Arti dan Tujuan Perkawinan

36 karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk kehidupan manusia.

1. Arti dan Tujuan Perkawinan

Di dalam hukum Islam pernikahan merupakan satu anjuran bagi kaum muslimin. Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Kata nikah mengandung dua pengertian yaitu dalam arti sebenarnya haqikat berarti berkumpul dan dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan. Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan yang lazim disebut sakinah. 44 Sedangkan pengertian Perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 45 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan arti perkawinan, melainkan terdapat juga tujuan perkawinan. Untuk membentuk keluarga 44 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal. 2. 45 Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1. Universitas Sumatera Utara 37 bahagia dan kekal yang merupakan hakikat dari tujuan perkawinan, tidak hanya dipengaruhi oleh unsur rohani tetapi juga harus memenuhi unsur yuridis yakni perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi pasangan yang beragama Islam, maka pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi pasangan yang memeluk agama selain Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah dirumuskan sangat ideal karena tidak hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat suatu pertautam batin antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa. 46 Berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum. 47 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang 46 Prakoso, Djoko dan Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hal. 4. 47 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No.1 tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukm keluarga dalam Sistem Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal. 4. Universitas Sumatera Utara 38 menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah menurut agama. 48 Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia. 49 Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas. Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikahi ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam dalam Islam dikenal dengan istilah mahra orang yang haram dinikahi. Di dalam Hukum Adat dikenal juga adanya larangan perkawinan, salah satu aturan yang dilarang dalam Hukum Adat Batak adalah dilarangnya melangsungkan perkawinan semarga. Artinya masyarakat Batak tidak boleh menikah dengan orang lain yang memiliki marga yang sama dengannya. Bagi mereka yang menarik garis keturunan kebapaan, utusan keluarga dari pihak laki-laki lebih dahulu pergi melamar kepada pihak keluarga perempuan. Tidak seperti dalam masyarakat yang menarik garis keturunan keibuan, yang datang melamar adalah pihak perempuan. Menurut peraturan perundang-undangan yang 48 Ibid, hal.6. 49 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1993, hal. 356. Universitas Sumatera Utara 39 berlaku, hukum adat tetap berlaku bagi orang Indonesia asli, selama belum diatur dengan Undang-Undang dan sepanjang adat tersebut masih dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan menurut adat, tidaklah hanya mengikat suami istri saja, tetapi juga mengikat keluarga kedua belah pihak, yaitu keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki. 50 Hukum Adat yang mengatur tentang pernikahan di Indonesia sangat beragam. Akan tetapi, apabila diklasifikasikan dapat diketahui bahwa terdapat tiga macam sistem pernikahan adat di Indonesia yaitu : 1. Sistem Endogami Dalam sistem pernikahan endogami, masyarakat hanya diperbolehkan menikah dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Masyarakat yang dikenal menggunakan sistem ini adlah masyarakat tanah Toraja. Walaupun demikian telah terjadi pergeseran budaya karena beberapa faktor, seperti sudah mudahnya akses dengan wilayah atau daerah lain sehingga peraturan ini mulai ditinggalkan. 2. Sistem Eleutherogami Sistem pernikahan ini berbeda dengan sistem pernikahan endogami dan eksogami. Tetapi hanya mengatur larangan yang berhubungan dengan ikatan 50 Masykuri Abdillah.”Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 tahun 1998, hal. 74. Universitas Sumatera Utara 40 kekeluargaan atau keturunan, seperti larangan menikah dengan ibu, nenek, dan sebagainya. 51 3. Sistem Eksogami Dalam sistem pernikahan eksogami, masyarakat diharuskan menikah dengan orang diluar sukunya atau orang diluar clan nya. Sistem seperti ini dapat dijumpai di daerah Tapanuli, Minangkabau, dan beberapa daerah lainnya.

2. Sah nya Perkawinan