Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan skripsi ini adalah tidak hanya melihat hukum-hukum ideal tetapi menunjukkan perilaku dan persepsi tiap-tiap orang terhadap hukum-hukum lain yang hidup di tengah-tengah masyarakat secara aktual. Skripsi ini juga menggambarkan bahwa hukum itu ternyata merupakan alat yang digunakan orang untuk mencapai apa yang orang tersebut inginkan. Selain itu, skripsi ini ingin mengungkap hukum itu dalam kenyataannya yang tidak jauh-jauh dari adanya kepentingan. Bagaimana orang membuat pilihan-pilihan hukum dalam mengahadapi kasus sengketa; yang dalam hal ini sengketa tanah, juga terlihat dalam kasus sengketa tanah antara masyarakat KTPH-S dengan perusahaan perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang termuat dalam skripsi ini. Sehingga skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam melihat permasalahan hukum; dalam hal ini tinjauan secara antropologi hukum. Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan wawasan pengetahuan antropologi yang dikaitkan dengan hukum. Manfaat penelitian ini sendiri diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebuah kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah wawasan berpikir terutama dalam bidang antropologi dan kaitannya dengan judul dan permasalahan dalam tulisan ini yaitu mendeskripsikan kasus sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat KTPH-S dengan perusahaan perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Universitas Sumatera Utara

1.5. Tinjauan Pustaka

Menurut Joyo Winoto 2008, tanah memiliki keterkaitan erat dengan kebangsaan dan pembangunan. Lebih lanjut lagi Joyo Winoto mengatakan ada empat hal yang harus diketahui sebelum masuk kepada persoalan tanah. Pertama, tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagaimana tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa ujung cita-cita negara Indonesia adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, apa yang dikatakan Joyo Winoto tentang tanah untuk kemakmuran rakyat adalah mengacu kepada Pembukaan UUD 1945 yang secara nyata harusnya diusahakan sedemikian rupa oleh negara untuk pencapaian tujuannya tersebut. Kedua, tanah sebagai identitas kebangsaan. Identitas kebangsaan yang dimaksud di sini adalah bahwa tanah merupakan kekayaan nasional yang diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sejatinya menjadi hak dari bangsa Indonesia dan bukan semata‐mata aset pemiliknya. Bagi bangsa Indonesia, hubungan dengan tanah merupakan hak yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan ini sangat menentukan dalam membentuk kesejahteraan, keadilan, sekaligus harmonisasi bangsa. Namun, jika hubungannya tidak tersusun baik, sudah dapat diduga yang akan muncul adalah penderitaan panjang bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kemiskinan serta konfllk berkepanjangan akan terus berlangsung. Ketiga, tanah harus memiliki fungsi keadilan sosial. Fungsi keadilan sosial yang digambarkan Joyo Winoto yaitu pemegang hak atas tanah tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan tanahnya untuk kepentingan pribadi semata. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan keadaan dan Universitas Sumatera Utara sifat haknya, sehingga memberikan manfaat sebesar‐besarnya bagi pemegang hak, masyarakat, dan negara. Hal ini bukan berarti kepemilikan serta kepentingan perseorangan terabaikan oleh kepentingan umum. Berkaitan dengan ini Joyo Winoto menambahkan bahwa jika konsentrasi akses terhadap tanah secara berlebihan dan hanya tertumpu pada segelintir orang, ini indikasi “tidak sehat”. Namun, pada kenyataannya sekarang ini hal yang “tidak sehat” seperti yang dikatakan Joyo Winoto inilah yang sering mengisi bangsa ini. Keempat, tanah untuk kehidupan. Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah memberikan kesempatan pada rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial ekonominya, hak‐hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat, rasa keadilannya tercukupi, dan akan tercipta harmoni sosial. Apa yang diungkapkan Joyo Winoto ini merupakan ucapan formal yang masih harus diuji secara empiris untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi di “lapangan” itu seperti apa. Bagi sebagian orang Jawa yang masih menggantungkan hidupnya dari bertani pastilah memandang tanah sebagai aset penting dalam menunjang keberlangsungan pertaniannya. Hal ini dikarenakan tanah bagi mereka berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan. Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati yang berarti sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati 22 22 . Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam http:id.wikipedia.orgwikiPerang_Diponegoro diakses tanggal 10 Oktober 2011 Universitas Sumatera Utara memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun sampai mati. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati survival, kepentingan, harga diri, eksistensi, ideologi, dan nilai Sastroatmodjo, 2007:28. Apa yang dikatakan Sudijono Sastroatmodjo ini tentu sangat mendukung pendapat bahwa orang Jawa memiliki pandangan mereka sendiri atas tanah. Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah dan permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis, yaitu gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yaitu gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau Padmo, 2000:1. Keadaan yang seperti ini mungkin akan banyak terjadi melihat kondisi saat ini, nilai tanah semakin lama semakin tinggi. Ini jugalah yang menjadi pemicu terjadinya sengketa tanah. Begitu juga yang terlihat pada masyarakat Madura. Bagi orang Madura, tanah pertanian merupakan aset kekayaan yang tidak ternilai harganya. Seperti yang dikatakan A. Latief Wiyata, kehidupan mereka amat bergantung sekaligus ditopang secara dominan oleh tanah. Lebih penting lagi, A. Latief Wiyata menambahkan bahwa tanah yang mereka miliki hampir pasti merupakan warisan orangtua atau kakek-nenek secara turun-temurun. Status pemilikan tanah seperti Universitas Sumatera Utara ini dalam bahasa Madura tana sangkolan memiliki makna dan kekuatan sakralitas 23 a. Pra-konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. . Pentingnya arti tanah bagi orang Jawa dan Madura dalam uraian di atas menandakan bahwa tanah adalah sumber kehidupan yang akan membuat orang berlomba-lomba untuk memiliki tanah seluas-luasnya. Berkaitan dengan hal ini, saat ini kebutuhan akan sebidang tanah di zaman modernisasi ini akan semakin bernilai jual tinggi bahkan sangat mahal ketika tanah itu memiliki letak yang strategis untuk didirikan sebuah bangunan, unsur hara yang baik untuk lahan pertanian, nilai sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, yang pada akhirnya memiliki nilai ekonomi yang dapat menghasilkan uang. Melihat dari fisik tanah yang di bumi ini terbatas, tetapi kebutuhan manusia yang tidak terbatas sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya perebutan kekuasaan atas tanah atau terjadinya sengketa tanah. Tinjauan di atas menyatakan bahwa konflik maupun sengketa akan sangat sering terjadi. Untuk lebih jauh lagi memahami proses-proses itu Nader dan Todd Ihromi, 1993:225 mengemukakan pandangan mengenai adanya tiga fase dalam sengketa, yaitu: b. Konflik adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut. c. Sengketa adalah keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga. 23 http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=8213coid=4caid=33gid=3diakses tanggal 10 Oktober 2011 Universitas Sumatera Utara Saya akan mencoba menguraikan apa yang saya tangkap dari tiga fase dalam sengketa Nader dan Todd ini sebagai berikut: tahap pra-konflik terjadi pada kondisi di mana seseorang maupun kelompok merasa bahwa telah terjadi suatu ketidakadilan yang didasari atas rasa ketidakpuasan terhadap suatu masalah yang melibatkannya sehingga muncul suatu keluhan. Biasanya hal-hal yang demikian ini sering terjadi pada kondisi di mana ada yang dipermasalahkan atau dengan kata lain ada kasus yang terjadi baik itu sifatnya individu maupun kolektif, intinya ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi, perasaan tidak puas tersebut tidak atau mungkin belum disadari atau dengan kata lain belum diungkapkan dan masih dipendam sendiri. Pada saat rasa tidak puas akan ketidakadilan ini disadari oleh pihak-pihak tersebut maka tahap pra-konflik telah berubah menjadi konflik. Sebenarnya tahap pra-konflik bisa saja selesai jika terjadi perdamaian. Tetapi, sepertinya yang lebih akan sering terjadi adalah konflik yang berkepanjangan yang akhirnya konflik dipublikasikan dan melibatkan pihak ketiga dan pada saat kondisi seperti ini maka tahapan konflik telah masuk ke tahap sengketa. Pihak ketiga di sini baik individu maupun kelompok akan mulai aktif dalam permasalahan yang terjadi. Sebenarnya ketiga tahap di atas tidak harus terjadi secara berurutan, karena bisa saja pihak-pihak yang merasa dirugikan akan langsung meneruskan keluhan dan rasa ketidakadilan yang didapatnya ke tahap sengketa tanpa harus melalui tahap konflik. Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut Comaroff dan Roberts Ihromi, 1993:225 sengketa dapat timbul di antara: 1. Individu -individu dari : a. Kelompok yang berbeda, misalnya pada sengketa tanah yang terjadi antara individu dari klen yang berbeda. b. Satu kelompok within group and inter group, misalnya pada sengketa tanah waris antar individu dari satu klen. Oleh Comarroff dan Roberts bentuk sengketa ini dinamakan ‘interhouse’ atau ‘intergenerational’. 2. Kelompok-kelompok antar kelompok atau intra group, yaitu sengketa antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok atau antar kelompok yang besar yang otonom dalam masyarakat yang dinamakan sengketa intrahouse. Jika mengacu kepada pendapat Comaroff dan Roberts di atas, maka dalam permasalahan sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban adalah sengketa intrahouse karena melibatkan sebuah kelompok yang mewakili masyarakat dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta. Tentunya tinjauan ini akan membantu saya dalam proses mengetahui sengketa-sengketa seperti apa saja yang sebenarnya dapat terjadi di dalam kenyataan empirisnya. Permasalahan sengketa yang terjadi tentunya akan sampai kepada bagaimana proses yang akan ditempuh untuk menyelesaikannya dan penggunaan hukum lokal, hukum-hukum hybrid hybrid law, hukum negara; dalam hal ini hukum peradilan, maupun hukum-hukum lain yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri self-regulation atau juga hukum-hukum tidak bernama Universitas Sumatera Utara unnamed law, merupakan tahapan terhadap proses penyelsaian terhadap masalah sengketa yang ada. Hal ini akan dapat diketahui jika yang diteliti adalah kasus- kasus sengketa. Kemudian jika ditelusuri dari apa yang terjadi pada kasus-kasus sengketa tersebut siapakah yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang ada, maka, hal itu akan dapat menunjukkan struktur dari masyarakat yang bersangkutan. Kemudian saya meminjam apa yang dinamakan oleh Laura Nader disputing process untuk memahami masalah sengketa tanah. Berbeda dengan Hoebel yang menyatakan bahwa dalam penerapan metode kasus sengketa memaksudkan kajiannya sebagai alat untuk mengungkapkan hukum substantif dan juga prosedur-prosedur yang ditempuh serta untuk dapat memperlihatkan nilai-nilai dalam hukum dan postulat-postulat hukum Ihromi, 1993:207. Nader lebih menekankan pada kajian tentang proses yang berlangsung mulai dari adanya keluhan-keluhan, ungkapan perasaan, adanya perlakuan yang tidak adil, selanjutnya melihat apakah sengketa mengalami proses eskalasi atau tidak, bagaimana penanganan selanjutnya dan adakah penyelesaian atau tidak Ihromi, 1993:207. Maka, dari sini dapat dilihat bahwa Hoebel masih terpaut terhadap pandangan bahwa hukum itu sebagai perangkat aturan sedangkan Nader lebih cenderung memaknai hukum sebagai sebuah proses. Kedua pendapat para ahli ini akan saya terapkan dalam usaha saya mencari jawaban apa sebenarnya yang terjadi pada kasus sengketa tanah yang melibatkan KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dalam skripsi ini. Namun, saya pribadi memang lebih cenderung kepada apa yang dikatakan Nader bahwa hukum itu bukan hanya Universitas Sumatera Utara sebuah tatanan yang berisi tentang peraturan-peraturan itu saja tetapi, lebih dari itu proses berjalannya hukum itu adalah merupakan hukum. Roscoue Pound mengungkapkan bahwa hukum adalah alat untuk rekayasa sosial Ihromi, 1993:148. Sejalan dengan ini, Moore mengatakan pokok yang mendasari pandangan rekayasa sosial ini adalah bahwa hubungan-hubungan sosial rentan terhadap kontrol manusia yang terkendali dan bahwa alat yang digunakan untuk mencapai kontrol ini adalah hukum Ihromi, 1993:149. Kemudian dari sini Moore merumuskan bahwa hukum merupakan sebuah istilah ringkasan yang menggambarkan suatu himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip, norma- norma, ide-ide, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, dan untuk kegiatan-kegiatan dari alat-alat perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundang-undangan, pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung oleh kekuatan politik dan legitimasi Ihromi, 1993:149. Di masyarakat sekitar perkebunan Padang Halaban sendiri yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat Jawa tentunya mempunyai prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan yang merupakan hukum-hukum yang berjalan dalam segi-segi kehidupan mereka. Kemudian hukum-hukum seperti hukum lokal, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya yang tidak tertulis mungkin saja tetap ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat sekitar perkebunan Padang Halaban. Kehadiran pluralisme hukum pada dasarnya dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum sudah seharusnya merupakan hukum negara, berlaku Universitas Sumatera Utara seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara “...law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions” Griffith Ihromi, 1993:243. Bahkan Griffith berpendirian bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan Ihromi, 1993:243. “Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion”, “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos, ideal, klaim, ilusi” Griffith Ihromi, 1993:243. Sedangkan konsepsi pluralisme hukum menurutnya adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal order” Griffith Ihromi, 1993:243. Pandangan pluralisme hukum menolak pandangan sentralisme hukum yang berpendapat bahwa hukum itu hanya hukum yang berasal dari negara saja atau hukum positif. Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. Masalah pluralisme hukum dalam pandangan prosesual yaitu setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mereka tentunya memiliki pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan, atau lebih tepat lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat ketika seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan terhadap pranata hukum, maka, seseorang itu akan memilih suatu pranata hukum yang dianggapnya paling bisa memungkinkan ia untuk mendapat akses yang lebih terhadap pemenuhan Universitas Sumatera Utara kepentingannya. Dalam hal ini ia bisa memilih satu jalur hukum tertentu atau boleh jadi ia akan melakukan kombinasi atau memilih lebih dari satu aturan hukum untuk proses penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya. Berkaitan dengan hal ini, saya mengikuti temuan-temuan dari Keebet von Benda-Beckmann dalam bukunya berjudul Goyahnya Tangga Menuju Mufakat 2000 bahwa seseorang akan memilih suatu hukum atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum. Suatu konsep yang dimunculkan untuk menggambarkan hal tersebut yaitu konsep forum shopping yang menerangkan bahwa orang-orang yang bersengketa dapat memilih berbagai lembaga dan mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa tersebut K. von Benda- Beckmann, 2000:64. Sebaliknya, sebagaimana para pihak, institusipun sebenarnya yang lebih tepat bukanlah institusinya, tetapi fungsionarisnya mempunyai pilihan untuk menolak atau menerima suatu perkara berdasarkan kepentingan politik. Hal itu tertuang dalam konsep shopping forums yang menerangkan bahwa bukan orang-orang yang bersengketa saja yang memilih- milih lembaga penanganan sengketa, melainkan lembaga yang terlibat itu juga menggunakan sengketa untuk tujuannya sendiri, terutama untuk tujuan politik lokal K. von Benda-Beckmann, 2000:65. Kemudian Keebet von Benda- Beckmann juga menambahkan lembaga-lembaga tersebut dengan para pejabat yang ada di dalamnya, biasanya memiliki kepentingan yang berbeda dari kepentingan pihak yang bersengketa dan biasanya mereka menggunakan jalur penanganan sengketa ini untuk mencapai kepentingan mereka. Universitas Sumatera Utara Jadi, setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka forums shopping dan sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarakan kepentingan lembaga itu sendiri shopping forums. Seperti apa yang dikemukakan oleh Keebet von Benda-Beckmann tentang forum shopping dan shopping forums ini, dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sitem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat. Dalam tinjauan antropologi hukum kajian mengenai kasus-kasus sengketa pada dasarnya dimaksudkan untuk mengungkapkan latar belakang dari munculnya kasus-kasus tersebut, cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa, mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan, dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan, sehingga dapat diungkapkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, prosedur-prosedur yang ditempuh, dan nilai- nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian sengketa tersebut. Nader dan Todd mengatakan bahwa materi kasus sengketa yang dapat dikaji untuk memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat meliputi kasus-kasus sengketa yang dapat dicermati mulai dari awal sampai sengketa diselesaikan; kasus-kasus sengketa yang dapat dikaji melalui dokumen keputusan-keputusan pemegang otoritas yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa; kasus-kasus sengketa yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para tokoh masyarakat atau para Universitas Sumatera Utara pemegang otoritas; dan kasus-kasus sengketa yang masih bersifat hipotetis Ihromi, 1993:200. Dengan menggunakan tinjauan ini maka, seluk beluk permasalahan sengketa tanah yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang menjadi objek dalam penelitian ini akan dapat mengungkap proses-proses apa saja yang berlangsung dari awal sekali sampai keadaan yang terjadi pada saat ini. Kemudian meminjam apa yang dirumuskan oleh Nader dan Todd Ihromi, 1993:210-212 yang mengungkapkan bahwa ada berbagai cara yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa yaitu: a. Membiarkan saja atau lumping it. Pihak yang merasakan perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang ia rasakan merugikannya. b. Mengelak atau avoidance. Pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya bahkan sama sekali menghentikan hubungan tersebut. c. Paksaan atau coercion, satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai. Universitas Sumatera Utara d. Perundingan atau negotiation. Dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya. e. Mediasi atau mediation. Dalam cara ini ada pihak ketiga yang membantu kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. f. Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu. g. Peradilan atau adjudication. Pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan. Karakter khas lain dari antropologi hukum adalah berbagai sistem hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia dipelajari dengan memfokuskan pada proses-proses mikro yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, metode holistik dalam mengkaji pluralisme hukum dalam masyarakat sangat membantu menjelaskan mekanisme, prosedur, dan institusi- institusi hukum dan bekerjanya hukum serta keterkaitannya dengan aspek politik, ekonomi, religi, organisasi sosial, dan ideologi. Berkaitan dengan ini saya meminjam pandangan Sulistyowati Irianto yang menyatakan, hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum yaitu bahwa interaksi sistem-sistem hukum yang saling berbeda antara hukum Universitas Sumatera Utara negara dengan hukum-hukum lainnya terjadi dalam arena sosial Ihromi, 1993:243. Sulistyowati Irianto menyatakan bahwa arena sosial inilah yang merupakan tempat di mana terjadi transaksi ekonomi, kontak-kontak kekerabatan dan sosial, hubungan-hubungan politik dan keagamaan, dan hubungan-hubungan lain Ihromi, 1993:243. Di sinilah terjadi interaksi hukum, karena menurut Sulistyowati Irianto bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan kata lain, bahwa yang dinamakan hukum itu bukan hanya sebuah peraturan saja melainkan proses interaksi yang terjadi dalam kancah peraturan itu sendiri adalah merupakan sebuah hukum. Jadi, di dalam hukum itu sendiri akan sering terjadi pelanggaran-pelanggaran. Meminjam apa yang dikatakan Sulistyowati Irianto tentang arena sosial ini maka, dalam penelitian yang saya lakukan bisa dengan mudah memahami dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi di dalam kasus sengketa tanah antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Kemudian, mengutip tulisan Martin Ramstedt yang berjudul Menafsirkan Kembali Tata Norma Bali Pasca-Orde Baru: Reformasi Negara dan Kegalauan Makna Ke-Bali-an. Dalam tulisan ini pada satu bagian Ramstedt manggambarkan bahwa hukum dijadikan sebagai alat untuk membentengi Bali. Lebih jauh lagi dalam penggambarannya Ramstedt menguraikan bahwa di Bali setelah masa Orde Baru berakhir dan memasuki era otonomi daerah dibuat Perda-perda yang sengaja dibuat untuk mengatur agar mereka bisa tetap eksis dalam identitas ke-Balian mereka. Salah satu contohnya yaitu membentuk Perda Provinsi Bali No. 32001 untuk “Desa Pakraman” isinya sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara “Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga [tiga rumah ibadah yang dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai ketiga aspek Tuhan Yang Maha Esa, M.R.] atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.” Windia Ramstedt, 2011:60. Dari hal ini memberikan gambaran kepada saya tentang situasi hukum yang sedang berjalan di Indonesia terlebih lagi tinjauan pustaka Ramstedt ini tentunya mendukung kepada topik penelitian saya dan ini akan saya pakai dalam melihat situasi dan kondisi hukum pada sengketa tanah yang terjadi antara KTPH- S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Kemudian yang berkenaan dengan sengketa tanah di Padang Halaban dalam kajian kasus yang akan saya teliti saya meminjam pendapat Noer Fauzi tentang pola sengketa tanah yang pokok terjadi di Indonesia sebagi berikut: 1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah sebagai sumber eksploitasi, seperti hutan untuk eksploitasi kayu dan eksploitasi tambang. Contoh yang terkenal adalah tanah adat suku Amungme - Irian yang diambil oleh PT. Freeport dalam rangka eks- ploitasi tambang emas dan tembaga; Tanah suku Dayak Bentian - Kalimantan Timur yang diambil oleh PT. Kahold Utama untuk Hutan Tanaman Industri. Variasinya, terjadi pula di Jawa; Perhutani memaksa petani keluar dari wilayah hutan produksi yang mereka klaim, seperti yang terjadi di Sagara - Jawa Barat. Universitas Sumatera Utara 2. Sengketa tanah akibat program swasembada beras revolusi hijau. Prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah yang terkonsentrasi di satu pihak dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah. Gejala ini terjadi di pantai utara Jawa: penguasaan sawah lebih dari 50 ha di tangan satu orang, lebih dari 50 petani tak bertanah -- seperti yang terjadi di Subang pantai utara Jawa Barat. Dalam rangka revolusi hijau, pem- bangunan waduk-waduk besar juga menggusur tanah-tanah petani seperti di Kedung Ombo - Jawa Tengah dan Saguling di Jawa Barat. 3. Perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai rakyat. Contoh historisnya adalah tanah rakyat Penunggu Jaluran Sumatera Utara, yang dijadikan lokasi perkebunan. Sengketa yang baru-baru ini meledak terjadi di Jenggawah - Jawa Timur. Variasi sengketa ini adalah konflik pihak perkebunan dengan petani dalam hubungan Inti-Plasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat - Perkebunan PIR-Bub -- seperti yang terjadi di Arso - Irian Jaya, Sei Lepan Sumatera Utara, PIRLOK di Silau Jawa Kabupaten Asahan - Sumut, dan Cimerak - Jawa Barat. 4. Penggusuran tanah untuk industri jasa, seperti untuk perumahan mewah, hotel- hotel dan fasilitas swasta. Di Jabotabek, luas tanah yang dikuasai oleh perusahaan- perusahaan real estate sudah lebih luas dari kota Jakarta itu sendiri. Di Bali, terjadi peng- gusuran dan pengalihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Di pesisir Lombok, terjadi penggusuran rakyat di Pemongkong dan Gilitrawangan untuk kawasan wisata. Di Jawa Barat saja terdapat setidaknya 21 lapangan golf. Universitas Sumatera Utara 5. Penggusuran tanah untuk program pembangunan oleh pemerintah sendiri. Tanah dibutuhkan untuk pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintah, sarana militer, dan lainlain. Sengketa tanah Blangguan di Jawa Timur merupakan contoh penetapan tanah rakyat untuk tempat latihan marinir. 6. Pencaplokan tanah untuk pabrik-pabrik di dalam maupun di luar kawasan industri. Sengketa tanah ini merebak di kawasan Jabotabek dan pusat- pusat pertumbuhan ekonomi lainnya. Calo-calo tanah mereguk uang dengan cara menekan harga pembelian ke rakyat, kemudian menjualnya ke pemodal besar dengan harga tinggi. 7. Pencabutan hak tanah rakyat atas nama kelestarian lingkungan. Rakyat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat - Jambi dan Pulo Panggung - Lampung harus tersingkir karena pemerintah menetapkan lokasi perumahan dan kebun rakyat untuk hutan lindung, kawasan suaka marga satwa, taman nasional dan sejenisnya. Jika mengacu pada pengelompokkan ini maka sengketa tanah di Padang Halaban antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban masuk ke dalam bagian yang nomor 3. Ini akan coba saya terapkan dan buktikan di lapangan secara empiris yang terjadi sebenarnya seperti apa.

1.6. Metode Penelitian