 3 setiap tahun dari data empat tahun terakhir; Komponen DUV yang lain berupa pengeluaran wisatawan dan investasi industri pada posisi tahun 2005; Pengeluaran wisatawan pada tahun 2005 dan dan investasi industri hingga tahun 2005 di pulau Bintan, masing-masing adalah = Rp. 1 889.12 milyar dan Rp. 1 776.32 milyar Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005c; Untuk masing-masing nilai diberi asumsi mengalami peningkatan rata-rata 1 setiap tahun;

b. IUV: Indirect Use Value, yaitu nilai pemanfaatan yang secara tidak