Perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari seluloa pulp kayu sengon

(1)

1

PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN

MEMBRAN ULTRAFILTRASI

SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA

DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON

(

Paraserianthes falcataria)

CUT MEURAH ROSNELLY

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Perancangan Proses

Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tulisan ini.


(3)

ABSTRACT

Cut Meurah Rosnelly, F 361 050 051. The Design Process of Cellulose Acetate Ultrafiltration Membrane Production by Phase Inversion Method of

Cellulose Pulp from Wood of Sengon (Paraserianthes falcataria. ). Under supervision of A. Aziz Darwis, Erliza Noor, and Kaseno

Cellulose acetate ultrafiltration membrane has been utilized in a variety of separation and purification processes, including in agro-industry sector. In general, cellulose acetate is obtained from acetylation of cotton cellulose and wood pulp (abaca, straw, sawdust). In this study, cellulose from wood pulp of Sengon (Paraserianthes falcataria) was used. This plant is fast growing species and has potential as a raw material from its high cellulose content. The purpose of this study was to find a cellulose acetate manufacturing process conditions, to characterize cellulose diacetate and its performance on ultrafiltration process.

There are three steps of cellulose diacetate manufacturing process. They are: (1) activation of cellulose using acetic acid, (2) acetylation, cellulose in acetic acid solvent is reacted with acetic anhydride reactant using sulfuric acid as catalyst, (3) hydrolysis to obtain cellulose diacetate. At each operating processes acetyl content was observed at temperature 50oC. In addition, effect of variation of anhydride acetate reactant and cellulose ratio, namely (3.35:1), (4:1) (5:1), and (6:1) were also investigated. Asymmetric cellulose diacetate membrane preparation by phase inversion method was carried out by the addition of cellulose diacetate (SDA) as a polymer, N, N-Dimethil formaida (DMF) as solvent, water as a non-solvent, and polyethylene glycol (PEG) as additive. At this stage, effect of PEG / SDA ratio (10%, 20%, 30%), PEG molecular weight variation (1450, 4000, and 6000 Da), and coagulation temperature (15oC, room temperature, and 50oC) were also investigated. Membrane pore size was determined by by measuring Molecular Weight Cut Off ( MWCO) using a standard solution of dextran (12 kDa) and Bovin Serum Albumin (67 kDa). Membrane morphology was observed by Scanning Electron Microscope (SEM).

Cellulose acetate of acetyl content of 39.66% and number average molecular weight 130,221 Da was obtained at the activation time 30 minutes; one hour acetylation process for acetic anhydride to cellulose ratio 3.35:1; and 15 hours hydrolysis process.

The addition of PEG produced a thicker layer and greater tensile strength membranes and suppress the formation of macrovoid. SEM analysis shows a denser structure of membrane morphology with better regularity of pore shape, so has a better pore density (porosity) distribution of large and visible pores. The addition of PEG with higher molecular weight produces a denser morphological structure with larger pore size, but smaller porosity with large pore distribution. The addition of PEG with the increasing of PEG / SDA ratio resulted in a denser pore structure and greater number of pores with a greater porosity and large pore distribution.

Coagulation at higher temperatures produced a thinner layer and low tensile strength membrane. The structure of membrane morphology is more


(4)

tenuous with a bigger pore size and greater number of pores so large porosity and pore distribution. Flux (water, dextran, and BSA) and rejection (dextran and BSA)are determined by the porosity and pore distribution of the membrane. High flux and rejection generated by large porosity and small pore distribution membrane. Membrane having small porosity and pore distribution produces low flux but high rejection. Conversely, high flux with low rejection obtained from the membrane with greater porosity and pore distribution. MWCO determination was based on the value of 80% rejection of dextran and BSA standard solution and the

obtained pore size ranges obtained ≤ 67 kDa, and is still categorized as

ultrafiltration membrane. For further research needs to use more standard solution so that the more precise determination of MWCO could be achieved.

Cellulose diacetate membrane formulation produced by the addition of PEG 1450, PEG / SDA ratio 30% and coagulation at room temperature was applicated for patchouli alcohol (Pogostemon cablin Benth) to improve the content of patchouli alcohol and separation of the components of the sugarcane juice solution. Improvement of the essential oil of patchouli alcohol was carried out using the hydrophobicity difference principle. Results showed that there were elevated levels of 41,68% patchouli alcohol at a transmembrane pressure of 1.4 bar, patchouli oil flux of 134 L/m2. hour. Meanwhile, the permeate resulting from the separation of sugarcane juice solution components, with the increasing of transmembrane pressure from 0.6 to 1.8 bar obtained the increasing of flux solution from 36 to 165 L/m2.hour. Characteristics of permeate juice at 1.8 bar of transmembrane pressure increased the pH from 5.25 - 6 and decreased the turbidity about 34,95% from 90-54% (A) compared to raw sugarcane juice (nira).

Keywords: wood pulp, sengon (Paraserinathes falcataria), cellulose diacetate, phase inversion, cellulose diacetate membrane, ultrafiltration, patchouli alcohol, sugar cane


(5)

RINGKASAN

Cut Meurah Rosnelly, F 361050051. Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibawah bimbingan A.Aziz Darwis, Erliza Noor, dan Kaseno

Membran dapat diartikan sebagai penyaring atau penghalang berupa lapisan tipis dengan kemampuan selektifitas tinggi sehingga dapat memisahkan antara komponen satu dengan yang lainnya secara spesifik. Membran selulosa asetat merupakan salah satu membran yang banyak digunakan dalam berbagai proses pemisahan, seperti untuk pemisahan larutan senyawa-senyawa terlarut, pemisahan campuran gas atau uap pelarut, partikel/molekul dalam larutan, pemisahan ion-ion dan sebagainya. Pada bidang agroindustri, pemisahan menggunakan membran banyak dilakukan dengan jenis proses ultrafiltasi. Material membran berupa bahan organik yang banyak digunakan adalah polimer selulosa asetat yang dapat diperoleh dari kapas dan pulp kayu ( abaka, jerami, serbuk gergaji, tandan kosong sawit), namun selulosa asetat sendiri di Indonesia masih didatangkan dari luar (impor). Hal ini merupakan kendala dalam memproduksi membran di Indonesia sehingga membran yang digunakan pada dunia industri juga masih berupa membran impor. Sejauh ini selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Di Indonesia, tanaman ini mudah tumbuh dan memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan polimer membran karena kandungan selulosa yang tinggi sehingga dapat mengatasi kendala kelangkaan membran lokal. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pembuatan selulosa diasetat (SDA) berbasis selulosa pulp kayu sengon serta mendapatkan kondisi rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat dengan penambahan polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA serta suhu koagulasi serta karakter membran. Membran selulosa diasetat bersifat hidrofilik dengan jenis ultrafiltrasi diharapkan dapat meningkatkan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam serta pemurnian larutan nira.

Pembuatan selulosa diasetat diperoleh melalui tiga tahapan proses, yaitu: (1) aktivasi selulosa pulp kayu sengon menggunakan asam asetat, (2) asetilasi selulosa dengan anhidrida asetat sebagai reaktan, asam asetat sebagai pelarut serta menggunakan katalis asam sulfat. Pada proses asetilasi dilakukan variasi rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa untuk setiap satuan berat selulosa yang digunakan, (3) hidrolisis untuk mendapatkan selulosa diasetat dengan menambahkan air dan asam sulfat. Pada tiap tahap operasi diamati kadar asetil terhadap waktu pada suhu 50oC. Kadar asetil ditentukan menggunakan metoda titrasi dan berat molekul selulosa asetat menggunakan metoda viskometer

Ubbelohde. Pembuatan membran asimetrik selulosa diasetat dilakukan dengan teknik inversi fasa. Inversi fasa adalah suatu proses pengubahan bentuk polimer dari fasa cair menjadi fasa padat dengan kondisi terkendali. Pada proses tersebut, polimer selulosa diasetat (SDA) dilarutkan dalam pelarut dimetilformamida


(6)

(DMF) dengan perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 untuk memperoleh larutan polimer homogen. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat (SDA) dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (suhu kamar). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran dengan rasio PEG/SDA tetap (20%) tetapi pada suhu kaogulasi berbeda (15oC, suhu kamar, dan 50oC) dan pada berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da.

Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan pada larutan polimer dengan memvariasikan rasio PEG/SDA (10, 20, dan 30%), berat molekul PEG (1450, 4000, dan 6000 Da). Larutan polimer tersebut dicetak di atas plat kaca dengan ketebalan ± 0,2 mm kemudian didiamkan selama 30 detik dan selanjutnya dicelupkan dalam bak koagulasi yang berisi air sebagai bukan-pelarut (non solvent) pada 15oC, suhu kamar, dan 50oC. Membran yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik berupa ketebalan dan kuat tarik. Fluks air, dekstran, dan Bovin Serum Albumin (BSA) serta rejeksi dekstran dan BSA termasuk parameter yang ditentukan. Penentuan porometer membran dilakukan dengan menentukan

Molecular Weight Cut Off (MWCO) menggunakan larutan standar dekstran (12 kDa) dan Bovin Serum Albumin (67 kDa). Morfologi membran diamati dengan

Scanning Electron Microscope (SEM). Salah satu formulasi membran dilakukan pengujian aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol (PA) dari minyak nilam dan pemurnian nira tebu.

Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) telah

diperoleh sebagai berikut: selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% dapat dijadikan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul 130.221 Da telah diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit; asetilasi selama satu jam dengan rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35; dan hidrolisis selama 15 jam. Masing-masing proses berjalan pada suhu 50oC. Membran selulosa asetat hasil inversi fasa diperoleh melalui tahapan proses pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap pelarut DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam. Proses dilanjutkan dengan pendiaman larutan cetak selama 1 jam pada suhu kamar, lama penguapan 30 detik, perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam.

Penambahan PEG menghasilkan membran dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki lapisan yang lebih tebal, kuat tarik yang lebih besar, dan menekan terbentuknya makrovoid. Analisis SEM menunjukkan struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan tingkat keteraturan bentuk pori yang lebih baik sehingga kerapatan (porositas) besar serta terlihat distribusi pori semakin kecil. Penambahan PEG dengan berat molekul yang semakin besar menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan ukuran pori yang lebih besar, akan tetapi porositas lebih kecil dengan distribusi pori besar. Penambahan PEG dengan rasio PEG/SDA yang semakin meningkat menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan porositas yang lebih besar dan distribusi pori besar. Koagulasi pada suhu lebih tinggi menghasilkan membran dengan lapisan yang lebih tipis dan kuat tarik yang lebih rendah.


(7)

Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapuh namun ukuran dan jumlah pori lebih besar sehingga porositas dan distribusi pori besar. Fluks (air, dekstran, dan BSA) dan rejeksi (dekstran dan BSA) sangat ditentukan oleh porositas dan distribusi pori membran. Fluks dan rejeksi tinggi dihasilkan oleh membran dengan porositas besar dan distribusi pori kecil. Membran dengan porositas kecil dan distribusi pori besar menghasilkan fluks rendah tetapi rejeksi tinggi. Sebaliknya, fluks tinggi dengan rejeksi rendah diperoleh dari membran dengan porositas dan distribusi pori besar. Penentuan MWCO membran didasari oleh nilai rejeksi 80-90% dari larutan standard dekstran (12 kDa) dan BSA (67 kDa) diperoleh ukuran pori maksimal 67 kDa, dan masih dalam katagori membran jenis proses ultrafiltrasi. Disarankan untuk penelitian lanjutan perlu penggunaan larutan standar yang lebih banyak sehingga dalam penentuan MWCO membran lebih tepat.

Membran hasil penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi suhu kamar diuji terhadap penerapan atau uji aplikasi pada minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) dalam usaha peningkatan kadar patchouli alkohol dan pemurnian nira tebu. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dilakukan menggunakan prinsip perbedaan hidrofobisitas (sifat kepolaran). Hasil menunjukkan terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol sebesar 41,68% pada tekanan transmembran 1,4 bar dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 134 L/m2.jam. Uji aplikasi terhadap pemurnian nira menghasilkan fluks yang semakin meningkat dari 36 menjadi 165 L/m2.jam dengan naiknya tekanan transmembran dari 0,6 – 1,8 bar. Karakteristik permeat nira pada tekanan transmembran 1,8 bar terjadi peningkatan pH dari 5,25 -6 dan penurunan turbiditi sebesar 39,45% dari 90-54% (A).


(8)

© Hak cipta milik IPB. Tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk


(9)

PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN

MEMBRAN ULTRAFILTRASI

SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA

DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON

(

Paraserianthes falcataria)

CUT MEURAH ROSNELLY

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing.

2. Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ahmad Farhan Hamid


(11)

Judul Disertasi : Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari Seluloa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria)

Nama : Cut Meurah Rosnelly

NIM : F 361050051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.H. Abdul Aziz Darwis, MSc Ketua

Dr. Ir. Hj. Erliza Noor Dr. Ir. H. Kaseno, M. Eng Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Desember 2009 adalah ”Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria)”. Karya ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Hj. Erliza Noor, dan Dr. Ir. H. Kaseno, M.Eng masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, saran, dan masukannya. Atas masukan dan saran pada ujian tertutup dari penguji luar komisi Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. (staf pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB) dan Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA (staf pengajar Departemen Kimia, IPB), serta Dr. H. Ahmad Farhan Hamid (Wakil MPR RI) dan Prof. Dr. Ir. Hj. Tun Tedja Irawadi, MS (Guru besar Departemen Kimia, IPB) masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka penulis juga menyampaikan terimakasih. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian dan seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana IPB khususnya Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama kuliah di Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Penelitian Hibah Bersaing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Institut Pertanian Bogor (IPB) atas Hibah Penelitian Doktor yang telah penulis terima. Tidak lupa juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Propinsi


(13)

Nanggroe Aceh Darussalam melalui Universitas Syiah Kuala Banda Aceh atas bantuan beasiswa selama dalam masa studi. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Rini Purnawati, Msi serta para laboran dan karyawan di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Rekayasa Proses dan Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU) IPB atas segala bantuannya. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2005: I Gusti Bagus Udayana, Henny Purwaningsih, Novizar Nazir, Yuli Wibowo, Herfiani Rizkia, Fahmi Riadi Kubra, dan Luluk Sulistyo Budi serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan moril yang diberikan.

Tidak lupa ucapan terimakasih tak terhingga disampaikan kepada ayahanda dan ibunda tercinta: Prof. Dr. H. TMA Chalik, DGO, Sp.OG dan Hj.

Tjut Farida atas segala do’a, dukungan, bantuan, bimbingan, kasih sayang, dan nasehat yang tiada henti-hentinya diberikan kepada penulis. Kepada ayah dan ibu mertua: (alm) Kol. H. Syafei Arief dan (almh) Hj. Syarifah Budiman, penulis juga mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan yang telah diberikan semasa hidupnya. Kepada anak-anak tersayang: Aulia Khalqillah (15 tahun) dan Syaffan Syakh Khairunas (9 tahun) penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas

dukungan, kesabaran, pengorbanan dan iringan do’a yang tulus dan ikhlas.

Kepada kakak dan adik-adik tercinta, Cut Meurah Elvidayanti, SH beserta keluarga; Ir. H. T. Meurah Irfansyah beserta keluarga, Cut Meurah Farliyanti,

Adm beserta keluarga, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas do’a,

bantuan, dan dukungannya. Juga tidak lupa ucapan terimakasih kepada suami (alm) H. Agus Salim, adik-adik tercinta (almh) Cut Meurah Aswina, dan (alm) T. Reza Irwanda atas dukungan semangat dan siraman rohani yang telah diberikan

kepada penulis semasa hidupnya. Untuk bantuan dan do’a yang diberikan kepada penulis dari berbagai pihak dan perorangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih, hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan ini dengan berlipat ganda. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2010


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 9 Januari 1968 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan H. T.M.A. Chalik dan Hj. Tjut Farida. Pada tahun 1980 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Yaspendhar, Medan. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1983 pada sekolah yang sama di Medan. Pada tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Banda Aceh. Pendidikan S1 diselesaikan pada tahun 1992 di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pada tahun 1994, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Teknik Kimia FTI dari perguruan tinggi yang sama di Surabaya pada tahun 1997 menggunakan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan menggunakan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS).

Selama mengikuti program S3, penulis telah mempublikasi beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi dengan judul: ”Pembuatan Selulosa Diasetat dari Selulosa Pulp Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai

Bahan Baku Pembuatan Membran” diterbitkan dalam jurnal ”Agri-Tek: Volume

10 Nomor 1, Maret 2009. Sementara itu, karya ilmiah dengan judul: ”Pengaruh

Rasio Anhidrida Asetat dalam Proses Asetilasi Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) pada Pembuatan Selulosa Tri Asetat” diterbitkan pada

jurnal terakreditasi ”Warta Industri Hasil Pertanian” Volume 27 No. 1 Tahun 2010. Selanjutnya karya ilmiah berjudul: ”Pengaruh Penambahan Aditif PEG terhadap Morfologi Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat” diterbitkan dalam jurnal ”Distilat ISSN 1978-8789 Volume 3 No.1 Juni 2010.

Penulis juga telah mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan, yaitu: ”Pelatihan Good Laboratory Practice


(15)

(GLP)” yang diadakan oleh Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB

pada 19 Februari 2009 serta ”Pelatihan Penulisan Jurnal Ilmiah” pada 5 Juli 2010

di tempat yang sama. Seluruh karya ilmiah dan kegiatan pelatihan ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

xvii xviii xxi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Novelti 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Membran 6

1. Definisi Membran 6

2. Proses Pemisahan dengan Membran 7

3. Karakterisasi Membran 8

Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat 11

1. Bahan Baku 11

2. Proses Pembuatan Membran 27

3. Mekanisme Pembentukan Membran Berpori 30

Pemanfaat dan Peluang Teknologi Membran 32

METODOLOGI 38

Waktu dan Tempat Penelitian 38

Bahan dan Alat 38

Metodologi Penelitian 39

HASIL DAN PEMBAHASAN 51

Tahap 1. Analisis sifat físika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria)

51


(17)

2.1. Waktu Aktivasi 52 2.2. Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi 54

2.3. Waktu Hidrolisis 57

Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat dan Karakterisasi 59 3.1. Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi

Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

59

3.2. Karakterisasi Membran 59

Tahap 4. Uji Aplikasi Membran 90

4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam (Pogestemon cablin Benth)

90

4.2. Pemurnian Nira Tebu 94

KESIMPULAN DAN SARAN 99

Kesimpulan 99

Saran 100

DAFTAR PUSTAKA 102


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa 13

2. Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu 15

3. Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu 15 4. Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer 17 5. Hubungan antara derajat substituís, kadar asetil, pelarut, dan

aplikasinya

19 6. Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG) 26 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa 28

8. Pemanfaatan membran selulosa asetat 33

9. Komponen utama dalam minyak nilam 35

10. Hasil analisis komponen kimia selulosa pulp kayu sengon 51 11. Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa

diasetat berbasis pulp kayu sengon.

58 12. Waktu kompaksi terhadap fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari

membran dengan berbagai formulasi pada koagulasi suhu kamar.

69 13. Waktu kompaksi terhadap fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari

membran dengan berbagai formulasi pada rasio PEG /SDA 20%.

70 14. Formulasi membran (koagulasi suhu kamar) dengan fluksi dan rejeksi

tertinggi

88 15. Formulasi membran (rasio PEG/SDA 20%) dengan fluksi dan rejeksi

tertinggi

89

16. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam 91

17. 18.

Komposisi penyusun nira mentah

Karakterisasi dan Kinerja Membran Selulosa Asetat terhadap larutan Nira

94 96


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Grafik hubungan fluksi terhadap waktu untuk aliran Dead-end dan

Crossflow

8

2. Struktur selulosa 12

3. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat 22

4. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat 24

5. 6.

Skema tahapan penelitian secara umum Selulosa pulp kayu sengon

40 41 7. Proses tahap penentuan waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis serta

rasio anhidrida asetat

45 8. Rangkaian alat penyaring silang (crossflow filtration) membran jenis

proses ultrafiltrasi

49 9. Perolehan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu aktivasi pada

suhu 50 oC dan waktu asetilasi 1 jam.

52 10. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada

berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50 oC selama 1 jam

55

11. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu asetilasi pada suhu 50 oC selama 1 jam dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35

56

12. Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis (suhu 50oC )

57 13. Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66%

dan berwarna putih

58 14. a

14.b.

Bagian lapisan permukaan atas membran SDA Bagian lapisan bawah membran SDA

62 62 15.a. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran

500x tanpa penambahan PEG (koagulasi pada suhu kamar)

64 15.b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran

500x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)

64

16.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)

65

16.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 4000 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)


(20)

17.a. 17.b.

Bagian lapisan atas membran SDA (2000x) dengan penambahan PEG 1450 Da serta koagulasi pada suhu kamar pada rasio PEG/SDA 10% Bagian lapisan atas membran SDA (2000x) dengan penambahan PEG 1450 Da serta koagulasi pada suhu kamar pada rasio PEG/SDA 20%

67 67 18.a.

18.b.

Bagian lapisan bawah membran SDA pada penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG 20% dengan koagulasi pada suhu 15oC (1000x)

Bagian lapisan bawah membran SDA pada penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG 20% dengan koagulasi pada suhu 50oC (3500x)

68 68 19. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan

penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).

71

20. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).

71

21. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).

72

22. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).

73

23. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).

73

24. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).

74

25. Hubungan antara fluksi air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)

74 26. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)

75 27. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)

76 28. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)

76 29. Hubungan antara fluks desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)


(21)

30. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)

77 31. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

78 32. Hubungan antara fluks desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

79 33. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

79 34. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran

dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)

80

35. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)

81

36. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)

82

37. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)

82

38. Hubungan antara rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)

83 39. Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)

84 40. Hubungan antara rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)

85 41. Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)

86 42. Hubungan antara rejeksi desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

86 43. Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan

berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

87 44. Hubungan fluksi dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi tekanan

transmembran

91 48. Mekanisme pemisahan berdasarkan sifat hidrofobisitas 92 49. Hubungan fluksi terhadap variasi tekanan transmembran 95


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis kadar selulosa (ASTM D 1130-60). 112

2. Analisis kadar air (ASTM D 871-96) 112

3. Analisis kadar abu (ASTM D 871-96) 113

4. Analisis kadar asetil (ASTM D 871-96) 113

5. Jumlah perolehan selulosa asetat (Himmelblau) 114 6. Penetapan viskositas intrinsic [η] Selulosa Asetat dengan Viskometer

Ubbelohde

114 7. Penetapan bobot molekul selulosa asetat relatif 115

8. Pengukuran ketebalan membran 116

9. Pengukuran kuat tarik membran 116

10. Pengukuran fluksi air, dekstran, dan bovin serum albumin - BSA (Scott dan Hughes, 1996)

116

11. Pengukuran rejeksi (Mulder, 1996) 117

12. Analisis kadar protein (Metode Lawry) 118

13. Analisis konsentrasi dekstran (Apriyantono et al., 1989) 118 14. Molecular Weight Cut Off (MWCO) membrane (Mahendran et al.,

2004)

119

15. Analisis morfologi membran 119

16. Pengukuran bobot jenis 119

17. Pengukuran indeks bias 120

18. Bilangan asam 120

19. Bilangan ester 121

20. Analisis kadar patchouli alkohol 121

21. Pembuatan dan standarisasi larutan NaOH 0,5 M dengan KH Ftalat (Day et al., 1990)

121 22. Pembuatan dan standarisasi larutan HCl 0,5 N dengan Na2CO3 (Day

et al., 1990)

122 23.

24

Pembuatan larutan KOH 0,5 N

Pembuatan larutan MgCO3 1% dalam asam asetat

123 123 25. Pembuatan larutan MgCO3 1% dalam aquadest 123

26. Pembuatan ethanol 75% dari ethanol 95% 124


(23)

28. Pembuatan larutan standar BSA 200 mg/lt 124 29. Perolehan selulosa triasetatdalam pada berbagai waktu aktivasi pada

suhu aktivasi dan asetilasi 50o C serta asetilasi 1 jam

124 30. Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai rasio

anhidrida asetat terhadap selulosa pada asetilasi 1 jam dan suhu 50oC

125 31. Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai waktu

asetilasi pada suhu 50oC dan rasio anhidrida asetat 3,35

125 32. Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu 125 33. Perolehan fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu

kompaksi dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar)

126

34. Perolehan fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

126

35. Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar)

127

36. Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)

127

37. Kinerja membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alcohol pada waktu filtrasi 10 menit

127 38. Fluksi air dan nira terhadap berbagai tekanan transmembran 129 39. Karakteristik dan kinerja membrani selulosa asetat pada pemurnian

nira

129

40. Diagram alir pembuatan selulosa asetat 130

41. Diagram alir pembuatan membran ultrafiltasi 131

42. Diagram alir proses pemurnian nira 133

43. Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan selulosa asetat 134 44. Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltasi

pada koagulasi suhu kamar

135 45. Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi

pada rasio PEG/SDA 20%


(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Membran adalah suatu lapisan tipis yang dapat memisahkan dua komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu mampu melewatkan zat terlarut berukuran lebih kecil dari ukuran pori-pori membran dan menahan zat terlarut berukuran lebih besar dari ukuran pori-pori membran. Pergerakan atau perpindahan suatu zat terlarut yang melewati membran disebabkan oleh gaya pendorong berasal dari tekanan operasi pompa.

Operasi proses hilir termasuk di bidang agroindustri umumnya melibatkan banyak tahapan operasi pemisahan dan pemurnian dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan tingkat kemurnian yang diinginkan. Penggunaan membran dalam proses pemisahan dan pemurnian telah menjadi topik penelitian yang intensif sejak awal tahun 1990. Penerapannya sudah meliputi spektrum yang luas, seperti pada bidang bioteknologi (pemurnian dan pemekatan enzim, pemekatan virus), farmasi (sterilisasi dan pemisahan partikel), kedokteran (hemodialisis), agroindustri/pengolahan produk pangan (pemekatan aneka macam sari buah pemekatan susu), sanitasi (pemisahan emulsi minyak-air, penjernihan dan pemurnian air laut/air payau) (Aspiyanto, 2003; Shibata, 2004). Teknologi pemisahan dengan membran memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki metode-metode pemisahan lainnya. Diantara keunggulan tersebut adalah membran tidak membutuhkan bahan kimia tambahan, dapat dikombinasikan dengan proses lain, tidak mengalami perubahan fase, kebutuhan energi rendah, proses dapat berlangsung secara kontinyu, dan tidak memerlukan ruang instalasi yang besar (Wenten, 1999).

Di Indonesia, pemakaian membran masih menggunakan membran impor sehingga perkembangan teknologi membran tidak sepesat di negara lain. Kelangkaan akan membran lokal dan mahalnya membran impor menjadi kendala dalam penggunaan membran di dunia industri (Giriarso, 2009). Dari jumlah total pasar membran dunia, Amerika Serikat memimpin dengan menguasai 27 % diikuti oleh Eropa (Jerman, Perancis, Inggris, Itali, Spanyol, dll) sebanyak 40 %, Jepang 17 %, dan negara lainnya sebesar 16% (Wenten, 2002). Mengatasi kendala


(25)

akan kelangkaan membran lokal yang dihadapi maka terus dilakukan usaha untuk mencari jalan pemecahannya. Selulosa asetat dan turunannya telah banyak dimanfaatkan sebagai serat untuk pakaian, penyaring tembakau, sebagai bahan pembuat plastik, film dan pelapis, dan perkembangan berlanjut hingga dimanfaatkan pula sebagai membran (Yamakawa et al., 2003). Pemakaian selulosa asetat sebagai polimer membran masih akan terus berkembang dan menempati bagian yang penting dalam teknologi membran.

Selulosa asetat dapat diperoleh melalui proses asetilasi selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki kemurnian yang tinggi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial umumnya berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997). Nata de coco dan Nata de soya termasuk sumber selulosa dan dikenal sebagai selulosa mikrobial. Sejauh ini pembuatan membran selulosa asetat telah dilakukan oleh beberapa peneliti menggunakan selulosa dari berbagai sumber, seperti selulosa mikrobial (Desiyarni, 2006 dan Darwis et al,.

2003), pulp Abaka (Radiman, 2004), dan limbah serbuk gergaji kayu (Suyati, 2008). Penggunaan bahan baku yang berbeda akan berpengaruh terhadap kondisi tahapan proses, terutama pada proses pembuatan selulosa asetat. Selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum pernah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Oleh karena itu pemilihan bahan baku selulosa pulp kayu sengon pada penelitian ini diharapkan menjadi alternatif bahan baku polimer membran.

Membran ultrafiltrasi selulosa asetat merupakan salah satu jenis membran yang dewasa ini banyak digunakan pada proses pemisahan. Ukuran pori pada membran ini berkisar antara 10-1000A atau MWCO sekitar 103-1000 6Da. Membran UF merupakan jenis membran berpori yang memiliki kemampuan untuk merejeksi partikel. Zat terlarut yang direjeksi biasanya berupa makromolekul seperti protein, vitamin, dan zat terlarut yang dilewatkan membran berupa gula dan garam (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran dan struktur membran yang akan dibuat umumnya menentukan teknik pembuatan membran yang digunakan. Inversi fasa merupakan salah satu teknik yang umum digunakan


(26)

pada pembuatan membran. Membran yang dihasilkan dari teknik ini memiliki struktur morfologi membran berpori.

Penambahan Polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada pembuatan membran sangat menentukan struktur membran yang dihasilkan (Mulder, 1996). Untuk memperoleh membran ultrafiltrasi selulosa diasetat berbasis selulosa pulp kayu sengon yang berkualitas, maka dilakukan rekayasa proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat yang meliputi tahapan proses pembuatan selulosa asetat dan pembuatan membran itu sendiri.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mendapatkan rancangan proses pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon (paraserianthes falcataria) dengan cara menentukan kondisi proses untuk waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis, serta rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon.

2. Mendapatkan rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat secara inversi fasa serta dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berbagai berat molekul PEG, rasio PEG/SDA, dan suhu koagulasi serta mendapatkan karakter membran (ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluksi, rejeksi, dan MWCO).

3. Mendapatkan kinerja membran yang diperoleh dari uji aplikasi terhadap pemisahan komponen tertentu dari minyak nilam dan larutan nira tebu.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini, adalah:

1. Perolehan selulosa asetat dan kadar asetil pada proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis sangat ditentukan oleh waktu masing-masing proses. Sumber selulosa yang digunakan diduga sangat menentukan lamanya waktu proses aktivasi. Pada proses asetilasi, meningkatnya rasio anhidrida asetat terhadap selulosa dan semakin lama waktu asetilasi diduga akan menaikkan perolehan selulosa triasetat dan kadar asetil yang dihasilkan.


(27)

Semakin lama waktu hidrolisis diduga akan menurunkan kadar asetil yang diperoleh.

2. Penambahan PEG sebagai porogen dan perubahan suhu koagulasi dalam pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa diduga berperan terhadap karakter membran yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan dengan penambahan PEG maupun perubahan suhu koagulasi akan menaikkan viskositas larutan polimer.

3. Membran selulosa asetat yang bersifat hidrofilik dengan tipe ultrafiltrasi dapat memisahkan bahan berdasarkan sifat kepolaran dan bahan yang berukuran > 0,005 µm (BM > 1000 Da). Berdasarkan sifat dan ukuran pori membran, diperkirakan membran yang dihasilkan pada penelitian ini dapat digunakan untuk pemisahan suatu komponen dari minyak nilam dan larutan nira tebu, dan lainnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup tahapan proses yang dikerjakan adalah:

1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon 2. Pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon (SDA)

terdiri dari tahapan proses, yaitu: aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis. 3. Pembuatan dan penentuan karakter membran SDA. Pembuatan

membran dilakukan secara inversi fasa dari tiga komponen utama, yaitu: selulosa diasetat (SDA) sebagai polimer, dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut, dan air sebakai bukan-pelarut. Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan dalam larutan cetak dengan berbagai berat molekul (1450 Da, 4000 Da, 6000 Da), rasio PEG terhadap selulosa diasetat (10%, 20%,30%) serta suhu koagulasi (15oC, suhu kamar, 50oC). Penentuan karakter membran berupa ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, MWCO. Larutan standar dekstran (12 kDa) dan Bovin Serum Albumin (67 kDa) digunakan dalam penentuan flusk, rejeksi, dan MWCO membran. Pengamatan morfologi membran dilakukan dengan menggunakan


(28)

4. Pengukuran kinerja membran dari aplikasi terhadap pemisahan suatu komponen dari minyak nilamdan larutan nira tebu.

Manfaat Penelitian

Pemanfaatan selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku baru untuk pembuatan membran ultrafiltrasi dan rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi yang dapat digunakan dalam proses pemisahan berbagai senyawa dari produk agroindustri.

Novelti

1. Penggunaan selulosa berbasis selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku pembuatan polimer membran berupa selulosa diasetat (SDA).

2. Rekayasa proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon dengan penambahan PEG sebagai porogen pada larutan polimer dengan berat molekul 1450, 4000, dan 6000 Da serta rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Membran 1. Definisi Membran

Membran adalah suatu lapisan tipis bersifat semipermeabel yang dapat menahan dan melewatkan pergerakan bahan tertentu (Scot dan Hughes, 1996). Teknologi pemisahan menggunakan membran merupakan teknik pemisahan komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu menahan dan melewatkan salah satu komponen lebih cepat dari komponen penyusun lainnya. Membran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu berdasarkan morfologi, bahan pembuat, dan proses pemisahannya. Berdasarkan morfologi, membran dibagi menjadi dua golongan, yaitu membran simetrik dan membran asimetrik. Struktur yang dihasilkan membran simetrik dapat bersifat berpori (porous) atau tidak-berpori (nonporous). Sedangkan struktur yang dihasilkan membran asimetrik bersifat berpori dengan pori pada lapisan atas lebih rapat dibandingkan pori pada lapisan bagian bawah. Membran jenis proses ultrafiltrasi lebih bersifat asimetrik dibandingkan membran dengan jenis proses mikrofiltrasi (Scot dan Hughes, 1996).

Berdasarkan bahan pembuat, membran terbagi atas membran organik dan membran anorganik. Membran organik dibuat menggunakan bahan polimer. Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai bahan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika sangat bervariasi, sehingga hanya beberapa jenis polimer yang digunakan sebagai bahan membran. Jenis polimer yang banyak digunakan untuk membuat membran antara lain selulosa beserta turunannya, polisulfan, poliamida, poliakrilonitril, polieter sulfon (Wenten, 1999). Polimer untuk membran berpori sangat berbeda dengan polimer membran tidak berpori. Untuk membran berpori, pilihan polimer ditentukan oleh metode pembuatan membran yang digunakan dan polimer menentukan stabilitas membran. Sedangkan untuk membran tidak berpori, pilihan polimer ditentukan oleh selektivitas dan fluks yang diinginkan (Mulder, 1996). Membran anorganik adalah membran yang berasal dari material anorganik. Material anorganik memilki stabilitas kimia dan stabilitas thermal lebih baik dibandingkan bahan polimer. Ada


(30)

empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, gelas, metal (termasuk karbon), dan zeolit.

Berdasarkan ukuran partikel atau bobot molekul bahan yang dipisahkan, maka pemisahan membran dikelompokkan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, osmosis balik, dialisis, dan pervaporasi (Cheryan, 1998). Membran ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau sekitar 103-106 MWCO, dan dapat memisahkan bahan berukuran lebih besar dari 0,005 µm atau partikel dengan berat molekul lebih besar dari 1000 Da (Osada dan Nakagawa, 1992).

Membran ultrafiltrasi memiliki struktur asimetrik dengan permukaan atas yang lebih rapat atau dense (ukuran pori permukaan atas lebih kecil dan porositas permukaan lebih rendah). Pembuatan membran dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain: (1) pemanasan (sintering), (2) peregangan (streching), (3)

track-etching, (4) template leaching, (5) fasa balik (phase inversion), (6) pelumasan (coating). Teknik yang dipilih didasari oleh jenis material dan struktur membran yang akan dibuat.

2. Proses Pemisahan dengan Membran

Filtrasi membran merupakan proses pemisahan material dengan mengalirkan umpan melalui suatu membran. Pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran partikel/molekul dengan ukuran pori membran dimana fluks dan rejeksi sangat ditentukan dari perbedaan ukuran tersebut. Pemisahan juga dapat terjadi berdasarkan perbedaan sifat laju kelarutan/diffusivitas material yang akan dipisahkan terhadap material membran yang digunakan. Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Ini berarti bahwa sifat intrinsik dari material menentukan tingkat permeabilitas dan selektifitas. Dalam operasi membran dikenal dua jenis aliran umpan, yaitu aliran cross-flow dan aliran dead-end, dimana perubahan fluks terhadap waktu dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.


(31)

Aliran filtrasi dead-end, yaitu keseluruhan dari fluida (aliran umpan) melewati membran dan partikel tertahan pada membran. Fluida yang terus mengalir sebagai umpan akan mengalir melalui tahanan penumpukan partikel dan tahanan membran pada permukaan membran sehingga mudah tersumbat akibat terbentuknya suatu lapisan pada permukaan membran. Pengaliran secara

crossflow dilakukan dengan cara mengalirkan umpan sejajar melalui suatu membran dengan hanya sebagian saja yang melewati pori membran untuk memproduksi permeat. Aliran pelarut atau cairan pembawa akan melewati permukaan membran sehingga larutan, koloid, dan padatan tersuspensi yang tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi aliran balik atau retentat. Partikel atau padatan tersuspensi pada permukaan membran akan tersapu oleh kecepatan aliran umpan. Aliran ini dapat digunakan untuk menghindari terbentuk lapisan pada permukaan membran berupa cake, fouling, polarisasi konsebtrasi, dan adsorpsi.

3. Karakterisasi Membran

Menurut Mulder (1996), karakterisasi membran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) membran berpori (porous membrane), (2) membran tidak-berpori (nonporous membrane). Pada membran berpori, pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran antara partikel/molekul dan pori membran dibantu dengan adanya tekanan transmembran sebagai driving force. Selektivitas akan tinggi, jika ukuran partikel lebih besar daripada ukuran pori membran. Mikrofiltrasi (MF) dan ultrafiltrasi (UF) merupakan jenis membran berpori. Di sisi lain untuk membran tidak berpori, seperti pervaporasi (PV), separasi gas (GS), dan dialisis, pemisahan Gambar 1. Grafik hubungan fluks terhadap waktu untuk aliarn Dead-end dan Crossflow

Waktu Waktu

fluks (L/m2jam)

fluks (L/m2jam)


(32)

terjadi akibat perbedaan laju kelarutan (solubility) dan/atau perbedaan diffusivitas (diffusivity). Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran.

Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi membran berpori, yaitu mikroskop elektron, metode gelembung udara (bubble point), dan pengukuran permeasi (Scott et al., 1996). Scanning Electron Microscope (SEM) dan Tramsmission Electron Microscope (TEM) adalah alat mikroskop yang dapat digunakan untuk pengamatan langsung. Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang disiapkan sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar. Kelemahan yang dihadapi adalah karena sampel yang diperlukan sangat tipis, maka memerlukan waktu yang lama untuk preprasi dan dikhawatirkan terjadi kerusakan struktur sampel. Sedangkan pada SEM sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh detektor dan diolah. Penggunaan SEM lebih mudah karena sampel yang diperlukan tidak setipis sampel yang digunakan pada TEM.

Sifat mekanik dan struktur pori termasuk parameter dalam penentuan karakteristik membran. Sifat fisik mekanik dan struktur pori sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan membran. Sedangkan kinerja membran pada saat pengoperasian terutama ditentukan oleh distribusi dan ukuran pori membran (Mallevialle et al., 1996). Sebelum uji fluks air, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang akan diuji dengan mengalirkan air melewati membran hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi juga dapat membuat membuat pori membran menjadi lebih seragam, lembaran membran menjadi lebih kaku, dan juga untuk memperoleh harga fluks air yang konstan pada tekanan operasional yang diberikan (Mahendran et al.,2004).

Kinerja atau effisiensi proses membran ditentukan oleh dua parameter, yaitu selektivitas dan fluks/laju permeasi (L/m2.jam atau kg/m2.jam atau mol/m2.jam) atau koefisien permeabilitas (L/m2.jam.bar). Fluks adalah jumlah permeat yang dihasilkan pada operasi membran per satuan luas permukaan


(33)

membran dan persatuan waktu. Fluks dapat dinyatakan sebagai berikut (Mulder, 1996):

Jv = V / (A.t) (1)

Dimana : Jv = fluks volume (L/m².jam) t = waktu (jam)

A = luas permukaan membran (m²) V = volume permeat (lt)

Fluks merupakan salah satu parameter kinerja membran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (i) parameter operasi seperti konsentrasi umpan, suhu, laju alir, dan tekanan, (ii) sifat-sifat fisik larutan umpan, dan (iii) faktor desain. Kenaikan konsentrasi umpan menyebabkan fluks akan turun. Perubahan konsentrasi umpan akan merubah harga viskositas, densitas, dan diffusifitas larutan umpan. Demikian juga, peningkatan suhu dapat menaikkan fluks baik pada daerah yang dikendalikan oleh tekanan atau yang dikendalikan oleh perpindahan massa. Fluks dapat juga dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas. Nilai permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan pelarut. Koefisien permeabilitas untuk membran jenis proses ultrafiltrasi berada pada kisaran 0,5 m3/m2.hari.bar (20 L/m2.jam.bar) – 5 m3/m2.hari.bar (200 L/m2.jam.bar) (Wenten, 1999).

Selektivitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu membran menahan atau melewatkan suatu molekul. Selektivitas membran tergantung pada interaksi antar permukaan dengan molekul, ukuran molekul, dan ukuran pori membran. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter, yaitu retensi/rejeksi (R) atau faktor pemisahan (α). Menurut Mulder (1996) nilai rejeksi suatu zat padat terlarut (solute) dinyatakan sebagai berikut:

C permeat

R (%) = ( 1 - ————— ) x 100% (2)

C umpan

Dimana : R = persentasi tahanan

Cpermeat = konsentrasi partikel dalam permeat


(34)

Nilai R bervariasi antara 0 – 100%, dimana R 100% artinya terjadi pemisahan sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal sedangkan nilai R 0% berarti partikel semua lolos dari membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Biasanya membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga perlu dilakukan suatu optimasi terhadap perlakuan membran untuk mendapatkan fluks dan rejeksi yang tinggi (Mulder, 1996).

Porometer membran dapat ditentukan berdasarkan nilai rejeksi suatu zat padat terlarut yang diketahui berat molekulnya. Berat molekul mempunyai hubungan linier dengan jari-jari atau ukuran pori membran Pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurments) biasanya dinyatakan sebagai Molecular Weight Cut Off (MWCO) dan banyak digunakan untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80%-90% dapat direjeksi oleh membran. (Scott dan Hughes, 1996; Mahendran et al., 2004).

Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat 1. Bahan Baku

Membran selulosa asetat digolongkan sebagai membran organik yang aman terhadap lingkungan karena berasal dari sumber yang dapat diperbaharui (renewable) seperti selulosa dari pulp (tandan kosong sawit, abaka, jerami) dan selulosa mikrobial. Membran selulosa asetat bersifat semikristalin dan memberikan kekuatan mekanik yang baik, bersifat termoplastik, serta pembuatan relatif mudah. Selain sifat baik tersebut, membran selulosa asetat sangat sensitif terhadap pengrusakan thermal, kimia, dan biologis. Sebagai usaha untuk mempertahankan membran dari kerusakan maka pH operasi biasanya dipertahankan pada pH 4 sampai 6,5 pada temperatur kamar.


(35)

Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan untuk pembuatan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika bahan bervariasi, maka hanya beberapa jenis polimer yang cocok sebagai polimer membran (Mulder, 1996; Goosen et al., 2004). Selulosa asetat merupakan polimer alami yang banyak digunakan sebagai bahan membran dan dapat diperoleh melalui proses asetilasi terhadap selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial adalah selulosa yang berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997).

1. 1. Selulosa

Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan tersebar di alam serta merupakan unsur struktural komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa mendominasi karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan karena selulosa merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Sumber utama selulosa ialah kayu. Kira-kira 40-45% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat dalam dinding sel (Achmadi, 1990). Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa (Nopianto, 2009). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.


(36)

Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan β-1,4 glikosida. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6,

sementara molekul selulosa ialah (C6H10O5)n dan n dapat berupa angka ribuan.

Berat molekulnya bervariasi dari 500.000 sampai 1.500.000 dengan jumlah segmen antara 3.000 sampai 9.000 segmen. Karena struktur rantai yang linier, selulosa bersifat kristalin. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan intermolekul. Ikatan kimia hidrogen (H+ ke OH-) antara molekul selulosa yang membentuk mikrofibril sebagian berupa daerah kristalin (teratur) dan diselubungi daerah amorf (kurang teratur). Proporsi daerah kristal dan amorf dari selulosa sangat bervariasi, tergantung pada asalnya. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa dengan diameter 2 - 20 nm dam panjang 100 - 40000 nm (Nopianto, 2009). Selulosa memiliki sifat kuat tarik yang tinggi, tidak larut dalam kebanyakan pelarut, dan bersifat sangat hidrofilik namun tidak dapat larut dalam air. Hal ini disebabkan karena sifat kristalin selulosa yang tinggi dan tingginya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan (Cowd, 1991). Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerisasi (DP) (Fengel dan Wegener, 1984). Derajat polimerisasi dihitung dengan cara membagi bobot molekul selulosa dengan bobot molekul satu unit glukosa. Perlakuan fisik dan kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerisasi selulosa (Sjohstrom, 1981). Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa selulosa yang berasal dari kayu memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Panjang rantai molekul polimer merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat polimer. Derajat polimerisasi tinggi akan memberi kekuatan mekanik yang baik terhadap polimer tersebut.

Tabel 1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa *

SUMBER DERAJAT POLIERISASI

Kapas 6.500 – 7.000

Kayu 8.000

Flax 2.900

Hamp bast fiber 3.270


(37)

Derajat kristalinitas suatu polimer berpengaruh juga terhadap sifat polimer. Umumnya derajat kristalinitas selulosa kayu lebih kecil dibandingkan dengan selulosa mikrobial. Derajat kristalinitas yang terdapat pada selulosa kayu secara umum berkisar 30%-38% (Yoshinaga et al., 1997 & Sanjaya, 2001). Walaupun memiliki komposisi kimia yang sama dengan selulosa tanaman, White dan Brown (1998) menyatakan bahwa selulosa mikrobial lebih bersifat kristal, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60%. Derajat polimerisasi selulosa mikrobial berkisar antar 2.000-6.000 (Krystynowicz et al., 2001).

Setiap monomer glukosa memilki tiga gugus hidroksil. Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam reaksi selulosa adalah aksesibilitas yaitu kemudahan gugus hidroksil dicapai oleh pereaksi. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat pada daerah amorf lebih mudah dicapai dan bereaksi dengan pereaksi dibandingkan gugus hidroksil yang terdapat pada daerah kristalin (Achmadi, 1990). Reaktifitas selulosa juga dipengaruhi oleh struktur selulosa. Kondisi pengeringan yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi aksesibilitas selulosa (Sjohstrom, 1981). Swelling (penggelembungan) selulosa merupakan tahapan yang dilakukan untuk meningkatkan reaktifitas selulosa akibat dari penyerapan air atau pelarut. Penggelembungan selulosa dapat mempermudah pereaksi mencapai daerah kristalin pada proses esterifikasi selulosa. Kecepatan asetilasi pada selulosa yang telah mengalami penggelembungan meningkat sekitar tiga kali lebih cepat daripada selulosa yang tidak mengalami penggelembungan (Michie, 1996 di dalam Fengel dan Wagener, 1984).

Melihat banyaknya potensi sumber daya yang terkandung di Indonesia, terdapat beberapa alternatif pilihan dari sumber-sumber penghasil selulosa yang berkualitas tinggi.

1.1.1. Dasar Pemilihan Sumber Selulosa

Selulosa pulp dapat digunakan sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Sumber utama yang sering digunakan untuk mendapatkan pulp berasal dari jenis kayu. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian proses delegnifikasi yang telah dilakukan dari beberapa jenis kayu dengan parameter yang terkait.


(38)

Tabel 2. Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu* Jenis Kayu Rendemen Total Pulp % Rendemen Tersaring Pulp % Bilangan Kappa Kadar Lignin Pulp % Struktur Lignin Pulp S/V ratio

Sengon 51,32 49,98 22,71 3,34 0,24

Gmelina 54,59 49,15 20,70 3,04 0,89

Kapur 52,91 40,20 30,60 4,50 0,36

Meranti 50,68 31,55 30,75 4,52 1,37

Tabel 3. Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu* Sifat-sifat

Fisika Pulp

Jenis Kayu

Sengon Gmelina Kapur Meranti

Gramature, gram 61,13 57,23 61,55 61,08

Thickness, mm 0,09 0,1 0,22 0,22

Bulky, cc/g 1,47 1,75 3,57 3,60

Tear Resistance, gf 61,18 35,35 9,79 9,61

Tear factor, kg/15 mm 5,09 2,29 0,33 0,24

Breaking Length, km 5,55 2,67 0,36 0,26

Sebaiknya selulosa asetat dihasilkan dari sumber selulosa yang mempunyai tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi (Kuo et al., 1997). Berdasarkan hasil-hasil yang terdapat pada Tabel 2 dan 3, selulosa pulp yang berasal dari kayu sengon mempunyai harapan yang sangat baik untuk digunakan sebagai pembuatan selulosa asetat. Indikator utama yang menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan dari pulp adalah dari bilangan Kappa. Bilangan Kappa yang rendah dalam pulp menunjukkan banyak lignin yang sudah diputuskan, sehingga lignin yang tertinggal dalam pulp tinggal sedikit. Semakin cepat penurunan bilangan Kappa, laju delignifikasi semakin cepat.

Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang mudah tumbuh diberbagai iklim dan keadaan, sehingga perolehan bahan baku tersebut mudah didapat secara kontinyu dengan harga yang dapat dijangkau. Komponen kimia kayu sengon yang berumur 5 tahun adalah α-selulosa 46,62%; pentosan 16,52%; lignin 29,16%; silika 0,50%; abu 0,64%, dan air 5,28% (Pari, 1996). Kandungan selulosa menjadi bertambah seiring dengan bertambahnya umur kayu

*

Rahmawati. (1999). *


(39)

dan dengan kandungan lignin yang rendah menguntungkan dalam proses delegnifikasi.

Dengan mengetahui sifat kimia kayu maka dapat diketahui penggunaan yang sesuai dari suatu jenis kayu. Prosentase selulosa yang tinggi dari kayu sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial dijadikan bahan baku pulp dan produk selulosa lainnya. Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas serta karton. Penggunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat sintetis. Untuk aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa produk, antara lain Microcrystalline Cellulose, Carboxymethyl Cellulose, Methyl Cellulose dan Hydroxypropyl Methyl Cellulose. Produk-produk tersebut dimanfaatkan antara lain sebagai bahan antigumpal, emulsifier, stabilizer, dispersing agent, pengental, dan sebagai gelling agent (Nopianto, 2009).

1.1.2. Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

Pulp merupakan salah satu sumber penghasil selulosa sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Proses pulping diartikan sebagai proses pelarutan lignin (delegnifikasi), sehingga lignin terpisah dari serat-serat selulosa. Menurut Sjohstrom (1995) selama berlangsungnya proses pulping tidak hanya lignin yang terpisah dari serat-serat selulosa, tetapi juga komponen-komponen lainnya, seperti polisakarida dan sedikit hemiselulosa.

Proses pulping/delegnifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu proses mekanik, kimia, dan proses semi kimia. Untuk memperoleh hasil pemisahan lignin secara sempurna dilakukan dengan cara kimia, yaitu dengan menambahkan sejumlah bahan kimia ke dalam tempat pemasakan (digester). Pemasakan dengan cara kimia dimaksudkan untuk memisahkan lignin dari serat selulosa. Bahan kimia yang digunakan dapat berupa asam atau alkali. Beberapa proses pulping

secara kimia yang sudah dikenal adalah proses soda, proses sulfat (kraft), proses sulfit netral, serta proses organosolv.

Salah satu penghasil selulosa diantaranya adalah pulp yang dihasilkan dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Di pulau Jawa kayu ini dikenal juga dengan nama kayu jinjing dan termasuk dalam famili Leguminose. Tinggi pohon


(40)

ini dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m dan diameter batangnya dapat mencapai 80 cm. Bobot jenis kayu 0,33. Pada umur 5 tahun kayu sengon sudah dapat digunakan sebagai bahan baku pulp tetapi nilai ekonomisnya masih rendah, sedangkan pada umur 8 tahun jumlah kayu yang dapat digunakan menjadi hampir 3 kali lipat daripada umur 5 tahun, sehingga nilai ekonomisnya juga menjadi lebih tinggi (Rahmawati, 1999). Adapun komposisi dari analisis kimia pulp kayu sengon adalah α-selulosa 92,15%; β + δ selulosa 5,86%; pentosan 1,48%; abu 0,23%; sari 0,02% (Pari, 1996).

Selulosa adalah bahan baku yang dapat digunakan untuk berbagai produk. Gugus hidroksil yang terkandung pada selulosa dapat dimodifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang biasa bereaksi dengan alkohol. Misalnya reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menghasilkan selulosa asetat.

1. 2. Selulosa Asetat

Akhir-akhir ini, perkembangan proses teknologi yang mengarah ke penggunaan bahan baku ramah lingkungan lebih sering digunakan. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan penghasil polimer membran. Bahan bakar fosil memiliki persamaan sifat polimer dengan selulosa biomassa. Salah satu polimer yang banyak digunakan adalah selulosa diasetat. Perbandingan sifat fisik selulosa diasetat dengan beberapa polimer lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer*

Properti Selulosa Asetat Polyvinyl Chloride Polystyrene LDPE

Tensile strenght, Mpa 30 20 42 10

Flexural modulus, Gpa 1,7 0,03 2,5 0,25

Titik leleh, O C 170-240 170-190 210-260 220-260

Strain at yield, % 3,9 - 2,4 19,0

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa selulosa asetat memiliki nilai kuat tarik yang termasuk tinggi dibandingkan beberapa polimer dari bahan bakar fosil. Kuat tarik tersebut sangat ditentukan oleh struktur selulosa diasetat yang bersifat semikristalin sehingga memberikan kekuatan mekanik yang baik. Sifat mekanik yang baik ini sangat diperlukan bagi selulosa diasetat bila digunakan sebagai


(41)

polimer membran karena proses pemisahan menggunakan membran memerlukan tekanan dalam memindahkan satu komponen dari campurannya. Apabila dilihat dari sifat-sifat fisika yang dimiliki maka selulosa asetat yang bersifat ramah lingkungan dapat menggantikan polimer yang berasal dari bahan bakar fosil.

Ditinjau dari proses produksi, polimer selulosa asetat lebih ramah lingkungan dibandingkan produksi polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Sebagai contoh, buangan CO2 selama produksi dari 1 kg polyethelene (PE)/ polypropelene (PP) diperkirakan sebesar 1,8 kg. Untuk produksi selulosa asetat, emisi kotor CO2 diperkirakan nihil, karena produk dihasilkan dari biomassa, yang

mana mengkonsumsi CO2 selama pertumbuhan (Harrison et al., 2004). Selama

ini, Indonesia masih mengimpor selulosa asetat. Kebutuhan akan selulosa asetat di Indonesia bertambah untuk setiap tahunnya mulai 10.327 ton pada tahun 2000 menjadi 15.897 ton pada tahun 2006 (BPS Sumut, 2007).

Selulosa asetat digolongkan sebagai polimer ester organik dan memiliki sifat atau kualitas yang unik, meliputi: tingkat kejernihan yang bagus, kasar, bersifat alami, berkilau, bersifat hidrofilik, tetapi sangat rentan terhadap mikroorganisme (biodegradibilitas). Sifat-sifat ini menjadikan selulosa asetat banyak digunakan untuk penyaringan tembakau, pembuatan serat tekstil, photografi dan kemasan lapisan, pemakaian di bidang medis, dan pemanfaatan sebagai membran (Yamakawa et al., 2003).

Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat subsitusi (DS) dan derajat polimerisasi (DP). Derajat subsitusi dan kadar asetil suatu selulosa asetat menunjukkan kemampuan larut dalam jenis pelarut tertentu (Fengel dan Wegener, 1984). Hubungan antara derajat subsitusi, kadar asetil, serta pelarut yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilihan pelarut yang tepat akan memberi hasil yang baik pada hasil aplikasi. Pada pembuatan membran, polimer selulosa asetat dilarutkan dalam suatu pelarut dengan kelarutan yang tinggi. Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan struktur membran yang terbentuk. Untuk mendapatkan membran selulosa diasetat berpori, maka pelarut yang digunakan adalah dimetilformamida (DMF) karena mempunyai daya afinitas yang tinggi terhadap air sebagai bukan-pelarut.


(42)

Derajat Substitusi

Kadar Asetil (%)

Larut di dalam

Tidak larut di dalam

Aplikasi

0,6 – 0,9 13 – 18,6 Air Aseton -

1,2 – 1,8 22,2 – 32,2 2-metoksi etanol Aseton Plastik, pernis 2,2 – 2,7 36,5 – 42,2 Aseton,

Dimetilformamida

Diklorometan Serat , film 2,3 – 2,8 ≥43,0 Kloroform,

Diklorometan

Aseton Serat lembaran

* Fengel dan Wegener. (1984).

Sifat-sifat mekanik dan kinerja produk selulosa asetat sangat ditentukan oleh derajat polimerisasi selulosa asetat. Sementara itu, derajat polimerisasi selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi selulosa serta kondisi yang dialami selama proses pembuatan selulosa asetat. Penggunaan α-selulosa dengan kemurnian rendah akan menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik dan berat molekul yang rendah sehingga kinerja selulosa asetat menjadi kurang baik (Kuo et al., 1997). Proses asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dan reaksi dikendalikan berdasarkan kecepatan difusi reagent ke dalam serat selulosa. Oleh karena itu, karakteristik/sifat kimia dan fisika selulosa sangat penting dalam proses asetilasi dan kualitas produk akhir (Bydson, 1995).

Secara komersial, selulosa asetat dihasilkan dari reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menggunakan katalis dan asam asetat sebagai pelarut. Senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai katalis adalah asam sulfat, asam perklorat, dan asam sulfonat (Kuo et al., 1997). Asam sulfat merupakan katalis yang paling umum digunakan, sementara katalis lain jarang digunakan karena tidak efektif, tidak praktis, atau sangat berbahaya untuk dilakukan pada skala industri (Kuo et al., 1997).

Dalam menentukan selulosa yang digunakan untuk proses asetilasi terdapat dua hal penting, yaitu kemampuan selulosa untuk menghasilkan asetilasi yang seragam dan kualitas produk yang dihasilkan (Steven, 2001). Kemampuan selulosa tidak hanya ditentukan oleh komposisi kimia. Perlakuan awal sebelum proses asetilasi dilakukan seperti proses aktivasi juga menjadi faktor yang terpenting dalam menentukan sifat fisik. Menurut Ott et al. (1954) dan Nevell dan Zeronian (1985), tahapan pembuatan selulosa asetat terdiri atas empat proses, yaitu: (1) praperlakuan/aktivasi (pretreatment), (2) asetilasi (acetylation), (3)


(43)

hidrolisis (hydrolisis), dan (4) pemurnian (purification). Tahapan proses yang dilakukan adalah:

1.2.1. Perlakuan awal/aktivasi

Proses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar reaksi esterifikasi dapat berlangsung dengan baik. Pada tahap ini serat-serat selulosa mengembang sehingga permukaan selulosa membesar dan ikatan intramolekuler hidrogen menjadi putus, dan memudahkan diffusi reagent ke dalam serat. Bahan aktivasi yang biasa digunakan adalah air atau asam asetat. Perlakuan awal selulosa umumnya dilakukan pada suhu berkisar antara 20oC hingga 118oC, tetapi sebaiknya dilakukan sampai dengan suhu 50oC untuk mencegah penguapan pelarut (Ott et al., 1954). Nevell dan Zeronian (1985) menyatakan aktivasi selulosa pulp kayu umumnya dilakukan selama 1-2 jam. Aktivasi terhadap selulosa pulp kayu yang telah dilakukan oleh Kuo et al. (1997) berlangsung pada suhu sekitar 25oC-50oC selama 30 menit-60 menit. Sementara itu, Saka et al. (1998) telah memperoleh waktu aktivasi terhadap pulp kayu selama satu jam. Selanjutnya, aktivasi dari campuran selulosa pulp kayu dengan kapas yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) diperoleh pada kisaran suhu 20oC-80oC selama 0,5-4 jam. Harrison et al. (2004) telah mendapatkan waktu aktivasi terhadap selulosa jerami selama 2-3 jam pada suhu kamar dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:1 (bk/v). Selain itu, aktivasi selulosa mikrobial yang telah dilakukan oleh Desiyarni et al. (2006) diperoleh kondisi proses pada suhu 50 oC selama enam jam dan pada suhu kamar selama 16 jam dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:8 (bk/v).Dapat dilihat dari beberapa uraian di atas, aktivasi berjalan rata-rata pada suhu 50oC dan terlihat perbedaan waktu aktivasi yang dihasilkan. Keadaan tersebut dikarenakan sumber selulosa yang digunakan berbeda sehingga terdapat perbedaan sifat dari selulosa tersebut. Menurut Kuo et al. (1997) waktu aktivasi yang dibutuhkan bergantung pada kondisi selulosa yang digunakan. Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah karena tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antargugus hidroksil pada rantai yang berdekatan menyebabkan kekakuan pada rantai


(44)

sehingga ikatan antar rantai menjadi lebih erat, dan sukar terjadi reaksi asetilasi dibandingkan bagian amorf (Cowd, 1991).

1.2.2. Asetilasi

Asetilasi dilakukan bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari reaktan anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat (Fengel dan Wegener, 1984). Pelarut asam asetat dan katalis asam sulfat merupakan senyawa kimia yang umum digunakan pada proses asetilasi (Kuo et al., 1997). Lama asetilasi berlangsung dapat dilihat sampai materi terlarut sempurna dalam campuran asetilasi dan derajat substitusi antara 2,35-2,40. Pemakaian suhu terlalu tinggi di atas 85oC pada proses ini dapat mengakibatkan depolimerisasi sehingga menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik yang rendah (Kuo et al., 1997). Oleh karena itu, suhu dijaga dalam kisaran kurang dari 50ºC. Asetilasi yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) terhadap campuran selulosa kayu dengan kapas berlangsung selama 20 sampai 60 menit pada kisaran suhu 50oC-80oC. Sementara itu, Amin (2000) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS) selama 15 menit pada suhu 30oC -45oC dengan perolehan kadar asetil sekitar 39-41%.

Jumlah pemakaian asam sulfat berlebihan juga dapat mempercepat depolimerisasi selulosa. Pada skala industri, pemakaian katalis asam sulfat digunakan sekitar 6%-20% berdasarkan berat kering selulosa pulp. Katalis berfungsi dalam menyeragamkan asetilasi selulosa dan menghasilkan selulosa triasetat dengan kelarutan yang baik dalam asam asetat. Pemakaian katalis asam sulfat digunakan pada kisaran 0,1%-2% untuk kandungan α-selulosa yang tinggi sedangkan untuk kandungan α-selulosa yang rendah digunakan katalis asam sulfat sekitar 2%-20%. Kuo et al. (1997) menyatakan pemakaian katalis dalam jumlah besar akan menghasilkan selulosa triasetat yang bersifat tidak stabil terhadap panas. Campbell (1960) menggunakan katalis asam sulfat dalam jumlah kurang dari 1% dari berat kering selulosa dan reaksi berjalan pada suhu 50oC. Sementara itu, Yabune (1984) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa pulp menggunakan katalis asam sulfat sebesar 0,5-5 berat bagian per 100 berat bagian selulosa kering


(45)

pada suhu 50oC - 85oC. Proses asetilasi yang telah dilakukan oleh Harrison et al.

(2004) menggunakan reagents dengan perbandingan terhadap berat pulp jerami yaitu anhidrida asetat (3:1), asam asetat (6/7:1), asam sulfat (0,05-0,1:1) selama 2 jam pada suhu 30oC. Tingkat kemurnian selulosa yang digunakan juga sangat menentukan lama asetilasi berlangsung. Asetilasi dari limbah serbuk gergaji kayu yang telah dilakukan oleh Suyati (2008) berlangsung selama 20 jam dengan kadar asetil 44,32% dan 42 jam dengan kadar asetil 40,92%. Hal ini disebabkan selulosa yang terkandung dalam serbuk gergaji tersebut berasal dari berbagai sumber selulosa dengan karakter yang berbeda sehingga mempengaruhi kondisi proses. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa asetat dapat dilihat pada Gambar 3

Kondisi operasi optimum dari proses asetilasi selulosa mikrobial juga telah didapat oleh Desiyarni et al. (2006) dengan menguji 4 variabel, yaitu: (1) rasio anhidrida asetat terhadap selulosa, (2) konsentrasi katalias asam sulfat, (3) waktu reaksi, dan (4) suhu asetilasi. Variabel respon yang diamati adalah perolehan kadar asetil dari selulosa triasetat yang dihasilkan dan hasil menunjukkan bahwa faktor rasio anhidirda asetat dengan selulosa berpengaruh secara nyata terhadap perolehan selulosa triasetat, sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi

Selulosa Anhirida Asetat

Selulosa Tri Asetat Asam Asetat

Gambar 3. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat (Report Description- Nexant, 2004).


(1)

41. Diagram alir pembuatan membran ultrafiltasi (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004)

.

a. Pada koagulasi suhu kamar

Pengadukan 2-4jam, suhu kamar

Penyimpanan 1-2 jam, suhu kamar

Pencetakan (tebal 0,2 mm)

Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik

Koagulasi (suhu kamar)

Membran Selulosa Asetat

Perendaman dalam air

Karakterisasi membran

DMF 3,4,5,6 bagian PEG 1450, 4000, 6000

(10, 20, 30% dari SDA)

Selulosa Diasetat (SDA) 1 bagian (4,2857 gr)


(2)

b. pada rasio PEG/SDA 20%

Pengadukan 2-4 jam, suhu kamar

Penyimpanan 1-2 jam, suhu kamar

Pencetakan (tebal 0,2 mm)

Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik

Koagulasi

(aqudest 15 oC, suhu kamar, 50 oC)

Membran Selulosa Asetat

Perendaman dalam air

Karakterisasi membran PEG 1450, 4000, 6000

(20% dari SDA) Selulosa Diasetat (SDA)

1 bagian (4,2857 gr) DMF


(3)

42. Diagram alir proses pemurnian nira

Pembersihan Penggilingan

Tanah, daun

Nira mentah Karakterisasi

Penyaringan Kotoran kasar Nira mentah

Filtrasi membran

Nira jernih Karakterisasi Tebu


(4)

43. Hasil rancangan pembuatan selulosa diasetat

Aktivasi (50oC)

30 menit Asam asetat glasial

(40 ml)

Selulosa (5 gram)

Sentrifugasi

(60 menit, 50oC) Endapan Selulosa

Supernatan Larutan STA

- Larutan asam - STA mengendap

larutan asam

Larutan MgCO3 1%

dalam air

Larutan netral

Perendaman endapan STA (suhu kamar, 2 jam)

Pencucian

Air Air

Pengeringan

(6 jam, 50oC) Selulosa Di Asetat

Kadar Asetil 39,66% BM 130.221 Asetilasi (50oC)

60 menit

Asam asetat encer 10% (200 ml)

Rasio anh.asetat/selulosa (3,35 bagian )

asam sulfat 0,075 ml asam asetat 22,5 ml

Hidrolisis (50oC) 15jam

Larutan MgCO3 1%

dalam air (200 ml)

Penghentian Hidrolisis 20 ml larutan MgCO3 1%

dalam asam asetat Air 5,33 ml (rasio dengan

selulosa 1,066) Asam sulfat 0,075 ml

Gambar 14. Diagram alir pembuatan selulosa diasetat (modifikasi Harison et al., 2004; Desiyarni, 2006).


(5)

44. Hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat pada koagulasi suhu kamar

Pengadukan 2 jam, suhu kamar

Penyimpanan 1 jam, suhu kamar

Pencetakan (tebal 0,2 mm)

Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik

Koagulasi (suhu kamar)

Membran Selulosa Asetat

Perendaman dalam air

Karakterisasi membran

DMF 6 bagian (25,7143 g) PEG 1450, 4000, 6000

(10, 20, 30% dari SDA)

Selulosa Diasetat (SDA) 1 bagian (4,2857 g)

Gambar 15. Diagram alir perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat pada koagulasi suhu kamar (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004)


(6)

45. Hasil rancangan proses proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat pada rasio PEG/SDA 20%

Gambar 16. Diagram alir perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat pada rasio PEG/SDA 20% (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004)

Pengadukan 2 jam, suhu kamar

Penyimpanan 1 jam, suhu kamar

Pencetakan (tebal 0,2 mm)

Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik

Koagulasi

(aqudest 15 oC, suhu kamar, 50 oC)

Membran Selulosa Asetat

Perendaman dalam air

Karakterisasi membran PEG 1450, 4000, 6000

(20% dari SDA) Selulosa Diasetat (SDA)

1 bagian (4,2857 g)

DMF 6 bagian (25,7143 g)