88 | P a g e
ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam persilisihan pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan doleansi karena adanya perselisihan mengenai besarnya jumlah utang pajak, oleh karena itu, ada dua hal yang harus
diperhatikan: a. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan
b. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak Dirjen Pajak, Kakanwil Pajak yang disebut sebagai hakim doleansi
2. Peradilan Administrasi Murni Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu
Wajib Pajak, Fiskus, dan Hakim yang mengadili. Wajib pajak dan Fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan
memutuskan sengketa tersebut. Dalam sistem perundang-undangan perpajakan ada beberapa bentuk
peradilan administrasi, yaitu: a. Pengajuan Surat Keberatan;
b. Pengajuan Banding ke Pengadilan Pajak; c. Gugatan;
d. Peninjauan Kembali.
B. Kedudukan pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan
Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 ini mengundang banyak perhatian. Ahli hukum menilai keberadaan pengadilan pajak
bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman karena tidak termasuk dalam empat peradilan Indonesia, yakni pengadilan umum, pengadilan
agama, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara PTUN. Bahkan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 24 ayat 2 amandemen ketiga. Sedangkan di
pihak lain, pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 menyatakan, Pengadilan Pajak adalah
89 | P a g e
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Hal-hal tersebut diatas mencerminkan adanya pengaruh kuat dari Kementerian Keuangan terhadap pembentukan UU Pengadilan Pajak, akibatnya terjadi
ketidakjelasan kedudukan pengadilan pajak dalam struktur kekuasaan kehakiman sehingga akan berpengaruh negatif dalam proses penyelesaian sengketa pajak.
Saat ini, Pengadilan Pajak tidak terintegrasi di bawah Mahkamah Agung MA. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang
mengamanatkan pengadilan satu atap, semua di bawah MA. Kekuasaan MA hanya dibatasi menyangkut pembinaan tekhnis peradilan pasal 5 ayat 1 UU Pengadilan
Pajak sedangkan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan serta pembiayaan Pengadilan Pajak masih berada di bawah Kementerian Keuangan pasal
5 ayat 2. Keadaan ini diduga menjadi salah satu sebab yang menghambat independensi para hakim untuk dapat memutuskan sengketa pajak dengan adil.
Mahkamah Agung sendiri gamang dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasannya.
Pengadilan Pajak hanya merupakan subsistem dari sistem hukum pajak , tidak merupakan subsistem dari sistem kekuasan kehakiman. Oleh karena itu, kedudukan
Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tidak sesuai atau tidak diletakkan dalam sistem peradilan yang berlaku di Indonesia. Maka untuk mewujudkan
Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan sesungguhnya, yaitu sebagai badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman, dapat dilakukan dengan menempatkan
atau meletakkan Pengadilan Pajak menjadi salah satu lingkungan peradilan tersendiri. Dan yang paling penting adalah, apabila Pengadilan Pajak sebagai pengadilan
khusus memang telah diletakkan atau ditempatkan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Pajak harus tunduk pada jenjang pengawasan
secara teknis yuridis, dalam bentuk upaya hukum biasa baik banding maupun kasasi. Secara organisasi, administrasi, dan finansial, Pengadilan Pajak juga harus berada
dalam pengawasan berjenjang dari pengadilan yang lebih tinggi di bawah Mahkamah Agung, yaitu PTUN dan PTTUN.
90 | P a g e
C. Sengketa Pajak