Dalam hal kepemilikan tanah, hukum adat juga merupakan suatu jalur hukum yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa tanah. Tetapi, pada
kasus sengketa tanah antara KTPH-S dan PT. SMART Tbk. Padang Halaban bukan merupakan sengketa tanah ulayat. Temuan saya di lapangan bahwa ternyata
pada kasus sengketa tanah yang terjadi antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban terdapat hukum yang mengatur dan merupakan hukum yang
hidup living law secara nyata dan memang benar-benar berjalan yang secara tidak langsung mengesampingkan hukum-hukum formal yang ada dan dalam
keberadaannya hukum itu membentuk suatu kepentingan dari orang-orang atau kelompok tertentu.
4.2. Aneka Ragam Hukum pada Kasus Sengketa Tanah Padang Halaban
Saya akan menunjukkan beberapa hal yang berkenaan dengan pendapat dan uraian di atas yang terjadi pada kasus sengketa tanah antara KTPH-S dan PT.
SMART Tbk. Padang Halaban yaitu sebagai berikut: 1.
Pada saat penggusuran terjadi terhadap desa-desa di sekitar perkebunan Padang Halaban tahun 1969 pada saat itu UUPA tahun 1960 dan
nasionalisasi ternyata disalahgunakan atau lebih tepatnya tidak dijalankan lagi oleh pemerintah Orde Baru yang menganggap land reform tidak lebih
penting dari pertumbuhan ekonomi yang sedang pemerintah Orde Baru kejar pada waktu itu Suhendar, 1996 yang menunjukkan bahwa
kekuasaan pemerintah Orde Baru pada waktu itu adalah alat atau jalan bagi pengusaha untuk menguasai bekas perkebunan asing di Padang
Universitas Sumatera Utara
Halaban yang secara tegas menunjukkan bahwa ada “kongsi” kepentingan antara pemerintah Orde Baru pada waktu itu dengan pengusaha yang
memang ingin menguasai bekas perkebunan asing di Padang Halaban bernama NV. Sumcama, sehingga penggusuran terhadap desa-desa di
sekitar perkebunan Padang Halaban berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan, yang lebih nyata lagi adalah adanya keterlibatan atau bantuan
dari pihak TNI pada waktu itu dalam memperlancar penggusuran tanah yang dilakukan PT. Plantagen AG. pada waktu itu. Ini membuktikan
bahwa hukum itu adalah kepentingan segilintir orang yang memiliki kekuasaan atau dengan kata lain kenyataan yang terjadi adalah bahwa
kebijakan yang dibuat semasa Orde Baru sudah dirancang sedemikian rupa oleh penguasa Orde Baru untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu
yang memang memiliki relasi yang kuat dengan pemerintah Orde Baru pada saat itu. Hal ini juga dibuktikan dari adanya dokumen
88
88
Dokumen yang dimaksud dimuat di bagian lampiran dari skripsi ini.
dari Ketua Maskape Perkebunan PT. Plantagen AG. pada saat itu Drs. I.A.M
Schumuther yang ditujukan kepada Tn. E. Hildebrant selaku Wakil Maskape Perkebunan PT. Plantagen AG. yang berisikan bahwa tanah
desa-desa yang digusur seluas 3000 Ha oleh PT. Plantagen AG. telah dibayar ganti ruginya kepada pemerintah untuk proses pemindahan lahan
terhadap masyarakat yang tanahnya telah digusur. Namun, pada kenyataannya menurut masyarakat Padang Halaban tanah pengganti yang
telah dijanjikan sejak peristiwa penggusuran terjadi sampai saat ini tidak
Universitas Sumatera Utara
direalisasikan. Namun, fakta yang saya temukan di lapangan sebenarnya ada tanah seluas 75 Ha yang saat ini adalah wilayah Desa Sidomulyo,
Desa Panigoran, dan Desa Karang Anyar yang merupakan tanah yang disisakan sebagai penampungan bagi masyarakat korban penggusuran.
Mungkin karena sangat tidak adil bagi masyarakat tanah seluas 3000 Ha hanya diganti dengan tanah seluas 75 Ha maka, masyarakat mengatakan
tidak ada sama sekali tanah pengganti yang diberikan kepada mereka. Sebenarnya jelas tidak ada keadilan yang didapat masyarakat dari
peristiwa penggusuran ini karena desa-desa yang telah mereka ciptakan dari tahun 1945 harus kandas dengan cara tragis di tahun 1969 di masa
orde baru. 2.
Dalam usaha KTPH-S mengirimkan surat kepada Badan Pertanahan Nasional BPN agar memberikan jalan untuk menyelesaikan
permasalahan tanah yang mereka hadapi dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban ternyata tidak direspon dengan baik, dari sini pihak KTPH-S
menyatakan bahwa BPN seperti lepas tangan karena menunda-nunda untuk menanggapi keluhan dari pihak KTPH-S. Keadaan demikian ini
memperlihatkan kenyataan bahwa BPN melakukan apa yang dikatakan Keebet von Benda-Beckmann shopping forums.
3. Pada saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat diketua Baslin
Sinaga, S.H., M.H. dengan hakim anggota Syahru Rizal, S.H., M.H. dan Nelson Angkat, S.H. didampingi Panitera Piter Manik, S.H. yang
mengadili dan memeriksa perkara pada tanggal 7 Mei 2010 memberikan
Universitas Sumatera Utara
putusan atas perkara perdata antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang pada putusan eksepsi menolak eksepsi tergugat-
tergugat untuk seluruhnya. Putusan tersebut secara tata cara pengadilan mungkin sudah sesuai prosedur namun, hasil dari putusan tersebut yang
sama sekali tidak memberikan keputusan yang adil, akan sangat tepat jika disebut sebagai keputusan yang dibuat untuk kepentingan kelompok
tertentu; yang dalam hal ini adalah pihak PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Hal ini bisa dilihat dari bukti-bukti yang dipaparkan oleh Emmy
Sihombing selaku Kuasa Hukum dari pihak KTPH-S yaitu sebagai berikut: bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat
tersebut dinilai keliru. Menurutnya kekeliruan yang terlihat dalam putusan tersebut adalah dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan bahwa
gugatan penggugat telah kadaluarsa. Sementara, menurut kuasa hukum masyarakat KTPH-S bahwa dalam gugatan pertanahan tidak dikenal istilah
kadaluarsa. Selain itu, menurut Kuasa hukum masyarakat KTPH-S kekeliruan lainnya yang didapati dalam putusan Pengadilan Negeri
Rantauprapat tersebut adalah bahwa alat bukti KTPPT Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah yang dikeluarkan oleh KRPT Kantor
Reorganisasi Pemakaian Tanah yang dilindungi oleh UU Darurat No. 8 Tahun 1954 dan dijadikan masyarakat KTPH-S sebagai alat bukti otentik
dalam gugatan perkara perdata ini menurut majelis hakim dalam pertimbangannya bahwa UU. Darurat tersebut telah dicabut. Padahal UU
Darurat No. 8 Tahun 1954 belum pernah dicabut dan UU Darurat itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri didasari oleh Operasi Sadar serta didukung oleh Surat Kesepakatan bersama oleh lima menteri yang pada dasarnya adalah menguatkan bahwa
KTPPTKRPT yang dilindungi UU Darurat No. 8 Tahun 1954 merupakan alat bukti yang kuat. Kekeliruan lainnya yang didapati dari putusan
Pengadilan Negeri Rantauprapat tersebut adalah bahwa pada pelaksanaan pemeriksaan setempat atau sidang lapangan yang telah dilakukan pada
akhir bulan maret 2010 dengan diikuti dari personel Polres Labuhanbatu dan instansi pemerintahan Labuhanbatu dan Labuhanbatu Utara telah
menemukan bukti-bukti fisik yang kuat di atas areal tanah sengketa. Pada pelaksaan pemeriksaan setempat tersebut ditemui beberapa bukti fisik
yang masih dapat dilihat seperti perkuburan, sumur tua, bekas tapak sekolah, bekas pondasi rumah sakit, bekas pondasi balai desa dan bukti-
bukti fisik lainnya yang seharusnya dengan hal-hal ini pihak Pengadilan Negeri Rantauprapat tidak menolak semua gugatan dari pihak KTPH-S.
4. Re-klaiming tanah yang dilakukan oleh KTPH-S di wilayah perkebunan
milik PT. SMART Tbk. Padang Halaban adalah upaya pihak KTPH-S untuk mencari keadilan yang tidak mereka dapatkan dari pemerintah.
Seharusnya dalam hukum negara apa yang dilakukan KTPH-S ini adalah hal yang melanggar hukum dan wajib mendapat hukuman atas hal
tersebut. Namun, kenyataan yang terjadi re-klaiming tanah yang dilakukan sejak 15 Maret 2009 oleh KTPH-S ini sampai saat ini masih tetap
berlangsung dan tidak ada tindakan dari pemerintah atas re-klaiming tanah yang dilakukan oleh KTPH-S ini.
Universitas Sumatera Utara
Dari poin-poin di atas dapat dijelaskan bahwa dalam setiap hukum yang dibuat terdapat kepentingan-kepentingan bagi orang maupun kelompok tertentu.
Keanekaragaman hukum yang bisa ditunjukkan di sini yaitu bahwa ternyata dalam kasus sengketa tanah yang dalam hukum negara telah diatur tata cara dan segala
mekanisme penyelesaiannya secara formal namun, yang terjadi hukum yang dibuat malah disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan orang-orang atau
kelompok yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan ataupun memiliki relasi yang kuat dengan pemerintah. Bisa kita lihat bagaimana sebuah proses hukum itu
bekerja dan bergerak ke arah kepentingan-kepentingan yang ada. Kemudian dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa gejala pluralisme
hukum dan hybrid law tidak akan pernah lepas dari keberadaan hukum. Karena hukum itu bergerak dan tidak selamanya peraturan yang disusun dalam bentuk
undang-undang dapat berjalan di dalam kondisi masyarakat yang majemuk yang mempunyai kepentingannya masing-masing. Relasi-relasi yang terjalin dalam
suatu hubungan tertentu juga akan memperlihatkan bahwa dalam suatu hukum yang kata para ahli hukum hanya bersumber dari hukum negara paham
sentralisme hukum kenyataannya di dalam masyarakat yang mempunyai mekanisme pengaturan sendiri self-regulation hukum itu bergerak dan sangat
dinamis mengikuti pergerakan masyarakat dalam hal apa pun juga. Jadi, keberadaan hukum-hukum lain yang bukan hukum negara merupakan suatu yang
mutlak tidak dapat dipisahkan dari keberadaan hukum itu sendiri. Hal inilah yang saya lihat pada kasus sengketa tanah antara KTPH-S dan PT. SMART Tbk.
Padang Halaban.
Universitas Sumatera Utara
Bahwa di dalam suatu negara ada tatanan hukum yang mengatur masyarakat yang bernaung dalam suatu negara tersebut itu adalah benar, namun
itu semua tidak mutlak terealisasi dalam kenyataan empirisnya karena keberadaan keanekaragaman hukum akan tetap ada dan hidup dalam proses-proses hukum
yang ada.
Universitas Sumatera Utara
BAB V HUKUM DAN KEPENTINGAN