Sah nya Perkawinan Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan

40 kekeluargaan atau keturunan, seperti larangan menikah dengan ibu, nenek, dan sebagainya. 51 3. Sistem Eksogami Dalam sistem pernikahan eksogami, masyarakat diharuskan menikah dengan orang diluar sukunya atau orang diluar clan nya. Sistem seperti ini dapat dijumpai di daerah Tapanuli, Minangkabau, dan beberapa daerah lainnya.

2. Sah nya Perkawinan

a. Menurut Hukum Islam

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya dituliskan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, diterbitkan agar ada unifikasi hukum dan ada kepastian hukum dibidang hukum perkawinan. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 orientasi hukum dalam rangka pembaharuan dan pembangunan Hukum Nasional, adalah tidak mengenal pergolongan rakyat dan diterapkannya unifikasi hukum bagi warganegara Indonesia, adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan masuknya hukum agama dalam konsep unifikasi hukum, sehingga terdapat unifikasi akan tetapi juga mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum sahnya perkawinan, artinya hukum agama, khususnya hukum Islam mendapatkan legitimasi sebagai hukum positif di Indonesia. Salah satu aspek hukum perkawinan yang penting untuk dicermati adalah sahnya perkawinan dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang melakukan 51 Soerjono Soekanto, Inti Sari Hukum Keluarga, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 132. Universitas Sumatera Utara 41 praktek “ nikah sirri ”, pada hal suatu perkawinan yang sah akan menempatkan kedudukan pria dan wanita dalam aspek sosialnya pada posisi terhormat, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat. 52 Kepastian hukum merupakan indikator bahwa sesuatu Undang-Undang termasuk dalam kategori sebagai hukum yang baik. Dalam perspektif Islam pernikahan atau perkawinan itu dipandang bukan hanya sebagai suatu sakramen saja, tetapi merupakan kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak. 53 Dengan demikian berlaku pula asas-asas perjanjian dan ruang lingkupnya berada dalam hukum keluarga. Selain itu dalam hubungan keluarga terdapat pula makna pembinaan dan pengaturan sebagai tatanan hubungan antar manusia yang tertib dan teratur, 54 sehingga pemahaman mengenai perkawinan dan keluarga akan dapat dipergunakan sebagai sarana bagi manusia untuk menunaikan kehidupannya di dunia. Dengan demikian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dibuat agar masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dalam hal perkawinan ada kepastian dalam tingkah lakunya, sehingga terdapat ketertiban masyarakat dan dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat dalam lingkup hukum keluarga dan perkawinan, bukan justru menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan perkawinan itu sebagai berikut : 52 Wahidin, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10, No. 1, Januari 2010. 53 Sayyed Hassein Nasr, Agama Sejarah dan Peradaban, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hal. 80. 54 H.Abdul Manan, Op.Cit, hal. 26. Universitas Sumatera Utara 42 1. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai Pasal 6 ayat 1 2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun Pasal 6 ayat 2 3. Batas umur minimla 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak Pasal 7 ayat 1 dan 2 4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkian untuk berpoligami Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4. 5. Bagi seorang janda untuk dapat kawin lagi harus setelah lewat masa iddah Pasal 11 Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang dijabarkan lebih rinci dalam peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 proses pelaksanaan petkawinan itu juga berlangsung secara bertahap : 1. Pemberitahuan kehendak akan kawin kepada pegawai Pencatat Perkawinan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan itu dilakukan oleh kedua calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya, bisa secara tertulis ataupun lisan, yang memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. 2. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan selama 10 hari kerja. 3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya, dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi. 4. Pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurt agama Islam, dilakukan oleh Kantor Urusan Agama KUA, dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinnan diatur syarat-syarat sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi : Universitas Sumatera Utara 43 a Pasal 2 ayat 1 : Perkawinan harus merupakan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. b Pasal 2 ayat 2 : Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. M.Yahya Harahap menarik kesimpulan dari pasal 2 ayat 1 bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu sah atau tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 55 Selanjutnya menurut M. Yahya Harahap, pencatatan perkawinan hanyalah tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 56 Selain itu Pasal 8 UU perkawinan melarang perkawinan antara dua orang yang : 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. 4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua sususan, anak susuan, saudara susuan. 55 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan: 1975, hal. 13. 56 Ibid, hal.15. Universitas Sumatera Utara 44 5. Mempunyai hubungna yang yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Sedangkan syarat-syarat ekstern dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari : 57 1. Laporan 2. Pengumuman 3. Pencegahan 4. Pelangsungan Suatu perkawinan itu sah menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 adalah sejak perkawinan itu dicatatkan. Dalam perkawinan adat Batak Toba yang beragama Islam itu sendiri, rukun perkawinan, yaitu calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul serta syarat-syaratnya merupakan hal yang sangat diperhatikan. Suatu perkawinan tidak akan diakui oleh adat jika syarat dan rukunnya belum lengkap. Disamping terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, perkawinan adat juga sama halnya dengan perkawinan pada umumnya yang berlaku di Indonesia, masyarakat Batak juga melakukan pencatatan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah PPN yang diadiri oleh 2 dua orang saksi, supaya diakui eksistensi dan legalitasnya oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, apabila rukun dan syarat dapat terpenuhi, maka dengan sendirinya perkawinan 57 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University press, 1998, hal. 39. Universitas Sumatera Utara 45 tersebut dianggap sah. Ssebaliknya jika rukun dan syarat tersebut belum terpenuhi dan belum lengkap maka perkawina tersebut dianggap tidak sah atau batal.

b. Menurut hukum adat batak toba

Perkawinan menurut masyarakat Batak khususnya orang Batak Toba adalah hal yang wajib untuk dilaksanakan, dengan menjalankan sejumlah ritual perkawinan adat Batak. 58 Meski memiliki keunikan dan ragam keistimewaan yang terkandung dalam acara tersebut. Dalam kebudayaan Batak Toba proses perkawinan adatnya menganut hukum eksogami perkawinan diluar kelompok suku tertentu. Kenyataannya memampangkan jelas bahwa lingkup masyarakat Batak Toba, orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri namariboto. Pada hakikatnya, perkawinan bersifat patrilineal tujuannya ialah melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Menurut peraturan hukum keluarga ia tetap masuk ke dalam kelompok kerabat seketurunan darah. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan, hanya dapat diwarisi oleh garis lelaki. Di batak toba tidak ada pengecualian dalam peraturan ini. Perkawinan merupakan “harga mempelai perempuan”. Perempuan dilepaskan dari kelompoknya tidak sekedar dari lingkungan agnata kecil tempat ia dilahirkan dengan pembayaran sejumlah uang yang disetujui bersama, atau dengan penyerahan benda berharga. Seyogyanya perkawinan ideal dalam masyarakat Batak Toba merangkul 2 jenis, yakni : berdasarkan Rongkap Ni Tondi jodoh dari kedua 58 Anicetus B. Sinaga, Permata Perkawinan dalam Adat Batak Toba, dalam Jurnal SAWI edisi No. 3, April 1990 Jakarta: KKI-KWI, 1976, Hal. 7-8. Universitas Sumatera Utara 46 mempelai dan mengandaikan kedua mempelai memiliki Rongkap Ni Gabe kebahagiaan, kesejahteraan, 59 dengan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak. Dengan cara ini, dia dikeluarkan dari kekuasaan kerabat lelaki yang terdekat, yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan perkawinan yaitu bapaknya. Proses mengenai tata cara perkawinan pra sampai pasca perkawinan adat Na Gok : 60 1. Mangarisika Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam ragka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata. Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kaim, cincin emas, dan lain-lain. 2. Marhori-hori DindingMarhusip Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum. 3. Marhata Sinamot Pihak kerabat pria dalam jumlah yang terbatas dtang pada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur tuhor. 4. Pudun Sauta Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya ternak yang sudah disembelih yang diterima oleh pihak 59 Ibid, hal. 10. 60 http:pernikahanadat.blogspot.com Universitas Sumatera Utara 47 parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut daging kepada anggota kerabat, yang terdiri dari : 1 Kerabat marga ibu hula-hula 2 Kerabat marga ayah dongan tubu 3 Anggota marga menantu boru 4 Pengetuai orang-orang tua pariban 5 Diakhir kegiatan pudun saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu masuon 5. Martumpol 6. Martonggo Raja Suatu kegiatan pra pestaacara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pestaacara yang bertujuan untuk : mempersiapkan kepentingan pestaacara yang bersifat teknis dan non teknis. Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pestaacara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pestaacara dalam waktu yang bersamaan. Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan. Demikian tahapan proses perkawinan secara umum. Sehingga dapat digambarkan bahwa perkawinan itu mulai dianggap sah dalam hukum adat Batak Toba adalah setelah selesai pembayaran uang jujur pada pesta perkawinan itu.

3. Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan