3.2.3. Morfologi Membran Analisis Scanning Electron Microscope.
Pengamatan terhadap morfologi membran dilakukan dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope SEM JSM
– 5310 LV, Jeol-Japan pada batas resolusi 5-10 nm. Terlebih dahulu dilakukan pengeringan preparasi terhadap
sampel dengan freeze dryer sampai kadar air mencapai ≤ 2. Sampel dipotong
dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Selanjutnya sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon dan kemudian dilapisi emas Au 300A
o
di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum
terjadi loncatan energi dari logam emas ke arah sampel, sehingga melapisis sampel. Sampel tersebut diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron
yang akan terekam ke dalam monitor ketika terjadinya tembakan elektron ke arah sampel dan kemudian dilakukan pemotretan. Melalui SEM, diambil pada
beberapa variasi magnifikasi untuk beberapa bagian dari membran.
3.2.4. Kompaksi Scott dan Hughes, 1966.
Sebelum uji fluks, rejeksi, dan MWCO membran, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang telah dihasilkan tersebut. Membran
datar berukuran diameter 4 cm dengan luas efektif 12,56 cm
2
ditempatkan dalam suatu modul pada rangkaian alat penyaringan silang cross flow Gambar 8. Air
dialirkan melewati membran hingga diperoleh volume air konstan pada tekanan transmembran 2 bar untuk setiap 10 menit.
3.2.5. Fluks, Rejeksi, dan Molecular Weight Cut-Off MWCO Scott dan
Hughes, 1966; Mahendran et al., 2004.
Penentuan permeabilitas fluks dari air, larutan standar dektran 12 kDa, dan bovin serum albumin BSA-67 kDa serta selektifitas rejeksi dekstran dan
BSA dilakukan terhadap membran yang telah dikompaksi. Pengukuran dilakukan dengan
menyaring masing-masing
larutan tersebut
melalui membran
menggunakan serangkaian peralatan penyaringan silang cross-flow filtration untuk setiap 10 menit Gambar 8. Membran berbentuk flat datar dimasukkan ke
dalam modul dengan luas efektif membran 12,56 cm
2
. Tekanan transmembran pada 1,2 bar dengan laju alir 7,4 x 10
-3
mdet. Volume aliran yang melewati pori
membran permeat persatuan luas membran persatuan waktu dinyatakan sebagai fluksi. Konsentrasi permeat dari masing-masing larutan dianalisa menggunakan
UV-vis spektrofotometer. Persentase rejeksi R dihitung dari persamaan 2 hal 10:
C
permeat
R = 1 - ————— x 100
Mulder,1996 C
umpan
Dimana : R
= persentasi tahanan C
permeat
= konsentrasi partikel dalam permeat C
umpan
= konsentrasi partikel dalam umpan
Berdasarkan nilai rejeksi yang diperoleh, ukuran pori membran dapat ditentukan berdasarkan MWCO. MWCO berhubungan dengan rejeksi dari berat
molekul zat terlarut. Berat molekul memiliki hubungan linier dengan jari-jari pori atau ukuran pori membran. MWCO membran didapat dengan mengidentifikasi
dari zat terlarut yang memiliki berat molekul paling rendah dan mempunyai rejeksi 80-90 Mahendran et al., 2004
Gambar 8. Rangkaian alat penyaringan silang cross flow filtration membran jenis proses ultrafiltrasi
Tahap 4. Uji Aplikasi Membran 4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol dalam Minyak Nilam
Pogostemon cablin Benth.
Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil penyulingan petani nilam Pogostemon cablin Benth dari Kabupaten Aceh
Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Rendemen minyak yang diperoleh 3,7 dari berat kering tanaman nilam yang disuling dengan kadungan patchouli alkohol
sebesar 32,06. Proses filtrasi minyak nilam selama 10 menit dilakukan dengan menggunakan serangkaian peralatan filtrasi membran Gambar 8 pada tekanan
1,2 bar; 1,4 bar; dan 1,8 bar. Permeat yang keluar melalui pori membran
ditampung dan ditentukan fluks yang diperoleh.
4.2. Pemurnian Nira Tebu.
Dalam penelitian ini, nira yang digunakan didapat dari hasil penggilingan batang tebu. Tebu digiling setelah 24 jam tebu dipotong untuk menghindari
terbentuknya gula invert. Sebelum memasuki proses pemurnian menggunakan membran, nira mentah disaring terlebih dahulu menggunakan kain saring
mengurangi beban kerja membran. Filtrasi nira tebu dilakukan dengan cara mensirkulasi nira tebu selama 60 menit menggunakan 3 variasi tekanan
transmembran, yaitu 0,6; 1,2; 1,8 bar. Penentuan fluks nira dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran dalam melewatkan sejumlah volume nira tebu
persatuan waktu persatuan luas membran. Karakteristik terhadap nira mentah dan nira hasil pemurnian dilakukan dengan menganalisis turbiditi dan pH. Diagram
alir proses penggilingan tebu sampai filtrasi nira menggunakan membran dapat dilihat pada Lampiran 42.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon
Paraserianthes falcataria
Selulosa pulp kayu sengon yang digunakan pada penelitian ini berwarna putih dengan derajat putih 85,14. Nilai tersebut mendekati tetapan yang diberikan
oleh ISO sebesar 88. Derajat putih yang telah dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kadar ligin dalam pulp kayu sengon telah banyak yang terhidrolisis oleh
proses deleginifikasi. Hal ini juga didukung dari perolehan bilangan kappa yang rendah sebesar 10,735 dan kadar lignin sebesar 1,58. Hubungan antara bilangan
kappa dengan kadar lignin adalah linier dengan mengikuti persamaan : lignin = 0,147 x Bilangan Kappa Casey, 1980. Bilangan kappa dapat digunakan sebagai
parameter dalam melihat tingkat proses derajat delegnifikasi pulp. Menurut Rahmawati 1999, bilangan kappa yang rendah tersebut menunjukkan bahwa
delegnifikasi berjalan dengan cepat dilihat dari lignin yang putus. Hasil analisis kimia dari komponen pulp kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil analisis kimia komponen pulp kayu sengon Parameter analisis
Nilai Kadar alfa selulosa
92,11 Kadar abu
0,10 Kadar air
4,68 Impuritis
3,11 Kandungan
α-selulosa pada pulp kayu sengon relatif tinggi, yaitu 92,11 , dan ini mendekati kadar dari selulosa mikrobial sebesar 92,53 Desiyarni,
2006. Nilai α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian yang tinggi dari selulosa,
sehingga selulosa pulp kayu sengon baik sebagai sumber selulosa untuk pembuatan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Kadar air yang
rendah pada selulosa akan sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi. Apabila kandungan
air pada selulosa tinggi dikhawatirkan selulosa triasetat yang dihasilkan tidak maksimal karena anhirida asetat tidak hanya dapat bereaksi dengan selulosa,
tetapi dapat bereaksi juga dengan air membentuk asam asetat .
Sementara itu, kadar abu 0,10 dan impuritis 3,11 yang dihasilkan juga relatif rendah. Hal
ini juga menunjukkan bahwa selulosa pulp kayu sengon memiliki kemurnian yang tinggi. Pada pembuatan selulosa asetat, suhu untuk masing-masing proses
dipertahankan konstan pada 50
o
C. Komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian Desiyarni 2006 dengan alasan kandungan
α-selulosa yang tinggi, yaitu sekitar 92.
Tahap 2. Selulosa Diasetat 2.1. Waktu Aktivasi
Pada proses aktivasi dilakukan penggelembungan swelling terlebih dahulu terhadap selulosa dengan menggunakan pelarut asam asetat glasial.
Penggelembungan selulosa bertujuan untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa yang berdekatan karena kekakuan rantai dan tingginya
gaya antar rantai. Faktor ini dipandang sebagai penyebab kekristalan dari serat selulosa Cowd, 1991. Porses aktivasi tahap praperlakuan sangat diperlukan
agar pereaksi lebih mudah mencapai daerah kristal pada proses asetilasi. Waktu aktivasi ditentukan berdasarkan perolehan selulosa triasetat STA tertinggi
terhadap berat selulosa yang digunakan. Perolehan STA pada berbagai waktu aktivasi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 29.
1.6013 1.5992
1.5912 1.5875
1.585 1.59
1.595 1.6
1.605
20 40
60 80
100 120
140
Waktu aktivasi m enit P
e ro
le h
a n
S e
lu lo
s a
t ri
a s
e ta
t
g g
Gambar 9. Perolehan selulosa triasetat STA dalam berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi 50
o
C dan waktu asetilasi 1 jam.
Selama aktivasi berlangsung, jumlah selulosa triasetat STA yang dihasilkan menurun dengan bertambahnya waktu aktivasi, walaupun penurunan
yang terjadi sangat kecil. Penurunan disebabkan karena selulosa semakin lama kontak dengan asam asetat glasial. Menurut Sjostrom 1981 perlakuan fisik dan
kimia secara intensif terhadap selulosa dapat menurunkan derajat polimerisasi. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa STA tertinggi diperoleh pada waktu aktivasi
30 menit sebesar 1,6013 gg selulosa dan semakin menurun hingga menit ke 120 menjadi 1,5875 gg selulosa. Sedangkan pada waktu aktivasi kurang dari 30 menit
tidak cukup bagi asam asetat untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa sehingga reaktan tidak dapat menembus gugus hidroksil dari
selulosa pada proses asetilasi. Keadaan ini dilihat dari hasil asetilasi dimana selulosa triasetat tidak terbentuk karena selulosa tidak larut dalam reaktan. Ini
menunjukkan bahwa proses aktivasi dilakukan secukupnya untuk memberi tingkat pengembangan yang diperlukan untuk penetrasi reaktan. Kuo et al.1997
menyatakan lamanya waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan dan aktivasi terhadap selulosa pulp kayu berjalan sekitar 0,5-1 jam
pada suhu 25
o
C -50
o
C. Sementara itu, Nevel dan Zeronian 1985 memerlukan waktu aktivasi terhadap selulosa pulp kayu sekitar 1-2 jam. Waktu aktivasi yang
diperlukan dari selulosa mikrobial telah didapat oleh Tabuchi et al. 1998 dan Desiyarni 2006 masing-masing selama 72 jam dan 16 jam pada suhu kamar.
Waktu aktivasi yang telah dicapai oleh selulosa pulp kayu sengon ternyata lebih pendek dibandingkan dengan aktivasi selulosa mikrobial. Hal ini terjadi karena
terdapat perbedaan derajat kristalinitas selulosa pulp kayu dengan selulosa mikrobial. Selulosa mikrobial bersifat lebih kristalin dengan derajat kristalinitas
lebih besar dari 60 White dan Brown, 1998. Sementara selulosa yang berasal dari tumbuhan seperti rami dan kapas mempunyai derajat kristalin sebesar 30
Yoshinaga et al., 1997 dan selulosa pulp kayu memiliki derajat kristalinitas sekitar 38 Sanjaya, 2001. Proporsi derajat kristal yang lebih kecil pada
selulosa pulp kayu membuat proses aktivasi berjalan lebih cepat. Hasil penelitian Desiyarni 2006, aktivasi selulosa mikrobial pada suhu
50
o
C memerlukan waktu lebih pendek, yaitu selama 6 jam dibandingkan pada suhu kamar yang berlangsung selama 16 jam untuk perolehan selulosa triasetat
yang sama, yaitu 1,63 gg. Tabuchi et al. 1998 memerlukan waktu aktivasi selama 72 jam pada suhu kamar terhadap selulosa mikrobial. Ini menunjukkan
aktivasi pada 50
o
C lebih efisien dalam hal waktu dibandingkan dengan aktivasi pada suhu kamar sehingga suhu 50
o
C digunakan sebagai suhu aktivasi dalam penelitian ini.
2.2. Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi
Proses asetilasi bertujuan untuk menggantikan gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat, sehingga membentuk
selulosa triasetat. Anhidrida asetat merupakan reaktan yang memegang peranan penting pada reaksi asetilasi. Secara stoikiometri, 1 mol selulosa triasetat
dihasilkan dari reaksi 1 mol selulosa yang terdiri atas n unit glukosa dengan 3n mol anhidrida asetat. Pada penelitian pembuatan selulosa asetat berbasis selulosa
mikrobial, proses asetilasi dipengaruhi oleh faktor anhidrida asetat Desiyarni, 2006. Hasil yang didapat oleh Desiyarni 2006 menunjukkan bahwa rasio
optimum anhdrida asetat terhadap selulosa mikrobial adalah 3,35 dengan kadar asetil 45,78 pada suhu 50
o
C selama 323 menit. Berangkat dari kondisi optimum inilah, maka pada penelitian ini ditetapkan pemakaian batas rendah rasio
anhidrida asetat terhadap selulosa adalah sebesar 3,35. Beberapa alasan pemilihan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat sebesar 3,35; yaitu 1 kandungan
α-selulosa yang dimiliki oleh selulosa mikrobial dan selulosa pulp kayu sengon hampir sama sekitar 92, 2 selulosa yang digunakan masih mengandung air
dibawah 5, sehingga anhidrida asetat yang digunakan sedikit berlebih dari kebutuhan secara stoikiometri. Hasil asetilasi pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 10.
1.59 1.6
1.61 1.62
1.63 1.64
1.65
3.35 4
5 6
Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa P
e rol
e ha
n S
TA g
g
44 44.1
44.2 44.3
44.4
K a
da r
A s
e ti
l
Perolehan STA gg Kadar Asetil
Hasil asetilasi selama satu jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp sengon 3,35 diperoleh kadar asetil 44,18 dengan konversi selulosa
menjadi STA sekitar 90 sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Tabuchi et al. 1998 memakai anhidrida asetat sebanyak 20 kali dari jumlah selulosa yang
digunakan. Sementara Saka dan Takanashi 1998 menggunakan anhidrida asetat sebanyak 7 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Penggunaan anhidrida
dalam jumlah besar biasa dilakukan apabila pada selulosa masih terdapat sejumlah besar air dengan tujuan selulosa triasetat yang terbentuk masih lebih banyak
dibandingkan asam asetat. Selain dengan selulosa, anhidrida asetat dapat bereaksi dengan air dan menghasilkan asam asetat.
Penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang sangat berlebihan akan menyebabkan proses asetilasi kurang effisien apabila kadar asetil dan selulosa
triasetat yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diharapkan disamping kandungan air dalam selulosa yang tidak terlalu tinggi ≤ 5. Oleh karena itu
rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang dipilih untuk digunakan pada proses selanjutnya adalah sebesar 3,35 dengan kadar asetil 44,18.
44,18 44,21
44,31 44,35
1,61 1,62
,62 1 ,63
1 ,64
Gambar 10. Perolehan kadar asetil KA dan selulosa triasetat STA pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi
50
o
C selama 1 jam.
Waktu yang diperlukan oleh Yamakawa et al. 2003 untuk proses asetilasi selulosa pulp kayu adalah sekitar 20-60 menit. Semakin lama waktu
asetilasi, maka semakin lama kesempatan anhidrida asetat bereaksi dengan selulosa untuk membentuk selulosa triasetat sehingga kadar asetil semakin
meningkat. Pada proses asetilasi dilakukan pula pengamatan lama waktu asetilasi terhadap kadar asetil yang dihasilkan. Hasil pengamatan waktu asetilasi disajikan
pada Gambar 11 .
1.57 1.58
1.59 1.6
1.61 1.62
1.63 1.64
1.65
30 60
90 120
Waktu asetilasi menit P
e rol
e ha
n S
e lul
os a
Tri
A s
e ta
t g
g
43.7 43.8
43.9 44
44.1 44.2
44.3 44.4
K a
da r
A s
e ti
l
Perolehan STA gg Kadar Asetil
Data yang disajikan pada Gambar 11 membuktikan bahwa semakin lama waktu asetilasi akan meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat dengan kenaikan
yang semakin kecil. Pada 30 menit pertama proses asetilasi diperoleh kadar asetil sebesar 43,98 dengan konversi selulosa menjadi STA masih di bawah 90.
Pada 30 menit berikut, kadar asetil naik sebesar 0,195, yaitu menjadi 44,18. Selanjutnya untuk setiap kenaikan 30 menit, kadar asetil naik sekitar 0,09.
Kadar asetil yang diperoleh tersebut masih di atas 43, sedangkan kadar asetil yang diperlukan pada pembuatan membran antara 37-42. Untuk itu dipilih
waktu asetilasi cukup 60 menit untuk menghindari kenaikan kadar asetil dan konversi selulosa menjadi selulosa triasetat yang dihasilkan telah mencapai 90.
Waktu asetilasi ini lebih cepat dibandingkan asetilasi untuk selulosa mikrobial Gambar 11. Perolehan kadar asetil KA dan selulosa triasetat STA pada
berbagai waktu asetilasi pada 50
o
C selama satu 1 dan rasio
anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35.
44,36 44,27
44,18 43,98
1,59 1,61
1,63 1,64
yaitu selama 3-4 jam untuk mendapatkan kadar asetil 44 Desiyarni, 2006. Perbedaan waktu asetilasi ini disebabkan karena perbedaan derajat kristal dan
amorf pada bahan baku. Selulosa pulp kayu, umumnya mempunyai derajat amorf yang lebih besar 60-70 sehingga reaksi lebih cepat.
2.3. Waktu Hidrolisis
Hidrolisis bertujuan untuk menghilangkan sebagian gugus asetil dari selulosa triasetat sehingga dihasilkan selulosa diasetat. Proses hidrolisis selulosa
triasetat pada beberapa selulosa pulp kapas, jerami memakan waktu beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi lebih pendek jika dilakukan pada suhu
40-80
o
C Bydson, 1995; Kuo et al., 1997; Harrison et al., 2004. Waktu hidrolisis dipilih sesuai dengan penurunan kadar asetil. Kadar asetil hasil asetilasi diperoleh
sebesar 44,18, padahal secara komersial selulosa diasetat untuk membran ultrafiltrasi berada pada kisaran 39-40. Kadar asetil pada waktu hidrolisis 15
jam adalah 39,66 dan dapat dilihat pada Gambar 12. Waktu hidrolisis ini sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa
mikrobial untuk kadar asetil 39 Desiyarni, 2006.
44.29 44.38
43.5 42.62
41.74 40.86
39.66 39
38 39
40 41
42 43
44 45
5 10
15 20
Waktu hidrolisis jam K
a d
a r
a s
e ti
l
Penggunaan suhu proses ditentukan oleh kandu ngan α-selulosa. Hidrolisis
pada suhu tinggi 125 – 170
o
C umumnya digunakan terhadap bahan baku yang Gambar 12. Perolehan kadar asetil hasil hidrolisis pada berbagai waktu
hidrolisis suhu 50
o
C
memiliki kandungan alfa selulosa pulp rendah, yaitu 90 Campbell, 1973 guna untuk menghidrolisis hemiselulosa.
Untuk selulosa diasetat yang dihasilkan dari selulosa pulp kayu sengon, diperoleh kondisi masing-masing proses meliputi proses aktivasi, asetilasi, dan
hidrolisis seperti tercantum pada Tabel 11. Hasil selulosa diasetat SDA yang diperoleh juga baik seperti ditunjukkan oleh warna SDA yang putih dengan berat
molekul 130.221 Gambar 13. Tabel 11. Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa
diasetat berbasis pulp kayu sengon
Sumber Selulosa
Aktivasi Asetilasi
Hidrolisis Kadar asetil
Berat Molekul Kondisi
Operasi Selulosa:
Asam Asetat
Kondisi Operasi
Selulosa:Asam Asetat: Anh,
Asetat:H
2
SO
4
Kondisi Operasi
Selulosa: H
2
O: H
2
SO
4
39,66 130.221
Selulosa Pulp
Kayu Sengon
0,5 jam 50
o
C 1 : 8
1 jam 50
o
C 1 : 4,5 : 3,3 5 :
0,015 15 jam,
50
o
C 1 : 1,066
: 0,015
Gambar 13. Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66 dan berwarna putih.
Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat dan Karakteristiknya. 3.1. Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat
secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon.
Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11 telah digunakan sebagai bahan baku polimer membran. Polimer membran selulosa
asetat dengan kadar asetil 39,66 dan berat molekul 130.221 diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit, asetilasi selama 1 jam pada rasio
anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35, dan hidrolisis berlangsung selama 15 jam. Kondisi suhu untuk setiap proses dipertahankan pada 50
o
C. Selanjutnya membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon telah dihasilkan
secara inversi fasa. Tahapan setiap unit proses yang telah dilakukan adalah pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap DMF 1:6 pada
suhu kamar selama 2 jam setelah penambahan porogen polietilen glikol PEG dengan berbagai berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da serta rasio
PEGSDA 10, 20, 30. Dilanjutkan pendiaman larutan polimer selama 1 jam pada suhu kamar, penguapan larutan cetak yang berada di atas plat kaca
selama 30 detik serta perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam pada suhu 15
o
C, suhu kamar, dan 50
o
C. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulo
pulp kayu sengon dapat dilihat pada Lampiran 43, Lampiran 44, dan Lampiran 45. Perlakuan ini menghasilkan membran dengan karakterisasi yang akan dijabarkan
lebih jelas berikut ini.
3.2. Karakteristik Membran.
Membran yang telah dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi ini menjadi penting untuk menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti
pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Kompaksi terhadap
membran diperoleh terlebih dahulu sebelum pengukuran fluks, rejeksi, dan MWCO. Porometer membran dinyatakan dengan konsep MWCO berdasarkan
nilai rejeksi 80-90 dari larutan standar Mahendran et al. 2004. Larutan standar
yang digunakan yaitu, Dekstran 12 kDa dan BSA 67 kDa. Namun terlebih dahulu dilakukan pengukuran fluks membran terhadap air. Membran yang
digunakan dalam bentuk datar flat dengan luas permukaan 12,5 cm
2
12,5 x 10
-4
m
2
pada TMP 1,2 bar dan kecepatan alir 7,4 x 10
-3
mdet 34 Ljam.
3.2.1. Ketebalan Membran
Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG mempunyai lapisan yang lebih tebal dibandingkan
membran tanpa PEG. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumah molekul PEG pada matriks membran selulosa asetat sehingga kandungan zat padat menjadi
lebih banyak. Sementara pada perubahan suhu koagulasi, lapisan membran pada suhu rendah
15
o
C lebih tebal dibandingkan pada koagulasi suhu tinggi suhu kamar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. 2007 bahwa ketebalan
membran sangat tergantung dari sifat kelarutan aditif dalam air pada bak koagulasi. Sementara itu menurut Young dan Chen,1995, ketebalan lapisan kulit
membran akan naik secara bertahap hingga diffusi pelarut dari lapisan bagian bawah membran melalui lapisan bagian atas ke bukan-pelarut non-pelarut
berhenti. Ini berarti bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari perbandingan jumlah polimer dan pelarut yang digunakan.
Pada koagulasi suhu kamar, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,050 mm dan 0,062 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada
rasio PEGSDA 20. Akhlus dan Widiastuti 2005 dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketebalan membran berbanding lurus dengan jumlah polimer
yang digunakan, yaitu dari 0,059 mm 18 polimer dan 82 pelarut menjadi 0,076 mm 18 polimer, 18 polimer aditif, dan 64 pelarut.
Pada suhu koagulasi yang lebih rendah 15
o
C, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,053 mm dan 0,065 mm untuk membran dengan
penambahan PEG 6000 Da dan rasio PEGSDA 20. Tebal lapisan membran yang diperoleh masih berada pada batasan membran asimetrik, yaitu sekitar 150
µm 0,15 mm Mulder, 1996.
3.2.2. Kuat Tarik Membran