Kompaksi Scott dan Hughes, 1966. Ketebalan Membran

3.2.3. Morfologi Membran Analisis Scanning Electron Microscope.

Pengamatan terhadap morfologi membran dilakukan dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope SEM JSM – 5310 LV, Jeol-Japan pada batas resolusi 5-10 nm. Terlebih dahulu dilakukan pengeringan preparasi terhadap sampel dengan freeze dryer sampai kadar air mencapai ≤ 2. Sampel dipotong dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Selanjutnya sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon dan kemudian dilapisi emas Au 300A o di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum terjadi loncatan energi dari logam emas ke arah sampel, sehingga melapisis sampel. Sampel tersebut diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron yang akan terekam ke dalam monitor ketika terjadinya tembakan elektron ke arah sampel dan kemudian dilakukan pemotretan. Melalui SEM, diambil pada beberapa variasi magnifikasi untuk beberapa bagian dari membran.

3.2.4. Kompaksi Scott dan Hughes, 1966.

Sebelum uji fluks, rejeksi, dan MWCO membran, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang telah dihasilkan tersebut. Membran datar berukuran diameter 4 cm dengan luas efektif 12,56 cm 2 ditempatkan dalam suatu modul pada rangkaian alat penyaringan silang cross flow Gambar 8. Air dialirkan melewati membran hingga diperoleh volume air konstan pada tekanan transmembran 2 bar untuk setiap 10 menit.

3.2.5. Fluks, Rejeksi, dan Molecular Weight Cut-Off MWCO Scott dan

Hughes, 1966; Mahendran et al., 2004. Penentuan permeabilitas fluks dari air, larutan standar dektran 12 kDa, dan bovin serum albumin BSA-67 kDa serta selektifitas rejeksi dekstran dan BSA dilakukan terhadap membran yang telah dikompaksi. Pengukuran dilakukan dengan menyaring masing-masing larutan tersebut melalui membran menggunakan serangkaian peralatan penyaringan silang cross-flow filtration untuk setiap 10 menit Gambar 8. Membran berbentuk flat datar dimasukkan ke dalam modul dengan luas efektif membran 12,56 cm 2 . Tekanan transmembran pada 1,2 bar dengan laju alir 7,4 x 10 -3 mdet. Volume aliran yang melewati pori membran permeat persatuan luas membran persatuan waktu dinyatakan sebagai fluksi. Konsentrasi permeat dari masing-masing larutan dianalisa menggunakan UV-vis spektrofotometer. Persentase rejeksi R dihitung dari persamaan 2 hal 10: C permeat R = 1 - ————— x 100 Mulder,1996 C umpan Dimana : R = persentasi tahanan C permeat = konsentrasi partikel dalam permeat C umpan = konsentrasi partikel dalam umpan Berdasarkan nilai rejeksi yang diperoleh, ukuran pori membran dapat ditentukan berdasarkan MWCO. MWCO berhubungan dengan rejeksi dari berat molekul zat terlarut. Berat molekul memiliki hubungan linier dengan jari-jari pori atau ukuran pori membran. MWCO membran didapat dengan mengidentifikasi dari zat terlarut yang memiliki berat molekul paling rendah dan mempunyai rejeksi 80-90 Mahendran et al., 2004 Gambar 8. Rangkaian alat penyaringan silang cross flow filtration membran jenis proses ultrafiltrasi Tahap 4. Uji Aplikasi Membran 4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol dalam Minyak Nilam Pogostemon cablin Benth. Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil penyulingan petani nilam Pogostemon cablin Benth dari Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Rendemen minyak yang diperoleh 3,7 dari berat kering tanaman nilam yang disuling dengan kadungan patchouli alkohol sebesar 32,06. Proses filtrasi minyak nilam selama 10 menit dilakukan dengan menggunakan serangkaian peralatan filtrasi membran Gambar 8 pada tekanan 1,2 bar; 1,4 bar; dan 1,8 bar. Permeat yang keluar melalui pori membran ditampung dan ditentukan fluks yang diperoleh. 4.2. Pemurnian Nira Tebu. Dalam penelitian ini, nira yang digunakan didapat dari hasil penggilingan batang tebu. Tebu digiling setelah 24 jam tebu dipotong untuk menghindari terbentuknya gula invert. Sebelum memasuki proses pemurnian menggunakan membran, nira mentah disaring terlebih dahulu menggunakan kain saring mengurangi beban kerja membran. Filtrasi nira tebu dilakukan dengan cara mensirkulasi nira tebu selama 60 menit menggunakan 3 variasi tekanan transmembran, yaitu 0,6; 1,2; 1,8 bar. Penentuan fluks nira dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran dalam melewatkan sejumlah volume nira tebu persatuan waktu persatuan luas membran. Karakteristik terhadap nira mentah dan nira hasil pemurnian dilakukan dengan menganalisis turbiditi dan pH. Diagram alir proses penggilingan tebu sampai filtrasi nira menggunakan membran dapat dilihat pada Lampiran 42. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon Paraserianthes falcataria Selulosa pulp kayu sengon yang digunakan pada penelitian ini berwarna putih dengan derajat putih 85,14. Nilai tersebut mendekati tetapan yang diberikan oleh ISO sebesar 88. Derajat putih yang telah dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kadar ligin dalam pulp kayu sengon telah banyak yang terhidrolisis oleh proses deleginifikasi. Hal ini juga didukung dari perolehan bilangan kappa yang rendah sebesar 10,735 dan kadar lignin sebesar 1,58. Hubungan antara bilangan kappa dengan kadar lignin adalah linier dengan mengikuti persamaan : lignin = 0,147 x Bilangan Kappa Casey, 1980. Bilangan kappa dapat digunakan sebagai parameter dalam melihat tingkat proses derajat delegnifikasi pulp. Menurut Rahmawati 1999, bilangan kappa yang rendah tersebut menunjukkan bahwa delegnifikasi berjalan dengan cepat dilihat dari lignin yang putus. Hasil analisis kimia dari komponen pulp kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis kimia komponen pulp kayu sengon Parameter analisis Nilai Kadar alfa selulosa 92,11 Kadar abu 0,10 Kadar air 4,68 Impuritis 3,11 Kandungan α-selulosa pada pulp kayu sengon relatif tinggi, yaitu 92,11 , dan ini mendekati kadar dari selulosa mikrobial sebesar 92,53 Desiyarni, 2006. Nilai α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian yang tinggi dari selulosa, sehingga selulosa pulp kayu sengon baik sebagai sumber selulosa untuk pembuatan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Kadar air yang rendah pada selulosa akan sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi. Apabila kandungan air pada selulosa tinggi dikhawatirkan selulosa triasetat yang dihasilkan tidak maksimal karena anhirida asetat tidak hanya dapat bereaksi dengan selulosa, tetapi dapat bereaksi juga dengan air membentuk asam asetat . Sementara itu, kadar abu 0,10 dan impuritis 3,11 yang dihasilkan juga relatif rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selulosa pulp kayu sengon memiliki kemurnian yang tinggi. Pada pembuatan selulosa asetat, suhu untuk masing-masing proses dipertahankan konstan pada 50 o C. Komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian Desiyarni 2006 dengan alasan kandungan α-selulosa yang tinggi, yaitu sekitar 92. Tahap 2. Selulosa Diasetat 2.1. Waktu Aktivasi Pada proses aktivasi dilakukan penggelembungan swelling terlebih dahulu terhadap selulosa dengan menggunakan pelarut asam asetat glasial. Penggelembungan selulosa bertujuan untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa yang berdekatan karena kekakuan rantai dan tingginya gaya antar rantai. Faktor ini dipandang sebagai penyebab kekristalan dari serat selulosa Cowd, 1991. Porses aktivasi tahap praperlakuan sangat diperlukan agar pereaksi lebih mudah mencapai daerah kristal pada proses asetilasi. Waktu aktivasi ditentukan berdasarkan perolehan selulosa triasetat STA tertinggi terhadap berat selulosa yang digunakan. Perolehan STA pada berbagai waktu aktivasi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 29. 1.6013 1.5992 1.5912 1.5875 1.585 1.59 1.595 1.6 1.605 20 40 60 80 100 120 140 Waktu aktivasi m enit P e ro le h a n S e lu lo s a t ri a s e ta t g g Gambar 9. Perolehan selulosa triasetat STA dalam berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi 50 o C dan waktu asetilasi 1 jam. Selama aktivasi berlangsung, jumlah selulosa triasetat STA yang dihasilkan menurun dengan bertambahnya waktu aktivasi, walaupun penurunan yang terjadi sangat kecil. Penurunan disebabkan karena selulosa semakin lama kontak dengan asam asetat glasial. Menurut Sjostrom 1981 perlakuan fisik dan kimia secara intensif terhadap selulosa dapat menurunkan derajat polimerisasi. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa STA tertinggi diperoleh pada waktu aktivasi 30 menit sebesar 1,6013 gg selulosa dan semakin menurun hingga menit ke 120 menjadi 1,5875 gg selulosa. Sedangkan pada waktu aktivasi kurang dari 30 menit tidak cukup bagi asam asetat untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa sehingga reaktan tidak dapat menembus gugus hidroksil dari selulosa pada proses asetilasi. Keadaan ini dilihat dari hasil asetilasi dimana selulosa triasetat tidak terbentuk karena selulosa tidak larut dalam reaktan. Ini menunjukkan bahwa proses aktivasi dilakukan secukupnya untuk memberi tingkat pengembangan yang diperlukan untuk penetrasi reaktan. Kuo et al.1997 menyatakan lamanya waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan dan aktivasi terhadap selulosa pulp kayu berjalan sekitar 0,5-1 jam pada suhu 25 o C -50 o C. Sementara itu, Nevel dan Zeronian 1985 memerlukan waktu aktivasi terhadap selulosa pulp kayu sekitar 1-2 jam. Waktu aktivasi yang diperlukan dari selulosa mikrobial telah didapat oleh Tabuchi et al. 1998 dan Desiyarni 2006 masing-masing selama 72 jam dan 16 jam pada suhu kamar. Waktu aktivasi yang telah dicapai oleh selulosa pulp kayu sengon ternyata lebih pendek dibandingkan dengan aktivasi selulosa mikrobial. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan derajat kristalinitas selulosa pulp kayu dengan selulosa mikrobial. Selulosa mikrobial bersifat lebih kristalin dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60 White dan Brown, 1998. Sementara selulosa yang berasal dari tumbuhan seperti rami dan kapas mempunyai derajat kristalin sebesar 30 Yoshinaga et al., 1997 dan selulosa pulp kayu memiliki derajat kristalinitas sekitar 38 Sanjaya, 2001. Proporsi derajat kristal yang lebih kecil pada selulosa pulp kayu membuat proses aktivasi berjalan lebih cepat. Hasil penelitian Desiyarni 2006, aktivasi selulosa mikrobial pada suhu 50 o C memerlukan waktu lebih pendek, yaitu selama 6 jam dibandingkan pada suhu kamar yang berlangsung selama 16 jam untuk perolehan selulosa triasetat yang sama, yaitu 1,63 gg. Tabuchi et al. 1998 memerlukan waktu aktivasi selama 72 jam pada suhu kamar terhadap selulosa mikrobial. Ini menunjukkan aktivasi pada 50 o C lebih efisien dalam hal waktu dibandingkan dengan aktivasi pada suhu kamar sehingga suhu 50 o C digunakan sebagai suhu aktivasi dalam penelitian ini.

2.2. Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi

Proses asetilasi bertujuan untuk menggantikan gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat. Anhidrida asetat merupakan reaktan yang memegang peranan penting pada reaksi asetilasi. Secara stoikiometri, 1 mol selulosa triasetat dihasilkan dari reaksi 1 mol selulosa yang terdiri atas n unit glukosa dengan 3n mol anhidrida asetat. Pada penelitian pembuatan selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, proses asetilasi dipengaruhi oleh faktor anhidrida asetat Desiyarni, 2006. Hasil yang didapat oleh Desiyarni 2006 menunjukkan bahwa rasio optimum anhdrida asetat terhadap selulosa mikrobial adalah 3,35 dengan kadar asetil 45,78 pada suhu 50 o C selama 323 menit. Berangkat dari kondisi optimum inilah, maka pada penelitian ini ditetapkan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat terhadap selulosa adalah sebesar 3,35. Beberapa alasan pemilihan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat sebesar 3,35; yaitu 1 kandungan α-selulosa yang dimiliki oleh selulosa mikrobial dan selulosa pulp kayu sengon hampir sama sekitar 92, 2 selulosa yang digunakan masih mengandung air dibawah 5, sehingga anhidrida asetat yang digunakan sedikit berlebih dari kebutuhan secara stoikiometri. Hasil asetilasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10. 1.59 1.6 1.61 1.62 1.63 1.64 1.65 3.35 4 5 6 Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa P e rol e ha n S TA g g 44 44.1 44.2 44.3 44.4 K a da r A s e ti l Perolehan STA gg Kadar Asetil Hasil asetilasi selama satu jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp sengon 3,35 diperoleh kadar asetil 44,18 dengan konversi selulosa menjadi STA sekitar 90 sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Tabuchi et al. 1998 memakai anhidrida asetat sebanyak 20 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Sementara Saka dan Takanashi 1998 menggunakan anhidrida asetat sebanyak 7 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Penggunaan anhidrida dalam jumlah besar biasa dilakukan apabila pada selulosa masih terdapat sejumlah besar air dengan tujuan selulosa triasetat yang terbentuk masih lebih banyak dibandingkan asam asetat. Selain dengan selulosa, anhidrida asetat dapat bereaksi dengan air dan menghasilkan asam asetat. Penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang sangat berlebihan akan menyebabkan proses asetilasi kurang effisien apabila kadar asetil dan selulosa triasetat yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diharapkan disamping kandungan air dalam selulosa yang tidak terlalu tinggi ≤ 5. Oleh karena itu rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang dipilih untuk digunakan pada proses selanjutnya adalah sebesar 3,35 dengan kadar asetil 44,18. 44,18 44,21 44,31 44,35 1,61 1,62 ,62 1 ,63 1 ,64 Gambar 10. Perolehan kadar asetil KA dan selulosa triasetat STA pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50 o C selama 1 jam. Waktu yang diperlukan oleh Yamakawa et al. 2003 untuk proses asetilasi selulosa pulp kayu adalah sekitar 20-60 menit. Semakin lama waktu asetilasi, maka semakin lama kesempatan anhidrida asetat bereaksi dengan selulosa untuk membentuk selulosa triasetat sehingga kadar asetil semakin meningkat. Pada proses asetilasi dilakukan pula pengamatan lama waktu asetilasi terhadap kadar asetil yang dihasilkan. Hasil pengamatan waktu asetilasi disajikan pada Gambar 11 . 1.57 1.58 1.59 1.6 1.61 1.62 1.63 1.64 1.65 30 60 90 120 Waktu asetilasi menit P e rol e ha n S e lul os a Tri A s e ta t g g 43.7 43.8 43.9 44 44.1 44.2 44.3 44.4 K a da r A s e ti l Perolehan STA gg Kadar Asetil Data yang disajikan pada Gambar 11 membuktikan bahwa semakin lama waktu asetilasi akan meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat dengan kenaikan yang semakin kecil. Pada 30 menit pertama proses asetilasi diperoleh kadar asetil sebesar 43,98 dengan konversi selulosa menjadi STA masih di bawah 90. Pada 30 menit berikut, kadar asetil naik sebesar 0,195, yaitu menjadi 44,18. Selanjutnya untuk setiap kenaikan 30 menit, kadar asetil naik sekitar 0,09. Kadar asetil yang diperoleh tersebut masih di atas 43, sedangkan kadar asetil yang diperlukan pada pembuatan membran antara 37-42. Untuk itu dipilih waktu asetilasi cukup 60 menit untuk menghindari kenaikan kadar asetil dan konversi selulosa menjadi selulosa triasetat yang dihasilkan telah mencapai 90. Waktu asetilasi ini lebih cepat dibandingkan asetilasi untuk selulosa mikrobial Gambar 11. Perolehan kadar asetil KA dan selulosa triasetat STA pada berbagai waktu asetilasi pada 50 o C selama satu 1 dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35. 44,36 44,27 44,18 43,98 1,59 1,61 1,63 1,64 yaitu selama 3-4 jam untuk mendapatkan kadar asetil 44 Desiyarni, 2006. Perbedaan waktu asetilasi ini disebabkan karena perbedaan derajat kristal dan amorf pada bahan baku. Selulosa pulp kayu, umumnya mempunyai derajat amorf yang lebih besar 60-70 sehingga reaksi lebih cepat.

2.3. Waktu Hidrolisis

Hidrolisis bertujuan untuk menghilangkan sebagian gugus asetil dari selulosa triasetat sehingga dihasilkan selulosa diasetat. Proses hidrolisis selulosa triasetat pada beberapa selulosa pulp kapas, jerami memakan waktu beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi lebih pendek jika dilakukan pada suhu 40-80 o C Bydson, 1995; Kuo et al., 1997; Harrison et al., 2004. Waktu hidrolisis dipilih sesuai dengan penurunan kadar asetil. Kadar asetil hasil asetilasi diperoleh sebesar 44,18, padahal secara komersial selulosa diasetat untuk membran ultrafiltrasi berada pada kisaran 39-40. Kadar asetil pada waktu hidrolisis 15 jam adalah 39,66 dan dapat dilihat pada Gambar 12. Waktu hidrolisis ini sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa mikrobial untuk kadar asetil 39 Desiyarni, 2006. 44.29 44.38 43.5 42.62 41.74 40.86 39.66 39 38 39 40 41 42 43 44 45 5 10 15 20 Waktu hidrolisis jam K a d a r a s e ti l Penggunaan suhu proses ditentukan oleh kandu ngan α-selulosa. Hidrolisis pada suhu tinggi 125 – 170 o C umumnya digunakan terhadap bahan baku yang Gambar 12. Perolehan kadar asetil hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis suhu 50 o C memiliki kandungan alfa selulosa pulp rendah, yaitu 90 Campbell, 1973 guna untuk menghidrolisis hemiselulosa. Untuk selulosa diasetat yang dihasilkan dari selulosa pulp kayu sengon, diperoleh kondisi masing-masing proses meliputi proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis seperti tercantum pada Tabel 11. Hasil selulosa diasetat SDA yang diperoleh juga baik seperti ditunjukkan oleh warna SDA yang putih dengan berat molekul 130.221 Gambar 13. Tabel 11. Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa diasetat berbasis pulp kayu sengon Sumber Selulosa Aktivasi Asetilasi Hidrolisis Kadar asetil Berat Molekul Kondisi Operasi Selulosa: Asam Asetat Kondisi Operasi Selulosa:Asam Asetat: Anh, Asetat:H 2 SO 4 Kondisi Operasi Selulosa: H 2 O: H 2 SO 4 39,66 130.221 Selulosa Pulp Kayu Sengon 0,5 jam 50 o C 1 : 8 1 jam 50 o C 1 : 4,5 : 3,3 5 : 0,015 15 jam, 50 o C 1 : 1,066 : 0,015 Gambar 13. Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66 dan berwarna putih. Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat dan Karakteristiknya. 3.1. Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon. Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11 telah digunakan sebagai bahan baku polimer membran. Polimer membran selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66 dan berat molekul 130.221 diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit, asetilasi selama 1 jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35, dan hidrolisis berlangsung selama 15 jam. Kondisi suhu untuk setiap proses dipertahankan pada 50 o C. Selanjutnya membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon telah dihasilkan secara inversi fasa. Tahapan setiap unit proses yang telah dilakukan adalah pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam setelah penambahan porogen polietilen glikol PEG dengan berbagai berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da serta rasio PEGSDA 10, 20, 30. Dilanjutkan pendiaman larutan polimer selama 1 jam pada suhu kamar, penguapan larutan cetak yang berada di atas plat kaca selama 30 detik serta perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam pada suhu 15 o C, suhu kamar, dan 50 o C. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulo pulp kayu sengon dapat dilihat pada Lampiran 43, Lampiran 44, dan Lampiran 45. Perlakuan ini menghasilkan membran dengan karakterisasi yang akan dijabarkan lebih jelas berikut ini.

3.2. Karakteristik Membran.

Membran yang telah dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi ini menjadi penting untuk menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Kompaksi terhadap membran diperoleh terlebih dahulu sebelum pengukuran fluks, rejeksi, dan MWCO. Porometer membran dinyatakan dengan konsep MWCO berdasarkan nilai rejeksi 80-90 dari larutan standar Mahendran et al. 2004. Larutan standar yang digunakan yaitu, Dekstran 12 kDa dan BSA 67 kDa. Namun terlebih dahulu dilakukan pengukuran fluks membran terhadap air. Membran yang digunakan dalam bentuk datar flat dengan luas permukaan 12,5 cm 2 12,5 x 10 -4 m 2 pada TMP 1,2 bar dan kecepatan alir 7,4 x 10 -3 mdet 34 Ljam.

3.2.1. Ketebalan Membran

Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG mempunyai lapisan yang lebih tebal dibandingkan membran tanpa PEG. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumah molekul PEG pada matriks membran selulosa asetat sehingga kandungan zat padat menjadi lebih banyak. Sementara pada perubahan suhu koagulasi, lapisan membran pada suhu rendah 15 o C lebih tebal dibandingkan pada koagulasi suhu tinggi suhu kamar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. 2007 bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari sifat kelarutan aditif dalam air pada bak koagulasi. Sementara itu menurut Young dan Chen,1995, ketebalan lapisan kulit membran akan naik secara bertahap hingga diffusi pelarut dari lapisan bagian bawah membran melalui lapisan bagian atas ke bukan-pelarut non-pelarut berhenti. Ini berarti bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari perbandingan jumlah polimer dan pelarut yang digunakan. Pada koagulasi suhu kamar, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,050 mm dan 0,062 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEGSDA 20. Akhlus dan Widiastuti 2005 dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketebalan membran berbanding lurus dengan jumlah polimer yang digunakan, yaitu dari 0,059 mm 18 polimer dan 82 pelarut menjadi 0,076 mm 18 polimer, 18 polimer aditif, dan 64 pelarut. Pada suhu koagulasi yang lebih rendah 15 o C, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,053 mm dan 0,065 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da dan rasio PEGSDA 20. Tebal lapisan membran yang diperoleh masih berada pada batasan membran asimetrik, yaitu sekitar 150 µm 0,15 mm Mulder, 1996.

3.2.2. Kuat Tarik Membran