Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI 1 adalah hak khusus exclusive right baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum berupa pengakuan dan penghargaan atas penemuan atau penciptaan karya intelektual mereka. 2 Pemilik hak mendapatkan hak khusus untuk mengeksploitasi karya atau temuan tersebut, dan orang lain dilarang untuk memanfaatkannya tanpa izin. 3 HaKI intellectual property rights, yang berkaitan dengan hak kepemilikan atas karya-karya intelektual, pada dasarnya adalah hak-hak yang tidak berwujud intangible rights. 4 Dalam sistem hukum, HaKI merupakan bagian dari hak kekayaan atau hak kepemilikan property yang memiliki nilai ekonomi atau 1 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual 2003, Jakarta: 2003, hal. 3. Hak atas Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Right IPR yakni hak yang timbul bagi hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. HKI secara garis besar terbagi dalam 2 dua bagian: 1 Hak Kekayaan Industri Industrial Property Rights, yang mencakup: Paten Patent; Desain Industri Industrial Design; Merek Trademark; Penanggulangan Praktik Persaingan Curang Repression of Unfair Competition; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Layout Design of Integrated Circuit; dan Rahasia Dagang Trade Secret. 2 Hak Cipta Copyright yang mencakup pula Related Rights atau yang juga disebut Neighboring Rights. 2 Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Cet. 1, Jakarta: Chandra Pratama, 1999, hal. 27. 3 Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan, Cet. 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 19. 4 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, Cet. 3, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982, hal. 139. Universitas Sumatera Utara “economic rights”, karena adanya hak eksklusif untuk mengeksploitasi tersebut. 5 Sebagai asset yang bernilai ekonomi, maka HaKI memberikan keuntungan ekonomis bagi pemilik hak atau pemegang hak right ownerright holder. Namun sebagaimana hak milik atau kekayaan lainnya, maka hak tersebut juga rawan terhadap pencurian serta penggunaan oleh orang lain secara tidak sah, sehingga menimbulkan dampak kerugian ekonomis di samping kerugian moral yang luas, baik ada pemilik hak maupun bagi perekonomian nasional. Dalam beberapa tahun terakhir ini, upaya-upaya untuk melaksanakan perlindungan HaKI yang memadai adequate intellectual property right protection dirasakan semakin meningkat, baik di kalangan industri, masyarakat luas, maupun pemerintah. Hal ini terjadi, seiring dengan semakin berkembangnya peranan HaKI dalam beberapa bidang kegiatan ekonomi, dan semakin meningkatnya pelanggaran HaKI. Peningkatan perlindungan HaKI dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting dalam kerangka perdagangan internasional. Pentingnya peningkatan perlindungan HaKI ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 6 1. Peranan dari produk-produk yang berbasiskan HaKI dalam perdagangan terutama dalam perdagangan internasional meningkat secara tajam; 2. Kemajuan komunikasi dan hubungan internasional telah menciptakan suatu Pasar Global; 5 Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 43. Harold F. Lusk memberikan batasan tentang hak milik atau ownership sebagai, “the exclusive right to possess, enjoy and dispose or rights having economic value”. Bahwa hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang memiliki nilai ekonomi. 6 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Peranan Bea dan Cukai Dalam Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual,” Makalah disampaikan pada Training Course on Intellectual Property Rights, Jakarta, 24-28 Mei 2004, hal. 2-3. Universitas Sumatera Utara 3. Berkembangnya teknologi yang relatif murah dan tidak terlalu yang relatif murah dan tidak terlalu rumit, untuk melakukan reproduksi jenis-jenis barang tertentu; 4. Meningkatnya penelitian dan pengembangan dalam menciptakan produk- produk baru; 5. Beberapa aspek teknologi yang baru belum dapat masuk secara tepat dalam salah satu jenis perlindungan HaKI. Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization WTO dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights TRIPs. 7 Persetujuan TRIPs ini memuat norma-norma dan standar perlindungan HaKI secara ketat yang bertujuan untuk: 8 1. Meningkatkan perlindungan terhadap HaKI dari produk-produk yang diperdagangkan; 2. Menjamin prosedur pelaksanaan HaKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan; 3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HaKI; 4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas HaKI. 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 November 1994 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. Lihat ketentuan pasal 65 TRIPs Agreement 1994. Ditandatangani pada tanggal 15 April 1994, dan berlaku Januari 1995. Lihat Pasal 11 ayat 2 Persetujuan WTO, persetujuan TRIPs mengikat seluruh anggota Persetujuan WTO. 8 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sebelum berlakunya perjanjian TRIPs, institusi kepabeanan customs di berbagai negara umumnya tidak banyak terlibat dalam perlindungan HaKI. Dengan meningkatnya perdagangan internasional dan semakin meluasnya pelanggaran HaKI yang melintasi batas-batas negara, maka disadari pentingnya peran yang dapat dilakukan oleh pihak pabean dalam melaksanakan perlindungan HaKI. Oleh karena itu, dalam TRIPs diatur secara khusus ketentuan tentang ”border measure control border enforcement” yaitu pengawasan oleh pihak pabean Customs Administration terhadap barang hasil pelanggaran HaKI. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di tiap negara, aparat border cross control dalam hal ini institusi kepabeanan di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus ikut terlibat dalam pelaksanaan perlindungan HaKI. 9 Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai DJBC diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan 9 Lihat Article 51 the TRIPs Agreement, Section 4 mengenai Special Requirement Related to Border Measures yang menyatakan bahwa para anggota harus menyesuaikan dan mengadopsi ketentuan-ketentuan dan prosedur untuk memungkinkan pemilik HaKI, yang memiliki dasar yang kuat untuk menduga adanya impor barang-barang yang merupakan hasil pelanggaran merek atau hak cipta yang dimilikinya, untuk meminta secara tertulis kepada pejabat yang berwewenang baik pemerintah atau badan peradilan untuk melakukan penangguhan barang-barang impor tersebut dari pelabuhan oleh pejabat Bea Cukai. Universitas Sumatera Utara atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 10 Bab X: ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean Border Cross Control. DJBC melaksanakan fungsi pengendalian tersebut dengan cara menangguhkan pengeluaran barang imporekspor dari kawasan pabean untuk memberikan kesempatan kepada yang berhak atas HaKI untuk mengambil tindakan hukum. Penangguhan pengeluaran barang dilakukan dengan dua cara: Pertama, penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor berdasarkan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan pemilik pemegang HaKI dengan mengajukan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI disertai penempatan jaminan untuk dipertaruhkan passive action procedure. 11 Kedua, penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor karena jabatan secara ex 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612, berlaku tanggal 1 April 1996. Dengan berlakunya undang- undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi: 1 Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 2 Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 3 Tarief Ordonnantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah. Dan sekarang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun1995 tentang Kepabeanan. 11 Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 54. Universitas Sumatera Utara officio berdasarkan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI active action procedure. 12 Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai pendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud, dapat menimbulkan masalah dilematis terutama bagi pihak DJBC dan Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga dalam memutus perkara impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI tersebut. Upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap HaKI ini perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius, karena pelanggaran HaKI, pembajakan dan pemalsuan akan mengakibatkan berbagai macam kerugian, diantaranya: 13 1. Kerugian Konsumen Konsumen harus membayar mahal untuk barang palsu, berkualitas rendah, mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa; 2. Kerugian Masyarakat Usaha, Pemegang Hak, Pencipta dan Penemu Pelanggaran HaKI mengakibatkan turunnya nilai penjualan, kerugian financial, kerugian moral, rusaknya reputasi, dan hilangnya insentif untuk melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi; 3. Kerugian Pemerintah, Negara dan Perekonomian 12 Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 62. 13 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, loc.cit. Universitas Sumatera Utara Kerugian lain ialah terganggunya perekonomian nasional, hilangnya pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, terhambatnya akses pasar untuk komoditi ekspor, keengganan investor asing untuk investasi, ancaman terhadap perdagangan internasional. Atas dasar pemikiran diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji tulisan dalam bentuk tesis dengan judul: ”Perlindungan HaKI dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan”

B. Perumusan Masalah