Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan

47 parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut daging kepada anggota kerabat, yang terdiri dari : 1 Kerabat marga ibu hula-hula 2 Kerabat marga ayah dongan tubu 3 Anggota marga menantu boru 4 Pengetuai orang-orang tua pariban 5 Diakhir kegiatan pudun saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu masuon 5. Martumpol 6. Martonggo Raja Suatu kegiatan pra pestaacara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pestaacara yang bertujuan untuk : mempersiapkan kepentingan pestaacara yang bersifat teknis dan non teknis. Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pestaacara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pestaacara dalam waktu yang bersamaan. Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan. Demikian tahapan proses perkawinan secara umum. Sehingga dapat digambarkan bahwa perkawinan itu mulai dianggap sah dalam hukum adat Batak Toba adalah setelah selesai pembayaran uang jujur pada pesta perkawinan itu.

3. Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan

a. Menurut Hukum Islam

Universitas Sumatera Utara 48 Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. A. Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri a Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 30. b Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat Pasal 31 ayat 1. c Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum ayat2. 61 d Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah sebagai ibu rumah tangga. e Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. f Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. B. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan a Timbul harta bawaan dan harta bersama. b Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. c Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama pasal 35 dan 36. C. Akibat Perkawinan Terhadap Anak 1. Kedudukan anak 1 Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah Pasal 42 2 Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja. 2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak 1 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dpat berdiri sendiri Pasal 45. 2 Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik. 61 Lihat Pasal-pasal dalam KHI Kompilasi Hukum Islam Universitas Sumatera Utara 49 3 Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan keatas sampai sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya Pasal 46. 3. Kekuasaan Orang Tua 1 Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada dibawah kekuasaan orang tua. 2 Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. 3 Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang- barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekusaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. D. Kekuasaan orang tua berakhir apabila : 1. Anak itu dewasa. 2. Anak itu kawin. 3. Kekuasaaan orang tua dicabut.

b. Menurut hukum adat batak toba

Untuk melakukan niat baik perkawinan tentunya harus dilakukan menurut tata cara yang telah diadakan, karena perkawinan merupakan perbuatan yang sangat sakral. Perempuan yang akan masuk ke dalam keluarga laki-laki diharapkan membawa tuah, oleh sebab itu tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang selalu dilakukan sejak dari nenek moyang. Perkawinan bukan saja merupakan urusan individu dengan individu, namun lebih luas lagi yaitu urusan keluarga dengan keluarga. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi Universitas Sumatera Utara 50 juga menyangkut hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan yang rukun dan damai. Dengan terjadinya perkawinan maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah ataupun garis ibu atau garis orang tua. Silsilah menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat dan merupakan barometer dari asal-usul keturunan yang baik dan teratur. 1. Terhadap hubungan suami isteri Dengan menggunakan sistem jujur, suatu perkawinan menurut adat Batak Toba, pembayaran uang jujur mengakibatkan hukum terhadap suami dan isteri, yang mana isteri diwajibkan masuk ke klen suaminya. Setelah berada dilingkungan kerabat suaminya maka isteri dalam melakukakn segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, dia harus membantu suami dalam kehidupan rumah tangga baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan masyarakat. 62 2. Terhadap anak yang lahir dari perkawinan Dalam hukum adat, dikenal adanya 2 dua macam dasar keturunan yaitu: a Keturunan asli, yang dalam hal ini ialah anak kandung b Keturunan tidak asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak angkatnya. 63 62 Hilman Hadukusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Mandar Madju, 1990, hal. 73. 63 A. Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1989, hal. 71. Universitas Sumatera Utara 51 c Masyarakat Batak Toba mengelompokkan diri dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyang sendiri yang membuat masyarakat toba menjadi kesatuan dari beberapa marga yang berlainan asalnya. Bagi masyarakat Batak Toba, diharapkan kelahiran keturunan laki- laki agar dapat meneruskan marga, sehingga marga tidak terputus digaris keturunan perempuan. Karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah patrilineal. 64 Dalam hukum adat, anak yang lahir diluar perkawinan adalah anak sah jika ibu yang mengandungnya mempunyai suami pada saat melahirkannya. Walaupun suami ibunya tersebut bukan orang tua biologisnya dan tidak dipersoalkan masalah tenggang waktu kawin dan waktu melahirkan. Apabila si ibu yang melahirkan tidak punya suami, maka seorang anak tersebut hanya dapat mewaris harta peninggalan ibunya dan jika anak itu wafat, maka harta peninggalannya hanya diwarisi ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan hukum antara anak-anak dengan kerabat ayahnya pada masyarakat Batak Toba sangat erat, karena kerabat ayahnya lah yang harus bertanggung jawab untuk menggantikan kedudukan dan tanggung jawab ayah, dalam hal si ayah meninggal dunia. Menurut Hukum Adat tentang hubungan anak-anak dengan kerabat ibunya secara hukum tidak ada, tetapi secara moral bahwa anak-anak yang dilahirkan dari 64 Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat Batak Toba, Bapak M.Simbolon, Pada tanggal 16 Agustus 2013 Universitas Sumatera Utara 52 perkawinan itu berkewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang diselenggarakan kerabat ibunya. Tentang kedudukan seorang janda terhadap kerabat mendiang suaminya di dalam pertimbangan hukum putusan RVJ 148489 disebutkan bahwa menurut adat Batak, seorang janda ada tiga kemungkinan yaitu : a Tetap tinggal tidak kawin dalam lingkungan keluarga mendiang suaminya dengan demikian dia berhak atas anak-anaknya. b Kawin lagi dengan salah seorang dari karib mendiang suaminya c Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya. 65 3. Terhadap harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Harta perkawinan menurut hukum Adat adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang- barang hadiah. 66 Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan.

a. Harta Bawaan

65 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Medan: Bina Sarana, hal. 19. Tanpa Tahun 66 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 156. Universitas Sumatera Utara 53 Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya baik sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami isteri. Artinya seorang suami atau isteri berhak untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

b. Harta bersama

Sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang disebutkan bahwa harta bersama adalah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat. Harta perkawinan daalam hukum adat menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam, sebagai berikut: a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa kedalam perkawinan. b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada waktu pernikahan. Pada dasarnya berdasarkan Hukum Adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri, meskipun masih terdapat variasi. Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri. Universitas Sumatera Utara 54 Dalam hukum adat Batak Toba, apabila perkawinan telah dilaksanakan, otomatis bersatulah harta isteri dan harta suami seperti yang dikenal dengan istilah harta bersama. Pada masyarakat patrilineal yang melaksanakan perkawinan jujur, isteri ikut dan tunduk pada hukum kekerabatan suaminya, maka yang disebut harta bawaan adalah barang-barang yang dikuasai suami dan dimilikinya adalah harta penunggu atau harta penanti suami. 67

c. Hukum Adat Waris Batak Toba Sistem Hukum Adat Waris Patrilineal

Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik materiil maupun immateriil yang mana seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Prof. Soepomo menyatakan bahwa hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang- barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda. Hukum Adat Waris mempunyai corak tersendiri dan khas mengalir dari pikiran tradisional Indonesia. Hukum Adat Waris tidak mengenal legitimie portie, menetapkan persamaan hak serta meletakkan dasar kerukunan pada proses pembagian secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa tiap waris. Harta warisan juga tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Hukum Adat Waris sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada 67 T. O. Ihromi, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Aset, 1986, Hal. 26 Universitas Sumatera Utara 55 dalam masyarakat itu. Selain faktor perubahan sosial, ada juga karena semakin kuatnya hubungan kekeluargaan dan makin lemahnya ikatan clan dan kerabat, tetapi juga peraturan asing sejenis yang oleh para hakim agama diterapkan in conserto walaupun berpengaruh kecil. Di Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan hukum adat sebagai berkut: 68 a. Sistem Kewarisan Individual Berdasarkan prinsip ini, maka setiap hali waris mendapatka atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan Bilateral di Jawa. b. Sistem Kewarisan Kolektif Menurut sistem ini, ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. c. Sistem Kewarisan Mayorat Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimoahkan kepada anak tertentu saja. Misalnya anak laki-laki tertua Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso atau perempuan tertua SemendoSumatera Selatan, anak laki-laki termuda Batak atau perempuasn termuda atau anak laki-laki saja. 68 Soerjono Soekanto, Ibid, hal. 260. Universitas Sumatera Utara 56 Dalam adat Batak yang masih terkesan kuno, peraturan adat-istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam hal pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dari Hukum Waris Adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimanapun orang Batak berada adat istiadat partuturan tidak akan pernah hilang. Hukum Adat sebagai suatu proses artinya bahwa peralihan harta dapat dilakukan baik pada saat pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal. Adapun asas yang terdapat dalam Hukum Waris Adat yaitu : 1. Ketuhanan dan pengendalian diri 2. Kesamaan hak 3. Kekeluargaan dan kerukunan 4. Musyawarah dan mufakat 5. Keadilan dan parimerma Secara garis besar Hukum Adat Waris dapat dilihat dari prinsip-prinsip pewarisan adat. Ada 6 enam prinsip pewarisan menurut Hukum Adat, 69 yakni : 1. Tidak selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi-bagi diantara para ahli waris sipeninggal harta tadi meninggal, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembahagiannya ditanggikan dan ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi sebab harta tersebut tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi untuk selamanya. 2. Jika pewarisan itu tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka pewarisan itu dilakukan secara keatas atau kesamping 69 Datuk Usman, Ibid, hal 143-147. Universitas Sumatera Utara 57 3. Menurut hukum adat pewarisan itu adalah beralihnya harta benda suatu generasi yang tertentu kepada generasi lain yang menyusulnya. 4. Hukum adat mengenal prinsip pergantian tempat 5. Hukum adat mengenal lembaga anak angkat yang juga bisa bertindak seperti halnya anak kandung sendiri 6. Menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki si peninggal harta semasa hidupnya. Sistem hukum warisan patrilineal juga berpokok pangkal dari sistem kekerabatan. Dalam masyarakat patrilineal hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan diluar golongan patrilineal. Keadaan seperti ini dikarenakan adanya beberapa alasan yang melandasi sistem hukum warisan patrilineal sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang telah meninggal dunia, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan sama sekali. Adapun alasan yang memandang rendah kedudukan perempuan khususnya dalam masyarakat Batak adalah : a. Emas kawin yang disebut “tukor” membuktikan perempuan dijual. b. Adat lakonan levirat yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia. c. Perempuan tidak mendapatkan warisan. d. Perkataan naki-naki menunjukkan perempuan, mahluk tipuan dan lain-lain. Ahli waris dan para ahli waris dalam sistem hukum adat warisan patrilineal terdiri dari: anak laki-laki, anak angkat, ayah dan ibu, keluarga terdekat, persekutuan adat. 70 Dalam Hukum Adat, Yurisprudensi Hukum, selain merupakan keputusan ahli pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat juga merupakan 70 Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung Armico : 1985, hal. 55-56. Universitas Sumatera Utara 58 sarana pembinaan hukum adat sesuai cita-cita hukum. Sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat lokal maupun yang telah berlaku secara nasional.

C. Kesadaran Hukum Waris Pada Masyarakat Batak Toba yang beragama Islam

1. Pengertian Kesadaran Hukum