yang digunakan yaitu, Dekstran 12 kDa dan BSA 67 kDa. Namun terlebih dahulu dilakukan pengukuran fluks membran terhadap air. Membran yang
digunakan dalam bentuk datar flat dengan luas permukaan 12,5 cm
2
12,5 x 10
-4
m
2
pada TMP 1,2 bar dan kecepatan alir 7,4 x 10
-3
mdet 34 Ljam.
3.2.1. Ketebalan Membran
Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG mempunyai lapisan yang lebih tebal dibandingkan
membran tanpa PEG. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumah molekul PEG pada matriks membran selulosa asetat sehingga kandungan zat padat menjadi
lebih banyak. Sementara pada perubahan suhu koagulasi, lapisan membran pada suhu rendah
15
o
C lebih tebal dibandingkan pada koagulasi suhu tinggi suhu kamar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. 2007 bahwa ketebalan
membran sangat tergantung dari sifat kelarutan aditif dalam air pada bak koagulasi. Sementara itu menurut Young dan Chen,1995, ketebalan lapisan kulit
membran akan naik secara bertahap hingga diffusi pelarut dari lapisan bagian bawah membran melalui lapisan bagian atas ke bukan-pelarut non-pelarut
berhenti. Ini berarti bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari perbandingan jumlah polimer dan pelarut yang digunakan.
Pada koagulasi suhu kamar, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,050 mm dan 0,062 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada
rasio PEGSDA 20. Akhlus dan Widiastuti 2005 dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketebalan membran berbanding lurus dengan jumlah polimer
yang digunakan, yaitu dari 0,059 mm 18 polimer dan 82 pelarut menjadi 0,076 mm 18 polimer, 18 polimer aditif, dan 64 pelarut.
Pada suhu koagulasi yang lebih rendah 15
o
C, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,053 mm dan 0,065 mm untuk membran dengan
penambahan PEG 6000 Da dan rasio PEGSDA 20. Tebal lapisan membran yang diperoleh masih berada pada batasan membran asimetrik, yaitu sekitar 150
µm 0,15 mm Mulder, 1996.
3.2.2. Kuat Tarik Membran
Selain ketebalan membran, sifat fisik lain dari membran yang telah diukur adalah kuat tarik. Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran tanpa
PEG mempunyai nilai kuat tarik lebih rendah dibandingkan membran dengan penambahan PEG. Bertambah besarnya nilai kuat tarik membran disebabkan
terdapat sejumlah molekul polimer PEG pada matriks membran selulosa asetat. Sementara itu pada perubahan suhu koagulasi, diperoleh kuat tarik membran pada
suhu rendah 15
o
C lebih tinggi dibandingkan koagulasi pada suhu tinggi suhu kamar. Hal ini berhubungan dengan sifat kelarutan PEG yang menurun pada
koagulasi suhu rendah, sehingga masih terdapat sejumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat dan menambah polimer padatan
pada matriks membran selulosa asetat. Pada koagulasi suhu kamar, kuat tarik membran dengan penambahan PEG
6000 Da pada rasio PEGSDA 20 diperoleh sebesar 3,795 kgfcm
2
dan 2,355 kgfcm
2
untuk membran tanpa PEG. Nilai kuat tarik yang diperoleh tersebut lebih tinggi sedikit dibandingkan nilai kuat tarik dari membran selulosa asetat berbasis
selulosa mikrobial, yaitu 3,37 kgfcm
2
pada formula membran 14 PEG dan 10 selulosa asetat Darwis et al., 2003.
Sementara itu pada suhu koagulasi yang lebih rendah 15
o
C, nilai kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEGDA 20
diperoleh sebesar 4,19 kgfcm
2
. Sementara itu nilai kuat tarik untuk membran tanpa PEG diperoleh sebesar 3,030 kgfcm
2
.
3.2.3. Morfologi Membran
Menurut Cheryan 1998, terdapat dua mekanisme pembentukan morfologi membran yaitu mekanisme delayed demixing dan instantaneous
demixing. Mekanisme pembentukan membran yang berbeda akan mengarah pada pembentukan struktur yang berbeda. Membran yang telah dihasilkan pada
penelitian ini menggunakan polimer selulosa diasetat SDA dan dimetil formamida DMF sebagai pelarut serta air sebagai bukan-pelarut. Cheryan 1998
juga menyatakan bila pembuatan membran SDA secara inversi fasa menggunakan pelarut DMF dan air sebagai bukan-pelarut maka akan mengikuti mekanisme
instantaneous demixing. Afinitas antara DMF dan air sangat kuat sehingga
mekanisme pencampuran ini menghasilkan membran berpori porous membrane. Hasil pengamatan terhadap morfologi dari membran yang dihasilkan
menggunakan Scanning Electron Misroscope SEM JSM-5310 LV, Jeol-Japan menunjukkan bahwa membran tersebut merupakan membran asimetrik karena
struktur permukaan lapisan bawah mempunyai pori yang berukuran lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. a. Bagian lapisan permukaan atas membran SDA 2000x
Gambar 14. b. Bagian lapisan bawah membran SDA 500x Dapat dilihat dari Gambar 14.a. yaitu pori membran yang dihasilkan pada
lapisan permukaan atas baru terlihat setelah dilakukan perbesaran 2000x. Sementara pada Gambar 14.b., pori membran yang dihasilkan pada lapisan bawah
sudah terlihat pada perbesaran 500x. Ini menunjukkan membran yang dihasilkan berupa membran asimetrik dengan pori pada lapisan bawah lebih besar
dibandingakan pori pada lapisan atas membran. Perbedaan pori yang dihasilkan
terjadi karena diffusi pelarut DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas sehingga molekul-molekul DMF
dan PEG yang meninggalkan larutan cetak mempengaruhi pori yang terbentuk ketika proses pemadatan molekul-molekul SDA terjadi. Ketika pemadatan
membran lapisan bagian atas sudah terbentuk, sebagian kecil DMF dan PEG yang masih tersisa pada padatan tersebut meninggalkan pori dengan ukuran yang kecil
dense ketika larut dalam air. Sebaliknya karena diffusi DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat, molekul DMF dan PEG masih banyak
terkandung ketika pemadatan membran terjadi dan meninggalkan pori dalam ukuran yang lebih besar ketika molekul DMF dan PEG larut dalam air.
3.2.3.1. Morfologi Membran pada Penambahan PEG
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa mekanisme pembentukan membran pada penelitian ini berlangsung secara instantaneous demixing. Kelemahan yang
sering terjadi pada mekanisme instantaneous demixing adalah terbentuknya makrovoid pada lapisan bagian bawah dari membran. Makrovoid lebih sering
terbentuk dari sistem pelarut dan bukan-pelarut yang mempunyai afinitas tinggi seperti DMF dengan air dan membentuk suatu rongga yang sangat terbuka berada
diantara pori-pori yang lebih kecil. Rongga makrovoid mulai terjadi pada lapisan pertama pada bagian lapisan bawah membran akibat dari peristiwa diffusi pelarut
dan bukan-pelarut. Diffusi yang terjadi tersebut membentuk nukleus inti yang akan berkembang menjadi pori. Pelarut dalam membran mengalir dengan cepat
menuju nukleus sehingga terjadi peningkatan konsentrasi pelarut dalam nukleus. Peningkatan konsentrasi tersebut menimbulkan kestabilan larutan polimer
disekitar nukleus dan menghalangi terbentuknya nukleus baru. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengembangan nukleus lama untuk membentuk
makrovoid Young dan Chen, 1995. Keberadaan makrovoid tidak diharapkan karena akan menurunkan kekuatan mekanikal membran sehingga mempengaruhi
permeabilitas membran Chaudhuri, 2003; Husain, 2009. Perbedaan struktur membran yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dan dengan penambahan PEG
dapat dilihat pada Gambar 15.
Pada Gambar 15. a dapat dilihat bahwa struktur morfologi hadir dengan keberadaan pori yang tidak tertata dengan baik. Terdapat rongga yang besar
berupa makrovoid diantara pori-pori kecil. Pertumbuhan makrovoid berhenti bila konsnetrasi polimer larutan menjadi sangat tinggi dan terjadi oemadatan.
Penambahan aditif PEG pada larutan cetak membuat larutan polimer menjadi lebih viscous dan afinitas antara DMF dan air menjadi berkurang, sehingga dapat
menekan terbentuknya makrovoid Javiya et al., 2008, seperti terlihat pada Gambar 15. b dan keberadaan pori lebih tertata dengan baik.
3.2.3.2. Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Berat Molekul
PEG
Gambar 15. a. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x tanpa PEG koagulasi pada suhu kamar.
PEG 500x.
Gambar 15. b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x dengan penambahan PEG 1450 Da rasio
PEGSDA 20, koagulasi pada suhu kamar.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG dapat menekan terbentuknya makrovoid. Selain itu,
struktur membran semakin rapat dengan naiknya berat molekul PEG. Viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan berat molekul PEG
dalam larutan cetaklarutan polimer akan menaikkan viskositas larutan tersebut sehingga memperlambat diffusi PEG dan DMF ke dalam air. Keadaan tersebut
membuat kandungan padatan pada matriks selulosa diasetat bertambah, sehingga struktur membran selulosa asetat yang dihasilkan menjadi lebih padatrapat. Hasil
SEM morfologi struktur membran yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan
2000x dengan penambahan PEG 1450 Da rasio PEGSDA 20, koagulasi suhu kamar
Sekilas tampak struktur morfologi membran yang sama pada perbesaran 500x dari Gambar 16. a dan Gambar 16. b. Namun sebenarnya terdapat
perbedaan, yaitu struktur membran pada Gambar 16. a lebih renggang pada Gambar 16. b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x
dan 2000x penambahan PEG 4000 Da rasio PEGSDA 20, koagulasi suhukamar
perbesaran 2000x dan pori yang dihasilkan kelihatan lebih banyak walaupun ukuran pori terlihat lebih kecil dibandingkan Gambar 16. b. Hal ini disebabkan
karena molekul PEG pada berat 1450 Da lebih mudah larut dalam air dibandingakan PEG 4000 Da. Walaupun rasio PEGSDA yang digunakan sama,
diperkirakan jumlah molekul PEG 1450 Da yang tertinggal pada matriks selulosa diasetat lebih sedikit dan meninggalkan pori yang lebih banyak dengan ukuran
yang lebih kecil dibandingkan molekul PEG 4000 Da.
3.2.3.3. Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Rasio PEGSDA
Penambahan rasio PEG terhadap selulosa diasetat pada pembuatan membran berarti semakin bertambah banyak molekul PEG yang ikut bercampur
dalam larutan cetak. Molekul PEG tersebut mengisi matriks membran selulosa asetat dan meninggalkan pori pada matriks tersebut ketika berlangsung proses
diffusi antara DMF dengan air. Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan, diperkirakan molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat
juga banyak sehingga pori yang dihasilkan pada membran juga lebih banyak, seperti dapat dilihat pada Gambar 17. b. Struktur morfologi membran yang
dihasilkan lebih rapat dengan naiknya rasio PEGSDA. Hal ini disebabkan karena diperkirakan jumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa
asetat masih lebih banyak dibandingkan dengan rasio PEGSDA yang rendah. Hasil SEM untuk morfologi membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 17. a
dan Gambar 17. b.
Gambar 17.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio
PEGSDA 10
3.2.3.4. Morfologi Membran pada Berbagai Suhu Koagulasi
Suhu koagulasi yang lebih rendah mengakibatkan afinitas pelarut DMF terhadap air menjadi berkurang. Aditif PEG lebih sukar larut dalam air, sehingga
menurunkan kecepatan proses diffusi yang terjadi antara DMF dan air. Pori yang terbentuk lebih kecil dibandingkan hasil koagulasi pada suhu tinggi. Struktur
morfologi hasil pembuatan membran pada koagulasi suhu rendah dari analisis SEM dapat dilihat pada Gambar 18.a.
Gambar 17.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio
PEGSDA 20
Gambar 18. a. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEGSDA 20 pada koagulasi suhu 15
o
C 10000x
Gambar 18. b. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEGSDA 20 pada koagulasi suhu 50
o
C 3500x
Dapat dilihat dari Gambar 18. a, ukuran pori relatif kecil dan baru dapat dilihat pada perbesaran 10000x dari membran hasil koagulasi pada suhu 15
o
C. Ukuran pori yang relatif kecil juga telah dihasilkan oleh Cai et al. 2007 pada
penelitiannya terhadap pembuatan membran pada suhu koagulasi rendah. Hal ini disebabkan karena kontak antara DMF dengan air berkurang akibat proses diffusi
yang terjadi lambat. Sebaliknya, kenaikan suhu koagulasi dapat mempercepat proses kecepatan diffusi DMF dan PEG terhadap air karena affinitas yang tinggi
antara DMF dan air. Affinitas yang tinggi tersebut juga dapat memicu terbentuknya makrovoid. Pori yang terbentuk juga lebih besar dan sudah dapat
dilihat pada perbesaran yaitu 3500x seperti telihat pada Gambar 18.b. Pori yang terbentuk mengarah pada pembentukan makrovoid sehingga perlu dicari suatu
pemecahan untuk mengatasi keadaan ini. Menurut Mahendran et al. 2004, makrovoid dapat juga diatasi dengan penambahan pelarut pada bak koagulasi.
3.2.4. Kompaksi