11
2.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
Dalam perspektif definisi konsepsional, pemanfaatan ruang dalam teori ICOZM adalah merupakan bagian atau sebagai implementasi dari perencanaan
tata ruang. Perencanaan adalah seni dalam pengambilan keputusan di bidang sosial secara rasional, suatu aplikasi formulasi dan implementasi program dan
kebijakan ke depan, suatu proses di mana masyarakat mengontrol dan mengarahkan diri mereka sendiri, suatu proses rasionalisasi kepentingan publik,
atau suatu upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis kepada proses arahan sosial atau transformasi sosial. Perencanaan yang baik adalah perencanaan
yang berbasis kepentingan masyarakat. Apabila tujuan utama dari sistem perencanaan atas tanah adalah untuk
mengatur perkembangan dan penggunaan tanah untuk kepentingan publik, maka definisi formal atas perencanaan tata ruang laut sejauh ini belum banyak
dikembangkan Canning and Gilliland, 2003. Dalam bahasa sederhana perencanaan tata ruang laut adalah suatu perencanaan stratejis untuk mengatur,
mengelola dan melindungi lingkungan laut dari kompleksnya, kumulatifnya dan sangat potensialnya konflik penggunaan sumberdaya dan ruang laut. Perencanaan
tata ruang laut harus dapat memasukkan mekanisme untuk mencapai integrasi dari beberapa sektor yang berbeda. Isu utama dari definisi tersebut adalah elemen-
elemen yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang laut, yaitu yang meliputi: 1 Data dan informasi lingkungan laut;
2 Skala perencaraan ruang; 3 Sektor-sektor kelautan yang disertakan;
4 Penilaian lingkungan stratejis terhadap lingkungan laut secara keseluruhan; 5 Pendapatan dari ijin-ijin kelautan;
6 Pengaturan praktis dalam pengelolaan kegiatan-kegiatan kelautan; 7 Tanggungjawab dalam pembangunan, implementasi, monitoring, dan
penegakan hukum dari rencana tata ruang laut; 8 Meyakinkan keterlibatan para lintas pemangku kepentingan.
Adapun prinsip-prinsip dalam arahan dan pengembangan perencanaan tata ruang laut yang harus dipegang, adalah:
1 Konservasi dan pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari prinsip-prinsip: a. Pembangunan berkelanjutan,
b. Manajemen terpadu, c. Konservasi keanekaragaman biologi;
12 d. Ilmu pengetahuan yang kuat,
e. Prinsip keselamatan, f. Keterlibatan pemangku kepentingan, dan
g. Prinsip-prinsip “pencemar membayar” dan “pengguna membayar”.
2 Pendekatan ekosistem, yang terdiri dari prinsip-prinsip: a. Menyediakan dan berkerja di dalam suatu rangkaian tujuan ekosistem
yang jelas, b. Pemanfaatan lebih besar dari penilaian lingkungan dan sosial-ekonomi,
c. Penggunaan manajemen strategis yang lebih baik dari aktifitas manusia di lingkungan laut,
d. Pengambilan keputusan dan aksi manajemen yang mempertimbangkan keanekaragaman biologi dan memperteguh arah pembangunan yang
berkelanjutan, e. Memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam proses pengambilan keputusan,
f. Mengembangkan penelitian dan monitoring yang lebih terfokus, dan g. Melibatkan para lintas pemangku kepentingan secara penuh.
3 Integrasi: diperlukan pemaduan seluruh program dan kepentingan yang ada di sektor kelautan untuk dapat menangulangi masalah-masalah yang
berkelanjutan. Langkah-langkah menuju integrasi dalam perancanaan tata ruang laut diawali dari komunikasi, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama,
koordinasi, harmonisasi dan barulah kemudian integrasi. Kebijakan penataan ruang laut pada umumnya, dan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan khususnya dewasa ini masih bersifat parsial, baik ditinjau dari sisi cara pandang sektoralisme parsial: baik sektor kegiatan maupun sektor
wilayah keruangan, pembangunan daratan terpisah dengan pembangunan kelautan Kusumastanto 2002a, maupun dari sudut pandang pengutamaan
strategi tertentu saja Nikijuluw, 2002. Konsep kebijakan penataan ruang pesisir dan lautan yang berkeadilan mengandung implikasi yang luas.
Pertama, berkeadilan di sini dapat diukur dari aspek keadilan di antara para lintas pemangku kepentingan, yaitu tripartit “good ocean governance”: negara,
sektor privat, dan masyarakat. Negara sebagai pemegang hak penguasaan tertinggi atas bumi, air, dan ruang angkasa berikut seluruh kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya harus dapat merencanakan pengelolaan sumberdaya ini secara adil, bijaksana, dan berkelanjutan serta dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip desentraliasi kewenangan dan pelaksanaan otonomi daerah juga merupakan indikator utama kepemerintahan yang baik
13 tersebut, termasuk pula penghargaan atas kearifan lokal dan pengakuan atas hak-
hak masyarakat hukum adat atas ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua, berkeadilan di sini mempunyai konotasi pula menurut aspek
keruangan. Perencanaan ruang dan pembangunan di sektor daratan tidak boleh merugikan atau berdampak merusak ruang dan ekosistem pesisir dan lautan.
Ketiga, berkeadilan di sini harus pula dapat dipandang dari sisi resolusi konflik, yaitu bagaimana perencanaan tata ruang pesisir dan lautan dapat menghindari
serta menyelesaikan konflik atas ruang dan penggunaan ruang pesisir dan lautan. Pengembangkan konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut yang
berkeadilan harus menggunakan perspektif tata ruang dan ekologi sebagai arus utamanya bersama-sama dengan prinsip keadilan dalam aspek tripartit lintas
pemangku kepentingan, aspek keadilan dan kesetaraan kewilayahan, serta aspek keadilan dalam menghindari dan menyelesaikan konflik. Artinya bahwa, konsep
perencanaan tata ruang daratan, pesisir, dan lautan harus menjadi satu kesatuan perencanaan dengan memaksimalkan saling menguntungkan serta meminimalkan
kerugian dan kerusakan. Untuk itu maka prinsip utama yang harus dipedomani adalah, lakukan sinergi perencanaan dan pembangunan wilayah daratan dan
pesisir, melalui prinsip kesetaraan dan kesesuaian tata ruang dan ekologi, sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sumberdaya alamnya, dan diselenggarakan
dalam rangka untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep “milik bersama” dalam doktrin “mare liberum” kebebasan di laut
Grotius mengakibatkan “dilema kepemilikan bersama” dan “tragedi kepemilikan bersama” karena menganggap sumberdaya sebagai “res nullius” tidak dimiliki
dan oleh karenanya “akses bebas”. Doktrin ini awalnya lahir dari masalah di wilayah luar landas kontinen 200 mil laut, namun sungguh tidak dapat
dibenarkan adanya doktrin “akses bebas” dan terjadinya “tragedi tragedi kepemilikan bersama” di wilayah pesisir, maka doktrin ini berlaku pula di wilayah
ini. Namun, sejak terbitnya artikel yang ditulis oleh Garret Hardin pada tahun 1968 yang berjudul “Tragedy of the Commons”, konsep tersebut terus dikritik dan
akhirnya UNCLOS 1982 mematahkan doktrin “mare liberum”, sumberdaya lautan disepakati sebagai “res communes” atau “properti bersama” dalam konsep
laut sebagai “warisan umat manusia”.
14 Faham Grotius yang masih mengilhami banyak orang dewasa ini, yang tidak
menyetujui adanya partisi boundary atau persil laut, karena menganggap setiap orang berhak dan bebas mengakses, memanfaatkan, dan mengeksploitasi laut
sebagai milik bersama. Sedangkan di pihak lain, sebagaimana telah banyak dilakukan dewasa ini, penerapan konsep tentang perlunya partisi atau persil laut
justru dilakukan sebagai langkah awal menuju pentadbiran lautan ocean governance.
Kepemerintahan di lautan dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan ruang dan sumberdaya laut secara terpadu dan berkelanjutan,
melindungi hak-hak bersama, hak privat dan hak masyarakat tertentu, serta melindungi ekosistem, taman-taman laut dan kawasan lindung lainnya.
Praktek masa lalu atas kasus-kasus pengkaplingan laut tertentu yang melanggar azas “akses publik” dan kelestarian alam dan ekosistemnya, telah
menyebabkan pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep persil-persil laut. Warisan umat manusia itu seharusnya dijaga agar tidak terjadi konflik dan tidak
melampaui batas daya dukungnya dan dimanfaatkan bersama untuk dapat memberikan kesejahteraan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.
Namun sering terlihat adanya praktek-praktek ‘konsep’ pemilikan oleh negara, perseorangan dan badan hukum atas persil laut dan pesisirnya secara
eksklusif berupa real estat pantai, bangunan dan jasa kelautan, hotel dan resort. Termasuk dalam hal ini adalah berbagai kegiatan pengurukan pantai berbasis
legitimasi perijinan ijin lokasi atau hak kepemilikan hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah yang mengejar keuntungan dengan mengabaikan bahkan
merusak ekosistem di lokasi pengurukan maupun daerah di sekitarnya. Pengurukan pantai terlanjur diartikan sebagai reklamasi, suatu penggunaan
terminologi yang menyesatkan, karena reklamasi dari bahasa Inggeris: “reclamation” berarti: 1 pemulihan kembali tanah tandus waste land atau
kering melalui irigasi dan pemupukan, atau 2 suatu proses untuk menghasilkan barang yang berguna useful dari sisa-sisa produksi waste
products Webster’s New World College Dictionary, 1997. Paradigma laut sejak awal abad ke 17, tepatnya tahun 1609, melalui gagasan
Grotius Hugo de Groot, yaitu yang pada waktu itu adalah seorang pelajar
15 berkebangsaan Belanda tentang “mare liberum” yaitu kebebasan laut, masih
membayangi pola pikir saat ini. Padahal konsep ini telah mengakibatkan “common property dilemmas” serta melahirkan “tragedy of the commons” di
mana-mana. Menimbulkan konflik-konflik maritim, overfishing, kerusakan ekosistem pesisir dan lautan, polusi, dan pembuangan limbah-limbah berbahaya di
lautan. Sesungguhnya ide dasar kebebasan laut ini adalah untuk memberikan legitimasi negara-negara kolonial Eropa untuk menguasai samudera, yang pada
akhirnya menguasai dunia mengembangkan wilayah-wilayah jajahannya. Motto mereka: “who command the sea, control the world”. “Mare liberum” inilah awal
dari kolonialisme di negara-negara Asia, Afrika, danAmerika Selatan oleh negara- negara barat dengan teknologi perkapalan jarak jauh.
Doktrin “freedom of the seas” ini sesungguhnya merupakan reaksi atas doktrin “mare clausum” laut tertutup, yang terkait dengan pernyataan Paus
Alexander VI, Inter Caertera 1493, Treaty Tordessillas 1494, dan klaim Portugal serta Spanyol yang memiliki hegemoni atas wilayah lautan di dunia. Hugo
Grotius, sebagaimana kebanyakan orang Belanda pada masa itu, perlu menentang doktrin yang memberikan hegemoni wilayah laut dunia kepada Portugal dan
Spanyol karena Belanda mempunyai kepentingan yang sangat besar, khususnya bagi perusahaan VOC Dutch East India Company atas wilayah lautan Hindia
East Indies. Setelah itu, khususnya sejak akhir Perang Dunia II, muncul doktrin bahwa lautan dan sumberdaya lautan adalah warisan umat manusia, sehingga
semua bangsa di dunia ini mempunyai hak yang sama untuk menikmati kekayaan yang berada di lautan, tidak terkecuali, kendatipun negara tersebut tidak memiliki
laut. Doktrin “the sea is a common heritage of mankind ” ini semakin menguat sejak “Pacem in Maribus”, sebuah Konferensi Institut Kelautan Internasional
yang didirikan pada tahun 1972 Rais et al., 2004, Cicin-Sain and Knecht, 1998. Perdebatan lain terus berlangsung antara konsep imperium atau
souvereignity kedaulatan dan konsep dominium kepemilikan. Demikian pula tentang bentuk kedaulatan dan kepemilikan, apakah mutlak, atau bersifat
stewardship atau trusteeship. Pada tahun 1982 dunia internasional sepakat atas Konvensi PBB Tentang Hukum Laut UNCLOS di mana Indonesia telah
meratifikasinya melalui UU No. 17 Tahun 1985. Dalam konvensi ini dengan
16 tegas telah diatur mengenai laut wilayah teritorial, wilayah tambahan, dan Zona
Ekonomi Eksklusif suatu negara berikut hak-hak, batasan-batasan serta kewajibannya.
Dengan adanya UNCLOS 1982 maka doktrin “ocean space as a common” tidak berfungsi lagi, karena telah ada perangkat hukum pentadbiran lautan yang
telah disepakati tersebut, antara lain tentang penetapan Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif ZEE, dan landas kontinen suatu negara. Sejak berlakunya
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 ini, maka mulailah berkembang konsep “marine cadastre”. Konsep ini mengarah kepada obyek wilayah laut teritorial,
tidak dapat diterapkan azas “marine cadastre” di ZEE, karena tidak ada “tenure system” pada zona ini dan bukan merupakan wilayah kedaulatan suatu negara.
Selanjutnya dalam konferensi Pacem in Maribus PIM ke XIX di Lisbon pada tanggal 18-21 November 1991 ditetapkan sebuah tema: “Ocean Governance:
National, Regional, Global Institutional Mechanisms for Sustainable Development in the Oceans” atau “Pentadbiran Lautan: Mekanisme Kelembagaan
Nasional, Regional, dan Global Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Lautan” Rais et al., 2004.
Pertentangan serta kesesuaian kepentingan dan pemanfaatan secara ekonomi, ekologi, dan sosial-politik atas ruang pesisir dan lautan merupakan isu
pokok yang telah berkembang selama beberapa abad ini. Meskipun Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 telah banyak diratifikasi
dan dipedomani oleh sebagian besar negara-negara di dunia, dan bahkan telah dikeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk wilayah pesisir
dan laut teritorial nasional, namun pandangan berdasarkan doktrin-doktrin kelautan di masa lalu mare liberum dan mare clausum masih tetap mewarnai
cara pandang dan pola pikir serta tindakan para lintas pemangku kepentingan stakeholders di wilayah ini. Berkenaan dengan itu diperlukan suatu pemahaman
yang benar, agar lautan sebagai warisan seluruh umat manusia dapat dijaga kelestariannya, sehingga pembangunan pesisir dan lautan dapat terus berlangsung
dalam siklus berkelanjutan untuk kesejahteraan umat manusia. Konflik kepentingan di wilayah pesisir daratan pesisir dan perairan laut
terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas
17 kegiatan manusia di wilayah tersebut. Berdasarkan publikasi Vallega pada tahun
1990 dan dari hasil penelitian Couper pada tahun 1993 di Laut Mediterania, maka dari 29 kegiatan dan pemanfaatan perairan pesisir dan apabila masing-masing
kegiatan diurutkan dalam suatu matriks kegiatan, maka ditemukan 100 pasang kegiatan yang saling bertentangan bertentangan konflik dan 60 pasang kegiatan
yang saling membahayakan satu dengan lainnya Cicin-Sain and Knecht, 1998 Gambar 2.
Gambar 2. Interaksi antara penggunaan dan aktifitas ruang pesisir dan laut di Laut Mediterania menurut Couper, 1993 dan Vallega, 1990
sebagaimana gambar dan teks aslinya Cicin-Sain and Knecht, 1998
Relasi:
▲ Saling bertentangan x
Saling membahayakan Membahayakan terhadap kegiatan I
Membahayakan terhadap kegiatan J
√ Saling menguntungkan
● Menguntungkan terhadap kegiatan I ○ Menguntungkan terhadap kegiatan J
18 Telah dikemukakan di atas bahwa penyebab utama dari konflik-konflik
tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Pada sisi lain
terdapat berbagai kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang yang juga merupakan masalah utama, yaitu:
1 Belum merupakan satu kesatuan dengan produk rencana pembangunan daerah lainnya, seperti Propeda;
2 Sering terlambat terhadap proses pembangunan daerah; 3 Kualitas rencana tata ruang yang masih rendah;
4 Sering kali tidak diperkuat oleh aturan perundangan atau belum ada penegakan hukumnya;
5 Belum tersosialisasi dengan baik terhadap seluruh pelaku pembangunan; dan 6 Kualitas sumberdaya pelaku pembangunan di daerah masih perlu peningkatan
Kusumastanto, 2001. Dua tipe utama konflik atas sumberdaya pesisir dan lautan adalah: 1
konflik di antara para pengguna perihal penggunaan atau ketidak-penggunaan wilayah pesisir dan lautan tertentu, dan 2 konflik di antara instansi pemerintah
yang menjalankan program pesisir dan lautan Cicin-Sain and Knecht 1998. “Pengguna” yang dimaksudkan di sini adalah baik pengguna langsung seperti:
operator penambangan dan transportasi minyak dan nelayan, maupun pengguna tak langsung atau pengguna potensial misalnya kelompok-kelompok lingkungan
yang mempromosikan nilai-nilai non-komersil pesisir dan lautan, angota-anggota masyarakat yang tinggal di tempat lain, serta generasi mendatang. Karena
sebagian besar sumberdaya kelautan merupakan kekayaan publik, dan terdapat pula kepentingan-kepentingan strategis dari publik dan sosial dalam pengelolaan
bagian daratan dari wilayah pesisir, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan para pengguna tak langsung tersebut harus pula diperhitungkan.
“
Konflik antar instansi pemerintah” ini dapat berupa konflik di antara lembaga pemerintah pada level yang sama baik di tingkat nasional, provinsi, dan
lokal; maupun konflik antar tingkatan lembaga pemerintah yang berbeda. Konflik ini berawal dari berbagai sebab, yaitu karena perbedaan misi dan mandat,
perbedaan persepsi dan keterampilan personel, perbedaan partner eksternal instansi pemerintah, dan kurangnya komunikasi dan informasi. Ada beberapa
19 tipikal manifestasi konflik di antara para pengguna, yaitu: 1 kompetisi pada
ruang pesisir dan lautan; 2 efek bertentangan dari suatu kegiatan seperti pengeboran minyak, dengan kegiatan lainnya seperti perikanan; 3 pengaruh
yang bertentangan dalam ekosistem; dan 4 pengaruh pada ekosistem pesisir, seperti kompetisi dalam wilayah pelabuhan.
Dalam konteks pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia, Kusumastanto 2001 berpendapat bahwa penyebab utama dari konflik-konflik
tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Contoh-contoh
“kecil” konflik dimaksud adalah: konflik penggunaan ruang di Pantai Indah Kapuk Jakarta, konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl, konflik antara
kepentingan konservasi dengan pariwisata di taman laut Kepulauan Seribu, serta kontroversi “pengurukan” pantai Manado.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan perencanaan dan pengelolan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, agar pemanfaatn ruang dan
sumberdaya pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Khusus berkaitan dengan resolusi konflik, maka pada
intinya perencanaan dan pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu ini tipikal berfungsi sentral untuk mengatasi konflik di antara pengguna dan instansi di
pesisir dan lautan Cicin-Sain and Knecht, 1998. Senada pula dinyatakan bahwa masalah pengelolaan pesisir sesungguhnya pertama-tama harus terpusat kepada
isu-isu konflik Kay and Alder 1999. Dalam sejarah sistem politik di Indonesia, periodisasi kebijakan umumnya
dibagi ke dalam tiga era, yaitu era orde lama, era orde baru dan era reformasi. Namun dalam konteks pembangunan kelautan, dikhotomi tersebut tidak banyak
berpengaruh, karena kebijakan kelautan di masa lalu dan masa yang sedang berlangsung saat ini masih berorientasi kepada paradigma lama.
Pada masa lalu orientasi pembangunan mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Sistem kebijakan bersifat social exclusion sentralistik otoriter yang
menyebabkan timbulnya masyarakat marginal yang miskin dan mempunyai posisi tawar yang lemah. Pelayanan birokrasi bersifat normatif, fungsi pemerintah
20 sebagai provider, dan pengambilan keputusan bersifat top-down Budiharsono
2001. Konsep mengejar pertumbuhan ekonomi banyak mengabaikan aspek
kelestarian dan daya dukung lingkungan dengan cara mengekploitasi secara besar- besaran sumberdaya pesisir dan lautan yang ada. Konsep pembangunan ini pula
telah mengabaikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan, hak-hak masyarakat atas sumberdaya di wilayahnya, serta mengembangkan rezim
open access yang mengakibatkan terjadinya moral hazard Kusumastanto 2003a. Strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan pesisir memerlukan
pergeseran landasan epistemologi pembangunan dari konsep pembangunan berkelanjutan Michael Redclif kepada konsep penguatan pengetahuan lokal
Feyereban serta Friberg dan Hettne. Kegagalan doktrin pembangunan berkelanjutan dapat menghancurkan sumberdaya alam pulih di negara dunia
ketiga, seperti hutan dan sumberdaya perikanan, karena beban biaya yang ditimbulkan ditanggung sendiri oleh negara berkembang, sementara negara maju
tetap meningkatkan aktifitas ekonomi dengan merusak lingkungan hidup. Melalui landasasan epistemologi pembangunan yang bercirikan kearifan lokal ini, maka
communal property rights atas sumberdaya kelautan diakui, sehingga berkembangnya moral hazard akibat rezim open access atas sumberdaya
kelautan seperti pada era Orde Baru dapat dihindari Kusumastanto, 2003a; Sejalan dengan itu, strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan
pesisir memerlukan pula pergeseran dari paradigma eksklusi sosial sentralisitik otoriter kepada paradigma inklusi sosial masyarakat sebagai main stakeholder
serta diakuinya indegenous knowledge dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam konsep ini diperhatikan hak-hak kepemilikan property right
masyarakat, hak ulayat masyarakat hukum adat, hak-hak perolehan rakyat entitlement, dan manfaat sosial social benefit terbesar diberikan kepada
masyarakat Budiharsono, 2001.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa strategi masa depan
perencanaan dan pengelolaan pesisir harus bersifat holistik; dari sisi keruangan harus meliputi perencanaan dan pengelolaan mulai wilayah hulu dan hilir
daratan hingga lautan secara terpadu, dari sisi kewenangan harus dimulai dari
21 kewenangan daerah dan kearifan lokal; melibatkan semua lintas pemangku
kepentingan; berwawasan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam melalui pendekatan konsep carrying capacity; dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat melalui penyelenggaraan good ocean governance. Banyak keberhasilan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan yang
dapat dikemukakan. Misalnya di bidang kelembagaan, kebijakan nasional sektor kelautan dan perikanan dapat ditangani oleh suatu lembaga, yaitu Departemen
Kelautan dan Perikanan DKP. Namun demikian sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, tidak semua kebijakan publik tersebut membuahkan keberhasilan,
masih tersisa pula kegagalan yang memerlukan solusi untuk mengatasinya.
Tabel 1. Kegagalan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan disarikan dari Kusumastanto, 2003a
No Isu Pokok
Kegagalan Kebijakan Baik Yang Ada Mapun Yang Berpotensi Terjadi Kebijakan Tidak Memuaskan
1
Pasir laut dan penambangan laut
Kerusakan lingkungan, eksploitasi ilegal, berkurangnya mata pencaharian nelayan, konflik kepentingan pusat dan daerah, indikasi KKN
2 Perikanan tangkap
Pencurian ikan oleh kapal asing, pengawasan yang lemah, konflik nelayan tradisional dengan nelayan modern dan nelayan asing
3 Pulau kecil
Rusaknya ekosistem pulau kecil, indikasi terancam tenggelamnya sebanyak 4.000 pulau pada tahun 2012
4
Pariwisata bahari
Kerusakan habitat terumbu karang sekitar 70 dengan estimasi kerugian sekitar US 45 juta, rusaknya sebagian besar hutan mangrove
5 Perikanan budidaya
Matinya udang, ikan mas, ikan koi di pulau Jawa akibat virus dengan kerugian sekitar Rp. 90 milyar
6 Pelabuhan umum
dan perikanan serta lemahnya
Armada Laut Nasional Pendangkalan beberapa pelabuhan tradisional, belum terdesentralisasinya
perijinan pelabuhan, daya saing angkutan laut nasional yang rendah 7
Embargo hasil perikanan Adanya ancaman embargo ikan budidaya khususnya dari Singapura dan Jerman,
belum dicabutnya embargo udang dari Amerika Serikat, ancaman embargo ikan tuna
8 Sumberdaya manusia
kelautan Rendahnya pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam pemanfaatan
sumberdaya laut, rendahnya daya saing pelaut Indonesia 9
Degradasi lingkungan pesisir dan laut
Terjadinya pencemaran sumberdaya hayati laut oleh logam berat dan buang limbah yang menghancurkan industri pertambakan, terjadinya abrasi pantai di
beberapa daerah 10
Keamanan laut Nelayan merasa tidak aman melakukan penangkapan ikan di laut, perusahaan
merasa tidak aman melakukan pengangkutan barang di laut 11 Kelembagaan
retribusi hasil perikanan
Ketidakjelasan kewenangan untuk memungut retribusi hasil perikanan dalam era otonomi daerah
12 Pelanggaran HAM
Penggunaan tenaga
anak-anak dalam bisnis kelautan
22
Masalah kebijakan publik timbul apabila kondisi sumberdaya alam dan lingkungan tidak sama dengan yang diharapkan, atau dengan kata lain ada
perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Pentingnya peranan analisis kebijakan nampak jelas di sini serta merupakan kebutuhan untuk menuju
pencapaian suatu “good ocean governance”.
2.3. Konsep “Marine Cadastre”