The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hak

2. The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hak

Atas Kekayaan Intelektual Oleh Institusi Kepabeanan Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang HaKI Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights disingkat TRIPs, yang merupakan standar Internasional yang harus dipakai berkenaan dengan HaKI. Keterkaitan TRIPs yang erat dengan perdagangan internasional, maka TRIPs memuat dan menekankan dalam derajat yang tinggi mekanisme penegakan hukum yang dikaitkan dengan kemungkinan pembalasan silang atau cross-retaliation. 53 Apabila satu negara tidak melindungi secara efektif HaKI milik warga negara yang lain, baik dalam pengaturan maupun penegakan hukumnya, akan memberi hak kepada negara yang merasa dirugikan untuk mengambil tindakan balasan dengan menghambat impor komoditi apapun dari negara yang di tuduh, peniadaan GSP, pengenaan tarif yang lebih tinggi, dan lain-lain. Dalam tahun-tahun belakangan ini, isu mengenai perlindungan HaKI telah disatukan dengan perdagangan HaKI. Bahkan untuk beberapa negara hal tersebut telah mengubah HaKI menjadi konfrontasi perdagangan. Persetujuan TRIPs ini lahir karena adanya keinginan untuk mengurangi distorsi dan rintangan-rintangan dalam perdagangan internasional, dan pentingnya memajukan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HaKI, serta untuk menjamin bahwa langkah-langkah dan prosedur untuk melaksanakan 53 Priapantja, op. cit., hal.2. Universitas Sumatera Utara perlindungan terhadap HaKI tidak mengalami hambatan bagi perdagangan yang sah. 54 Amerika Serikat sebagai negara maju menghendaki negara-negara berkembang untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI, dan menjadikan kondisi demikian sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi. 55 Di bidang TRIPs, Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya, Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI karena banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap HaKI sebagaimana dikehendaki oleh negara maju sebagai imbalan kesediaan negara maju memberikan akses ke pasar mereka. 56 Diterimanya the TRIPs Agreement telah menjadikan peranan institusi kepabeanan dalam perlindungan HaKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang diatur dalam Part III TRIPs: ‘Enforcement of Intellectual Property Rights’, mencakup ‘Special Requirement Related to Border Measures’ ketentuan yang mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan aparat kepabeanan dalam pengawasan terhadap impor-ekspor barang yang melanggar HaKI dalam section 4, diantaranya memuat mengenai ‘Suspension of Release by Customs Authorities’ penangguhan pengeluaran barang dari kawasan pabean, yang merupakan ketentuan standar yang harus diformulasikan dan diatur dalam ketentuan nasional masing-masing negara 54 Ibid., hal. 3. 55 Ibid., hal. 4. 56 Ibid. Universitas Sumatera Utara penandatanganan WTO Agreements TRIPs. Dengan adanyaketentuan tersebut, maka di tiap-tiap negara, institusi kepabeanan harus ikut telibat dalam pelaksanaan perlindungan HaKI. Perlindungan HaKI merupakan unsur terpenting bagi perkembangan teknologi baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi apabila ada jaminan perlindungan HaKI yang baik. Di tingkat internasional, Paris Convention dan Berne Convention sebelumnya telah mengatur mengenai standar perlindungan minimum yang harus diberikan terhadap HaKI. Selanjutnya, TRIPs yang diterima sebagai bagian dari Persetujuan Pembentukan WTO Agreement Establishing The World Trade Organization pada akhir Putaran Uruguay di Marakesh tahun 1994, memperluas scope perlindungan tersebut, dengan menetapkan standar perlindungan, aturan-aturan mengenai penegakan hukumnya enforcement, dan aturan-aturan mengenai penyelesaian perselisihan antar negara anggota WTO. Sejumlah kewajiban yang diatur dalam TRIPs menghendaki agar negara-negara mengatur dalam perundang-undangan nasional masing-masing prosedur dan tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga penegakan hukum dapat terlaksana secara efektif. TRIPs diakui sebagai suatu dokumen yang sangat berpengaruh dalam terjadinya reformasi peraturan perundang- undangan di bidang HaKI bagi negara-negara anggota WTO. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan ratifikasi “Agreement Establising the World Trade Universitas Sumatera Utara Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang opportunity, tetapi juga ancaman threat. Dengan berlakunya TRIPs, negara-negara anggota WTO, termasuk sejumlah negara industri maju, harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian undang-undang nasional masing-masing di bidang HaKI. Demikian juga di Indonesia, pada Tahun 1997 beberapa perundangan di bidang HaKI mengalami perubahan agar sesuai dengan ketentuan standar yang diatur dalam TRIPs. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan sebagai perubahan atas UU No.10 tahun 1995 yang lahir pada masa itu, juga mengintrodusir dan mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam WTO Agreement, termasuk pengaturan mengenai prosedur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran HaKI, dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64. Part III Persetujuan TRIPs, mengatur mengenai penegakan hukum di Bidang HaKI Enforcement of IPR, dimana didalamnya diatur mengenai standar prosedur berkaitan dengan impor dan ekspor barang yang diduga melanggar HaKI Part III Section 4: Special Requirement Related to Border Measures. Part III Section 4 ini mengatur mengenai prosedur penangguhan pengeluaran barang oleh kepabeanan. Sesuai dengan kewajiban ‘compliance’ dengan TRIPs, maka ketentuan standar tersebut telah dimuat dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Universitas Sumatera Utara Perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yaitu dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64. Dengan demikian, perlindungan HaKI yang dilaksanakan oleh institusi kepabeanan di Indonesia Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah mengacu pada standar minimum yang ditentukan dalam TRIPs, yang berlaku secara Internasional. Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ditegaskan pada pasal 54 sampai dengan pasal 64 bahwa pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara dan menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia. Ketentuan tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan merupakan implementasi dari Perjanjian Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Including Trade in Counterfeit Goods TRIPs Section 4 part 3, Article 51sampai dengan Article 60 tentang Boundary Measures Suspension of Release by Customs Authorities yaitu tindakan untuk menyita barang yang melanggar HaKI yang masuk ke suatu negara. Implementasi ini adalah suatu kemajuuan dimana Indonesia telah mengadopsi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian multilateral TRIPs-WTO. Namun dalam pelaksanaanya, hingga saat ini, Peraturan Pemerintah Universitas Sumatera Utara tentang HaKI dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagai peraturan pelaksana belum diberlakukan belum selesai dibuat. Kondisi ini tentu tidak optimal dalam mendukung perlindungan HaKI. B. Ketentuan dan Prosedur Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Dalam kerangka perlindungan HAKI, tindakan atau kewenangan yang dapat dilaksanakan oleh DJBC adalah tindakan’’penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean’ atau yang dalam TRIPs disebut sebagai ‘suspension of release by customs’. 57 Tindakan “border measurement” oleh DJBC tersebut dianggap cukup efektif untuk mencegah adanya pelanggaran HaKI. Tindakan penangguhan yang dilaksanakan pada ‘exit’ atau ‘entry point’ di kawasan Pabean ini dapat mencegah barang yang diduga melanggar HaKI, sebelum barang tersebut masuk ke dalam jalur distrbusi komersial di daerah bebas, dimana pencegahannya akan lebih rumit dan memakan biaya yang besar. 57 Lihat Article 51 the TRIPs Agreement: “Member shall, in conformity with the provision set out below adopt procedures to anable a right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trade mark or pirated copyrhigt goods may take place, to lodge an application in writing with competent authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the release into free circulation of such goods. Member may anable such an application to be made inrespect of goods wich involveother infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met. Member may also provide for corresponding procedures concerningthe suspension by the customs authorities of the release of infringing goods destined for exportation from their territories.” Universitas Sumatera Utara Perlu dicatat bahwa walaupun pejabat DJBC adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS dalam kasus pelanggaran kepabeanan, tetapi PPNS Bea dan Cukai di bidang HaKI tidak mempunyai kewenangan ‘ex oficio’ karena jabatan, penanganan kasusnya seterusnya diserahkan kepada Kepolisian Republik Indonesia Polri atau PPNS Direktorat Jenderal HaKI, untuk proses hukum lebih lanjut. Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, tindakan penangguhan pengeluaran barang yang diduga melanggar HaKI oleh Bea dan Cukai dapat dilaksanakan berdasarkan dua alasan, yaitu: 1. Berdasarkan Perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat; 58 2. Dilakukan karena jabatan ex oficio, apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta. 59

1. Penangguhan Pengeluaran Berdasarkan Perintah Tertulis dari