BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat
memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari kasus-kasus sengketa dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-
norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Llewellyn dan Hoebel bahwa “Kasus-kasus sengketa, yang dipilih dan diteliti
dengan hati-hati merupakan jalan yang paling aman untuk menemukan hukum. Data dari kasus-kasus itu adalah yang paling pasti. Hasilnya adalah yang paling
kaya dan paling membuka mata” Ihromi, 1993:108. Dengan begitu secara umum tulisan terhadap kasus sengketa ini
mengungkap dan menelusuri hukum masyarakat dalam studi antropologis mengenai hukum. Hal ini karena hukum bukanlah semata-mata sebagai suatu
produk dari individu atau sekelompok orang dalam bentuk peraturan perundang- undangan, atau bukanlah sebagai suatu institusi yang terisolasi dari aspek-aspek
kebudayaan yang lain, tetapi hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan masyarakat
1
1
I Nyoman Nurjaya, pada artikel “Perkembangan Tema Kajian Metodologi dan Model Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum di Indonesia” di
.
http:editorsiojo85. wordpress.com20090331antropologi-hukum diakses tanggal 6 Desember 2011.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kasus sengketa juga akan dapat dipahami bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai
alat pengendalian sosial social control atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial social order dalam masyarakat atau dengan kata lain, studi-studi
antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana
menjaga keteraturan sosial social order atau alat pengendalian sosial social control, Ihromi, 2000:6. Hukum merupakan aktivitas kebudayaan yang
berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial social control, atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial social order dalam masyarakat
2
. Sejalan dengan ini Hoebel menyatakan bahwa untuk memahami tempat hukum dalam
struktur sosial masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan Ihromi, 1993:148.
Kenyataan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan dari interaksi sosial yang tidak terpisahkan dengan segi-segi
kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dan lain-lain
3
Lebih fokus lagi sejalan dengan penjelasan di atas secara khusus tulisan ini bercerita bahwa hukum ternyata bukan hanya peraturan-peraturan tertulis saja;
dalam hal ini undang-undang dalam pemerintahan, melainkan banyak hukum- .
2
Pospisil, 1967; 1971 dalam artikel Boy Yendra Tamin “Sistem Hukum Adat di Tengah Kuatnya Sistem Hukum Global” di http:boyyendratamin.blogspot.com201111sistem-hukum-
adat-ditengah-kuatnya.html diakses tanggal 6 Desember 2011.
3
Pospisil, 1971 terdapat pada http:id.shvoong.comlaw-and-politicslaw2222834-hukum- dalam-perspektif-antropologi diakses tanggal 6 Desember 2011.
Universitas Sumatera Utara
hukum lain yang tidak tertulis dan di dalam hukum itu sendiri terdapat begitu banyak kepentingan-kepentingan dari orang-orang tertentu yang akan melakukan
dan menempuh segala cara untuk dapat memenuhi kepentingannya. Dengan demikian hukum itu ternyata tidak lebih penting dari kepentingan atau dengan
kata lain bahwa karena adanya kepentinganlah maka hukum itu dibuat sehingga kepentingan itu menjadi hal yang utama dalam proses terbentuknya sebuah
hukum. Hukum hanyalah sebuah alat untuk bisa mencapai sesuatu yang akan bisa
memenuhi kepentingan karena hukum itu sendiri dapat digerakkan, didinamiskan dan dimanipulasi oleh siapa pun juga untuk mencapai sesuatu; dalam hal ini
adalah kepentingan. Kepentingan merupakan sesuatu hal yang dianggap penting sehingga harus diutamakan dan dikejar agar terwujud nyata dalam kehidupan dan
alat untuk mencapainya adalah hukum. Jadi, hukum itu merupakan percampuran nilai-nilai yang eksis dan memegang peranan yang dominan dalam suatu
masyarakat tertentu yang dikukuhkan oleh; dalam hal ini bisa pemerintah, bisa juga pemegang kekuasaan, ke dalam sebuah peraturan tertulis yang pada mulanya
untuk kepentingan masyarakat tersebut namun, tidak sedikit juga disusupi kepentingan para pembuat peraturan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang maupun kelompok memiliki kepentingannya masing-masing, baik itu kepentingan yang eksplisit maupun
kepentingan yang implisit. Dalam ilmu sosial sering muncul istilah manifest
4
4
Manifest adalah hal yang nyata dan diungkapkan secara jelas eksplisit.
dan
Universitas Sumatera Utara
latent
5
untuk menjelaskan sesuatu yang eksplisit dan implisit. Kepentingan yang saya maksud di sini adalah kepentingan yang implisitlatent yaitu kepentingan
yang tidak tertulis atau tidak dinyatakan secara terang-terangan. Lebih jauh lagi kepentingan itu bersifat hidden agenda maksud yang tersembunyi yaitu
kepentingan yang memiliki maksud atau tujuan yang tersembunyi. Berdasarkan literatur yang saya baca mengenai hidden agenda
6
Hal inilah yang saya lihat terjadi dalam kasus sengketa tanah antara masyarakat yang mengatasnamakan Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya
KTPH-S dengan perusahaan perkebunan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. Padang Halaban PT. SMART Tbk. Padang Halaban di mana
sengketa tanah yang terjadi sebenarnya sudah puluhan tahun lamanya yaitu sejak tahun 1969 dan sejak 18 mei 2009 masalah sengketa tanah ini telah sampai ke
lembaga peradilan. Permasalahan sengketa tanah inilah yang akan saya tuliskan dalam skripsi ini untuk menjelaskan hukum dalam tinjauan antropologi. Kasus
sengketa tanah seperti yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban ini adalah merupakan bidang kajian yang saya pilih untuk
secara sederhana saya mendefinisikan hidden agenda sebagi berikut: gagasan tersembunyi atau niat
terselubung yang diungkapkan secara eksplisit dalam negosiasi antara individu maupun kelompok tetapi secara implisit di hadapan umum dan merupakan hal
yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.
5
Latent adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak dinyatakan secara jelasterang-terangan implisit.
6
http:www.esaunggul.ac.idindex.php?mib=prodisid=19nav=artikel.detailid=141title=Ko munikasi20Dalam20Negosiasi20Bisnis diakses tanggal 6 Desember 2011.
Universitas Sumatera Utara
mencoba mengungkap bahwa dalam aturan-aturan hukum yang dikembangkan oleh pihak yang berwenang dan berkepentingan, melahirkan apa yang dinamakan
pluralisme hukum, hukum-hukum hybrid hybrid law, maupun hukum-hukum lain yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri self-regulation.
Ketertarikan untuk menulis permasalahan tentang sengketa tanah ini dilatarbelakangi dari berbagai referensi yang saya baca bahwa masalah sengketa
tanah pada saat sekarang ini banyak terjadi. Di Sumatera Utara saja sejak era reformasi sampai 2011 ini sudah mencapai 800 pengaduan yang ditangani DPRD
Sumut
7
Dalam tulisan Jeffrey D. Brewer yang berjudul Penggunaan Tanah Tradisional dan Kebijaksanaan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur, Brewer
menjelaskan bahwa pemerintah dalam kebijaksanaannya terhadap penggunaan tanah di Bima ternyata tidak hanya mengurangi pengawasan desa terhadap tanah
dan juga mendorong penerapan metode-metode usaha tani yang lebih intensif, tetapi juga meningkatkan ketidakadilan dalam pemilikan tanah Dove, 1985:163.
. Secara umum, kasus sengketa tanah tersebut terjadi antara masyarakat dengan pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara PTPN.
Berbicara tentang tanah maka kita akan dihadapkan pada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa permasalahan tanah tidak akan pernah ada
habisnya. Di sini saya akan menguraikan beberapa literatur yang saya baca mengenai permasalahan tanah yang bisa dibilang menjadi sebuah masukan yang
sangat berharga bagi saya untuk mengembangkan tulisan dalam skripsi ini, tentunya untuk mengungkap permasalahan yang menjadi topik dalam skrirpsi ini.
7
http:medan.jurnas.comindex.php?option=com_contenttask=viewid=61085Itemid=53 diakses tanggal 5 Agustus 2011
Universitas Sumatera Utara
Kemudian, Brewer juga menegaskan di awal tulisannya bahwa tindakan pemerintah dalam mencampuri soal tata guna tanah di dua kampung petani di
Bima selama kurun waktu 50 tahun dengan didasari pertimbangan mengenai kepentingan kaum petani dan tidak melakukan perundingan dengan kaum petani
mengakibatkan terjadinya permasalahan Dove, 1985:165. Hal yang menarik dalam tulisan ini adalah Brewer berhasil mengungkap kenyataan yang terjadi
bahwa tidak selamanya campur tangan pemerintah dalam masyarakat selalu bergerak ke arah yang baik atau dengan kata lain berpihak pada masyarakat
setempat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah seringkali hanya menambah masalah baru dikarenakan pemerintah dalam menjalankan
kebijakannya sering tidak memikirkan kebutuhan masyarakat setempat dan malah lebih memikirkan hasil yang akan mereka dapat dalam pelaksanaan kebijakan-
kebijakan yang mereka susun. Bahkan Brewer menyatakan dalam tulisannya tersebut bahwa setelah tercapainya kemerdekaan nasional, motif penguasaan
tanah oleh pemerintah ialah hasratnya untuk melenyapkan pengaruh kaum-kaum tua, yang dipandang sebagai orang berpaham kolot yang menentang aliran
modernisasi Dove, 1985:183. Lebih jauh lagi Brewer juga menyatakan bukti bahwa keadilan sosial dan kemakmuran penduduk di Bima telah merosot sebagai
akibat langsung dari usaha pemerintah mengadakan pengawasan tanah dan land reform yang menurutnya tidak tepat sasaran dalam pelaksanaannya Dove,
1985:184. Sangat menarik sekali jika ditelusuri isi dari tulisan Brewer ini yang juga menerangkan kondisi di mana tidak selamanya peraturan yang dibuat oleh
pemerintah itu bergerak ke proses yang akan mendatangkan kepentingan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat melainkan bisa jadi ada hidden agenda yang telah mereka susun pada saat menerapkan kebijakan-kebijakannya.
Sejalan dengan permasalahan land reform yang dibahas Jeffrey D. Drewer Endang Suhendar juga mempunyai pendapat sebagai berikut: memperlakukan
tanah sebagai barang dagangan berarti memperbolehkan siapa saja yang mempunyai kekuatan ekonomi untuk menguasai tanah, siapa yang mempunyai
uang dapat membelinya kapan saja dan di mana saja
8
. Demikian pula bila memandang tanah sebagai komoditas strategis, berarti kita menyetujui adanya
pasar tanah yang di dalamnya terkandung pengertian tarik menarik kekuatan suplai dan demand. Pola ini pada gilirannya akan menciptakan suatu keadaan di
mana pihak yang secara ekonomis kuat akan dapat menguasai tanah, yang pada akhirnya akan menciptakan terjadinya kepincangan struktur penguasaan tanah
9
8
Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 7
9
Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 7
. Jadi, di sini Endang Suhendar menekankan bahwa kondisi yang terjadi adalah
kebijakan-kebijakan land reform yang mungkin tujuan dalam wacanannya baik tetapi sering pada saat penerapannya terjadi sesuatu yang tidak wajar. Bahkan
masalah seperti ini telah mencuat ke permukaan pada zaman Jeffrey D. Brewer tahun 1985 membahas kasus di Bima, Sumbawa Timur dan sampai saat ini pola-
pola yang sama masih tetap menjadi “langganan” dalam tulisan-tulisan mengenai tanah.
Universitas Sumatera Utara
Pengkajian terhadap masalah tanah juga dilakukan oleh Arief Budiman dalam tulisannya yang berjudul Fungsi Tanah dalam Kapitalisme. Yang menarik
dari kajian ini adalah mengungkap secara jelas bagaimana kapitalisme dapat mengubah keadaan secara total. Arief Budiman menyatakan dalam sistem
kapitalisme semua barang yang ada di sekitarnya akan diusahakan jadi alat produksi yang bisa menghasilkan laba, bahkan manusia dijadikan komoditas,
yaitu buruh, dan manusia juga tidak lagi diukur atas dasar kejujurannya atau nilai-nilai moralnya, tetapi dihitung sebagai faktor produksi yang bisa dijadikan
mesin pencetak laba, demikian juga dengan tanah
10
. Kemudian ditambahkan lagi olehnya bahwa dalam kapitalisme, tanah menjadi komoditas, tanah-tanah yang
tidak produktif dialihkan fungsinya menjadi alat produksi yang bisa menghasilkan keuntungan dan mendatangkan pajak bagi pemerintah
11
10
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 14.
11
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 14.
. Secara tegas Arief Budiman mengatakan seperti yang saya kutip berikut ini:
“Begitulah, dalam kapitalisme tanah beralih ke tangan para pemodal yang akan memanfaatkan tanah untuk kepentingannya.
Tanah bukan lagi alat produksi untuk konsumsi penggaraonya, melainkan alat produksi untuk meraih laba sebesar-besarnya bagi
pemiliknya. Tidak mengherankan kalau tingkat eksploitasinya, baik terhadap tanah itu sendiri maupun terhadap orangburuh
yang mengerjakan tanah tersebut, tinggi. Inilah fungsi tanah dalam kapitalisme: menghasilkan laba sebesar-besarnya.”
Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal.14.
Universitas Sumatera Utara
Arief Budiman juga menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, tanah
dimiliki secara pribadi oleh pemodal yang melakukan eksploitasi tinggi demi meraih keuntungan pribadi, oleh karena itu, tanah senantiasa menjadi rebutan
yang kadang- kadang memakai cara-cara kekerasan
12
. Menurut Yoshihara Kuno, kapitalisme yang menggejala di Asia Tenggara termasuk Indonesia ditandai oleh
sifat campur tangan pemerintah yang kuat dan ketergantungan teknologi pada negara industri maju, campur tangan pemerintah yang kuat itu membuat
mekanisme pasar tidak bisa bekerja dengan baik dan akibatnya pengusaha- pengusaha yang unggul tidak bisa berkembang kalau tidak dekat dengan
pemerintah, sementara ketergantungan teknologi membuat surplus negara ini akhirnya kembali lagi ke negara-negara industri maju
13
Hal yang memprihatinkan dalam pertanahan menurut Arief Budiman adalah yang menggejala di Indopesia bukan merupakan kapitalisme seperti yang
terjadi di Eropa, berdasar pada mekanisme pasar, sebaliknya kapitalisme di Indonesia merupakan kapitalisme semu yang peralihan pemilikan tanah sering
. Pendapat ini sangat transparan mengingat kondisi yang terjadi saat ini dan mungkin besok dan
seterusnya kan tetap berada pada tatanan pola yang sam persis dengan apa yang dikatakan Yoshihara Kuno tersebut dan ini pulalah yang akan saya tunjukkan
dalam skripsi ini bahwa pengusaha perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban memiliki “kedekatan-kedekatan” terhadap pemerintah sehingga
perusahaan ini dapat berkembang pesat sampai saat ini.
12
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 15.
13
Yoshihara Kuno dalam Arief Budiman, 1996:21 Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996.
Universitas Sumatera Utara
tidak berlangsung melalui mekanisme pasar, melainkan melalui proses perampasan yang melibatkan aparat negara dan akibatnya, masalah konflik
tanah di Indonesia menjadi yang paling menonjol di zaman pemerintahan Orde Baru
14
Permasalahan tanah juga dibahas oleh Noer Fauzi. Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas Noer Fauzi menyatakan bahwa karakter dan
penampakan masalah tanah di Indonesia saat ini tidak lagi bisa ditelusuri dari dalam tekad, isi, makna dan pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria UUPA
1960 dan tidak juga bisa dipahami sebagai persoalan planning and management land resources, sebab secara historis UUPA memiliki strategi path of change
yang berbeda dengan pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru yang mengakibatkan
program-program populis, seperti land reform telah
ditinggalkan . Hal ini sangat sejalan dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini
karena peristiwa yang terjadi tahun 1969 di Padang Halaban adalah contoh nyata eksploitasi tingkat tinggi terhadap kepemilikan atas tanah yaitu dengan cara-cara
kekerasan yaitu penggusuran.
15
14
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 22.
15
Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli
1996, hal. 43.
. Dari sini Noer Fauzi ingin menjelaskan bahwa keberadaan Orde Baru menjadi jalan bagi pengusaha bermodal untuk memiliki tanah-tanah yang
sebenarnya jika ditelusuri adalah kepunyaan orang atau masyarakat yang sah, namun hal seperti penggusuran menjadi hal yang biasa saja pada masa Orde Baru.
Universitas Sumatera Utara
Noer Fauzi juga menyatakan bahwa kebijakan awal Orde Baru tidak menjadikan penataan penguasaan tanah land reform sebagai basis, tetapi
memberlakukan kebijakan pengadaan tanah untuk swasta modal besar, dengan intervensi langsung dari pemerintah yang bersifat ekstra-ekonomi yang
melahirkan konsekuensi berkembangnya dua persoalan mendasar dalam pertanahan, yaitu penguasaan tanah yang timpang dan sengketa tanah
16
. Noer Fauzi juga menambahkan bahwa dominasi modal akan tampak pada konfigurasi
kekuasaan ekonomi dan politik pada zaman Orde Baru dan selanjutnya dan secara dinamis, dominasi ini mengkondisikan munculnya sengketa tanah yang demikian
meluas di masa sekarang ini yang merupakan indikasi krisis dalam pembangunan bukan krisis tanah itu sendiri
17
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah melaksanakan hak menguasai
negara; .
Dalam bukunya berjudul Petani dan Penguasa, Noer Fauzi mengungkap ada 4 hal yang membuat land reform gagal yaitu sebagai berikut Fauzi, 1999:54-
55:
2. Tuntutan organisasi massa petani yang ingin mendistribusikan tanah secara
segera, sehingga menimbulkan aksi sepihak; 3.
Unsur-unsur anti-land reform melakukan pelbagai mobilisasi kekuatan tandingan dan siasat mengelak bahkan menggagalkan land reform;
16
Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli
1996, hal. 43.
17
Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli
1996, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
4. Terlibatnya kekerasan antar unsur pro-land reform dengan unsur anti-land
reform yang merupakan pelebaran dari konflik kekerasan pada tingkat elit negara.
Secara umum tulisan-tulisan di atas berbicara tentang kondisi yang menurut saya nyata dalam pertanahan di Indonesia yang memang pada akhirnya
akan menunjukkan suatu permasalahan yang kompleks. Ujung dari semua permasalahan tanah yang ada adalah lahirnya sengketa-sengketa tanah yang
sampai saat ini masih mendominasi di negeri ini
18
Seperti kita ketahui bersama bahwa permasalahan tanah tidak akan pernah ada habisnya karena tanah merupakan sumber penghidupan. Pada saat ini,
masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia, konflik atas . Mengacu pada tulisan-tulisan
di atas, saya dalam skripsi ini ingin mengungkap permasalahan yang telah saya sebutkan di depan yaitu sengketa tanah yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan
PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang jika ditelusuri dari historis terjadinya sengketa tanah tersebut memang sangat dekat dengan permasalahan-permasalahan
tanah yang dikaji oleh Endang Suhendar, Arief Budiman, dan Noer Fauzi. Dari tulisan mereka saya menangkap bahwa permasalahan land reform dan
berpindahnya pemerintahan Orde Lama menuju Orde Baru merupakan fokus dari kajian-kajian yang mereka teliti dan untuk saya pribadi ini merupakan data-data
yang sangat membantu untuk memahami permasalahan tanah yang ada di Indonesia.
18
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional BPN terdapat 13.000 kasus sengketa tanah di Indonesia belum terselesaikan. Periode Januari 2011 hingga Juni 2011, baru sekitar 1.333 dari
14.337 perkara tanah yang terselesaikan, http:nasional.kontan.co.idv2read130804526770188 sebanyak-13.000-kasus-sengketa-tanah-di-indonesia-masih-terkatung-katung- diakses tanggal 1
Juli 2011
Universitas Sumatera Utara
tanah merupakan salah satu konflik yang paling sering terjadi, ini disebabkan karena tanah adalah alat produksi
19
. Kemudian Arief Budiman melanjutkan, siapa yang menguasai tanah, terutama yang terletak di daerah strategis, memiliki
kemungkinan untuk memperoleh laba melimpah, oleh karena itulah, tanah menjadi rebutan berbagai orang dan kelompok
20
19
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 11.
20
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 11.
. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kekerasan apabila kondisinya seperti ini dan terjadilah kemudian hal
yang ekstrem dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepemilikan atas tanah yaitu dengan cara-cara seperti penggusuran. Itu semua bisa terjadi
akibat dari adanya kepentingan yaitu kepentingan orang-orang tertentu dan alat yang digunakan untuk melakukan itu adalah hukum.
Atas dasar inilah saya tertarik untuk menulis sengketa tanah yang terjadi di Perkebunan Padang Halaban ini. Hal menarik yang ingin saya tunjukkan adalah
bagaimana hukum dan kepentingan itu merupakan sesuatu yang berkorelasi. Kemudian apa sebenarnya masalah yang terjadi sehingga masyarakat merasa
dirugikan dan merasa memiliki hak yang utuh atas tanah yang saat ini masih mereka perjuangkan. Bagaimana masyarakat yang bersengketa itu memaknai
hukum dan tentunya untuk memperoleh suatu jawaban yang pasti tentang apa yang dinamakan pluralisme hukum, hukum-hukum hybrid hybrid law,
peraturan-peraturan yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri self- regulation dan living law.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian untuk menunjukkan dan memperkuat pendapat saya ini, saya akan membagi tulisan ini menjadi 4 bab pembahasan. Dua bab II dan III saya
akan membahas kronologis, situasi dan kondisi sengketa tanah antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan menyertakan proses-proses
yang sedang berjalan dan akan berjalan dalam kasus tersebut. Kemudian dua bab lagi IV dan V saya fokuskan untuk memperkuat pendapat saya tentang hukum
dan kepentingan. Ilustrasinya sebagai berikut: pada bab IV saya membahas tentang aneka ragam hukum yang “hidup” dalam kasus sengketa tanah yang
terjadi antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan bukti- bukti yang memang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Selanjutnya pada
bab V saya lebih menekankan lagi kepada pendapat saya tentang hukum dan kepentingan itu sendiri namun, dengan terlebih dahulu memperlihatkan bahwa ada
suatu “korelasi” antara hukum dan kepentingan yang dilakukan oleh para “pelaku” hukum dan kepentingan, situasi dan kondisi yang tercipta dari adanya
hukum dan kepentingan, dan di bagian akhirnya saya akan menunjukkan temuan- temuan di lapangan yang akan menguatkan pendapat saya.
1.2. Rumusan Masalah