32 f. Stewardship of resources: protect the ecological base of coastal and marine
areas, preserve biological diversity, and ensure sustainability of uses; g. Conflict resolution: harmonize and balance existing and potential uses,
address conflicts among coastal and marine uses; Protection of public safety: protect public safety in coastal and marine areas typically prone to
significant natural, as well as human-made, hazards; h. Proprietorship of public submerged lands and waters: as governments are
often outright owners of specific coastal and marine areas, manage government-held areas and resources wisely and with good economic
returns to public Cicin-Sain and Knecht, 1998.
2.5. Sejarah “Marine Cadastre”: Munculnya Filosofi “The Boundary of Tenure”
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kadaster adalah kantor tempat pendaftaran hak milik Badudu dan Zain, 2001. Selanjutnya dalam pengertian
modern, kadaster dikenal sebagai suatu sistem informasi pertanahan publik. Bab Pendahuluan telah menguraikan perihal asal mula dikenalnya kadaster, yaitu
kembali ke tahun 2.000 S.M. di tepian sungai Nil, Mesir, di mana dalam sejarah tercatat pernah dilaksanakan kegiatan rekonstruksi batas-batas kepemilikan tanah
akibat banjir besar yang melanda tempat permukiman dan daerah pertanian penduduk. Sejak peristiwa di sekitar sungai Nil inilah, yaitu diselenggarakannya
pengukuran, pemetan dan pencatatan serta pendaftaran kembali tanah-tanah pertanian yang kemudian dikenal dengan nama “kadaster”. Demikian pula
selanjutnya dikenal konsep “the boundary of tenure” atau “the boundary of use” sebagai dasar filosofi kadaster.
Sejarah kadaster kemudian berkembang seiring dengan perkembangan ilmu, khususnya matematika. Dalam sejarah dicatat pula bahwa pada tahun 1.500 SM
di Mesir mulai dikenal pengukuran sudut secara matematis dengan cara
33 mengamati lintasan sinar matahari pada permukaan batu ukur stone tablet
dengan menggunakan mistar vertikal Gnomon di atasnya. Namun alat ukur sudut yang pertama dikenal adalah instrumen yang mereka kembangkan kemudian
yang disebut Groma, yaitu empat butir batu yang tergantung oleh tali pada ke- empat ujung batang kayu yang terikat saling tegak lurus. Alat ini dipakai selama
ribuan tahun termasuk untuk pembangunan piramid dan bangunan-bangunan kekaisaran Romawi. Sejak itu pula dikenal seorang yang bernama Lucius
Aebutius Faustus sebagai “Agremèntor” atau juru ukur tanah yang pertama Wallis, 2005.
Periode berikutnya, Eratosthenes 275-195 SM dikenal sebagai “bapak” konsep geometri Lelgemann, 2005, yang kemudian digunakan pula sebagai
dasar pemodelan pengukuran dan pemetaan batas tanah. Sedangkan alat ukur sudut pertama yang merupakan cikal bakal theodolite yang dikenal sekarang
adalah Dioptra, yang dalam bahawa Yunani artinya instrumen untuk melihat dengan jelas, dibuat sekitar tahun 150 SM Wallis, 2005.
“The mile stone” sejarah kadaster berikutnya adalah program Napoleon Bonaparte 1789–1821 untuk mendaftarkan seluruh bidang tanah di Perancis
guna mengatur perekonomian dan membiayai perangnya melalui pungutan pajak tanah dan hasil bumi serta kekayaan penduduk. Napoleon berhasil membangun
kadaster di Perancis dalam masa pemerintahannya, bahkan ia sempat mengeluarkan “fatwa” yang cukup terkenal, yaitu: “Barang siapa dapat
membangun suatu kadaster yang baik, sungguh layak dibuatkan patung baginya”. Pengenalan istilah kadaster di Indonesia pertama kali dilakukan oleh
pemerintah jajahan Belanda ketika membentuk Kadastrale Dienst Dinas Kadaster pada tahun 1823, yaitu sebuah dinas di bawah Departemen Kehakiman.
Pemerintah pendudukan Jepang merubah nama dinas ini menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan Kantor Pendaftaran Tanah. Setelah kemerdekaan,
Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agraria berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1955, namun baru dua tahun kemudian, yaitu melalui Keppres
Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula di bawah Departemen Kehakiman dialihkan dalam lingkungan tugas Kementerian Agraria.
34
Sedikitnya ada delapan tonggak sejarah batas laut dan delapan periode
konsep awal sejarah batas laut dan konsep awal “marine cadastre” sebagaimana
disarikan dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Sejarah Batas Laut dan Konsep Awal “Marine Cadastre” dari berbagai sumber utamanya Soebroto et al., 1983 dan BPN-LPPM ITB, 2003
Sejarah Batas Laut Konsep Awal “Marine Cadastre”
Tahun Peristiwa
Tahun Peristiwa
1945
1957
1958 1960
Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan yuridiksinya atas kekayaan
sumberdaya alam yang berada di dasar laut dan tanah di bawahnya di sepanjang
landas kontinen yang mengelilingi pantainya. Pengumuman ini menggugah
negara-negara pantai lainnya untuk berbuat yang sama.
Deklarasi Djuanda: Pengumunan Pemerintah tentang Perairan Indonesia
dalam suatu Konsep Wawasan Nusantara sebagai konsekuensi logis dan geografis
bagi sebuah negara kepulauan archipelagic state. Deklarasi yang
dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1957 ini sekaligus merupakan “kontra”
undang-undang pemerintah kolonial Belanda: “Territoriale Zee- en Maritiem
Kringen Ordonantie 1939” Ordonansi Laut Wilayah dan Lingkungan Maritim.
Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke I digelar di Geneva.
Digelar Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke II di Geneva;
Pada tahun yang sama, terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
PERPU Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus
merupakan “pengukuhan” Deklarasi Djuanda 1957.
1982
1989
1991
1999
2000 Lahirnya UNCLOS 1982 merupakan “tonggak
sejarah” yang melahirkan konsep “Marine Cadastre” berangkat dari filsofi dan isu “the
boundary of use”. Sue Nichols, Kandidat Ph.D. di Universitas New
Brunswick, Kanada menulis tentang “Water Boundaries – Coastal” dan ide awal konsep
“Marine Cadastre”. Konferensi Pacem in Maribus di Lisbon
menetapkan tema “Ocean Governance” yang merupakan ‘cikal bakal’ pula dari
berkembangnya konsep “Marine Cadastre”. Konsep ini mulai ramai dibicarakan dalam
seminar, workshop, dan juga dalam proyek- proyek penelitian, antara lain:
• Canadian Center for Marine Communication menerbitkan Draft MGDI: Marine Geospatial
Data Infrastructure; • Sue Nichols dan David Monahan menulis
tentang: Fuzzy Boundaries of the Sea; • Sue Nichols, David Monahan, dan Michel
Sutherland menulis tentang menawarkan konsep Good Ocean Governance;
• Terminologi “Marine Cadastre” mulai dikenalkan, antara lain Sue Nichols,
Hoogsteden dan Robertson, serta Grant; Sebuah proyek “Marine Cadastre” dilaksanakan
di Kanada oleh beberapa peneliti, yaitu Sam Ng’ang’a, Sue Nichols, Michel Sutherland, dan
Sarah Cockburn;
35
Sejarah Batas Laut Konsep Awal “Marine Cadastre”
Tahun Peristiwa
Tahun Peristiwa
1969
1973 1980
1982
1983 1985
1996
1999
2004 Pemerintah Indonesia pada tanggal 17
Februari 1969 menerbitkan Pernyataan atau Pengumuman tentang Landas
Kontinen dalam perairan laut Indonesia. Terbit UU Nomor 1 Tahun 1973 Tanggal
6 Januari 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;
Dalam tahun yang sama mulai digelar Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke
III digelar di New York; Sidang ini berlangsung bertahap selama 9
sembilan tahun hingga sidang yang ke 12 pada tahun 1982.
Pengumuman Pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1980 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Ditandatanganinya United Nations
Convention on the Law of the Sea UNCLOS oleh 119 negara di dunia
pada tanggal 7 Oktober 1982.
Terbit UU Nomor 5 Tahun 1983 tanggal 18 Oktober 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982
melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985.
Terbit UU Nomor 16 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia sebagai pengganti
dan penyempurnaan PERPU Nomor 4 Tahun 1960.
Terbit UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya yang
mengatur batas wilayah laut provinsi dan kabupatenkota.
Terbit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
UU Nomor 22 Tahun 1999. 2001
2002
2003
2004
2005 Kelompok Kerja 2 PCGIAP – FIG
mengeluarkan Resolusi No. 6 tentang “Marine Cadastre” diawali dari PCGIAP Meeting 7
th
di Tsukuba, Jepang 24 – 27 April 2001 dan
pertemuan lanjutan di Penang, Malaysia 11 – 12 September 2001. Dalam kedua pertemuan
ini Williamson dan Widodo menyampaikan pula presentasi perihal konsep “Marine Cadastre”.
Tercatat banyak seminar, workshop maupun penelitian mendalami konsep “Marine
Cadastre”, bahkan US DOC-NOAA telah menetapkan kebijakan tentang “US Marine
Cadastre”; Beberapa penulis telah pula secara intensif membahas konsep ini, misalnya:
• Collier, Leahly, dan Williamson mengusulkan konsep “Australian Marine Cadastre”;
• Jacub Rais menawarkan konsep “Marine Cadastre” untuk Indonesia;
• Beberapa “statement” dalam surat khabar juga menyoroti perihal “Marine Cadastre”,
antara lain: Budi Sulistyo dan Sarwono Kusumaatmadja dalam harian KOMPAS;
LPPM ITB Bandung berkerjasama dengan BPN menghasilkan dokumen “Studi Pengembangan
Kadaster Kelautan di Indonesia”; Sementara itu Widodo menyampaikan makalah
tentang “Spatial Data Infrastructure and Marine Cadastre” dalam sebuah FIG Weekly Meeting di
Paris;
• Secara berurutan Tamtomo dan Widodo menyampaikan makalah tentang “Marine
Cadastre” dalam 3
rd
FIG Regional Conference di Jakarta;
• Telah terbit buku “Menata Ruang Laut” terbitan Pradnya Paramita ditulis oleh Rais
et al. termasuk perihal “Marine Cadastre”; • Telah diselenggarakan sebuah seminar oleh
FT UGM “Kadaster Laut dan Peran Geodesi-Geomatika Untuk Masyarakat” di
Yogyakarta; • Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat
mencanang-kan “Implementation Plan for a Multipurpose Marine Cadastre” US DOI –
MMS, 2004 Jacub Rais dan J.P.Tamtomo menulis tentang
kasus Blok Ambalat: “Make Marine Cadastre Not War” KOMPAS, 11-04-2005
36
2.6. Tujuan dan Manfaat Penyelenggaraan “Marine Cadastre”