Masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI

ada dapat dicurigai bahwa perubahan peraturan tersebut ditujukan untuk membantu pihak-pihak tertentu. Mengingat sumber dana dalam kebijakan LoLR adalah dana Bank Indonesia atau Pemerintah, maka jika dianggap terjadi kesalahan dalam mengambil kebijakan LoLR implikasi hukumnya adalah terancam sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dari kasus BLBI dan masalah Bank Century.

1. Masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI

Krisis perbankan tahun 19971998 yang ditandai dengan penyaluran BLBI yang semula merupakan kasus yang hanya mempunyai dimensi ekonomi belaka, ternyata menggelinding menjadi masalah besar yang sangat mengguncangkan karena mempunyai dimensi lain, baik hukum maupun politik. Padahal, BLBI tersebut pada mulanya mempunyai tujuan yang sangat positif ditinjau dari perspektif ekonomi, yaitu untuk mempertahankan stabilitas sistem perbankan dan sistem pembayaran. Selain dalam konteks ekonomi, secara yuridis ada dasar bagi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam melaksanakan fungsinya sebagai LoLR. Namun, berdasarkan pemeriksaan BPK Badan Pemeriksa Keuangan dan BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terdapat indikasi penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan BLBI dan menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,5 triliun. 166 166 Satgas BLBI-Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI, Jakarta : Bank Indonesia, Februari 2002, hlm 12. Implikasi hukum yang harus dihadapi oleh Bank Universitas Sumatera Utara Indonesia yang dianggap bertanggung jawab dalam menyalurkan BLBI adalah diadilinya anggota Direksi Bank Indonesia. Dari proses peradilan terhadap anggota Direksi Bank Indonesia tersebut, sesuai Putusan Mahkamah Agung 167 a. Bahwa terdakwa dan Direksi Bank Indonesia lainnya melakukan tindakan- tindakan yang menguntungkan kelompok atau golongan, dalam hal ini bank- bank yang sedang mengalami saldo negatif; , terdapat 3 orang anggota Direksi Bank Indonesia yang dinyatakan bersalah karena telah memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangannya” dari tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 sub b Undang-Undang No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan alasan-alasan : b. Bahwa terdakwa dan Direksi Bank Indonesia lainnya telah menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana, yaitu untuk mengatasi bank- bank yang sedang bersaldo negatif, seharusnya bukan dengan prosedur memberikan saldo debet yang memang tidak ada ketentuannya yang menjadi dasar hukum untuk menempuh prosedur tersebut, seharusnya menempuh prosedur pemberian saldo dalam bentuk Fasilitas Diskonto sebagaimana ditentukan dalam pasal 32 ayat 3 Undang-Undang No. 13 tahun 1968 dan pasal 37 ayat 2 b Undang-Undang No. 7 tahun 1992 dengan peraturan pelaksanaannya. 167 Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 981 K Pid 2004 terhadap Paul Soetopo Tjokronegoro, SE.ME.MPE, mantan anggota Direksi Bank Indonesia. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut di atas dapat diketahui bahwa tindakan atau kebijakan yang telah diambil oleh Direksi Bank Indonesia yang bersifat darurat emergency pada masa abnormal krisis perbankan dengan tujuan untuk menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional masih memiliki sifat melawan hukum. Tidak dapat dipungkiri, dalam kebijakan BLBI terjadi berbagai kelemahan dan penyimpangan. Namun, jika diteliti lebih jauh permasalahan tersebut banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya kelemahan dan penyimpangan tersebut. Penyebab utama adalah kerangka hukum legal framework sistem keuangan dan perbankan nasional pada masa terjadinya krisis 19971998, tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai ketika Bank Indonesia harus mengambil tindakan darurat guna mengatasi risiko sistemik di sektor perbankan. Landasan bagi Bank Indonesia dalam menyelenggarakan kebijakan moneter dan perbankan pada waktu itu adalah UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Berdasarkan konstruksi framework ini Bank Indonesia ditempatkan sebagai bagian dari Pemerintah, 168 168 Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia merupakan bagian dari Pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan moneter. Pasal 7 menyatakan : “Tugas pokok Bank Bank Indonesia adalah membantu Pemerintah dalam : a mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat”. Selanjutnya Pasal 8 ayat 1 menyatakan : “Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam pasal 7 berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah ”. Dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang otoritas perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa kewenangan sebagai otoritas perbankan dilakukan oleh dua instansi, yaitu Pemerintah cq Menteri Keuangan yang memiliki otoritas menerbitkanmencabut izin usaha bank dan Bank Indonesia yang memiliki otoritas untuk mengawasimembina bank. Mengenai hal ini, Pasal 16 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1992 menyatakan : “Izin usaha Bank Umum dan Bank sehingga secara yuridis menjadikan Bank Indonesia tidak Universitas Sumatera Utara memiliki kewenangan yang otonom ketika harus bertindak untuk menjaga integritas sistem perbankan nasional, khususnya berkenaan dengan pemberian izin usaha bank, upaya penyelamatan bank dalam kaitan BLBI dan pencabut izin usaha bank terhadap bank-bank yang bermasalah. Hal ini dikarenakan pemberian izin usaha dan pencabutan izin usaha bank pada waktu itu masih merupakan kewenangan Menteri Keuangan, 169 Perkreditan Rakyat diberikan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia”, selanjutnya Pasal 29 ayat 1 menyatakan ; “Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia” ; dan Pasal 37 ayat 4 menyatakan : “Berdasarkan usul Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, Menteri mencabut izin usaha bank yang bersangkutan dan memerintahkan direksi untuk melikuidasi bank tersebut”. Dalam legal framework pada masa berlakunya UU tersebut, aturan perbankan diterbitkan oleh Pemerintah dan oleh Bank Indonesia sesuai kewenangannya. Pemerintah menerbitkan peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah PP dan Surat Keputusan Menteri Keuangan SK Menkeu, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan peraturan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia SK Dir BI dan Surat Edaran Bank Indonesia SEBI. Dengan demikian, pada masa itu Pemerintah memiliki otoritas di bidang pengaturan dan pengelolaan perbankan. Selain itu, Pemerintah juga menjadi “pemain” dengan melakukan penyertaan, yaitu selaku pemegang saham bank, sehingga dapat secara langsung mempengaruhi pasar. sedangkan ketentuan hukum yang secara tegas mengatur untuk mengatasi keadaan yang bersifat sistemik, pemberian BLBI, tidak tersedia dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena kewenangan yang dimilikinya sebagai LoLR sesuai pasal 32 ayat 3 UU No. 13 Tahun 1968 tidak cukup untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank yang sudah bersifat sistemik, Bank Indonesia membawa permasalahan tersebut ke dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, Pengawasan Pembangunan Ekku Wasbang dan Produksi Distribusi Prodis pada tanggal 3 September 1997. Keputusan Sidang Kabinet adalah untuk membantu bank-bank nasional yang sehat yang mengalami kesulitan likuiditas. 169 Lihat pasal 16 dan 37 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Universitas Sumatera Utara Terhadap bank-bank yang sakit diupayakan untuk digabungkan atau diakuisisi oleh bank yang sehat. 170 Tidak otonomnya Bank Indonesia pada waktu itu dan tidak tersedianya perangkat hukum yang mampu menjadi landasan tindakan Bank Indonesia dalam menangani risiko sistemik perlu untuk digarisbawahi, karena hal ini penting untuk menentukan mengenai norma hukum apa yang melandasi tindakan yang ditempuh Bank Indonesia, misalnya sehubungan dengan diperbolehkannya bank bersaldo negatif. Bila diteliti perangkat hukum pada masa pra krisis, maka perangkat hukum perbankan dan kebanksentralan yang tersedia pada waktu itu hanya dibuat untuk mengatur keadaan-keadaan yang bersifat normal serta hanya menyediakan landasan hukum untuk tindakan Bank Indonesia dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas individual bank yang dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan pengaturan yang demikian dapat dilihat dari legal framework sistem perbankan Indonesia pada waktu itu 171 a. Tidak ada perangkat hukum atau lembaga yang mampu berfungsi untuk menjaga kestabilan sistem keuangan nasional financial system stability, seperti aturan hukum yang secara tegas mengatur peranan bank sentral dan pemerintah dalam menjaga likuiditas sistem perbankan ketika ada indikasi akan terjadinya krisis perbankan, termasuk mekanisme mengenai , yaitu : 170 Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI,Jakarta, Bank Indonesia, 2002, hlm 6-7. 171 Agus Santoso, Karakter Khusus Ketentuan Hukum Dalam Sistem Hukum Perbankan dan Kebankisentralan . Dalam Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Volume 2 No.2, Desember 2003, hlm 52-53. Universitas Sumatera Utara kemungkinan diberikannya bantuan likuiditas emergency liquidity support , dari bank sentral atau pemerintah yang hanya dapat diberikan berdasarkan keputusan otoritas yang kedudukannya bersifat supra struktural, misalnya berbentuk Komite Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia. b. Tidak ada perangkat hukum yang secara tegas mengatur mengenai kemungkinan didirikannya suatu badan khusus yang dapat segera difungsikan untuk menangani penyehatan perbankan apabila terjadi krisis di sektor perbankan, seperti misalnya pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN, 172 c. Tidak ada perangkat hukum atau lembaga yang mampu berfungsi sebagai jaring pengaman nasabah bank financial safety net, seperti pengaturan hukum mengenai Program Penjaminan Pemerintah blanket guarantee scheme atau Lembaga Penjamin Simpanan nasabah LPS atau deposit protection scheme . yang merupakan bagian dari crisis resolution management . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa politik hukum dan hukum positif pada masa pra-krisis perbankan, yaitu sampai dengan pertengahan tahun 1997, cenderung kurang memperhatikan indikasi-indikasi perkembangan ekonomi dan perbankan global. 173 172 Lihat Pasal 37 A UU Perbankan, sebagai hasil amandemen pada tahun 1998. 173 Agus Santoso, Op. Cit, hlm 53. Universitas Sumatera Utara Dilihat dari pengaturan mengenai fungsi Bank Indonesia sebagai LoLR yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 1968, pelaksanaannya mensyaratkan bahwa setiap tahun Bank Indonesia harus bisa memprediksikan kesulitan likuiditas yang akan dihadapi oleh bank, sehingga artinya Bank Indonesia harus mampu merencanakan jumlah pemberian kredit kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas, sebagaimana bunyi aturan dimaksud sebagai berikut : Pasal 32 ayat 3 Bank Bank Indonesia dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank- bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. : Pasal 32 ayat 4 Pemberian kredit Bank Bank Indonesia dibatasi oleh rencana kredit yang bersangkutan. : Norma pengaturan seperti itu tentu saja menjadikan Bank Indonesia dalam situasi yang dilematis ketika harus melaksanakan kewenangannya selaku LoLR guna menghadapi bank run dalam situasi systemic risk yang terjadi pada tahun 19971998, mengingat yang terjadi bukan hanya sekedar kesulitan likuiditas individual bank yang dapat diprediksi sebelumnya oleh Bank Indonesia, melainkan berupa penarikan dana besar-besaran dan seketika sebagai akibat krisis kepercayaan domestik dan internasional yang menerpa sistem perbankan nasional yang tidak pernah terprediksikan. Sebagaimana diketahui, dalam sistem perbankan suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana oleh nasabah ataupun krediturnya, sehingga ketika terjadi rush, saldo giro rekening bank-bank di Bank Indonesia banyak yang menjadi Universitas Sumatera Utara negatif saldo giro negatif, yaitu sebagai akibat kekalahan bank dalam perhitungan kliring. Dalam keadaan normal, menurut aturan yang berlaku, rekening giro bank pada bank sentral dilarang bersaldo negatif. Apabila bank yang bersangkutan tidak dapat menutup saldo negatifnya, maka bank tersebut dapat dihentikan sementara sebagai bank peserta kliring skorsing. Namun, pada masa krisis saat itu dimana kondisi pasar uang antar bank PUAB telah sangat buruk, tidak terhindarkan banyak rekening giro bank pada Bank Indonesia mengalami saldo negatif yang seharusnya bank-bank tersebut di-skors atau tidak dapat diikutkan dalam sistem kliring. Apabila ketentuan ini secara tegas diterapkan oleh Bank Indonesia, maka sudah pasti mengakibatkan banyak bank harus ditutup dicabut izin usahanya. Akibat lanjutannya sudah barang tentu adalah semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem perbankan dan sistem pembayaran nasional. Kritik utama yang banyak dilontarkan terhadap proses pemberian BLBI dalam rangka LoLR tersebut adalah kelemahan pengawasan. Seharusnya Bank Indonesia selaku pengawas bank, mengecek penggunaan pinjaman tersebut apakah benar-benar digunakan untuk membayar penarikan simpanan nasabah. Sebenarnya Bank Indonesia melakukan pengecekan tersebut dengan menempatkan beberapa orang pengawas di masing-masing bank bermasalah. Namun, adalah sulit untuk memverifikasi seluruh transaksi bank yang jumlahnya puluhan ribu per hari untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat penyalahgunaan BLBI oleh pengurus dan pemilik Universitas Sumatera Utara bank. Seharusnya hal tersebut merupakan tanggungjawab sepenuhnya manajemen bank. Belakangan, diketahui dari hasil pemeriksaan bahwa terdapat indikasi yang kuat terjadi moral hazard yang ditunjukkan oleh transaksi yang mencurigakan pada beberapa bank yang ditutup. Dari hasil audit investigasi BPKP terdapat penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima yang jumlahnya mencapai Rp.84.842.162.000.000,- atau 58,70 dari jumlah BLBI per 29 Januari 1999 sebesar Rp.144.536.086.000.000,-. 174 a. Membayarmelunasi kewajiban kepada pihak terkait; Penyimpangan penggunaan BLBI ini meliputi antara lain : b. Membayarmelunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan; c. Membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempocut loss; d. Membiayai penempatan baru di pasar Uang Antar Bank PUAB atau pelunasan kewajiban yang timbul dari transaksi PUAB; e. Membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada. 175 Namun demikian, kasus-kasus penyalahgunaan tersebut hingga saat ini belum diproses secara konsisten akibat lemahnya proses peradilan dan law enforcement, misalnya pengurus dan pemilik dari beberapa bank penerima BLBI “dibiarkan” melarikan diri ke luar negeri. 174 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia , Jakarta : Bank Indonesia, 2002, hlm 105. 175 Ibid, hlm 105. Universitas Sumatera Utara

2. Masalah Bank Century