Penangguhan Pengeluaran Barang Karena Jabatan Ex-Officio Action

2. Penangguhan Pengeluaran Barang Karena Jabatan Ex-Officio Action

Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat juga dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai, apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta. 74 Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak menguraikan pengertian “tindakan penangguhan karena jabatan” ini serta ruang lingkupnya. Pada Penjelasan Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan hanya dinyatakan bahwa tindakan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup, dan tujuannya adalah untuk mencegah peredaran barang-barang yang melanggar merek dan hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian pada umumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam hal diambil tindakan penangguhan karena jabatan, maka berlaku sepenuhnya tata cara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Merek dan Undang-Undang Hak Cipta. Dalam Article 58 TRIPs Agreement secara sekilas dinyatakan bahwa “ex-officio action” ini merupakan tindakan 74 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 62. Universitas Sumatera Utara penanggugan pengeluaran barang yang dilaksanakan atas inisiatif dari instansi yang berkompeten dalam hal ini Bea dan Cukai. 75 Dalam action procedure, pejabat DJBC, karena jabatannya ex-officio wajib mengambil inisiatif untuk menangguhkan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean jika bukti yang cukup menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari pelanggaran atas HaKI. Untuk selanjutnya pihak Bea dan Cukai wajib memberitahukan penangguhan tadi kepada pihak yang berkepentingan, yaitu pemilik atau pemegang hak dan pemilik barang atau kuasanya. Bilamana kemudian benar- benar terbukti adanya pelanggaran atas HaKI, perkaranya akan diselesaikan berdasarkan perundang-undangan bersangkutan, yaitu Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Merek. Dalam praktiknya, hal ini menjadi suatu kejanggalan bagi para aparat lapangan, karena ternyata setelah barang tersebut ditegah, kemudian diberitahukan kepada si pemilik hak, maka yang bersangkutan bersikap tidak acuh dan tidak menghiraukan atas pelanggaran ini. Sehingga sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Bab X Pasal 57 ayat 1 dan 2 penangguhan harus diakhiri. 75 Lihat Article 58 the TRIPs Agreement: “Where members require competent authorities to act upon their own initiative and to suspend the release of goods in respect of which they have acquired prima facie evidence that an intellectual property right is being infringed: a The competent authorities may at any time seek from the right holder any information that may assist them to exercise these powers; b The importer and the right holder shall be promptly notified of the suspension. Where the importer has lodged an appeal against the suspension with the competen; authorities, the suspension shall be subject to the conditions, mutandis, set out at Article 55. c Members shall only exemp both public authorities and afficials from liability to appropriate remedial measures where actions are taken or intended in good faith.” Universitas Sumatera Utara Pasal tersebut berbunyi pada ayat 1: “Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama sepuluh hari kerja”. Dalam ayat 2 dijelaskan bahwa “Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1, berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sepuluh hari kerja dengan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat”. Karena ketidakpedulian si pemilik hak inilah, maka penangguhan itu pun dihentikan dan barang dapat dikeluarkan. Atas dasar hal tersebut, kewenangan DJBC dari segi active action procedures perlu kiranya diberikan landasan yang kuat. Walaupun si pemegang hak tidak merasa keberatan dengan pelanggaran atas haknya, maka proses hukum harus tetap dijalankan atas dasar pelanggarannya terhadap HaKI tersebut, bukan atas pengaduan dari si pemegang. Bertolak dari hal itu perlu kiranya ditempuh beberapa upaya penambahan ketentuan dalam peraturan dimaksud, berupa dimungkinkannya diadakan kerjasama antara pemegang hak dengan pihak DJBC, bahwa dalam hal active action procedures DJBC dapat melakukan penegahan terhadap barang ekspor dan impor sebagai hasil pelanggaran HaKI. Atau cara lainnya dimungkinkannya atas tugas Negara, DJBC berhak menegah sementara waktu untuk memeriksa barang tersebut dengan tanpa jaminan sampai terbukti yang bersangkutan betul-betul melanggar HaKI. 76 76 Viktor, loc.it., lihat penanganan HaKI oleh Bea Cukai Amerika Serikat dan Jepang. Lihat juga Suherman, loc.it. Universitas Sumatera Utara Perlu juga dipertimbangkan untuk memberikan kewenangan kepada Pejabat Bea dan Cukai ex-officio untuk menyita dan memusnahkan barang yang melanggar HaKI atau memerintahkan si importer untuk mengirim kembali barang tersebut. Dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, diatur mengenai pengecualian tersebut di atas, dimana ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran HaKI, tidak diberlakukan terhadap jenis- jenis barang sebagai berikut: barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. Syaratnya ialah bahwa barang tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. Dalam rangka meningkatkan kelancaran arus barang, maka terhadap barang ekspor prinsipnya dilakukan penelitian dokumen, sedangkan pemeriksaan fisik hanya dilaksanakan dalam hal-hal tertentu. Terhadap barang impor, pemeriksaan fisik hanya dilaksanakan secara selektif mendasarkan diri pada risk management. Pemeriksaan fisik atas barang impor hanya dilakukan terhadap importasi barang yang dikategorikan memiliki risiko yang tinggi, misalnya bea masuknya yang tinggi, berbahaya bagi Negara dan masyarakat, atau pengimporan oleh importer yang mempunyai catatan yang kurang baik. Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah seperti di atas, maka relatif sempit peluang Bea dan Cukai untuk melaksanakan active action procedures. Dengan relatif sempitnya peluang untuk bertindak aktif, maka pihak Bea dan Cukai meningkatkan upaya-upaya lain dalam rangka mengefektifkan tugas penegndalian Universitas Sumatera Utara atas empor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI. Misalnya mengadakan pendidikan khusus di bidang HaKI bagi para aparat dan pejabat, dan membangun database system yang mampu mengakses ke database negara-negara maju dan WTO sehingga mudah memperoleh informasi tentang data-data pemilikan atau pelanggaran di bidang HaKI.

3. Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan