Dari kronologis sengketa tanah yang terjadi seperti yang telah diuraikan di atas, maka sebenarnya tanah di Perkebunan Padang Halaban adalah tanah bekas
perkebunan asing yang dibentuk Belanda pada masa kolonial Belanda dan diambil alih oleh masyarakat setempat setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Jadi,
dalam kasus sengketa tanah yang terjadi antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban bukanlah merupakan sengketa tanah ulayat
79
3.3.6. Proses Penyelesaian Sengketa yang Sudah Ditempuh
sehingga dalam penyelesaiannya, permasalahan sengketa tanah ini lebih banyak dilakukan
dengan menempuh jalur hukum formal. Namun, kenyataannya dalam proses hukum yang berlangsung terjadi berbagai macam cara dan tindakan yang menurut
saya mengarah kepada suatu kepentingan perseorangan yang memang mempunyai kendali hukum yang kuat di dalam pemerintahan.
Pada awal saya menulis proposal saya berpikir masalah sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban ini adalah antara masyarakat Padang Halaban
dengan pihak perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban tetapi, ternyata setelah terjun langsung ke lapangan yang saya temukan ternyata yang melakukan
perlawanan atau ingin menuntut hak atas tanah 3000 Ha yang digusur adalah sebuah kelompok yang bernama KTPH-S. Dengan kata lain tidak semua
masyarakat Padang Halaban korban penggusuran ikut terlibat dalam kasus sengketa tanah yang terjadi. Hal ini jelas ada penyebabnya dan di sini saya
79
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa Budi Harsono, 1997.
Universitas Sumatera Utara
tunjukkan apa alasan mereka ingin terlibat dan sebaliknya apa yang menyebabkan ada juga yang tidak ingin bergabung dengan KTPH-S dalam memperjuangkan
tanah mereka kembali. KTPH-S dibentuk dan diketuai oleh Sumardi Syam yang merupakan orang
yang paling ingin merebut tanah yang menurut mereka adalah tanah yang digusur secara paksa sesuai dengan uraian yang telah saya paparkan dalam kronologis
sengketa tanah yang terjadi. Pada saat membentuk KTPH-S Sumardi Syam mengajak semua masyarakat korban penggusuran untuk bergabung ke dalam
KTPH-S namun, tidak semua dari mereka mau bergabung. Dari hasil yang saya dapat di lapangan saya menemukan bahwa ternyata masyarakat korban
penggusuran yang menurut saya pribadi paling berhak untuk menuntut hak atas tanah mereka dibandingkan dengan masyarakat lain yang sama sekali bukan
korban penggusuran, malah banyak yang tidak peduli atau dengan kata lain tidak ikut bergabung ke dalam kelompok KTPH-S. Alasan mereka membiarkan saja
atau lumping it terhadap permasalahan sengketa tanah ini kebanyakan menyatakan bahwa mereka merasa perlawanan yang akan dilakukan akan sia-sia dan hanya
akan menghabiskan biaya saja karena pada akhirnya pihak perkebunan yang akan memenangkan kasus sengketa tersebut.
Pihak yang merasa dirugikan; dalam hal ini masyarakat Padang Halaban korban penggusuran, berdasarkan fakta di lapangan banyak yang melakukan apa
yang dikatakan Nader dan Todd mengelak atau avoidance. Artinya di sini adalah masyarakat memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikannya; dalam hal ini PT. SMART Tbk. Padang Halaban, bahkan sama
Universitas Sumatera Utara
sekali menghentikan hubungan dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang memilih untuk tidak lagi bekerja di
perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dan lebih memilih mencari kerja di tempat yang lain.
Setelah melihat respon masyarakat korban penggusuran yang hanya sebagian saja yang mau bergabung dengan KTPH-S akhirnya, KTPH-S
mengumpulkan orang-orang dari kecamatan lain yang sama sekali bukan merupakan korban penggusuran, hal ini dilakukan KTPH-S untuk memperkuat
massa mereka dalam rangka untuk merebut tanah dari PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Segala bentuk upaya telah dilakukan Sumardi Syam bersama KTPH-S.
Antar lain yaitu dengan beberapa kali menyurati BPN dan juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tuntutan agar kedua pihak yang berwenang dalam
pemerintahan tersebut memerhatikan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat Padang Halaban
80
. Kemudian melihat tidak ada tanggapan, Sumardi Syam mencari cara lain dengan mengerahkan massa KTPH-S untuk melakukan
yang Nader dan Todd sebut paksaan atau coercion. Yang terjadi di lapangan yang berkenaan dengan cara ini adalah pihak KTPH-S melakukan re-klaiming
81
tanah dengan mendirikan barak
82
80
Surat yang dimaksud dimuat pada bagian lampiran dalam skripsi ini.
81
Pendudukan kembali atas tanah di salah satu wilayah perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan mendirikan barak sebagai tempat tinggal dan juga menanami tanah di sela-sela
pohon kelapa sawit dengan tanaman-tanaman palawija.
82
Bangunan-bangunan non-permanen yang didirikan di atas tanah perkebunan PT. SMART. Tbk Padang Halaban.
di salah satu wilayah HGU perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang menurut pengakuan mereka adalah bekas wilayah
Universitas Sumatera Utara
Desa Sidodadi
83
Melihat proses re-klaiming tanah ini tidak juga mendapatkan tanggapan dari pihak yang berwajib yang menurut mereka lambat dalam menyelesaikan
kasus mereka maka, Sumardi Syam menghubungi relasinya yang bernama Maulana Syafi’i yang ternyata memiliki kedekatan dengan salah satu pengacara di
yang digusur tahun 19691970. Hal ini dilakukan KTPH-S sejak 15 Maret 2009 sebagai bentuk protes mereka terhadap ketidakadilan yang mereka
alami. Pada 15 Maret 2009 para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani
Padang Halaban Sekitarnya KTPH-S dari tiga kecamatan masing-masing, Kecamatan Aek Kuo, Kecamatan Marbau dan Kecamatan Na IX-X Kabupaten
Labuhanbatu Utara melakukan aksi pendudukan lahan di Areal perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban Kebun Padang Halaban. Aksi re-klaiming
pendudukan lahan ini dilakukan KPTH-S bertujuan agar pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional BPN dapat segera menyelesaikan persoalan
sengketa tanah antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Pada saat itu yang dilakukan KTPH-S yaitu di hari pertama mereka mendirikan
bangunan untuk tempat tinggal. Pada hari kedua, massa KTPH-S kembali melanjutkan aksinya dengan menanami areal sengketa dengan ratusan batang
pohon pisang dan ratusan batang pohon kelapa. Di hari ketiga pendudukan lahan, KTPH-S melanjutkan aksinya dengan kembali menanami sayur-sayuran dan
palawija di sela-sela tanaman pohon kelapa sawit milik perusahaan atau dengan istilah melakukan perkebunan tumpang sari.
83
Desa Sidodadi adalah salah satu perkampungan yang digusur.
Universitas Sumatera Utara
Medan yang bernama Emmy Sihombing. Maulana Syafi’i sendiri akhirnya diangkat menjadi Sekretaris KTPH-S dan Emmy Sihombing mendampingi
KTPH-S sebagai kuasa hukum untuk persiapan mereka menggugat PT. SMART Tbk. Padang Halaban ke pengadilan. Hal ini dilakukan karena pihak KTPH-S
menemui jalan buntu atas upaya-upaya yang telah mereka tempuh yang akhirnya membuat mereka memilih jalur pengadilan sebagai alternatif untuk bisa
“merebut” kembali tanah yang mereka klaim adalah tanah mereka yang digusur tahun 1969.
Sebelum melakukan aksi re-klaiming sebenarya sejak September 1998 persoalan ini sudah berulang kali disampaikan kepada instansi pemerintahan baik
di daerah hingga ke tingkat pusat. Namun sampai hari ini persoalan sengketa tanah rakyat KTPH-S belum juga diselesaikan oleh pemerintah khususnya BPN.
Padahal surat-surat rekomendasi dari berbagai instansi pemerintahan terkait, baik dari pemerintahan daerah maupun dari pemerintahan di tingkat pusat telah
dikantongi oleh KTPH-S. Akhirnya, KTPH-S menempuh jalur hukum dan menggugat PT. SMART
Tbk. Padang Halaban. Proses peradilan sendiri secara resmi dilayangkan oleh pihak KTPH-S terhadap PT. SMART Tbk. Padang Halaban sejak 18 mei 2009.
KTPH-S telah melakukan banding dua kali terhadap putusan pengadilan yang dianggap sangat tidak masuk akal. Karena pihak pengadilan tinggi Rantauprapat
menolak semua gugatan pihak KTPH-S dalam sidang kasus perkaranya. Sehingga saat ini banding yang diajukan oleh pihak KTPH-S telah sampai kepada
Mahkamah Agung MA dan sampai sekarang belum ada putusan atas banding
Universitas Sumatera Utara
yang telah diajukan tersebut dengan bermodalkan bukti-bukti yang ada ditangan mereka berupa beberapa KTTPT asli dan adanya bukti-bukti fisik berupa
pemakaman masyarakat yang terdapat di hampir seluruh divisi dalam areal perkebunan kelapa sawit milik PT. SMART Tbk. Padang Halaban.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV ANEKA RAGAM HUKUM