khususnya energi panas adalah adanya setrika listrik yang membantuk meringankan pekerjaan rumah tangga.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA terdiri dari empat unsur yang meliputi produk, proses, sikap dan teknologi yang dalam kehidupan
sehari-hari keempat dimensi tersebut saling berkaitan satu sama lain yang terjadi dalam pembelajaran IPA di SD.
2.1.5 Pembelajaran IPA di SD
Menurut Wisudawati 2014:26 pembelajaran IPA dapat digambarkan sebagai suatu sistem, yaitu sistem pembelajaran IPA. Sistem pembelajaran IPA,
sebagaimana sistem-sistem lainnya terdiri atas komponen masukan pembelajaran, proses pembelajaran, dan keluaran pembelajaran. Pembelajaran IPA sebagai suatu
sistem dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.4 Sistem Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA
adalah interaksi
antara komponen-komponen
pembelajaran dalam bentuk proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran IPA harus
memerhatikan karakteristik IPA sebagai proses dan IPA sebagai produk. IPA
Masukan instrumental: Kurikulum, guru, metode, media,
sarana prasarana
Masukan peserta didik Proses pembelajaran IPA
Masukan lingkungan sosial dan alamiah
Keluaran siswa yang berhasil
Lulusan yang berhasil
memiliki karakteristik sebagai dasar untuk memahaminya. Karakteristik tersebut menurut Jacobson dan Bergman dalam Wisudawati, 2014:170 meliputi : 1 IPA
merupakan kumpulan konsep, prinsip, hukum dan teori: 2 proses ilmiah dapat berupa fisik dan mental, serta mencermati fenomena alam, termasuk juga
penerapannya: 3 sikap keteguhan hati, keingintahuan, dan ketekunan dalam menyingkap rahasia alam: 4 IPA tidak dapat membuktikan semua akan tetapi
hanya sebagian atau beberapa saja: 5 keberanian IPA bersifat subjektif dan bukan kebenaran yang bersifat objektif.
Pembelajaran IPA merupakan pembelajaran berdasarkan pada prinsip- prinsip, proses yang mana menumbuhkan sikap ilmiah siswa terhadap konsep-
konsep IPA. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di sekolah dasar dilakukan dengan penyelidikan sederhana dan bukan hafalan terhadap kumpulan konsep
IPA. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut pembelajaran IPA akan mendapat pengalaman langsung melalui pengamatan, diskusi, dan penyelidikan sederhana.
Pembelajaran yang demikian dapat menumbuhkan sikap ilmiah siswa yang diindikasikan dengan merumuskan masalah, menarik kesimpulan, sehingga
mampu berikir kritis melalui pembelajaran IPA. Karakteristik belajar IPA menurut Usman 2011: 43 dapat diuraikan
sebagai berikut: 1 proses belajar IPA melibatkan hampir semua alat indera, seluruh proses berpikir, dan berbagai macam gerakan otot; 2 belajar IPA
dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara; 3 belajar IPA memerlukan berbagai macam alat untuk membantu pengamatan; 4 belajar IPA
seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan ilmiah; 5 belajar IPA merupakan proses aktif.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran IPA yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan maka perlu melaksanakan pembelajaran
dengan menerapkan keterampilan proses IPA yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Teori pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget. Teori perkembangan kognitif oleh Piaget menjelaskan mengenai konstruktivisme, yaitu suatu
pandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri melalui pengalaman nyata. Teori belajar yang mendukung pendidikan IPA adalah teori Piaget dan
teori Konstruktivisme. Teori Piaget menguraikan perkembangan kognitif dari masa bayi sampai masa dewasa. Sedangkan teori konstruktivisme menekankan
bahwa peserta didik tidak menerima begitu saja ide-ide dari orang lain. Mereka membangun sendiri dalam pikiran mereka ide-ide tentang peristiwa alam dari
pengalaman sebelum mereka mendapat pelajaran IPA disekolah. Ide-ide yang mereka bentuk dan pengajaran IPA yang mereka dapat di sekolah disimpan di
dalam struktur kognitif mereka. Proses dan perkembangan belajar anak Sekolah Dasar memiliki
kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut : beranjak dari hal-hal yang konkrit, memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, terpadu dan
melalui proses manipulatif.
Menurut Piaget dalam Slavin: 1994: 34 perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan
lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Teori perkembangan Piaget mewakili kostruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu
proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
Piaget memandang perkembangan intelektual berdasarkan perkembangan struktur kognitif. Semua anak melewati setiap tahapan. Piaget Slavin, 1994: 34
mengidentifikasikan empat tahap perkembangan kognitif anak-anak seperti berikut :
1. Tahap 1: Sensorimotor lahir s.d. usia 2 tahun: terbentuknya konsep
“kepermanenan objek” dan kemajuan gradual dari perilaku reflektif ke perilaku yang mengarah kepada tujuan.
2. Tahap 2: Pra oprasional 2-7 tahun: perkembangan kemampuan
menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan objek-objek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
3. Tahap 3: operasi konkret 7-11 tahun: perbaikan dalam kemampuan untuk
berpikir secara logis. Kemampuan-kemampuan baru termasuk penggunaan operasi-operasi yang dapat-balik. Pemikiran tidak lagi sentrasi tetapi
desentrasi, dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan. 4.
Tahap 4: Formal Operation 11-15 tahun: pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui
penggunaan eksperimentasi sistematis.
Sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak Sekolah Dasar berada pada tahap operasional konkrit. Menurut Piaget pada tahap ini anak
mampu mengoperasionalkan berbagai logika tetapi masih dalam bentuk benda konkrit. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, namun hanya pada
situasi konkrit dan kemampuan untuk mengklasifikasikan benda-benda namun belum bisa memecahkan masalah secara abstrak. Implikasi teori Piaget di dalam
kelas adalah sebagai berikut Slavin, 1994: 45: 1.
A focus on the process of the children’s thinking, not just its products: Inaddition to the correctness of children’s answer, teachers must understand
the processes children use to get to the answer. Appropriate learning experiences build on children’s current level of cognitive functioning, and only
when teachers appreciate children’s method’s of arriving at particularconclusions are they in a position to provide such experiences.
Berarti bahwa memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus
memahami proses yang digunakan anak dalam menemukan jawaban tersebut. Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap
kognitif anak dan jika guru perhatian terhadap cara yang digunakan siswa untuk sampai pada suatu kesimpulan tertentu, barulah guru dapat dikatakan berada
dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud. 2.
Recognition of the crucial role of children’s self-initiated, active involvement in learning activies: In a Piagetian classroom, thepresentation of ready-made
knowledge is de-emphasized, andchildren are encouraged to discover for
themselves troughspontaneous interaction with the environment. There-fore, inteadof teaching didactically, teachers provide a rich variety of activitiesthat
permit children to act directly on the physical world. Berarti bahwa memperhatikan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan
keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi tidak mendapat tekanan, melainkan anak didorong
menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi dengan lingkungannya. Selain mengajar, tugas guru adalah mempersiapkan kegiatan yang memungkinkan
anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. 3.
A deemphasis on practices aimed at making children adultlike intheir think- ing: Piaget referred to the question “How can wespeed up development?’ as
and educators in the United Statesseemed most interested in what techniques could be used toaccelerate children’s progress through the stages.
Berarti bahwa tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya. Oleh
sebab itu, guru harus melakukan upaya khusus untuk lebih menata kegiatan- kegiatan kelas untuk individu-individu dan kelompok-kelompok kecil daripada
kelompok klasikal. Mengutamakan peran aktif siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas tidak menyajikan
pengetahuan jadi, melainkan anak didorong untuk menemukan sendiri pengetahuan yaitu melalui interaksi-interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena
itu, guru dituntut untuk mempersiapkan beranekaragam kegiatan yang disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa.
4. Acceptance of individual differences in developmental progress: Piaget’s
theory assumes that all children go throught the samesequence of development, but they do so at different rates.
Berarti bahwa memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa
tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan
upaya untuk mengatur kegitan kelas dalam bentuk kelompok kecil daripada bentuk kelas yang utuh.
Jadi dalam teori Piaget pada anak usia sekolah dasar, tahap perkembangan kognitifnya berada dalam tahap operasional konkrit. Pada tahap ini anak mampu
mengoperasikan logika namun masih dalam bentuk benda konkrit. Maka dari itu peran guru dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar sangat penting yaitu
menyediakan benda-benda konkrit dan alat peraga serta mengorganisasikan benda tersebut agar bermanfaat di dalam kelas IPA. Guru yang efektif Marno dan
M.Idris, 2008: 28-30 adalah guru yang dapat menunaikan tugasnya dan fungsinya secara profesional. Survey dari UNESCO terhadap anak usia 8-12 tahun dari 50
negara menyimpulkan bahwa guru yang efektif memiliki karakteristik: 1 hubungan guru murid: bersahabat, menjadi mitra belajar sambil menghibur murid,
menyayangi murid seperti anaknya sendiri, adil, memahami kebutuhan setiap anak serta berusaha memberikan yang terbaik untuk muridnya, dan mampu
membantu anak didik menuju kedewasaan; 2 berkaitan dengan tugasnya sebagai guru: mencintai pekerjaannya, cakap secara akademik, mampu menerangkan
dengan jelas, mampu merangsang siswa untuk belajar, mampu memberikan kepada siswa sesuatu yang paling berharga, dan mampu menjadikan kelas sebagai
lingkungan yang menyenangkan; 3 berkaitan dengan sikap dan kepribadian: berpenampilan menarik, tidak terlalu kaku, dan bisa menjadi teladan bagi
siswanya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajaran guru memerlukan alat peraga sebagai alat bantu untuk mengajardan mendidik sehingga apa yang
diajarkan lebih mudah dimengerti oleh peserta didik. Salah satu gambaran yang digunakan acuan sebagai landasan teori
penggunaan media dalam proses belajar adalah Dale’s Cone of Experience
kerucut pengalaman Dale Dale dalam Arsyad, 2014: 14.
Gambar 2.1 Kerucur Pengalaman Dale
Abstrak
Konkret
Kerucut di atas merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner. Hasil belajar seseorang diperoleh
mulai dari pengalaman langsung konkret, kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang
verbal abstrak. Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media
penyampai pesan itu. Dengan penyampaian materi oleh guru menggunakan media powerpoint materi tergambarkan semakin konkret karena dalam media tersebut
menampilkan materi secara jelas sehingga membantu siswa dalam memahami materi dengan mudah.
Adapun fungsi alat peraga atau media Dale adalah: a.
Meningkatkan rasa pengertian dan simpati dalam kelas. b.
Membuahkan perubahan signifikan tingkah laku siswa. c.
Menunjukan hubungan antara mata pelajaran dan kebutuhan dan minatsiswa dengan meingkatnya motivasi belajar siswa.
d. Membawa kesegaran dan variasi bagi pengalaman belajar siswa.
e. Membuat hasil belajar lebih bermakna bagi berbagai kemampua siswa.
f. Mendorong pemanfaatan yang bermakna dari pelajaran dengan jalan imajinasi
dan partisipasi aktif yang mengakibatkan meningkatnya hasilbelajar. g.
Memberikan umpan balik yang diperlukan yang dapat membantu siswa menemukan seberapa banyak telah mereka pelajari.
h. Memperluas wawasan dan pengalaman siswa yang mencerminkan
pembelajaran nonverbalistik dan membuat generalisasi yang tepat. i.
Meyakinkan diri bahwa urutan dan kejelasan pikiran yang siswa butuhkan jika mereka membangun struktur konsep dan sistem gagasan yang bermakna.
j. Melengkapi pengalaman yang kaya dengan pengalaman itu konsep-konsep
yang bermakna dapat dikembangkan. Pembelajaran IPA sebaiknya menggunakan keterampilan proses. Menurut
Semiawan 2008: 137 Seseorang perlu memiliki keterampilan proses karena
merupakan cara yang khas dalam menghadapi pengalaman yang berkenaan dengan semua segi kehidupan yang relevan. Guru memiliki keterampilan untuk
memantulkan dan membangun cara siswa membentuk konsep secara wajar dan sekaligus memberi kemungkinan untuk menemukannya sendiri, sehingga dengan
demikian memberikan urunan terhadap perkembangan mentalnya dalam menggali potensi yang paling dalam dan paling baik yang ada pada dirinya. Adapun
keretampilan proses yang digunakan dalam penelitian ini yaitu meliputi: pemanasan, pengamatan, aplikasi konsep dan komunikasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pembelajaran yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan menerapkan keterampilan proses
serta mencakup semua komponen hakikat IPA produk, proses, sikap, teknologi maka tujuan yang dikehendaki dalam kurikulum dapat tercapai.
2.1.6 Strategi Belajar Concept Mapping