Agresi Militer Belanda dan Perlawanan Rakyat Padang Halaban

4. Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa PurworejoAek Ledong 5. Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa KartosentonoBrussel 6. Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa SukadamePanigoran Menurut masyarakat, dengan keberadaan perkampungan ini para Laskar Rakyat Labuhanbatu pada waktu itu mendapat pasokan bahan pangan yang cukup dari hasil-hasil panen tanaman yang ditanam masyarakat di perkebunan. Perkebunan kelapa sawit yang masih ada seluas lebih kurang 5000 Ha sisa dari lahan yang sudah dijadikan perkampungan oleh masyarakat juga dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat. Kemudian berjalanlah perkampungan ini dengan baik dan tidak ada masalah sampai pada tahun 1949 tepat pada saat Agresi Militer Belanda II.

3.3.3. Agresi Militer Belanda dan Perlawanan Rakyat Padang Halaban

Tepat pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan operasi militer ke Jawa dan Sumatera yang lebih dikenal dengan Agresi Militer belanda I. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak 62 62 . Namun, karena singkatnya agresi militer ini wilayah Padang Halaban tidak terkena imbas dari Agresi http:id.wikipedia.orgwikiAgresi_Militer_Belanda_I diakses tanggal 20 November 2011 Universitas Sumatera Utara Belanda I ini yang berakhir pada 5 Agustus 1947 karena campur tangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB pada waktu itu. Memasuki tahun 1949 tepatnya 19 Desember 1948 Belanda melanjutkan agresi militernya yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Masyarakat Padang Halaban tidak tinggal diam dengan agresi yang dilakukan Belanda ini. Memang perlawanan yang dilakukan masyarakat pada waktu itu tidak berperang secara langsung dengan Belanda tetapi, sesaat sebelum Belanda memasuki wilayah Perkebunan Padang Halaban masyarakat sempat membakar sebuah gudang dan sebuah pabrik kelapa sawit 63 Beberapa hari setelah Belanda masuk ternyata Belanda masih memiliki data lengkap karyawan-karyawan mereka semasa masih menguasai dan mengusahai perkebunan dan dengan cepat Belanda dengan kekuatan militernya mengumpulkan orang-orang yang tercantum dalam daftar. Setelah dikumpulkan mulailah Belanda memaksa semuanya untuk bekerja membuat jalan-jalan untuk memudahkan akses di perkebunan, sebagian ada juga yang disuruh bekerja seperti biasa namun, tidak diberi gaji dan Belanda yang mengutip hasilnya. Masyarakat . Hal ini dilakukan masyarakat karena mereka mengetahui maksud dan tujuan Belanda melakukan agresi adalah untuk merampas kembali perkebunan di Padang Halaban. Jadi, masyarakat beranggapan dengan dibakarnya pabrik kelapa sawit maka, hasil panen dari perkebunan tidak akan dapat menghasilkan sesuatu yang bisa dijual oleh Belanda. Walaupun pabrik yang sempat dibakar oleh masyarakat pada waktu itu hanya satu pabrik dari total dua pabrik kelapa sawit yang ada. 63 Dikisahkan oleh Sumardi Syam salah seorang yang ikut membakar gudang dan pabrik pada waktu itu Universitas Sumatera Utara pun kembali lagi merasakan perlakuan kejam seperti pada saat sebelum merdeka. Melihat hal ini, aparat TNI pada waktu itu tidak tinggal diam dengan agresi Belanda ini dan terjadilah perlawanan terhadap militer Belanda pada 13 Juni 1949 dan menyusul pada satu bulan kemudian. Hasil dari perlawanan ini Belanda berhasil diusir dari wilayah Padang Halaban. Hal ini dibuktikan dengan adanya tugu prasasti yang didirikan di sekitar Desa Sidomulyo yang diresmikan pada tanggal 9 Agustus 2008 oleh Bupati Labuhanbatu pada waktu itu H.T. Milwan. Isi dari prasasti tersebut yaitu: Serangan pasukan grilya TNI pada pos pertahanan Belanda OW di Stasiun KA Padang Halaban. Serangan I tgl 13 Juni 1949 jam 04.30 pasukan grilya TNI yang dipimpin Letnan Klowo Sajiman Letnan M.Ghazali berkekuatan pasukan 30 orang beserta Trupen Komandan Kapten A. Manaf Lubis Mantan Pangdam I Bukit Barisan dengan berkekuatan pasukan 5 orang mengadakan penyerangan ke markas Belanda yang ada di stasiun KA Padang Halaban. Pasukan Belanda hanya 3 orang tidak mengadakan perlawanan karena senjata sudah tersimpan di lemari sementara teman-teman mereka balik ke baraknya. Pasukan TNI berhasil menyita 5 pucuk senjata LE-MK-11, 5 pucuk senjata M-95 granat tangan, peti 12 buah. Serangan II : setelah satu bulan lebih serangan I, Letnan Klowo mendapatkan informasi bahwa pasukan Belanda memperkuat pasukannya sebanyak 19 orang maka Letnan Klowo dibantu Letnan Hamid Zen Letnan M.S Guntur berkekuatan 70 orang melakukan penyerangan pada pukul 6 pagi dan pasukan Belanda tidak melakukan perlawanan dan komandannya mati tertembak 2 peluru dari pasukan TNI. Pasukan TNI berhasil merampas 18 pucuk senjata LE-MI-11 dan 1 buah pistol colt 38 dan pukul 06.30 pasukan grilya TNI kembali ke hutan Bandar Selamat. Universitas Sumatera Utara 3.3.4. Partai Komunis Indonesia PKI, Organisasi Massa Pertanian, dan Hubungannya dengan Sengketa Tanah di Perkebunan Padang Halaban Pada tahun 1951 D.N. Aidit 64 Tahun 1956 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanahnya masing-masing seluas 2 dua HaKK di desa-desa sekitar Perkebunan mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia PKI. Seiring dengan ini mulailah bermunculan organisasi massa petani di Indonesia diawali dengan Barisan Tani Indonesia BTI yang secara terselubung dibawah pengawasan PKI. Tujuan PKI dengan mengawasi dan mengendalikan BTI ini adalah untuk mendapatkan simpati masyarakat khususnya di Jawa yang sedang menghadapi permasalahan tanah dengan pengusaha perkebunan. Segera sesudah Kongres Petani Indonesia yang pertama yang diselenggarakan di Jakarta pada akhir November 1945 munculah organisasi petani lainnya seperti Rukun Tani Indonesia RTI dan Sarekat Tani Indonesia Sakti yang ternyata dibawah naungan PKI juga Pelzer, 1991:71. Pergerakan PKI ini tidak hanya dilakukan di Jawa tetapi juga dilakukan sampai ke Sumatera Utara dan di Perkebunan Padang Halaban sendiri adalah merupakan basis dari pergerakan yang dilakukan PKI pada waktu itu. 64 Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan DN Aidit lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923, meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun adalah Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia CC-PKI http:id.wikipedia.orgwikiD._N._Aidit diakses tanggal 20 November 2011 Universitas Sumatera Utara Padang Halaban tersebut, secara berangsur-angsur diberikan KTPPT 65 Pada tanggal 30 September 1965 meletuplah pemberontakan PKI di Jakarta dan pada tahun itu juga terjadilah penumpasan PKI dan komplotannya hampir di semua wilayah Indonesia termasuk Padang Halaban. Yang terjadi pada waktu itu di Padang Halaban, semua masyarakat di semua desa di sekitar Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah yang dikeluarkan oleh KRPT Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh hak yang diakui hukum dan sejak saat itu masyarakat sudah dibebani kewajiban membayar pajakIpeda Iuran Pendapatan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu sesuai dengan ketetapan yang terdapat di dalam UUPA Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh masyarakat, telah disahkan oleh pemerintah dengan dikeluarkan dari areal HGU Hak Guna Usaha Perkebunan Padang Halaban saat itu bernama Perusahaan NV. Sumcama dan secara hukum yang berlaku pada waktu itu sebenarnya tanah tersebut sudah sah milik masyarakat karena telah dikeluarkan dari HGU perusahaan dan masyarakat juga telah mendapatkan KTPPT. Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh masyarakat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 19691970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa merebaknya penggarap liar. Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran yaitu seluas lebih kurang 3000 Ha. 65 Contoh dokumen fotocopy KTPPT dimuat di bagian lampiran skripsi ini. Universitas Sumatera Utara perkebunan Padang Halaban yang tergabung atau diketahui berhubungan dengan PKI dimusnahkan secara kejam dengan dibunuh dan mayatnya dialirkan di beberapa aliran sungai yang melintas di tengah-tengah perkebunan pada waktu itu. Tahun 1960 pemerintah mengambil alih Perkebunan Padang Halaban bernama NV. Sumcama, Gatri, dan Brussel dengan program yang bernama Nasionalisasi perkebunan asing menjadi milik negara yang diatur dalam UUPA No. 11960 dengan menggabungkan ketiga maskape tersebut menjadi satu perusahaan dengan nama besar NV. Sumcama. Namun, Nasionalisasi ini ternyata merupakan akses yang sangat berharga sekali bagi para pemilik modal pada waktu itu. Dengan cepat para pengusaha membaca ini sebagai peluang untuk memiliki perkebunan dan akhirnya NV. Sumcama “diakuisisi” oleh seorang pengusaha yang tidak diketahui namanya pada waktu itu tepat pada tahun 1962 dan inilah awal berdirinya perkebunan kelapa sawit swasta di Padang Halaban dan memulai usahanya dengan nama PT. Maskapai Perkebunan Sumcama Padang Halaban 66 dengan luas lebih kurang 5000 Ha 67 Perubahan tampuk kepemimpinan Indonesia dari Sukarno ke Suharto, menyusul pembubaran Partai Komunis Indonesia di akir tahun 1965, ternyata merubah pula strategi kebijakan nasional dalam berbagai sendi, tanpa terkecuali termasuk kebijakan politik agraria nasional. Perubahan-perubahan dalam politik . 66 Nama perusahaan PT. SMART Tbk. Padang Halaban sebelum penggusuran terjadi Laporan Tahunan – Annual Report 2010 PT. SMART Tbk 67 Data luas awal seluas 5000 Ha ini diperoleh dari wawancara dengan manager PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang menyatakan bahwa benar pada awal berdirinya perusahaan tersebut memiliki lahan seluas lebih kurang 5000 Ha. Universitas Sumatera Utara agraria nasional oleh Fauzi dijabarkan menjadi 5 lima sebagai berikut Fauzi, 1999:124: 1. menjadikan masalah land reform hanya sebagai masalah teknis belaka, kementrian agraria diturunkan hanya di level dirjen, UUPA bukan lagi sebagai induk perundangan agraria menyusul dikeluarkannya undang-undang sektoral PMA UU 11967, Kehutanan UU 51967, Pertambangan 111967, Pengairan 11974. 2. penghapusan partisipasi organisasi massa tani dalam agenda land reform. 3. penerapan floating mass kebijakan massa mengambang yakni memotong hubungan partai politik dengan massa pedesaan. 4. penghilangan dinamikasi desa melalui pengundangan UUPD tahun 1979. 5. spionase dinamika pembangunan desa oleh polisi dan militer. Inilah yang mengakibatkan mulai terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam kebijakan-kebijakan yang disusun oleh pemerintahan Orde Baru yang menyangkut masalah pertanahan di Indonesia. Pada masa Orde Baru Pertumbuhan ekonomi dianggap lebih penting dari pelaksanaan land reform, hal inilah yang menyebabkan pemerintah mencoba melepaskan kaitan antara UUPA dan kebijakan pembangunan 68 . Masoed dalam Suhendar 1996 69 68 Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 3. 69 Suhendar1996, Tanah Sebagai Komoditas. Belum dipublikasikan. menyebutkan alasan mengapa pemerintah semakin menjauhkan diri dari UUPA, yaitu adanya Universitas Sumatera Utara konsensus di antara pendukung Orde Baru tentang perlunya stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang menekankan perombakan struktur sosial ekonomi secara radikal dan mengabaikan modal asing tidak dapat diterapkan dan tentu saja akan menjauhkan para pendukung Orde Baru itu sendiri. Pada periode pemerintahan Orde Baru, kebijakan pertanahan lebih ditekankan pada upaya mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi, seperti disebutkan di atas, kebijakan pertanahan lebih ditujukan kepada upaya memberikan fasilitas-fasilitas kemudahan penyediaan tanah untuk berbagai kepentingan pembangunan 70 Tahun 1968, akibat imbas dari peristiwa G 30 SPKI tahun 1965, masyarakat di desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani tersebut, mulai diintimidasi oleh Perkebunan Padang Halaban bernama PT. Plantagen AG. Pengusaha perkebunan dengan dibantu aparat TNIPolri pada waktu itu dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI yang katanya antek-antek PKI . 71 70 Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 4. 71 Diperoleh dari hasil wawancara dengan pelaku yang terlibat langsung pada saat peristiwa terjadi. . Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang dari para aparat hukum, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya dari masing-masing tempat, dengan terlebih dahulu mengambil dengan paksa bukti kepemilikan tanah dari masyarakat desa termasuklah KTPPT di dalamnya. Pada waktu perampasan KTPPT secara paksa ini ada beberapa dari masyarakat yang sengaja tidak memberikannya dengan cara Universitas Sumatera Utara menyembunyikannya di suatu tempat dan entah kebetulan atau tidak tiap-tiap desa yang digusur memiliki satu KTPPT yang masih asli. Beberapa kali pertemuan masyarakat desa dengan pengusaha Perkebunan Padang Halaban dilakukan, untuk membicarakan persoalan ganti rugi lahan yang akan digusur Perkebunan Padang Halaban bernama PT. Plantagen AG. Namun, setiap kali pertemuan dilaksanakan tidak mendapat kesimpulan yang adil bagi masyarakat maupun bagi pengusaha, karena masyarakat tidak bersedia digusur bila tidak diganti dengan tanah pengganti. Kemudian berdasarkan keterangan masyarakat menyatakan bahwa pada akhirnya, pengusaha dan pemerintah Kabupaten Labuhanbatu saat itu serta aparat TNIPolri pada waktu itu bekerjasama untuk menggusur masyarakat dari atas tanah yang mereka duduki dengan menuduh masyarakat sebagai anggota BTI. Tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai anggota BTI, merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah masyarakat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNIPolri pada waktu itu. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan dan dipenjara di Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak 72 . Tepat di tahun 1969 PT. Plantagen AG 73 72 Empat orang Tokoh Masyarakat yang pada waktu itu sempat ditahan yaitu Samiran, Sumardi Syam, Sijan Syam, dan Ponidi. akhirnya berhasil memperluas areal penguasaan tanahnya 73 PT. Plantagen AG ini belakangan diketahui masyarakat ternyata adalah PT. Maskapai Perkebunan Sumcama Padang Halaban yang hanya berganti nama saja. Hal ini bisa dibenarkan karena wilayah yang saat itu diusahai PT. Plantagen AG adalah wilayah yang sama dengan yang Universitas Sumatera Utara dengan merampas tanah masyarakat di enam lokasi perkampungan yang dibangun sejak tahun 1945 seluas lebih kurang 3000 Ha tersebut dan hingga saat ini habislah sudah desa-desa yang sejak tahun 1945 dibangun oleh masyarakat Perkebunan Padang Halaban, akibat digusurdiambil alih PT. Plantagen AG. Sementara surat dari Maskape Perkebunan Plantagen Aktiengsellschaft bernomor 1ms223269 tanggal 4 Desember 1969 ditanda tangani Drs. I.A.M Schumuther Ketua Maskape Perkebunan PT. Plantagen AG pada saat itu yang ditujukan kepada Tn. E. Hildebrant selaku wakil maskape di Perkebunan Padang Halaban 74 saat ini diusahai oleh PT. SMART Tbk. Padang Halaban yaitu tanah dengan luas 3000 Ha di 6 desa yang digusur. 74 Surat yang dimaksud dimuat pada bagian lampiran skripsi ini dalam bentuk fotocopy. menegaskan tentang tanah seluas 3000 Ha yang telah dibayarkan ganti ruginya kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk diberikan kepada masyarakat desa sebagai penggantian tanah atas tanah mereka di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang diambil alih oleh perusahaan. Padahal menurut pengakuan masyarakat, tidak ada ganti rugi yang pantas atas tanah-tanah yang menurut mereka dirampas secara paksa oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan pada waktu itu hanya memperkecil desa-desa yang mereka gusur menjadi 30 Ha tiap desa bahkan ada yang hanya 15 Ha dari total 3000 Ha luas semua desa pada saat itu. Untuk diketahui desa-desa tersebut yang diperkecil luasnya yang sekarang ini berada dalam wilayah Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara yang masih merupakan bekas dari tanah 3000 Ha tersebut hanya menyisakan 3 Desa yaitu: Desa Panigoran, Desa Sidomulyo, dan Desa Karang Anyar dengan total Universitas Sumatera Utara luas 75 Ha 75 Barulah di tahun 1998 tepat setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia, masyarakat akhirnya kembali untuk memperjuangkan tanah mereka, mereka membentuk sebuah kelompok tani yang bernama Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya KTPH-S. Pertanyaannya, kenapa baru di tahun 1998 masyarakat berani untuk menuntut hak mereka atas tanah yang telah digusur sementara penggusuran terjadi di tahun 1969? Dikarenakan sebelum era reformasi bergulir, masyarakat korban penggusuran tidak berani melakukan tuntutan karena masyarakat merasa trauma dengan kejadian di masa lalu, di samping sistem pemerintahan orde baru yang terkenal gemar “membungkam . Dengan keadaan seperti ini jelas masyarakat merasa dirugikan tetapi, masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa pada waktu itu. 3.3.5. Keadaan Masyarakat Padang Halaban Setelah Penggusuran dan Kembalinya Masyarakat Menuntut Hak Atas Tanah. Keadaan masyarakat setelah penggusuran sangat memprihatinkan karena hanya diberi tanah pengganti yang tidak setimpal. Masyarakat pun berlomba untuk mendapatkan tanah yang disisakan oleh pihak perkebunan. Bagi masyarakat yang kebagian tanah mereka dengan segera mengurus surat tanah dan bagi yang tidak kebagian pada saat itu banyak yang memutuskan untuk keluar daerah. Kemudian berjalanlah desa-desa tersebut dengan tidak ada perlawanan sama sekali yang dilakukan masyarakat untuk menuntut hak mereka atas tanah yang digusur. 75 Desa Sidomulyo 30 Ha, Desa Panigoran 15 Ha, dan Desa Karang Anyar 30 Ha. Universitas Sumatera Utara suara rakyat” dengan senjata ampuhnya melakukan makar atau tindakan subversi. Sehubungan dengan hal ini saya menemukan bahwa pada saat itu di masyarakat Perkebunan Padang Halaban mendengar sebuah rumor yang menyatakan bahwa PT. Plantagen AG pada saat itu pemiliknya adalah Liem Sioe Liong 76 yang sangat dekat sekali dengan Soeharto pada masa Soeharto berkuasa. Mendengar rumor seperti ini masyarakat langsung bungkam 77 Sejak tahun 1998 hingga saat ini masyarakat desa korban penggusuran tahun 19691970 yang bergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya KTPH-S, tidak pernah berputus asa untuk melakukan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Lahanbatu Utara agar hak atas tanah penggantian mereka yang telah dibayar ganti ruginya kepada pemerintah dipenuhi. Saat ini Perkebunan Padang Halaban yang bersengketa dengan masyarakat masih dikuasai dan diusahai oleh PT. SMART Tbk. Kebun Padang Halaban . Walaupun hal ini belum bisa dipastikan kebenarannya tapi setidaknya hal ini bisa dijadikan acuan bahwa pada masa Orde Baru hal-hal yang berbau kepentingan penguasa pada waktu itu sangat kental dan memaksa rakyat harus bertekuk lutut terhadap semua tindak-tanduk penguasa Orde Baru. 78 . 76 Sudono Salim atau Liem Sioe Liong lahir di Tiongkok, 10 September 1915 adalah seorang pengusaha Indonesia. Dia merupakan pendiri Grup Salim. Kepemilikan Grup Salim meliputi Indofood, Indomobil, Indocement, Indosiar, BCA, Indomaret, Indomarco, dan lain-lain. Ia dikenal dekat dengan Soeharto http:id.wikipedia.orgwikiSudono_Salim diakses tanggal 11 Oktober 2011 77 Diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa masyarakat yang merupakan saksi hidup saat penggusuran terjadi. 78 Memulai usahanya dengan nama PT. Maskapai Perkebunan Sumcama Padang Halaban di tahun 1962 dan mengubah nama menjadi PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Corporation atau disingkat menjadi PT. SMART di tahun 1991 Laporan Tahunan PT. SMART 2010. Universitas Sumatera Utara Dari kronologis sengketa tanah yang terjadi seperti yang telah diuraikan di atas, maka sebenarnya tanah di Perkebunan Padang Halaban adalah tanah bekas perkebunan asing yang dibentuk Belanda pada masa kolonial Belanda dan diambil alih oleh masyarakat setempat setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Jadi, dalam kasus sengketa tanah yang terjadi antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban bukanlah merupakan sengketa tanah ulayat 79

3.3.6. Proses Penyelesaian Sengketa yang Sudah Ditempuh