Latar Belakang Masalah Prof. Dr. Suhaidi , S.H., M.H 4. Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort LoLR dalam sejarah bank sentral telah dikenal sejak akhir abad ke-19. Pada umumnya, peranan utama LoLR adalah untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik a systemic financial crisis dalam suatu perekonomian. 1 LoLR diartikan sebagai pemberi pinjaman andalan atau pemberi pinjaman terakhir yang dapat diandalkan kepada lembaga- lembaga keuangan jika menghadapi kesulitan keuangan atau memberikan pinjaman talangan bailout. 2 LoLR dapat juga didefinisikan sebagai ketetapan kebijakan likuiditas bagi lembaga keuangan atau pasar secara keseluruhan oleh bank sentral sebagai reaksi atas kegoncangan luar biasa yang menyebabkan peningkatan tidak normal dalam kebutuhan likuiditas yang tidak dapat dipenuhi dari suatu sumber alternatif. 3 Sebagai konsekuensi dari kegiatan usahanya menempatkan dana dalam bentuk kredit dengan jangka waktu lebih panjang dan menerima dana simpanan dengan 1 Iman Sugema Iskandar Simorangkir, “Peranan The Lender of Last Resort.LOLR Terhadap Perekonomian” , http:www.bi.go.idwebidPerbankanStabilitas+Sistem+KeuanganManajemen+ KrisisJaring+Sistem+Keuangan, Diakses Senin, 7 Februari 2011. 2 DidikJ. Rachbini, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, Jakarta : PT. Mardi Waluyo, 2002, hlm 43. 3 Xavier, F., Giannini, C., Hoggarth, G., and Soussa, F., “Lender of Last Resort : A Review of the Literature”, Financial Stability Review, Bank of England, Vol. 7, November 1999. Di dalam Hasil Riset Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Jakarta : Bank Indonesia, 2002, hlm 43. Universitas Sumatera Utara jangka waktu lebih pendek, bank cenderung menghadapi risiko likuiditas. 4 Intervensi bank sentral secara langsung melalui kebijakan LoLR tersebut semakin penting lagi, khususnya sejak krisis keuangan yang terjadi pada tahun 19971998. Hubungan erat krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis sektor riil merupakan salah satu alasan mengenai pentingnya peranan LoLR. Pengalaman empiris pada krisis perbankan dan krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, seperti Thailand, Korea dan Indonesia pada tahun 19971998 telah mengakibatkan terjadinya kontraksi yang tajam pada perekonomian negara tersebut. Dengan demikian, krisis likuiditas akan menjadi meningkat jika deposan menarik dananya, dan pada lanjutannya dapat mengakibatkan terjadinya penarikan dana besar-besaran bank run. Tanpa kehadiran bank sentral sebagai pemberi pinjaman terakhir, bank run yang terjadi di salah satu bank dapat menjalar ke bank lainnya sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan sistemik pada sistem perbankan secara keseluruhan. 5 4 Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas danatau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank. Lihat Pasal 1 butir 8, Peraturan Bank Indonesia No. 1125PBI2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 58PBI2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Demikian pula yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008, yang diawali dengan kebangkrutan bisnis properti sub-prime mortage telah mempengaruhi perekonomian dunia, khususnya Eropa dan juga sebagian Asia. 5 Iman Sugema Iskandar Simorangkir, Loc.Cit, hlm 1. Universitas Sumatera Utara Menyadari akan dampak krisis perbankan yang dapat menimbulkan kegagalan sistemik pada sistem keuangan dan pada lanjutannya mengakibatkan kontraksi ekonomi yang lebih dalam, maka pemerintah dan Bank Indonesia pada krisis perbankan tahun 19971998 memberikan LoLR kepada sebagian besar perbankan nasional, yang kemudian dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI. Sementara pada tahun 2008, salah satu bank bermasalah dan menghadapi permasalahan likuiditas Bank Century telah dibantu oleh Bank Indonesia dengan fasilitas pendanaan jangka pendek FPJP 6 dan selanjutnya untuk menghindari terjadinya risiko sistemik systemic risk 7 BLBI telah menjadi isu yang sangat kontroversial dan menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena selain jumlah BLBI yang disalurkan selama masa krisis sangat besar, juga karena , diputuskan oleh Pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistim Keuangan KSSK untuk diselamatkan bailout dan pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan LPS. 6 FPJP diatur dalam Peraturan Bank Indonesia PBI No. 1026PBI2008 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, dan Peraturan Bank Indonesia No. 1030PBI2008 Tentang Perubahan Atas PBI No. 26PBI2008, perubahan atas Pasal 2 dan 4, serta tambahan Pasal 17A. 7 Risiko sistemik systemic risk adalah risiko terjadinya kehancuran atau runtuhnya sistem keuangan atau pasar keuangan sehingga fungsi utama sistem keuangan, seperti penyediaan likuiditas, pengelolaan risiko, dan alokasi sumber daya tidak berjalan semestinya. Secara akademis belum ada definisi yang baku. Definisi lain menyatakan, risiko sistemik adalah potensi terjadinya akumulasi kerugian yang besar bagi perekonomian karena terjadinya kerugian berantai dari berbagai lembaga keuangan dan pasar keuangan dalam sistem keuangan. Ada lagi definisi yang menyatakan risiko sistemik sebagai kegagalan satu pelaku pasar dalam sistem keuangan yang diikuti kegagalan pelaku pasar yang lain karena keterkaitan satu pelaku pasar dengan pelaku yang lain atau lembaga lain. Lihat, Abdul Mongid, Risiko Sistemik Bank Century, INFOBANK NEWS, Rabu, 10 Februari 2010. Universitas Sumatera Utara berkembang pendapat bahwa penyaluran dana tersebut melibatkan berbagai korupsi, penyalahgunaan dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya. Demikian pula halnya dengan kasus Bank Century, penyelamatan terhadap bank tersebut telah menimbulkan kehebohan di masyarakat, terlebih lagi hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan BPK menyatakan adanya penyimpangan, baik dalam pemberian FPJP oleh Bank Indonesia maupun dalam keputusan bailout oleh KSSK sehingga mendorong Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Khusus Pansus. Bagi Bank Indonesia, dari krisis keuangan dan perbankan pada tahun 19971998 dapat ditarik suatu pelajaran penting bahwa tugas pokok bank sentral sebagai penjaga stabilitas moneter otoritas moneter tidaklah cukup tanpa dukungan stabilitas sistem keuangan yang sehat. Gejolak dalam lembaga keuangan, khususnya bank, merupakan salah satu sumber ketidakstabilan. Oleh karena itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem pembayaran dan arus kredit dalam perekonomian. Terkait dengan hal tersebut, upaya membangun sistim keuangan yang stabil memerlukan perangkat aturan hukum legal framework yang mampu menjadi landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral secara utuh. 8 Sebagaimana telah dipahami bahwa dalam legal framework pada sistem keuangan dan perbankan nasional yang berlaku waktu terjadinya krisis tahun 19971998, Bank 8 Anwar Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Implikasi Hukum Dan Agenda Ke Depan”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Bank Indonesia, Vol 2, Desember 2003, hlm 7. Universitas Sumatera Utara Indonesia merupakan bagian dari otoritas perbankan 9 tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai ketika harus mengambil tindakan darurat guna mengatasi risiko yang sistemik systemic risk di sektor perbankan yang hampir- hampir saja melumpuhkan sistem perbankan nasional. Dalam upaya mengatasi krisis perbankan pada masa itu dianggap perlu ditempuh dua pendekatan, yaitu : i perlunya mem-back-up sistim perbankan nasional agar tidak bangkrut collapse, dan ii membantu penyelesaian krisis keuangan yang dihadapi sektor korporasi untuk memulihkan sektor perbankan dan perekonomian nasional. 10 Dengan pertimbangan itulah Bank Indonesia memfungsikan peranannya selaku LoLR dengan memberikan bantuan likuiditas liquidity support dengan nama BLBI untuk menyelamatkan sistim perbankan, baik untuk keperluan mengatasi kesulitan likuiditas, maupun dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah. Selanjutnya, Bank Indonesia juga harus terlibat untuk membantu penyelesaian krisis keuangan yang dihadapi oleh sektor korporasi selaku debitur bank. 11 9 Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, BI merupakan bagian dari Pemerintah dan dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang otoritas perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa tugas itu dilakukan oleh dua instansi, yaitu Pemerintah cq Departemen Keuangan yang memiliki otoritas menerbitkanmencabut izin bank dan Bank Indonesia yang memiliki otoritas mengawasimembina bank. Dalam legal framework pada masa berlakunya UU tersebut, pengaturan perbankan juga dilakukan oleh kedua instansi dimaksud, yaitu Pemerintah menerbitkan peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah PP dan Bank Indonesia menerbitkan peraturan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia SK Dir.BI dan Surat Edaran Bank Indonesia SEBI. Pada masa itu Pemerintah juga terlibat jauh dalam pengelolaan sektor perbankan, selain dalam segi pengaturan, Pemerintah juga melakukan penyediaan dana, misalnya selaku pemegang saham bank. 10 Anwar Nasution, “Stabilitas ....., ibid, hlm. 8. 11 Hal ini tercermin dari pembentukan Indonesian Debt Restructuring Agency INDRA dan keterlibatan BI dalam Paris Club dan proses restrukturisasi kredit. Sebagaimana diketahui, pangsa portofolio pembiayaan perbankan kepada sektor korporasi sangat besar, sehingga adanya kelemahanpermasalahan pada sektor ini dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap individual bank bahkan terhadap kestabilan sektor perbankankeuangan secara keseluruhan. Selain itu, dalam Universitas Sumatera Utara Jika ditelaah kembali krisis pada tahun 19971998 ketika Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelamatan sistem perbankan nasional, terdapat dua kondisi yang seharusnya menjadi perhatian, yaitu : Pertama , saat itu belum ada perangkat aturan yang ditujukan untuk menanggulangi krisis yang normanya berbeda dari perangkat aturan yang mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal. Perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan yang ada saat itu hanya dapat digunakan sebagai aturan dalam keadaan normal saja. Agar tindakan yang diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka selain perangkat hukum yang mengatur kondisi normal seharusnya perlu pula ada perangkat hukum yang melandasi kerangka kerja manajemen krisis yang bersifat strategis. Kedua , pelaksanaan fungsi LoLR oleh Bank Indonesia dengan ditempuhnya kebijakan pemberian BLBI sebagai upaya penyelamatan sistem perbankan dan perekonomian nasional dan bersifat darurat pada masa “abnormal” masih dianggap memiliki sifat melawan hukum. 12 Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang berlaku saat itu, Bank Indonesia berwenang memberikan pinjaman darurat kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berat. Namun, dalam UU tersebut tidak terdapat peraturan dan prosedur yang jelas tentang bagaimana fungsi ini dilaksanakan. Selama krisis tahun 19971998, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas kepada bank- proses restrukturisasi perbankan BI juga menjadi fasilitator dalam merger dan akuisisi bank, Anwar Nasution, Stabilitas....., Ibid, hlm. 8. 12 Anwar Nasution, Stabilitas....Ibid, hlm. 8-9. Universitas Sumatera Utara bank bermasalah untuk mencegah keruntuhan sistem perbankan dan untuk menjaga sistem pembayaran. Terus memburuknya kepercayaan terhadap sistem perbankan pada saat krisis tersebut yang disertai dengan ketidakpastian politik dan gejolak sosial telah menimbulkan systemic bank run dari bank-bank yang dianggap bermasalah ke bank- bank yang lebih sehat. Dapat dimaklumi, dalam situasi krisis dan dalam rentang waktu terbatas sulit dan mungkin mustahil bagi bank sentral untuk membedakan antara permasalahan likuiditas dan solvensi. 13 13 Permasalahan bank yang solvensi atau insolvent adalah suatu keadaan dimana bank tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dengan aktiva yang tersedia. Karena itu, masalah pokok BLBI adalah ketidakjelasan kriteria untuk membedakan antara bank yang sehat dan yang sakit, serta tiadanya kebijakan dan pedoman LoLR yang jelas untuk meyakinkan akuntabilitas. Juga terdapat kelemahan koordinasi antar lembaga dalam menangani krisis pada saat itu. Oleh karenanya, dari sisi penyelesaian krisis tidaklah memenuhi asas keadilan apabila suatu tindakan darurat yang diambil dalam masa abnormal tersebut dinilai dari kaca mata dan dengan aturan yang berlaku pada kondisi normal, sehingga atas dasar penilaian yang tidak fair itu, tindakan tersebut dikategorikan sebagai bersifat melanggar aturan perbuatan melawan hukum. Padahal aturan “yang dilanggar” itu sebenarnya hanya dapat berlaku efektif terhadap kegiatan usaha bank di masa normal dan akan tidak efektif apabila diterapkan pada masa krisis sistemik masa abnormal. Sementara itu, telah disadari bersama bahwa tindakan yang Universitas Sumatera Utara dilematis itu harus dilakukan demi menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional yang hampir collapse. Dalam situasi kritis seperti pada waktu itu, Bank Indonesia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengambil alternatif keputusantindakan tersebut. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah yang dilaksanakan Bank Indonesia dengan memperbolehkan bank-bank yang bersaldo debet untuk tetap ikut kliring dalam rangka menghindarkan akibat yang lebih fatal, yaitu bank- run dan collapse-nya sistem perbankan, serta keputusan memberikan back-up dana dalam rangka menjalankan fungsi bank sentral sebagai LoLR untuk mengatasi kesulitan likuiditas perbankan karena di-rush krediturnya dan terlambatnya pengembalian kredit debitur karena kondisi sosial ekonomi dan keamanan yang tidak kondusif, pada dasarnya bukan perbuatan yang melawan hukum dengan tujuan merugikan keuangan Negara. 14 14 BI yang berdasarkan legal framework UU No. 13 Tahun 1968 adalah merupakan bagian dari Pemerintah belum independen menyediakan BLBI dalam rangka dioperasionalkannya fungsi BI sebagai lender of the last resort berdasarkan Pasal 32 ayat 3 UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang memberikan landasan hukum bagi BI untuk menyediakan dana kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi bank. Selain itu, BLBI juga diberikan terkait dengan pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah terhadap pembayaran kewajiban bank umum berdasarkan Keppres No. 26 Tahun 1998 dan pembayaran kewajiban kepada luar negeri berupa interbank debt arrears dan trade finance berdasarkan Keppres No. 120 Tahun 1998. Tagihan BLBI kepada bank-bank tersebut selanjutnya dialihkan oleh BI kepada Pemerintah bersamaan dengan penerbitan Obligasi Pemerintah kepada bank-bank. Selanjutnya, BPPN atas nama Pemerintah mengubah tagihan itu menjadi tagihan BPPN kepada Pemegang Saham Pengendali PSP bank. Kondisi yang sama tentunya berlaku pula untuk pemberian dana talangan oleh Bank Indonesia kepada perbankan dalam rangka menjalankan Program Penjaminan Pemerintah. Universitas Sumatera Utara Berpijak pada asas hukum presumption of innocence, sudah barang tentu apabila dalam pelaksanaannya ditemui adanya pelanggaran hukum, maka kasus pelanggaran hukumnya perlu diteliti dan diusut tuntas, sedangkan kebijakan ditempuhnya langkah-langkah dalam rangka penyelamatan sistem dan perekonomian nasional itu bukanlah suatu pelanggaran hukum. Demikian pula dengan kasus Bank Century sekarang bernama Bank Mutiara pada tahun 2008 sungguh telah menyita perhatian dan tenaga bangsa Indonesia. Apalagi setelah Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat DPR menyetujui pembentukan Panitia Khusus Pansus atas masalah ini. Pansus dibentuk karena ditengarai upaya penyelamatan bailout bank tersebut dalam rangka menyelamatkan dana para deposan besar dan sebagian dari dana tersebut mengalir kepada partai politik tertentu dan tim sukses dari salah satu calon presiden dalam pemilu presiden pilpres pada tahun 2009 yang lalu. Beragam isu bertebaran di ruang-ruang publik mengenai kasus ini, termasuk di layar kaca teve ketika stasiun teve seperti berlomba menyuguhkan siaran lansung live dari sidang-sidang Pansus dengan beragam saksi dan nara sumber. Laporan pandangan mata itu semakin menimbulkan rasa penasaran publik akan apa yang sedang terjadi. Setiap pihak yang terkait masalah Bank Century sepertinya menyuguhkan alibi masing-masing yang cukup meyakinkan. Publik pun akhirnya menjadi bingung. Universitas Sumatera Utara Darmin Nasution, Deputi Gubernur Senior DGS Bank Indonesia saat itu, dalam Press Conference bersama Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan LPS terhadap Hasil Audit Investigasi BPK di Departemen Keuangan tanggal 24 November 2009, 15 Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, peran Bank Indonesia sebagai LoLR sangat terbatas. Bank Indonesia hanya dapat memberikan LoLR kepada bank pada kondisi normal maksimum 90 hari dengan agunan berkualitas tinggi dan likuid, tetapi tidak untuk kondisi khusus. menjelaskan bahwa penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak dari krisis perekonomian global yaang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik, merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia. 16 15 Harian Kompas, 25 November 2009, hlm 2 : “Bailout Bank Century, Menyelamatkan Sistem Perbankan” . Agunan tersebut dapat berupa surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau surat berharga sejenis lainnya yang bernilai 16 Pasal 11 ayat 1 UU tentang Bank Indonesia berbunyi : “Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan”. Universitas Sumatera Utara tinggi dan dapat segera dijual ke pasar. 17 Mempertimbangkan kondisi makro ekonomi global dan domestik, Pemerintah memandang memasuki kuartal ke IV tahun 2008 perekonomian Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan. Dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945, maka Pemerintah sekaligus menerbitkan 3 Peraturan Pengganti Undang-Undang PERPPU, yang terdiri dari : Dalam kenyataannya, yang memenuhi kriteria tersebut hanya obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan pemerintah dan SBI. Fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia tersebut berfungsi seperti fasilitas diskonto yang disediakan secara rutin oleh bank sentral untuk mengatasi kesenjangan mismatch likuiditas yang mungkin dihadapi oleh bank. Namun demikian, fasilitas tersebut tidak mencakup fungsi LoLR yang khusus digunakan dalam rangka pemberian bantuan likuiditas darurat kepada sistem keuangan dalam masa krisis. Dalam hal ini bank-bank umumnya tidak memiliki agunan berkualitas tinggi sehingga diperlukan beberapa pengecualian dari persyaratan kondisi normal. 1 PERPPU No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia. PERPPU ini diterbitkan dilatarbelakangi oleh keterbatasan kepemilikan surat berharga perbankan sebagai secondary reserve yang dapat diagunkan kepada Bank Indonesia dikaitkan dengan peran sebagai Lender of The Last Resort. 17 Ibid, Pasal 11 ayat 2 berbunyi : ” Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Universitas Sumatera Utara Untuk itu, PERPU ini mengubah syarat agunan FPJP Pasal 11 UU Bank Indonesia yang semula hanya berupa surat berharga yang bernilai tinggi dan mudah dijual, menjadi sebagai berikut : “...... surat berharga danatau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai dan aset kredit kolektibilitas lancar ......”. 2 PERPPU No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. PERPU ini diterbitkan dilatarbelakangi dengan adanya kebutuhan peningkatan cakupan penjaminan dana pihak ketiga LPS yang tidak mungkin dilakukan tanpa mengamandemen UU LPS yang mengatur kriteria dan persyaratan cakupan penjaminan dana pihak ketiga. Dengan PERPPU ini, LPS mengubah penjaminan dana pihak ketiga dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar. 3 PERPPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. PERPPU ini diterbitkan dilatarbelakangi kebutuhan untuk memperjelas Crisis Management Protocol CMP Sistem Keuangan Indonesia, terutama terkait dengan otoritas yang berkepentingan dan pengaturan mengenai hak dan kewajiban, serta belum selesainya penyusunan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan RUU JPSK. Universitas Sumatera Utara Dalam PERPPU ini diatur ruang lingkup pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan KSSK, baik dalam rangka pencegahan krisis maupun penanganan krisis. Selanjutnya, berdasarkan PERPPU No. 2 Tahun 2008 Bank Indonesia mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia PBI sebagai peraturan pelaksanaannya, yang menyempurnakan ketentuan sebelumnya yang terkait dengan pelaksanaan fungsi LoLR. Namun, meskipun sudah berdasarkan PERPPU-PERPPU diatas, analisis dampak sistemik yang menjadi alasan KSSK untuk melakukan bailout terhadap Bank Century pada tanggal 22 November 2008 menjadi masalah yang sangat dipertanyakan, baik oleh BPK RI maupun oleh Pansus DPR RI. Demikian pula dengan pemberian FPJP oleh Bank Indonesia pada awal November 2008. Akhirnya dalam sidang paripurna DPR pada hari Rabu tanggal 3 Maret 2010 melalui voting diputuskan bahwa kebijakan bailout terhadap Bank Century “salah” opsi C dan kepada aparat penegak hukum agar menindaklanjuti permasalahan hukumnya. 18 Melihat begitu pentingnya fungsi bank sentral sebagai LoLR terutama untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik, tetapi dalam pelaksanaannya di Indonesia selalu dianggap bermasalah yang menimbulkan implikasi hukum terhadap pejabat-pejabat yang mengambil keputusan, seperti terlihat dari kasus BLBI dan Bank Century, maka hal inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk menulis tesis ini 18 Lihat Tempo edisi 8-14 Maret 2010, dan surat-surat kabar nasional tanggal 9 Maret 2010. Universitas Sumatera Utara yang berjudul : “Analisis Yuridis Mengenai Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender of the Last Resort Perbankan”.

B. Rumusan Permasalahan