jam Kesimpulan Perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari seluloa pulp kayu sengon

Fluks yang dihasilkan oleh BSA 67 kDa juga mempunyai kecenderungan yang sama seperti pada fluks air dan dekstran. Hubungan fluks BSA yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEGSDA dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24. 62 83 72 62 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran F lu k s B S A L m

2. jam

10 20 30 40 50 60 70 80 90 1 2 3 4 Formula membran F lu k s B S A L m

2. jam

Gambar 23. Hubungan fluks BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dari membran dengan berbagai berat molekul PEG rasio PEGSDA 20 dibandingkan dengan membran tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar Murni SDA PEGSDA 10 PEGSDA 20 PEGSDA 30 62 69 72 81 Gambar 24. Hubungan fluks BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dari membran dengan berbagai rasio PEGSDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar

3.2.5.2. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Berat Molekul PEG

Olmos et al. 2008 menyatakan bahwa viskositas larutan polimer larutan cetak akan naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas larutan cetak menyebabkan diffusi antara pelarut DMF dan bukan-pelarut air menjadi lebih lambat. Membran yang dihasilkan sangat menentukan fluks dari membran tersebut. Fluks air dari membran dengan berbagai berat molekul PEG dapat dilihat pada Gambar 25. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fluks air menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Hal ini disebabkan karena viskositas larutan cetak yang dimiliki menjadi lebih tinggi sehingga affinitas antara DMF dan air menjadi berkurang pada saat diffusi berlangsung. Terdapat sejumlah kecil molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat sehingga pori yang terbentuk lebih sedikit. Jari-jari girasi Rg dari rantai PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG, dimana Rg = 0,0215 M w 0,583 Chou et al., 2007. Akibat dari proses diffusi yang terjadi tersebut, diperkirakan porositas membran menurun sehingga fluks yang dihasilkan juga menurun. Pendapat tersebut didukung dari hasil penelitian Chou et al. 2007 dan Saljoughi et al. 2010 yang menunjukkan Gambar 25. Hubungan fluks air TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai berat molekul PEG koagulasi pada suhu kamar 20 40 60 80 100 120 140 160 1450 Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG Da F lu k s a ir L m 2 .j a m bahwa penambahan porogen PEG dengan berat molekul yang semakin tinggi dalam larutan cetak menurunkan porositas membran demikian sebaliknya. Fluks air tertinggi diperoleh sebesar 146 Lm 2 .jam dari membran dengan penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEGSDA 30. Kecenderung yang sama juga dihasilkan fluks dari dekstran dan BSA Gambar 26 dan Gambar 27. Fluks tertinggi untuk larutan dekstran dan BSA diperoleh sebesar 114 Lm 2 .jam dan 96 Lm 2 .jam dari formula membran dengan penambahan PEG 1450 Da dan rasio PEGSDA 30. 20 40 60 80 100 120 1450 Da 4000 Da 6000 Da Berat molekul PEG F lu k s d e sk tr a n L m 2 .ja m 10 20 30 20 40 60 80 100 120 1450 Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG F lu k s BS A L m 2 .ja m 10 20 30 Gambar 26. Hubungan fluks dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai berat molekul PEG koagulasi pada suhu kamar Gambar 27. Hubungan fluks BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai berat molekul PEG koagulasi pada suhu kamar

3.2.5.3. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagi Rasio PEGSDA

Rasio PEGSDA meningkat berarti semakin banyak molekul PEG mengisi matriks selulosa asetat. Molekul PEG tersebut akan larut dalam air pada bak koagulasi ketika peristiwa diffusi berlangsung dan meninggalkan pori pada matriks selulosa asetat. Rasio PEGSDA yang lebih tinggi akan meninggalkan pori dengan jumlah yang lebih besar sehingga fluks yang dihasilkan lebih besar pula, seperti terlihat pada Gambar 28. Fluks tertinggi dihasilkan dari formula membran dengan penambahan PEG pada rasio PEGSDA 30 PEG 1450 Da sebesar 146 Lm 2 .jam. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks yang dihasilkan dari larutan standar dekstran dan BSA dengan fluks tertinggi untuk dekstran adalah 114 Lm 2 .jam dan 96 Lm 2 .jam, seperti terlihat pada Gambar 29 dan Gambar 30. Gambar 29. Hubungan antara fluks dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai rasio PEGSDA koagulasi pada suhu kamar Gambar 28. Hubungan antara fluks air TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai rasio PEGSDA koagulasi pada suhu kamar 20 40 60 80 100 120 140 160 5 10 15 20 25 30 35 Rasio PEGSDA F lu k s a ir L m 2 .j a m 1450 Da 4000 Da 6000 Da 20 40 60 80 100 120 5 10 15 20 25 30 35 Rasio PEGSDA F lu k s d e k str a n L m 2 .ja m 1450 Da 4000 Da 6000 Da 20 40 60 80 100 120 5 10 15 20 25 30 35 Rasio PEGSDA F lu k s B S A L m 2 .ja m 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 30. Hubungan antara fluks BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai rasio PEGSDA koagulasi pada suhu kamar

3.2.5.4. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Suhu koagulasi.

Semakin tinggi suhu air pada bak koagulasi, semakin cepat diffusi yang terjadi antara pelarut DMF dan air sehingga membentuk sejumlah besar pori. Demikian juga, semakin banyak molekul PEG yang larut maka jumlah pori yang meninggalkan matriks selulosa diasetat lebih banyak sehingga fluks meningkat. Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa fluks air semakin meningkat dengan naiknya suhu koagulasi baik dengan penambahan PEG maupun tanpa penambahan PEG. Dalam hal ini diperkirakan porositas membran yang dihasilkan meningkat pada suhu koagulasi yang lebih tinggi. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. 2005 yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu koagulasi dari 25 o C sampai 70 o C akan menaikkan porositas membran sehingga fluks meningkat. Demikian juga menurut Saljoughi et al. 2010 dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa semakin rendah suhu koagulasi akan menurunkan porositas membran sehingga fluks menurun. Fluks air tertinggi dihasilkan dari membran pada suhu koagulasi 50 o C dengan penambahan PEG1450 Da PEGSDA 20 sebesar 129 Lm 2 .jam 20 40 60 80 100 120 140 10 20 30 40 50 60 Suhu koagulasi C F lu k s a ir L m 2 .j a m Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 31. Hubungan antara fluks air dengan berbagai suhu koagulasi TMP 1,2 bar; suhu kamar rasio PEGSDA 20 Fenomena serupa terjadi pada fluks larutan dekstran dan BSA, seperti terlihat pada Gambar 32 dan Gambar 33. Adapun fluks tertinggi yang dihasilkan oleh larutan dekstran dan BSA berturut-turut adalah 119 Lm 2 .jam dan 96 Lm 2 .jam pada formulasi membran yang sama. Hasil lengkap nilai fluks untuk air, dekstran, dan BSA dapat dilihat pada Lampiran 36. 20 40 60 80 100 120 140 10 20 30 40 50 60 Suhu koagulasi C F lu k s d e k str a n L m 2 .ja m Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 32. Hubungan antara fluks dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai suhu koagulasi rasio PEGSDA 20 20 40 60 80 100 120 10 20 30 40 50 60 Suhu koagulasi C F lu k s BS A L m 2 .ja m Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da

3.2.6. Rejeksi

Selektivitas merupakan ukuran kemampuan membran untuk menahan suatu spesi. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter: retensi R atau faktor pemisahan α. Pada penelitian ini, selektivitas dinyatakan sebagai retensirejeksi R.

3.2.6.1. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Penambahan PEG

Selain fluks, rejeksi termasuk parameter untuk melihat kinerja membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Tujuan penambahan PEG pada membran yang dihasilkan dapat meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran. Semakin teratur pori-pori yang terbentuk maka semakin bagus membran yang dihasilkan. Rejeksi dekstran dari membran dengan formulasi penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEGSDA telah dibandingkan dengan rejeksi dekstran dari membran tanpa PEG. Hasil rejeksi dekstran tersebut dapat dilihat pada Gambar 34 dan Gambar 35. Gambar 33. Hubungan antara fluks BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai suhu koagulasi rasio PEGSDA 20 54.83 55.96 56.18 56.34 10 20 30 40 50 60 Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran R e je k si D e sk tr a n 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 Formula membran R e je k s i D e k s tr a n Rejeksi dari formulasi membran dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEGSDA lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Keadaan ini juga terjadi pada fluks yang dihasilkan seperti telah dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Hal tersebut diperkirakan karena pori yang terbentuk lebih banyak pada membran dengan penambahan PEG dan distribusi ukuran pori Murni SDA PEGSDA 10 PEGSDA 20 PEGSDA 30 55,83 59,01 56,18 53,34 Gambar 35. Hubungan rejeksi dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dari membran dengan berbagai rasio PEGSDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar Gambar 34. Hubungan rejeksi dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dari membran dengan berbagai berat molekul PEG rasio PEGSDA 20 dibandingkan dengan membran tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar membran menjadi lebih beragam sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Berdasarkan hasil fluks dan rejeksi yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa penambahan PEG pada pembuatan membran membuat porositas membran meningkat dan distribusi ukuran pori membran menjadi lebih sempit sehingga fluks dan rejeksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingakan membran tanpa PEG. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada rejeksi BSA dari formulasi membran tersebut. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 36 dan 37. 78.72 79.5 82.4 86.4 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran R e je k s i B S A 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1 2 3 4 Formula membran R e je k s i B S A Gambar 36. Hubungan rejeksi BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dari membran dengan berbagai berat molekul PEG rasio PEGSDA 20 dibandingkan dengan membran tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar Gambar 37. Hubungan rejeksi BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dari membran dengan berbagai rasio PEGSDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar Murni SDA PEGSDA 10 PEGSDA 20 PEGSDA 30 78,72 84,20 82,40 80,60 .

3.2.6.2. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Berat Molekul PEG

Penambahan PEG dapat menaikkan viskositas larutan. Semakin besar berat molekul PEG, maka viskositas larutan semakin tinggi karena viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas ini menghambat diffusi yang terjadi antara DMF, PEG, dan air. Rejeksi suatu zat terlarut juga sangat ditentukan dari hasil proses diffusi terbentuknya membran. Menurut Chou et al. 2007 dan Saljoughi et al. 2010, porositas membran menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 38. 10 20 30 40 50 60 1450 Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG R e je k s i d e k s tr a n 10 20 30 Dari Gambar 38 dapat dilihat bahwa pada rasio PEGSDA yang sama, rejeksi yang dihasilkan dekstran cenderung sama walaupun berat molekul PEG berbeda. Rejeksi dekstran yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 53-59. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pori membran yang dihasilkan masih sangat besar dibandingkan ukuran partikel dekstran sehingga masih banyak partikel dekstran lolos sebagai permeat. Jumlah partikel dekstran yang tertahan pada permukaan membran hampir sama untuk semua formulasi membran. Keadaan inilah yang mengakibat rejeksi yang dihasilkan mendekati sama walaupun porositas membran menurun dengan naiknya berat Gambar 38. Hubungan rejeksi dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai berat molekul PEG koagulasi pada suhu kamar molekul PEG. Sementara itu dari Gambar 39 dapat dilihat rejeksi yang dihasilkan BSA meningkat dengan naiknya berat molekul PEG. Peningkatan rejeksi tersebut disebabkan karena porositas membran menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa viskositas larutan yang semakin tinggi dengan naiknya berat molekul PEG membuat diffusi yang terjadi antara DMF dan air semakin terhambat sehingga molekul PEG yang berdiffusi ke air dan meninggalkan matriks membran juga semakin sedikit. Keadaan ini membuat porositas membran menurun karena jumlah luas pori membran yang terbentuk lebih kecil dibandingkan luasan membran yang digunakan, sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi tinggi. 20 40 60 80 100 1450 Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG R e je k si BS A 10 20 30 Selain itu, peningkatan rejeksi dapat disebabkan karena pori membran yang dihasilkan mendekati sama dengan ukuran rata-rata partikel BSA. Rejeksi BSA yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 77 ±6 – 94 ±6. Rejeksi 77 menunjukkan bahwa pori membran yang dihasilkan masih lebih besar dibandingkan pori membran dengan rejeksi 94. Menurut Mahendran et al. 2004, MWCO membran dapat ditentukan dengan mengidentifikasi zat terlarut bila suatu zat terlarut dengan berat molekul yang paling rendah mampu direjeksi sekitar 80-90 dengan menggunakan suatu larutan standar pada ukuran tertentu. Berdasarkan nilai rejeksi yang telah diperoleh, maka ukuran pori membran berada sekitar 67 kDa. Rejeksi tertinggi Gambar 39. Hubungan rejeksi BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai berat molekul PEG koagulasi pada suhu kamar dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula PEG 6000 dengan rasio PEGSDA 10 yaitu sebesar 59 dan 94.

3.2.6.3. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Rasio PEGSDA

Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan dalam larutan cetak pada pembuatan membran, maka semakin banyak molekul yang mengisi matriks membran tersebut. Selanjutnya, dalam proses diffusi DMF dengan air, molekul PEG tersebut akan larut dalam air dengan jumlah yang besar juga sehingga meninggalkan pori pada membran sejumlah molekul yang larut. Hasil rejeksi untuk dekstran dapat dilihat pada Gambar 40. 10 20 30 40 50 60 5 10 15 20 25 30 35 Rasio PEGSDA R e je k s i d e k s tr a n 1450 Da 4000 Da 6000 Da Pada Gambar 40, untuk setiap berat molekul PEG dapat dilihat rejeksi dekstran menurun dengan naiknya rasio PEGSDA, walaupun tingkat penurunan sangat kecil. Rejeksi yang dihasilkan sekitar 53-59. Hal ini disebabkan karena ukuran pori membran yang dihasilkan masih terlalu besar dibandingkan ukuran molekul dekstran, sehingga masih terdapat sejumlah besar molekul desktran yang lolos melalui pori membran. Demikian juga pada Gambar 41 rejeksi BSA yang dihasilkan menurun dengan naiknya rasio PEGSDA. Tingkat penurunan yang terjadi juga sangat Gambar 40. Hubungan rejeksi dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai rasio PEGSDA koagulasi pada suhu kamar kecil. Rejeksi yang dihasilkan berada dalam kisaran 77 ±6 – 94 ±6. Namun apabila dilihat dari nilai rejeksi, maka dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran mendekati ukuran molekul BSA. Rejeksi tertinggi dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula rasio PEGSDA 10 dengan berat molekul PEG 6000 yaitu sebesar 59 dan 94. 20 40 60 80 100 5 10 15 20 25 30 35 Rasio PEGSDA R ej ek si B S A 1450 Da 4000 Da 6000 Da

3.2.6.4. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagi Suhu

Koagulasi Proses diffusi suatu larutan berjalan sangat lambat bila koagulasi berlangsung pada suhu rendah karena viskositas larutan tersebut menjadi tinggi. Dengan demikian, semakin rendah suhu koagulasi maka pelarut DMF dan PEG yang berdiffusi dalam air semakin sukar larut sehingga rejeksi dekstran dan BSA dari membran yang dihasilkan tersebut lebih tinggi dibandingkan rejeksi membran hasil koagulasi pada suhu tinggi. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43. Gambar 41. Hubungan rejeksi BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai rasio PEGSDA koagulasi pada suhu kamar 10 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 50 60 Suhu koagulasi C R e je k si d e k str a n Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da 20 40 60 80 100 10 20 30 40 50 60 Suhu koagulasi C R e je k si BS A Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Hasil penelitian Cai et al. 2007 menunjukkan bahwa membran hasil koagulasi pada suhu rendah akan cenderung memiliki ukuran pori yang relatif kecil dibandingkan membran hasil suhu koagulasi pada suhu yang lebih tinggi. Pendapat ini diperkuat juga oleh hasil penelitian Saljoughi et al. 2010 yang menunjukkan bahwa suhu koagulasi rendah akan menurunkan porositas membran, sehingga menghasilkan rejeksi yang tinggi. Dengan demikian, rejeksi meningkat dengan turunnya suhu koagulasi dari membran yang dihasilkan pada penelitian ini diperkirakan ukuran pori yang terbentuk kecil. Pendapat ini didukung dari hasil analisa SEM seperti yang telah dilihat pada Gambar 18.a. Rejeksi tertinggi dari dekstran dan BSA diperoleh dari formulasi membran dengan penambahan PEG 6000 Da PEGSDA 20 pada suhu koagulasi 15 o C yaitu sebesar 63 dan 91. Gambar 42. Hubungan rejeksi dekstran TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai suhu koagulasi rasio PEGSDA 20 Gambar 43. Hubungan rejeksi BSA TMP 1,2 bar; suhu kamar dengan berbagai suhu koagulasi rasio PEGSDA 20

3.2.7. Molecular Weight Cut-Off MWCO Membran

Molecular Weight Cut-Off MWCO didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80-90 dapat direjeksi oleh membran Mahendran et al., 2004. Nilai rejeksi dapat diperoleh setelah dilakukan pengukuran konsentrasi zat padat terlarut pada permeat dengan menggunakan larutan standar. Konsentrasi umpan dan permeat ditentukan dengan menggunakan alat sepktrofotometer. Pengukuran rejeksi padatan Solute Rejection Measurements merupakan metoda yang paling banyak digunakan dalam mengkarakteristik membran berpori. Dari berbagai variasi formulasi membran yang telah dihasilkan diperoleh rejeksi terhadap larutan standar dekstran 12 kDa berkisar 50-66 dan rejeksi larutan standar BSA 67 kDa berkisar 80-96. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran berada pada ukuran maksimal 67 kDa. Menurut Osada dan Nakagawa 1992 membran ultrafiltrasi UF mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau MWCO sekitar 10 3 -10 6 Da. Ukuran pori membran yang dihasilkan ini masih termasuk kategori membran dengan jenis proses ultrafiltrasi. Fluks dan rejeksi tertinggi dihasilkan dari hasil rancangan proses membran pada koagulasi suhu kamar dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Formulasi membran koagulasi suhu kamar dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10 -3 mdet 34 Ljam. FORMULASI FLUKS Lm 2 .jam Berat molekul PEG Da Rasio PEGSDA Air Dekstran 12 kDa BSA 67 kDa 1450 30 146 114 96 FORMULASI REJEKSI Berat molekul PEG Da Rasio PEGSDA Dekstran 12 kDa BSA 67 kDa 6000 10 59 94 Penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEGSDA 30 menghasilkan fluks tertinggi karena diperkirakan porositas membran yang dihasilkan lebih tinggi dan didukung dengan jumlah molekul PEG yang lebih banyak. Tetapi rejeksi tertinggi dihasilkan pada penambahan PEG 6000 Da dengan rasio PEGSDA 10. Hal ini dikarenakan porositas membran yang dihasilkan lebih kecil serta jumlah molekul PEG yang lebih sedikit. Sementara itu fluks dan rejeksi tertinggi yang dihasilkan dari rancangan proses pembuatan membran rasio PEGSDA 20 dapat dilihat pada Tabel 15. Fluks tertinggi dihasilkan dari membran pada penambahan PEG 1450 Da dengan suhu koagulasi 50 o C. Molekul PEG sangat cepat larut pada suhu tinggi dan meninggalkan pori pada padatan membran selulosa diaseat sehingga menghasilkan fluks yang tinggi. Rejeksi tertinggi diperoleh dari membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada suhu koagulasi 15 o C. Pada koagulasi suhu rendah, relatif ikatan antarmolekul hidrogen dalam membran selulosa asetat sangat kuat sehingga pori yang terbentuk sangat rapat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis SEM seperti telah didilihat pada gambar 18. a. Tabel 15. Formulasi membran perubahan suhu koagulasi, rasio PEGSDA 20 dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10 -3 mdet 34 Ljam. FORMULASI FLUKS Lm 2 .jam Berat molekul PEG Da Suhu koagulasi o C Air Dekstran 12 kDa BSA 67 kDa 1450 50 129 119 103 FORMULASI REJEKSI Berat molekul PEG Da Rasio PEGSDA Dekstran 12 kDa BSA 67 kDa 6000 15 63 91 Berdasarkan hasil pada Tabel 14 dan Tabel 15, dapat dilihat bahwa fenomena fluks dan rejeksi yang bertolak belakang masih terjadi pada membran dengan penambahan PEG. Membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi fraksi poriluas permukaan dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga optimasi membran perlu dilakukan untuk mendapatkan fluk dan rejeksi yang tinggi pada suatu formulasi membran yang sama. Pada Tabel 14 dan Tabel 15 dapat dilihat juga bahwa fluks dekstran dan BSA tidak begitu jauh berbeda dari fluks air. Fluks zat terlarut dipengaruhi oleh fluks total. Fluks yang keluar melalui pori membran sebagai permeat merupakan fluks total, yaitu penjumlahan dari fluks pelarut dan fluks zat terlarut Christin, 2005. Konsentrasi zat terlarut dan sifat-sifat zat terlarut pada permukaan juga mempengaruhi fluks Benziger dan Aksay, 199. Oleh karena konsentrasi zat terlarut dekstran dan BSA yang digunakan dalam keadaan encer 200 ppm sehingga fluks total yang dihasilkan sebagai permeat mendekati fluks total komponen murni air. Fluks yang dihasilkan tersebut masih berada dalam kisaran membran jenis ultrafiltrasi, yaitu 20 – 200 Lm 2 .jam untuk setiap satu bar tekanan transmembran Wenten, 1999. Rejeksi larutan standar dekstran 12 kDa lebih kecil dibandingkan dari rejeksi larutan standar BSA 67 kDa. Ini menunjukkan bahwa membran tersebut mempunyai ukuran pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 12 kDa lebih sedikit dibandingkan jumlah pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 67 kDa. Tahap 4. Uji Aplikasi Membran Beberapa industri agro dapat berkembang melalui inovasi, peningkatan kapasitas produksi, pengenalan, dan pembaruan teknologi. Salah satu pembaruan teknologi yang memiliki peluang yang sangat bagus, keunggulan dan menambah lingkup kegiatan industri di Indonesia adalah penerapan teknologi membran Aspiyanto, 2003. Uji penerapan teknologi membran terhadap membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon telah dilakukan pada dua contoh bidang industri yang berbeda. Diharapkan teknologi membran mampu menggantikan sebagian teknologi konvensional untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih baik. Adapun formula membran yang digunakan yaitu membran yang dihasilkan dari penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEGSDA 30 serta koagulasi yang berlangsung pada suhu kamar. Alasan pemilihan formula tersebut karena menghasilkan fluks tertinggi dari formula membran hasil koagulasi pada suhu kamar.

4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam Pogostemon

cablin Benth. Membran yang dihasilkan pada penelitian ini telah diterapkan pada uji aplikasi terhadap peningkatan kadar Patchouli Alcohol PA dari minyak nilam Pogostemon cablin Benth. Minyak nilam terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan, yaitu hidrokarbon 40-45 dan oxygenated hydrocarbon 55-60. Golongan oxygenated hydrocarbon lebih bersifat polar dibanding golongan hidrokarbon karena terbentuk dari unsur Carbon C, Hidrokarbon H, dan Oksigen O. Patchouli alkohol bersifat hidrofilik karena mengandung gugus - OH. Komponen-komponen minyak nilam yang tergolong dalam oxygenated hydrocarbon adalah: patchouli alkohol, seychellena, α-patchoulena, δ-guaiena, β- patchoulena, dan α-guaiena. Komponen-komponen tersebut termasuk komponen penyusun minyak nilam yang terbesar. Komponen terbesar dikandung oleh patchouli alkohol PA sekitar 32 dari jumlah total komponen minyak nilam. Berat molekul komponen-komponen penyusun minyak nilam relatif sama, yaitu berkisar 200 Tabel 10 dan patchouli alkohol memiliki berat molekul 222,37. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat berdasarkan sifat hidrofobisitas. Membran selulosa asetat mempunyai sisi aktif gugus hidroksi -OH dan karbonil CO yang juga bersifat polar. Breaken et al. 2005 menyatakan pemisahan komponen- komponen larutan organik yang mempunyai molekul-molekul dengan berat molekul yang hampir sama dapat dilakukan dengan membran berdasarkan sifat hidrofobisitas antara membran dengan komponen-komponen tersebut. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam yang digunakan pada penelitian ini dan hasil filtrasi dari membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 44. Tabel 16. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam Parameter Minyak Nilam Warna kuning muda-coklat kemerahan Bobot jenis ,25 o C25 o C 0,965 Indeks bias , n D 20 1,515 Bilangan asam 0,50 Bilangan ester 12,65 Kelarutan dalam etanol 90,20 o C Larut jernih perbandingan volume 1:10 Patchouli Alkohol C 15 H 24 32,60 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1.2 1.4 1.8 Transmembran bar K a da r P a tc ho ul i A lk oh ol 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Fl uk s i m iny a k ni la m L m 2 .j a m PA Fluks Lm2.jam Dapat dilihat dari Gambar 44, terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol dari 32,60 menjadi 41,68 dengan naiknya tekanan transmembran filtrasi dari 1,2 bar sampai 1,4 bar masing-masing dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 101 Lm 2 .jam dan 134 Lm 2 .jam. Sifat kimia membran dapat digambarkan dari perbedaan polaritas. Apabila suatu membran memiliki sifat kepolaran yang hampir sama dengan kepolaran umpan, maka membran akan mempunyai permeabilitas yang tinggi. Hal ini terjadi karena membran yang bersifat polar akan mudah menarik molekul umpan yang juga bersifat polar dan akan menolak molekul umpan yang non polar, demikian sebaliknya. Mekanisme pemisahan antara membran dengan komponen umpan berdasarkan sifat hidrofobisitas dilustrasikan pada Gambar 45. Gambar 44. Hubungan fluks dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi tekanan transmembran patchouli alkohol Komponen Minyak Nilam Membran SDA Hidrofilik-polar Hidrofobik non-polar Hidrofilik polar Patchouli Alkohol Δ P Membran SDA Hidrofilik-polar Oleh karena membran selulosa asetat dan patchouli alkohol mempunyai sifat hidrofilik, maka patchouli alkohol akan ditarik oleh selulosa asetat melalui ikatan hidrogen Utmb, 2008. Gugus –OH dari patchouli alkohol akan berinteraksi dengan membran selulosa asetat yang bersifat hidrofilik serta mempunyai sisi aktif bersifat polar melalui ikatan hidrogen. Semakin tinggi tekanan transmembran berarti semakin besar energi yang diperlukan sebagai usahanya dalam memindahkan suatu komponen dari campuran umpan Wijmans et al., 1995. Ini menunjukkan bahwa peningkatan tekanan mampu menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen yang terjadi antara patchouli alkohol dan selulosa asetat dengan lebih kuat sehingga patchouli alkohol dapat lolos sebagai permeat dan kadar patchouli alkohol menjadi meningkat. Tetapi dapat dilihat juga dari Gambar 45 bahwa pada tekanan transmembran yang lebih tinggi terjadi penurunan kadar patchouli alkohol menjadi 36,29 walaupun fluks yang dihasilkan semakin meningkat, yaitu menjadi 189 Lm 2 .jam. Peningkatan tekanan yang lebih tinggi menyebabkan komponen penyusun minyak nilam lainnya yang bersifat polar mengalami interaksi dengan membran selulosa asetat dan ikut lolos sebagai permeat. Dari hasil yang telah diperoleh tersebut dapat dikatakan bahwa peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat jenis ultrafiltrasi berdasarkan perbedaan hidrofobisitas dengan tekanan transmembran yang digunakan kecil mengingat ukuran pori membran yang besar. Tekanan transmembran kecil digunakan untuk mengontrol kecepatan aliran komponen patchouli alkohol yang lolos sebagai permeat. Peningkatan kadar patchouli alkohol sudah memenuhi syarat ekspor perdagangan minyak nilam 38. Peningkatan patchouli alkohol pada skala yang lebih besar akan lebih effesien apabila menggunakan modul membran yang berbentuk tube berupa hollow fiber. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yanyan et al. 2004 menggunakan distilasi fraksi pada tekanan 75 mmHg diperoleh kadar patchouli alkohol sebesar 49,9 dengan suhu titik didih distilat 80 o C -120 o C. Hasil Gambar 45. Mekanisme pemisahan berdasarkan sifat hidrofobisitas penelitian Suryatmi 2008 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol seiring dengan meningkat suhu rotavapor. Peningkatan suhu rotavapor dari 120 o C -135 o C meningkatkan kadar patchouli alkohol dari 15,22 menjadi 54,85. Umumnya proses pemisahan menggunakan suhu tinggi melibatkan perubahan fase sehingga memerlukan energi yang tinggi. Kebutuhan energi yang diperlukan berpengaruh terhadap biaya produksi. Kelemahan lain pada proses distilasi suhu tinggi yaitu mudah mengalami proses resinifikasi sehingga mengakibatkan kerusakan minyak yang dihasilkan dikenal dengan istilah distilled, atau berbau terbakar burnt serta warna yang dihasilkan menjadi keruh Ketaren, 1985. Proses pemisahan menggunakan membran tidak memerlukan perubahan fase sehingga dapat bekerja pada suhu rendah dan tidak terjadi kerusakan pada komponen minyak nilam. Warna yang dihasilkan lebih jernih serta tidak tercium bau terbakar. Mutu minyak dapat dinyatakan dalam sifat organoleptik yang meliputi warna dan aroma. Warna minyak nilam merupakan salah satu syarat mutu walaupun tidak tercantum dalam standar mutu dan sangat mempengaruhi harga. Peningkatan patchouli alkohol menggunakan membran akan memberi hasil yang lebih baik apabila didukung dengan penyedian bibitbenih yang unggul dan teknik budidaya nilam yang baik untuk menghasilkan mutu minyak nilam yang lebih baik. Dilihat dari perbandingan teknologi yang digunakan, kelebihan dari teknologi membran adalah dalam penggunaan suhu yang rendah sehingga tidak memerlukan energi yang besar dan komponen yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan. Fane 1996 menyatakan bahwa pergantian 10 peralatan distilasi atau evaporasi konvensional dengan peralatan membran dapat menghemat 2 x 10 17 Jtahun atau setara dengan 34 x 10 6 barel minyaktahun Mew-Ita, 2008. 4.2. Pemurnian Nira Tebu Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan, karena itu teknologi membran mempunyai potensi yang sangat besar untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam proses produksi gula. Nira tebu merupakan salah satu bahan baku dalam proses produksi gula. Pemurnian nira diusahakan tidak terjadi kerusakan sukrosa dan gula pereduksi, karena mutu gula kristal sangat berpengaruh dari hasil pemurnian nira yang jernih. Komponen- komponen penyusun pada nira mentah secara umum dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kompisisi penyusun nira tebu mentah KOMPONEN KANDUNGAN Sukrosa 10,74-11,67 Gula reduksi 1,04-1,25 Abu 0,48-0,6 Anorganik bukan gula garam-garam 0,2-0,6 Organik bukan gula protein, zat warna, asam-asam organik, dll 0,05-10 Air 77-80 Dalam industri gula proses pemurnian nira bisa memanfaatkan ultrafiltrasi dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organik dan anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira, sehingga diperoleh nira dengan kemurnian kandungan sukrosa tinggi. Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap nira hasil penggilingan batang tebu adalah berwarna coklat kehijau-hijauan. Di dalam nira mentah masih mengandung banyak pengotor dapat dilihat dari warna larutan yang masih keruh dan perlu dihilangkan untuk mendapatkan produk gula dengan kualitas yang baik. Fluks permeat dari larutan nira yang dihasilkan secara ultrafiltrasi pada 3 variasi tekanan transmembran dapat dilihat pada Gambar 46. 50 100 150 200 250 0.6 1.2 1.8 Tekanan transmembran bar Fl uk s i A ir L m 2 .j a m 50 100 150 200 250 Fl uk s i N ir a L m 2 .j a m Fluks air Lm2.jam Fluks nira Lm2.jam Gambar 49. Hubungan fluks terhadap variasi tekanan transmembran Dari Gambar 46 dapat dilihat bahwa semakin tinggi tekanan transmembran yang digunakan, fluks permeat yang dihasilkan juga semakin Wulyoadi et al. 2004 meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tekanan masih mempengaruhi fluks. Fluks tertinggi didapat pada tekanan transmembran 1,8 bar, yaitu sebesar 165 Lm 2 .jam. Karakterisasi larutan nira mentah dan hasil filtrasi berupa permeat pada tekanan transmembran 1,8 bar dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil menunjukkan bahwa terjadi perubahan karakterisasi pada larutan nira umpan menjadi permeat. Tabel 18. Karakterisasi dan Kinerja Membran Selulosa Diasetat terhadap Larutan Nira

4.2.1. pH

Pada Tabel 17 dapat dilihat terjadi sedikit perubahan nilai pH setelah dilakukan proses filtrasi menggunakan membran tanpa mememerlukan tambahan bahan kimia. Ini merupakan salah satu keunggulan penggunaan teknologi filtrasi membran. Nira tebu dalam keadaan segar berada dalam kisaran pH 5,5-6,0 Ananta et al., 1990. Nira yang didiamkan beberapa waktu akan mengalami proses fermentasi. Sukrosa dengan sangat mudah dapat berubah menjadi gula invert. Apabila terdapat asam atau enzim dalam nira maka reaksi yang terjadi adalah inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selanjutnya glukosa dan fruktosa akan termentasi menjadi etanol oleh kehadiran mikroorganisme. Etanol kemudian mengalami proses oksidasi oleh bakteri Acetrobacter aceti menjadi asam asetat. Keadaan ini menyebabkan kadar asam meningkat sehingga pH pada umpan pada penelitian ini cenderung menurun. Sifat keasaman nira berpengaruh terhadap proses pemurnian karena semakin tinggi keasaman nira maka semakin banyak bahan kimia yang dibutuhkan untuk menetralkan keasaman. Pemurnian nira secara konvensional menggunakan kapur dan belerang untuk menaikkan dan menurunkan nilai pH. Hasil yang didapat pada penelitian ini, terjadi peningkatan Parameter Umpan Permeat pH 5,25 6,0 Turbiditi A 90 54 Tekanan transmembran bar 1,8 Fluksi nira Lm 2 .jam 165 pH setelah dilakukan proses filtrasi menggunakan membran dari 5,25 menjadi 6,0. Hal ini menunjukkan proses filtrasi dengan membran dapat meminimalkan proses perubahan sukrosa menjadi gula invert. Apabila terjadi penurunan pH yang terlalu besar setelah proses filtrasi, berarti telah terjadi perubahan sukrosa menjadi gula invert sehingga kandungan sukrosa yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Kerusakan sukrosa yang kecil diperoleh bila pH nira berada disekitar titik netral atau sedikit basa, idealnya dalam kisaran 6,8-7,2. Menurut Notodjoewono 1970, kerusakan sukrosa sedikit sekali terjadi pada pH sekitar 7,2. Peningkatan pH hingga berada disekitar titik netral dapat dihasilkan pada penelitian ini bila nira mentah segera dilakukan pengolahan. 4.2.2. Turbiditi Menurut Mochtar et al. 1998, adanya beberapa komponen seperti sukrosa, gula reduksi, zat koloid dan kotoran tersuspensi seperti senyawa anorganik dan organik, zat warna, protein, lilin, dan karbohidrat menyebabkan terjadinya kekeruhan pada larutan nira. Analisis tingkat kekeruhan diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan aquades sebagai pembanding. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 17 dimana terjadi penurunan turbiditi, yaitu sebesar 39,45 dari 90 A menjadi 54 A. Walaupun hasil yang didapat sudah berada sedikit diatas nilai dari pemurnian nira secara konvensional 12-38, namum masih lebih rendah dari hasil yang pernah didapatkan oleh Wulyoadi et al. 2004 yaitu sebesar 54. Ini menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan masih terdapat pori yang lebih besar dibandingkan komponen-komponen dalam larutan nira sehingga komponen- komponen tersebut terikut lolos sebagai permeat. Secara teknis, teknologi membran akan memberikan hasil proses yang lebih bersih, mempunyai warna yang lebih cerah, lebih hiegenis sehingga dengan mudah memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI bahkan standar dunia. Secara ekonomis, pemisahan menggunakan membran lebih hemat karena tidak memerlukan penambahan bahan kimia. Dari uji aplikasi yang telah dilakukan tersebut dapat didilihat bahwa dari segi teknis, proses pemisahan dan pemurnian dengan menggunakan teknologi membran merupakan suatu keuntungan besar karena tidak membutuhkan energi yang besar dan tanpa penambahan bahan kimia sehingga menghasilkan hasil proses dengan mutu yang lebih baik. Dari segi ekonomis, penggunaan energi yang rendah dan tanpa penambahan bahan kimia tentunya akan menurunkan biaya produksi sehingga proses membran lebih ekonomis. Teknologi membran akan menjadi lebih ekonomis apabila penggunaan membran lokal berupa selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon semakin meningkat mengingat keberadaan akan tanaman tersebut sebagai bahan baku polimer membran terjamin secara kontinuitas, kuantitas, dan kualitas. Disamping masa tumbuh yang relatif singkat, harga tanaman sengon juga tidak terlalu tinggi dibandingkan harga tanaman kayu lainnya seperti jati, kamper,dan ulin. Saat ini, harga kayu sengon untuk setiap meter kubik berada dikisaran Rp. 650.000,000 – Rp. 800.000,000. Sementara harga kayu jati, kamper, dan ulin berturut-turut untuk setiap meter kubik adalah Rp. 7.000.000,000; Rp. 3.500.000,000; dan Rp. 15.000.000,000. Kelemahan yang dihadapi proses menggunakan membran adalah terjadinya lapisan endapan pada permukaan membran dan penyumbatan di dalam pori membran akibat terjadinya pengendapan partikel-partikel zat terlarut di dalam pori-pori membran. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan pengaturan laju alir. Penggunaan membran bersifat hidrofilik juga merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan tersebut. Solusi lain terhadap lapisan endapan yang terjadi pada membran dapat dilakukan dengan cara-cara: 1 mekanis, 2 hidrostatis, dan 3 pencucian kimia. Metoda mekanis berkaitan dengan metoda pencucian kimia yang memisahkan partikel dari partikel lain, khususnya partikel yang tidak sesuai dengan ukuran pori-pori membran. Sedangkan metoda hidrostatis menggunakan prinsip penyapuan partikel dalam membran hingga terjadi proses cross flow, untuk memisahkan partikel dengan partikel lain. KESIMPULAN DAN SARAN .

1. Kesimpulan

Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11 dapat dijadikan bahan baku polimer membran berupa selulosa diasetat SDA. Selulosa diasetat dengan kadar asetil 39,66 dan berat molekul 130.221 Da diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit; asetilasi selama satu jam dengan rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35; dan hidrolisis selama 15 jam. Suhu untuk semua tahapan proses berlangsung pada 50 o C. Kondisi terbaik proses pembuatan membran secara inversi fasa dengan menggunakan polietilen glikol PEG pada berat molekul 1450, 4000, dan 6000 Da serta rasio PEGSDA 10, 20, dan 30 adalah: proses pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap pelarut dimetilformamida 1 : 6 selama 2 jam pada suhu kamar, pendiaman larutan cetak selama 1 jam, lama penguapan 30 detik, serta kondisi koagulasi selama 2 jam pada suhu 15 o C, kamar, dan 50 o C. Penambahan PEG menghasilkan membran dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki lapisan yang lebih tebal, kuat tarik yang lebih besar, dan menekan terbentuknya makrovoid. Analisis SEM menunjukkan struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan tingkat keteraturan bentuk pori yang lebih baik sehingga kerapatan porositas besar serta terlihat distribusi pori semakin kecil. Penambahan PEG dengan berat molekul yang semakin besar menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan ukuran pori yang lebih besar, akan tetapi porositas lebih kecil dengan distribusi pori besar. Penambahan PEG dengan rasio PEGSDA yang semakin meningkat menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan porositas yang lebih besar dan distribusi pori besar. Koagulasi pada suhu lebih tinggi menghasilkan membran dengan lapisan yang lebih tipis dan kuat tarik yang lebih rendah. Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapuh namun ukuran dan jumlah pori lebih besar sehingga porositas dan distribusi pori besar. Fluks air, dekstran, dan BSA dan rejeksi dekstran dan BSA sangat ditentukan oleh porositas dan distribusi pori membran. Fluks dan rejeksi tinggi dihasilkan oleh membran dengan porositas besar dan distribusi pori kecil. Membran dengan porositas kecil dan distribusi pori besar menghasilkan fluks rendah tetapi rejeksi tinggi. Sebaliknya, fluks tinggi dengan rejeksi rendah diperoleh dari membran dengan porositas dan distribusi pori besar. Penentuan MWCO pori membran dengan larutan standar dekstran 12 kDa dan BSA 67 kDa yang didasari oleh nilai rejeksi 80-90 didapat ukuran pori membran maksimal 67.000 Da dan membran yang telah dihasilkan masih tergolong jenis proses ultrafiltrasi. Membran selulosa asetat hasil formulasi penambahan PEG pada berat molekul 1450 Da, rasio PEGSDA 30 serta koagulasi berlagsung pada suhu kamar dilakukan uji aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam serta pemurnian larutan nira tebu. Uji aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam dilakukan berdasarkan prinsip perbedaan sifat hidrofobositas antara komponen yang dipisahkan dengan jenis polimer membran yang digunakan serta menggunakan transmembran yang rendah. Kadar patchouli alkohol tertinggi didapat sebesar 41,68 pada tekanan trasmembran 1,4 bar. Kadar Patchouli yang dihasilkan telah memenuhi standar minimum EOA, yaitu 38. Uji aplikasi terhadap pemurnian larutan nira diperoleh karakteristik permeat dengan pH adalah 6,0 serta penurunan turbiditi sebesar 39,45. Fluks tertinggi didapat pada tekanan transmembran 1,8 bar, yaitu sebesar 165 Lm 2 .jam. Dari uji aplikasi yang telah dilakukan tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemisahan dan pemurnian menggunakan teknologi membran merupakan suatu keuntungan besar. Proses pemisahan yang terjadi tidak mengalami perubahan fase sehingga tidak membutuhkan energi yang besar serta proses pemurnian yang dilakukan tidak menggunakan penambahan bahan kimia.

2. Saran Disarankan penambahan pelarut pada bak koagulasi yang berisi bukan-