nyata bahwa di dalam hukum yang dibuat ternyata terselip adanya kepentingan dari perseorangan maupun kelompok yang kian kuat menyatakan bahwa hukum
itu bukanlah sesuatu yang menciptakan suasana keteraturan sosial melainkan, hukum itu bergerak dan didinamiskan oleh orang-orang tertentu tersebut untuk
pemenuhan kepentingannya. Sejalan dengan uraian ini pada bab ini saya coba untuk membahas hukum
dan kepentingan dengan menunjukkan bahwa hukum dan kepentingan itu mempunyai korelasi, kemudian dilanjutkan dengan mengenali apa yang saya
sebut pelaku hukum dan kepentingan, lalu memberikan uraian mengenai kondisi yang tercipta dari adanya hukum dan kepentingan tersebut. Di akhir, tulisan ini
mencoba mengungkap hukum-hukum yang hidup di tengah-tengah kasus sengketa tanah antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban.
5.1. Suatu Korelasi antara Hukum dan Kepentingan
Meneruskan apa yang saya katakan di awal tepatnya pada bagian latar belakang tulisan ini, bahwa saya ingin menunjukkan kalau hukum dan
kepentingan itu adalah sesuatu yang berkorelasi. Korelasi yang saya maksud di sini adalah sesuatu yang sangat berhubungan erat. Korelasi antara hukum dan
kepentingan yang ingin saya tunjukkan adalah pada saat hukum itu dibuat sebenarnya di dalam hukum itu terselip kepentingan-kepentingan. Kepentingan di
sini yaitu kepentingan orang-orang atau bisa juga kelompok-kelompok tertentu
Universitas Sumatera Utara
yang mempunyai kekuasaan
89
Setidaknya inilah yang saya coba ungkap dari sebuah kasus sengketa tanah di Padang Halaban antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban.
Saya melihat adanya keadaan korelasi hukum dan kepentingan dari kasus ini sehingga mempunyai pendapat seperti yang saya jelaskan di atas. Pada kasus ini
saya mendapatkan temuan yaitu : Pada saat kasus penggusuran terjadi tahun 19691970, itu adalah 9 tahun sesudah Nasionalisasi perkebunan asing di
Indonesia. Nasionalisasi perkebunan asing ini diatur dalam UUPA Undang- undang Pokok Agraria. Namun, pada masa pemerintahan Orde Baru kebijakan
yang termuat dalam UUPA tidak lagi menjadi kepentingan bagi pemerintah Orde Baru pada waktu itu. Menurut saya pribadi; dalam kasus ini sengketa tanah di
Padang Halaban ini sendiri adalah adanya pihak pengusaha yang memiliki kedekatan dengan pemimpin rezim Orde Baru Soeharto. PT. SMART. Tbk.
Padang Halaban yang pada saat itu bernama PT. Maskapai Perkebunan Sumcama . Yang lebih menarik lagi hukum itu dibuat dengan
sudah dirancang agar untuk memenuhi kepentingan si pembuat hukum tersebut. Keadaan demikian inilah yang menekankan bahwa di dalam suatu hukum terdapat
kepentingan. Dari paragraf di atas, yang ingin saya katakan adalah bahwa korelasi
antara hukum dan kepentingan itu tidak hanya sampai di situ saja tetapi, lebih dari itu dapat menjelaskan sesuatu yang lebih jauh lagi tentang jika sebenarnya tatanan
hukum yang dibuat baik itu tertulis hukum negara maupun tidak tertulis hukum lokal; hukum adat tetap terselip sesuatu yang bernama kepentingan.
89
Yang memiliki kekuasaan bisa dari pemerintah bisa juga dari orang yang dituakan di dalam suatu masyarakat tertentu sehingga orang tersbut dihormati dan dipercayai dalam masyarakat
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Padang Halaban memperluas tanah usaha mereka dengan menggusur perkampungan rakyat di Padang Halaban dan sekitarnya tapi tidak dengan nama
perusahaan itu melainkan, dengan nama PT. Plantagen AG. Namun, nama PT. Plantagen AG. sama sekali tidak ada dalam dokumen sejarah perusahaan PT.
SMART Tbk. Padang Halaban
90
Kemudian setelah peralihan dari orde baru ke reformasi mulailah masyarakat Padang Halaban dan sekitarnya kembali menginginkan agar tanah
yang digusur dikembalikan pada mereka. Namun, saya tidak akan membahas . Hal ini menurut saya dilakukan untuk
menghilangkan jejak historis dari perkebunan yang saat ini menjadi salah satu perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan
terbesar di Indonesia, dengan nilai penjualan sebesar Rp 20,3 triliun dan laba bersih sebesar Rp 1,3 triliun pada tahun2010 Laporan Tahunan – Annual Report
PT. SMART 2010. Dari sini dapat diungkap bahwa dalam pembentukkan undang-undang yang mengatur nasionalisasi perkebunan terdapat kepentingan
para pengusaha yang telah melakukan tawar-menawar kepentingan dengan penguasa orde baru pada saat itu. Jika memang tidak ada kepentingan di dalam
undang-undang yang dibuat seharusnya tidak akan pernah terjadi penggusuran secara paksa terhadap tanah yang saat itu sudah menjadi milik rakyat dengan
KTTPT yang diterbitkan oleh KRPT dan dilindungi UU Darurat No. 8 Tahun 1954.
90
Berdasarkan wawancara dengan beberapa karyawan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang sudah bekerja puluhan tahun sebagai kuli angkut buah kelapa sawit menyatakan bahwa PT.
Plantagen AG. itu sebenarnya adalah PT. Sumcama Perkebunan Padang Halaban. Bukti nyata dari hal ini yaitu wilayah yang dikuasai oleh PT. Plantagen AG. dari hasil penggusuran seluas 3000 Ha
sesuai dengan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya saat ini dikuasai dan diusahai oleh PT. SMART tbk. Padang Halaban
Universitas Sumatera Utara
bagaimana prosedur berjalannya proses hukum di pengadilan dari awal pengajuan perkara sampai persidangan digelar di pengadilan dalam rangka mereka untuk
mendapatkan tanah mereka kembali, akan tetapi yang ingin saya tuliskan adalah dalam proses tersebut juga terdapat kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu
yang memang mencari sela dari sengketa tanah yang terjadi. Dalam kenyataan yang terjadi banyak masyarakat korban penggusuran malah tidak mau tahu lagi
dengan tanah mereka yang telah dirampas karena merasa hal itu akan percuma karena dalam kepala mereka “duduk” sebuah anggapan bahwa tidak akan pernah
ada kemenangan hukum yang diperoleh jika lawannya adalah penguasa yang memiliki uang. Inilah potret hukum yang hidup living law dalam masyarakat
Indonesia yang saya lihat secara nyata pada masyarakat Padang Halaban. Dengan keadaan seperti ini banyak orang-orang yang mengambil kesempatan. Mereka
menggalang massa untuk ikut terlibat dan ikut tergabung dalam KTPH-S. Padahal dari mereka bukanlah merupakan korban penggusuran dan secara layak
seharusnya tidak mempunyai hak apa-apa dalam penuntutan hak atas tanah penggusuran. Di sinilah saya melihat bahwa dalam proses penuntutan hak atas
tanah yang dilakukan KTPH-S terdapat juga kepentingan-kepentingan orang- orang tertentu.
Hal ini semakin menguatkan bahwa benar ada suatu korelasi antara hukum dan kepentingan. Anggota-anggota dari KTPH-S yang kebanyakan bukan berasal
dari Kecamatan Aek Kuo adalah bukti bahwa dalam KTPH-S sendiri terdapat kepentingan orang-orang tertentu yang sebenarnya bukan korban penggusuran
tahun 19691970. Maka, dalam hal ini saya menyimpulkan bahwa jika ada
Universitas Sumatera Utara
kepentingan, di situlah hukum itu hidup dan bergerak ke arah kepentingan yang dibuat dan dituju.
5.2. Pelaku-pelaku Hukum dan Kepentingan