1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu
berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan
melangsungkan kehidupan. Setiap bangsa dan generasi memiliki dasar dan tujuan pendidikan tertentu. Tentunya dasar dan tujuan itu disesuaikan dengan cita-cita,
keinginan dan kebutuhan Ahmadi Uhbiyati, 2001. Upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dapat dilakukan dengan jalan pembangunan sektor
pendidikan tersebut didasarkan pada pendapat Surakhmad 1999yang menerangkan bahwa pembangunansuatu bangsa bergantung pada kualitas sumber
dayanya untuk itu diperlukan keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan.
Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat
meningkatkan kapasitas kemampuan seorang anak, tetapi juga menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia Kumar, 2007. Kualitas pendidikan dipengaruhi
oleh penyempurnaan sistemik terhadap seluruh komponen pendidikan seperti peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang
disempurnakan, sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim
2
pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan pemerintah, baik dari pusat maupun dari daerah. Dari semuanya itu, guru merupakan komponen paling
menentukan, karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, serta iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan
peserta didik Mulyasa, 2007. Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan
pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari
sekian banyak komponen pendidikan, guru merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan
pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru yang kompeten, profesional, bermartabat,
dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan Sanaky, 2007.
Guru dianggap sebagai faktor yang menentukan terhadap meningkat atau menurunnya mutu pendidikan kita. Peranan guru sangat menentukan karena
kedudukannya sebagai pemimpin diantara peserta didik. Guru bertanggungjawab untuk mengorganisasikan dan mengawasi kelas serta menciptakan situasi yang
kondusif agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar serta merangsang kreativitasnya. Guru menempati posisi penting dalam upaya menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas dan dapat membawa negara pada kemajuan. Peranan guru bersifat multidimensional dan bergradasi menurut jenjang
pendidikan.Dikatakan multidimensional karena peran itu bukan satu tetapi
3
beraneka ragam yaitu guru sebagai pendidik atau orang tua, pemimpin atau manajer, produsen atau pelayan, pembimbing atau fasilitator, motivator atau
stimulator, peneliti atau narasumber Mulyasa, 2007. Menurut Mulyasa 2007, guru merupakan komponen paling menentukan
dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan
strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengankomponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran
utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik,
terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil
pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan
sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas.
Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik Djamarah, 2002. Sebagai pengajar guru bertugas
menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar
menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Kualitas guru sangat penting dalam memajukan pendidikan, terutama
pendidikan dasar. Guru SD Sekolah Dasar mempunya peranan yang utama
4
dalam mengarahkan anak didiknya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa anak sekolah dasar adalah peletak dasar bagi
terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas Sutjipto, 2001. Sutjipto 2001 menyatakan bahwa beban kerja guru SD dapat dikatakan
lebih besar daripada guru SMP dan SMA atau SMK. Perbedaan beban kerja terletak pada karakteristik dari tugas masing-masing guru. Guru SD sebagai guru
kelas yang mengajar siswa yang rata-rata berusia sama, harus menguasai seluruh materi mata pelajaran yang akan diberikan di kelas selama satu tahun sesuai
kurikulum yang dibuat. Hal ini berbeda dengan guru SMP dan SMA atau SMK yang hanya mengajar satu mata pelajaran saja selama bertahun-tahun dengan
materi yang sama. Dapat dilihat pernyataan seorang guru Sekolah Dasar dibawah ini:
“lebih susah itu ngajar anak SD lah. Coba kamu pikir, guru SD itu harus bisa menguasai semua mata pelajaran untuk kelasnya karena guru SD
biasanya itu pegang satu kelas. Tapi lain untuk guru agama dan guru olahraga ya, biasanya mereka cuma pegang mata pelajaran itu aja. Kalo
guru kelasnya, mereka harus bisa semua pelajaran. Hebat kan guru SD
itu.” Wawancara Personal, 10 April 2013
Melihat rumitnya tugas guru tersebut dan pentingnya guru sebagai pekerja utama dalam proses pendidikan, maka sangatlah penting untuk memperhatikan
kondisi guru. Namun demikian, tidak semua guru sejahtera, terutama guru di sekolah-sekolah yang letaknya terpencil dan jauh dari pusat kota.Tenaga pengajar
yang mengajar di daerah terpencil melakukan pekerjaan dan pengorbanan yang jauh lebih berat dibandingkan guru yang mengajar di daerah perkotaan. Sebagai
contoh, daerah pesisir yang identik dengan kemiskinan menyebabkan proses
5
mengajar menjadi beban yang cukup berat Abdullah, 2013. Efendy menambahkan bahwa banyak masalah pendidikan yang ditemukan di wilayah
pesisir, yakni sarana dan prasarana yang kurang memadai, ketersediaan guru yang tidak merata jumlahnya, proses belajar dan mengajar tanpa didukung fasilitas
yang memadai, kurangnya dukungan masyarakat dan dunia usaha serta letak geografis yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan daerah daratan
lainnya dalam Anonim, 2012. Hal ini juga dikemukakan oleh Bu Mawar bukan nama sebenarnya yang merupakan salah satu guru yang mengajar di pesisir.
““Nah gitu lah itu, sekolah kayak gitu. Apapun gak ada, buku bacaan hancur semua. Buku bacaan itu ada yang gak dapat.
Bu Mawar, R1W1B.181
“Bobrok kayak gitu. Lemari Ibu itu, tikus semua itu, pokoknya alat-alat tidak bisa tinggal disana, Ibu bawa pulang semua. Tikus penuh, anak-anak
itu menjerit, pas ibu buka udah penuh. Ibu bilang ke penjaga, lemari ini kita bongkar, udah dibongkar, masih datang juga. Namanya juga situasi
disana ya, tikus itu luarbiasa, apa ibu habis lah.” Bu Mawar, R1W1B174-178
Kondisi guru yang perlu diperhatikan tidak hanya pada kondisi fisiknya saja tetapi juga pada kondisi psikologisnya. Seorang guru dituntut untuk bekerja
dengan berbagai siswa dan kebutuhan-kebutuhan mereka yang berubah-ubah. Guru juga diharuskan mampu mengatasi lingkungan yang selalu berkembang,
mampu beradaptasi dengan standar dan kualifikasi baru. Tekanan dan tanggungjawab yang dipegang guru tak jarang menimbulkan stres Joseph, 2000.
Dusun Sidodadi Paluh Merbau Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah desa pantai. Meskipun desa yang terletak di pesisir
timur kota Medan ini tidak terlalu jauh dari ibukota Sumatera Utara, tetapi kesan kumuh dan terbelakang dapat terlihat ketika memasuki desa yang dihuni oleh
6
±450 kepala keluarga. Desa yang mayoritas penduduknya adalah nelayan dan tergantung dari hasil laut dipenuhi oleh jejeran rumah yang terbuat dari papan dan
tampak lapuk serta kumuh. Menjadi guru yang mengajar di daerah ini tentu memberikan tekanan pada guru baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini
senada dengan pernyataan yang diberikan oleh salah seorang guru: “Kamu lihat nak, sekolah ini. Pinggir-pinggir gedungnya banyak yang
rusak. Itu karena sekolah kita ini dekat dengan laut, jadi kandungan garam di udaranya tinggi, itu yang buat sekolah ini jadi rusak. Tambah lagi,
kondisi tanah yang berpasir ini buat tanaman susah tumbuh. Kalau di bilang enak, yah, pasti ada gak enaknya juga mengajar disini. Jauh dari
kota, terus yah, kamu lihat lah kondisinya. Capek ke sekolah jadi buat saya sering emosi
.” Wawancara personal, 10 April 2013
Joseph 2000 membandingkan tingkat stres antara guru, pekerja sosial, dan pelayan. Ternyata guru menempati posisi teratas dalam tingkat stres dan
rawan mengalamiburnout atau mangkir dari pekerjaan lalu keluar dari pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nagel memperlihatkan bahwa subjek yang diteliti
saat ditanya, “apabila diberi kesempatan kembali untuk memilih sebuah pekerjaan” semuanya menjawab tidak ingin memilih menjadi seorang guru. Dari
keseluruhan subjek, 33-nya menyatakan bahwa menjadi guru memberikan stres yang berat, dan dari 30-nya menyatakan hanya akan bertahan sebagai guru
selama 5 tahun saja Nagel, 2003. Kyriacou 1987 menggambarkan stres yang dialami oleh guru sebagai
perasaan yang tidak menyenangkan seperti depresi, marah, cemas, dan tegang yang terbentuk oleh tekanan kerja sebagai guru. Stres yang dialami oleh guru
bersumber dari rendahnya motivasi pada siswa, masalah kedisiplinan, tekanan
7
yang disebabkan oleh beban dan waktu kerja, penilaian dari oranglain, hubungan dengan rekan kerja, kondisi lingkungan kerja yang buruk, rendahnya dukungan
dari rekan kerja, teman, dan keluaga Kyriacou, 2001. Selain itu, keterlambatan siswa dalam menghadiri sekolah, kegagalan siswa dalam menyelesaikan tugas,
dan siswa yang tidak mau menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan dapat menjadi penyebab stres pada guru Joseph, 2000. Hal ini juga diutarakan oleh
Bapak S, seorang kepala sekolah SD di Desa Percut yang mengatakan: “Siswa SD disini kalau kelas 1 sampai kelas 3 itu masih rajin masuk,
sedikitlah yang absen. Tapi, mulai kelas-kelas tinggi, mulai kelas 4 sampai 6, mereka mulai jarang masuk dengan alasan bantu orangtua. Anak-anak
ini, kalau sudah besar aja dikit, sudah bisa cari kerang, kepiting atau ikan, jadi jarang masuk. Karena mereka sudah bisa cari uang untuk jajan atau
bantu-bantu orangtuanya. Siswa disini juga susah buat tugas. Mungkin karena gak diawasi orangtuanya. Guru-
guru pun capek mengingatkan” Komunikasi Personal,11April 2013
Kesulitan yang dihadapi oleh guru tidak hanya terjadi di sekolah, namun masalah yang jauh lebih kompleks juga mungkin terjadi di lingkungan luar
sekolah. Kondisi-kondisi tersebut tidak jarang membuat guru putus asa bahkan stres. Stresyang terjadi pada guru dapat mengakibatkan isolasi dan berkurangnya
perhatian guru pada murid-muridnya dan juga mempengaruhi banyak aspek dari profesi guru. Stres juga menjadi salah satu penyebab seorang guru memutuskan
untuk berhenti dan keluar dari profesinya Farber, 1991 dalam Abbott 2004. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan seorang petugas desa yang
awalnya seorang guru: “....Dulu saya pernah jadi guru di sini, tapi saya gak tahan. Siswanya
malas-malas, banyak yang nakal. Jadi saya putuskan untuk berhenti jadi
8
guru. Sekarang saya jadi pegawai di kantor kepala desa. Lebih enak saya rasa.”
Komunikasi Personal, 11 April 2013
Selain itu, sulitnya hidup di pesisir membuat beberapa guru muda tidak bertahan cukup lama untuk mengajar dan memutuskan untuk pindah. Bkan hanya
guru muda, tetapi guru yang berasal dari luar pesisir juga memutuskan untuk pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan kota. Hal ini diungkapkan oleh kepala
sekolah SD Paluh Merbau “gimana ya dek, guru-guru yang dari kota ini banyak yang gak tahan
mengajar disini. Mungkin karena jauh dari rumah terus karena mungkin disini gak ada mall untuk jalan-jalan. Jadi mereka banyak yang milih untuk
ngurus SK pindah. Kayak ini ada 2 orang guru yang masih muda, baru mulai masuk 2012, tapi karena kejauhan mereka mau p
indah aja.” Wawancara personal, 24 April 2015
Meskipun banyak sumber stres yang dialami oleh guru, tetapi tetap ada yang bertahan mengajar di sekolah.Abbott 2004, menyebutkan bahwa
kemampuan guru untuk bertahan di sekolah yang penuh dengan sumber stres dipengaruhi oleh strategi resiliensi. Strategi resiliensi merupakan sejumlah cara
yang digunakan guru untuk mempertahankan resiliensi dalam menjaga kelangsungan tugas-tugas profesi mereka di sekolah.
Moriarty, Danaher, dan Danaher dalam Jarzabkowski, 2003 menjelaskan bahwa guru yang mengajar di sekolah terpencil dengan tingkat beban yang tinggi
memerlukan kemampuan resiliensi agar mampu bertahan dalam kondisi sulit.Rutter 1985 mengartikan resiliensi sebagai menghadapi “stres pada waktu
dan dengan cara yang memungkinkan kepercayaan diri dan kompetensi sosial
9
meningkat melalu penguasaan dan tanggungjawab yang sesuai” dalam Gordon et al., 2000.
Benard 1991 mengungkapkan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kapasitas bawaan untuk mampu beresiliensi, yang berarti bahwa kita mampu
mengembangkan kompetensi sosial, keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis, mandiri, dan memiliki hasrat untuk mencapai tujuan. Penelitian yang
dilakukan oleh Day et.al 2006 menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi berasal dari dalam diri individu, tetapi kekuatan dari resiliensi itu dipengaruhi
oleh faktor eksternal, yakni diri sendiri, profesionalisme dan faktor situasional. Ada dua alasan yang menekankan bahwa menumbuhkan kemampuan
resiliensi pada guru merupakan hal yang penting. Pertama, guru merupakan model bagi murid mereka dan merupakan hal yang aneh jika guru mengharapkan murid-
muridnya untuk mampu beresiliensi, sedangkan mereka sendiri guru tidak menerapkannya. Kedua, pemahaman mengenai resiliensi pada guru dalam proses
menghadapi tegangan kehidupan kerja dapat memberikan kontribusi pada guru untuk mengembangkan kemampuan mengajar, profesionalisme, komitmen, dan
efektivitas Day et.al., 2006. Menurut Patterson dan Kelleher 2005, resiliesi adalah sebuah konstruksi
dasar yang memberikan kekuatan untuk menolong school leader bangkit dan berkembang dari kesulitan-kesulitan. School leader bukan hanya dimaksudkan
pada pemimpin atau kepala sekolah namun juga guru dan semua elemen pendidik dalam suatu sekolah. Efek resiliensi guru amatlah besar, sebab dengan adanya
kemampuan bertahan tersebut akan membawa perubahan pada lingkungan
10
sekolah, dan bahkan memberi dampak pada siswa, yang tidak akan mungkin terjadi tanpa pengaruh guru Wasley, 1991 dalam Abbott 2004.
Resiliensi kemampuan seorang individu untuk dapat bertahan dan pulih dari kondisi yang sulit merupakan kondisi yang penting dalam mempertahankan
komitmen Day et al., 2006. Sepanjang karirnya, guru akan berhadapan dengan banyak situasi yang memunculkan konflik dan stress. Seorang guru yang tidak
mampu mengatasi situasi-situasi yang sulit akan mempengaruhi kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis, dengan ditandai munculnya pola-pola gangguan tidur
dan makan, depresi, menurunnya kepuasan kerja dan pada akhirnya akan mempengaruhi kontinuitas karir Brooks, 1994. Akan tetapi, guru yang resilien
akan mampu menghadapi berbagai situasi yang buruk dengan efektif, dan hal ini merupakan kunci penting bagi kesuksesan dalam ruang kelas dan komitmen guru
terhadap profesinya Gordon Coscarelli, 1996. Resiliensi dilihat sebagai sebuah kekuatan yang penting bagi guru untuk
menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan tekanan. Hal inilah yang kemudian membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai resiliensi
pada guru di pesisir. Berangkat dari pemaparan diatas, peneliti tertarik dan memfokuskan arah
penelitian ini berdasarkan satu kasus yang berhubungan dengan resiliensi dua orang guru yang mengajar di Paluh Merbau. Kedua guru tersebut adalah Bu
Mawar bukan nama sebenarnya dan Bu Anggrek bukan nama sebenarnya. Kedua guru sudah lama mengajar di Paluh Merbau, Bu Mawar telah mengajar
sejak tahun 1996 sedangkan Bu Anggrek sejak tahun 1989.
11
Bu Mawar merupakan seorang wanita yang bertempat tinggal di kota Medan. Beliau mengikuti ujian masuk PNS dan lulus pada tahun 1993. Bu Mawar
mendapatkan SK untuk mengajar di Paluh Merbau pada tahun 1996. Pada awalnya, Bu Mawar merasa terkejut ketika mengetahui bahwa ia harus mengajar
di tempat yang jauh, yang bahkan namanya saja belum pernah ia dengar. Bagi Bu Mawar yang selama ini hidup di kota Medan, ditempatkan mengajar di sebuah
dusun pesisiri yang jauh dari kota sangat mengejutkan. Bu Mawar kaget dan tidak menyangka karena dia berpikir bahwa ia akan ditempatkan di lokasi yang tidak
begitu jauh. Bu Mawar kaget ditempatkan di lokasi yang jauh yang bahkan belum pernah ia dengar namanya. Hal ini diungkapkan dalam wawancara berikut
“... waktu tahu kaget setengah mati lah. Mau gak mau Ibu. Lama Ibu datang ke situ. Lama juga Ibu dating, udah sebulan penempatan baru Ibu
masuk, baru Ibu datang.” R1W1B26-28
“... tempatnya itu terpencil, belum ada jembatan harus naik sampan.” R1W1B21-22
Bu Mawar takut tidak bisa bertahan dengan kondisi geografis dan situasi Paluh Merbau yang jauh berbeda dengan kota yang selama ini ia tinggali. Selain
itu, sulitnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai sekolah juga menjadi penyebab Bu Mawar tidak tahan dan merasa kesusahan.
“Sebetulnya lulus itu senang ya, cuma mikir apa ditempat itu nanti bisa, gitu kan. Kendalanya itu jalan. Disitu waktu masa itu RBT masuk ke
dalam jalannya masih licin itu.” R1W1B44-46
12
Kondisi ekonomi masyarakat Paluh Merbau yang miskin dan juga tidak berpendidikan menambah kesusahan dan kesedihan Bu Mawar. Rendahnya
tingkat ekonomi menyebabkan proses pendidikan sulit berjalan. “...masyarakatnya kan masih gak ada yang sekolah disana. Jarang
pendidikan lah gitu. Anak-anaknya itu ckck, kayak manalah kita mau memajukan disana tapi minta dananya itu susah. Takutlah kita itu kan,
orang itu kan ntah ada pelajaran bawa karton. Pokoknya soal kutip
mengutip itu susah lah kalo disana.” R1W1B107-111
Dengan segala kesusahan yang dialaminya, Bu Mawar berusaha untuk tetap bertahan mengajar. Beliau berusaha menggunakan kemampuan sendiri
untuk bertahan. Kesulitan yang dihadapi oleh responden saat mengetahui harus mengajar di pesisir menuntutnya untuk mengembangkan kemampuan resiliensi.
Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari tujuh dimensi yang membentuk resiliensi, yakni emotion regulation, impulse control, causal analysis,
optimism, empathy, self efficacy, dan reaching out. Kesulitan yang dihadapi oleh responden saat mengetahui harus mengajar di pesisir menuntutnya untuk
mengembangkan kemampuan resiliensi. Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari tujuh dimensi yang membentuk resiliensi, yakni emotion regulation,
impulse control, causal analysis, optimism, empathy, self efficacy, dan reaching out Reivich dan Shatte, 2002.
Bu Mawar sudah dapat mengatasi perasaan susah yang dialaminya ketika pertama sekali menginjakkan kaki di Paluh Merbau. Bu Mawar bertahan mengajar
di Paluh Merbau karena beliau menguatkan diri untuk menahan ketidaknyamanan yang dirasakan dan beliau merasa harus bertanggungjawab terhadap Surat
13
Keputusan yang sudah menetapkan beliau untuk mengajar di Paluh Merbau. Bahkan beliau merupakan salah satu guru dari luar Paluh Merbau yang berhasil
bertahan mengajar hingga saat ini. “... Semua kami dari Medan. Semua pindah, tinggal kami tiga yang
bertahan, yang jauh. Terus Ibu zahara mutuskan pindah kesitu karena waktu itu anaknya masih kecil. masih bisa dibawa. masih kecil lah
anaknya. Di sekolah kami semua itu anaknya. Sampe sekarang anaknya
udah kuliah, kami masih bertahan sama Ibu Ar itu.” R1W1B81-85
Sejak mengetahui bahwa kondisi ekonomi dan geografis Paluh Merbau begitu jauh dibandingkan kota yang selama ini ia tinggali, Bu Mawar selalu
merasakan keinginan untuk pindah kerja. Akan tetapi, SK dari dinas pendidikan yang memuat perjanjian kerja memaksanya untuk tetap berada di Paluh Merbau.
“ada keinginan mau pindah, tapi kan perjanjian dulu tugas kami 5 tahun.” R1W1B54
Rasa malas mengajar Bu Mawar kadang muncul, terutama jika ada masalah-masalah sehubungan dengan murid. Bu Mawar mengungkapkan bahwa
orangtua sering salah paham dengannya. Mereka menganggap bahwa Bu Mawar tidak datang mengajar dikarenakan malas. Tuduhan-tuduhan seperti itu menjadi
beban bagi Bu Mawar yang mendorongnya untuk berhenti mengajar. Akan tetapi, keinginan itu bisa dikendalikan karena nasehat dari suami.
Bu Mawar tidak kehilangan rasa optimisnya dalam mengajar di Paluh Merbau. Walaupun pada awalnya beliau mengalami banyak hambatan, tetapi
14
optimisme terhadap pendidikannya tidak luntur. Selain itu, sebagai PNS Pegawai Negeri Sipil ada bantuan-bantuan yang diperoleh dari pemerintah.
Bekerja di Paluh Merbau mengajarkan banyak hal pada Bu Mawar. Terutama masalah bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki. Memahami
penderitaan dan kekurangan oranglain merupakan pelajaran yang ia dapat di Paluh Merbau. Kehidupan masyarakat yang miskin di Paluh Merbau seringkali
menimbulkan rasa sedih dalam diri Bu Mawar. Berdasarkan tujuh dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich
Schatte 2002 dapat disimpulkan bahwa Bu Mawar memiliki kemampuan resiliensi yang kurang baik. Hal ini ditunjukkan oleh kepercayaan akan
kemampuan diri sendiri yang kurang baik serta Bu Mawar membutuhkan dukungan dari keluarga dan teman-temannya untuk dapat bertahan mengajar di
pesisir. Bu Anggrek merupakan warga dari desa Tanjung Rejo yang letaknya tidak
begitu jauh dari Paluh Merbau, sehingga dapat dikatakan bahwa Bu Anggrek lebih mengenal Paluh Merbau dibandingkan dengan Bu Mawar. Bu Anggrek
mengambil pendidikan D2 di PGA. Setelah lulus, beliau menganggur selama setahun sebelum kemudian mengikuti ujian Pegawai Negeri Sipil PNS di tahun
1983. Setelah mendapatkan status sebagai PNS, Bu Anggrek ditempatkan menjadi guru agama Islam di Sei Rampah.Pada tahun 1989, dikarenakan adanya sebuah
kasus yang menyebabkan beliau dituduh menjadi guru yang tidak pernah mengajar, maka beliau minta untuk dipindahkan. Selanjutnya beliau dipindahkan
untuk mengajar di Paluh Merbau.
15
Bu Anggrek merasa bahagia ketika akhirnya ia dipindahkan ke Paluh Merbau. Bahkan keluarganya pun ikut senang dikarenakan lokasi sekolah tidak
begitu jauh dari rumah jika dibandingkan dengan di Rampah. Akan tetapi, teman- temannya mengganggap Bu Anggrek bodoh karena mau dipindahkan ke lokasi
yang terpencil serta miskin. “yaa, merasa senang juga sih karena bisa pulang hari. Sedang di Rampah
kan harus nginap disana. Tapi kawan-kawan bilang, kau bodoh kali, kok sekali pindah di tempat jin buang anak. Tapi memang niat saya disitu.
Pada awalnya kan niat saya kalaupun pindah ya disitu.” R2W1B156-159
Setelah beberapa tahun tidak melihat kondisi Paluh Merbau, Bu Anggrek terkejut saat melihatnya lagi untuk mengajar. Kondisi jalan Paluh Merbau yang
buruk dirasa memberatkan. Selain itu, kondisi Paluh Merbau yang miskin dan terpencil, serta masyarakatnya yang tidak begitu peduli pada pendidikan
terkadang menyebabkan anak-anak menjadi tidak sopan kepada gurunya dan sulit untuk diatur. Bu Anggrek merasa ada saat tertentu dia merasa ingin marah dan
mengamuk kepada para siswanya, tetapi beliau mampu mengendalikan emosi tersebut dan menemukan cara untuk mengatasi perilaku anak didiknya yang nakal.
“kalau mengajari sih gak sulit, cuman kadang kita karena anak sekarng ini sudah gak ada apa yaa, kayak kehilangan karakter, gak ada takutnya, gak
ada segannya. Eehhh, itu terlihat waktu mereka itu belajar, kalau disuruh merendahkan suara itu malah makin kuat, jadi kelas itu bising. Jadi kalau
kita gak pintar bawakan nada, maunya kita ngamuk aja. Tapi karena kita kadang nada kita, terus kita bilang dengan suara rendah, mereka terus
pelan. Memang tentang suara itu lah. Nanti kalo ngerjakan kelompok, hoo saling otot-ototan suara tinggi. Kesulitannya itu, untuk menentramkan
mereka. Supaya gak ada guru itu tenang.” R2W2B31-38
16
Meskipun awalnya merasa terkejut dan terbebani dengan kondisi Paluh Merbau yang buruk, seiring berjalannya waktu, Bu Anggrek berhasil mengatasi
keterkejutannya dengan kondisi Paluh Merbau melalui rasa syukur dan niat untuk mengabdi disana. Walau terkadang Bu Anggrek harus melewati kondisi jalan
yang becek dan sulit dilalui karena hujan. “yaa karena saya sudah senang tadi, saya jalanin saja. Kadang kalau hujan
lebat itu, kan lengket, roda gak bisa berputar, macet. Kadang ada kenalan saya, nanti ditanya kenapa sepedanya? Gak bisa jalan ini. Ya udah sini
aja, tak gotong. Jadi digotong sampe tempat yang baru bisa dijalanin. Kadang ada juga sampe setengah kilo itu. Digotong dia, baru saya cungkil-
cungkil lumpurnya itu.” R2W1B283-287
Tanggungjawab Bu Anggrek sebagai guru tidak hanya kepada para siswanya, tetapi juga pada masalah administrasi. Setiap guru memiliki tugas
administrasi seperti mengurus absensi siswa dan menulis perkembangan para siswa. Bu Anggrek tidak menyukai tugas ini bahkan beliau merasa marah dan
tidak suka saat diminta untuk mengerjakan tugas administrasi. Akan tetapi, Bu Anggrek mampu mengatasi emosi-emosi tersebut dengan berzikir untuk
menenangkan pikiran. “yaa ada. Saya itu kan matanya udah gak gitu bagus. Jadi kalo disuruh
nulis-nulis, tugas administrasi itu saya malas, jadi kesal, palak gitu. Kadang jadi marah saya. Jadi kalo ada tugas itu, saya kerjakan kalo udah
mau dekat-
dekat waktu kumpulnya, hehe.” R2W3B100-102
“yaa saya kalo udah ngerasa gitu, saya zikir aja lah. Tengah malam, waktu pikiran udah tenang, disitulah saya kerjakan zi
kirnya dan tugas itu.” R2W3B109-110
17
Organisasi kejiwaan yang diikuti oleh Bu Anggrek juga membantunya untuk mengendalikan emosi. Organisasi ini mengajarkan untuk sabar dan rela.
Menurut Bu Anggrek, ajaran-ajaran kejiwaan yang ia dapatlah yang banyak memberikan bantuan kepadanya untuk tetap tegar menjalankan tugasnya sebagai
guru. Selain masalah kondisi jalan dan aksesibilas sekolah yang buruk, Bu
Anggrek juga harus menghadapi kenakalan-kenakalan siswanya. Ketika menghadapi masalah, Bu Anggrek biasa melakukan analisa untuk memahami
alasan seorang anak melakukan kenakalan. Bu Anggrek berpendapat dengan menganalisa penyebab seorang anak bermasalah, beliau akan dapat menemukan
solusi yang tepat. Menjadi guru merupakan sebuah impian bagi Bu Anggrek. Beliau bertekad
untuk mendidik siswanya dengan baik agar kelak penerus bangsa Indonesia tidak bodoh. Selain itu, Bu Anggrek punya impian bahwa anak-anak didiknya akan
meneruskan ilmu yang ia ajarkan. Impian dan harapan ini yang membuat Bu Anggrek optimis mengajar.
Bu Anggrek dikenal sebagai individu yang taat pada agama dan seringkali menjadi tempat meminta nasehat dari teman-teman maupun saudaranya. Bu
Anggrek mengatakan bahwa dirinya dikenal sebagai orang yang baik, peduli, penggembira dan menyenangkan. Sejak dulu, Bu Anggrek sering memperhatikan
keadaan orang sekitar dan tak jarang Bu Anggrek ikut merasakan kesedihan oranglain yang menceritakan permasalahannya kepada Bu Anggrek.
Sebagai seorang yang taat beragama, Bu Anggrek selalu menghadapi
18
masalah dengan berserah pada Tuhan. Ajaran kejiwaan yang didalami Bu Anggrek juga menjadi pedomannya dalam menghadapi masalah. Kepercayaannya
kepada kekuatan Allah memberikan rasa percaya diri kepada Bu Anggrek. Bu Anggrek percaya bahwa ia mampu menyelesaikan masalah dengan
kemampuannya sendiri tanpa pertolongan oranglain karena ada kekuatan Allah yang mendukungnya.
Mengajar di Paluh Merbau yang jauh merupakan tantangan bagi Bu Anggrek. Bu Anggrek tidak menyerah dengan kondisi sekolah yang miskin dan
jalan menuju sekolah yang buruk. Beliau menggunakan kesempatan mengajar untuk mengetahui seluk beluk Paluh Merbau.
Dari hasil gambaran resiliensi Bu Anggrek dan didasarkan pada dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich Schatte 2002, dapat disimpulkan
bahwa Bu Anggrek memiliki kemampuan resiliensi yang baik, atau dengan kata lain, Bu Anggrek adalah guru yang resilien.
Banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan Bu Mawar dan Bu Anggrek sebagai guru yang mengajar di pesisir. Ada faktor-faktor yang membantu mereka
untuk bertahan dan ada pula faktor-faktor yang menjadi resiko bagi keduanya. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan Bu Mawar tidak resilien dan Bu
Anggrek mampu resilien. Bagi Bu Mawar dan Bu Anggrek mungkin ada perbedaan kemampuan resiliensi dan faktor yang mempengaruhinya. Peneliti
berharap akan dapat tergali lebih banyak lagi mengenai resiliensi pada guru yang mengajar di pesisir, khususnya pada Bu Mawar dan Bu Anggrek, tantangan
seperti apa yang dihadapi, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi resiliensi
19
keduanya, sehingga dapat menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat.
B. RUMUSAN MASALAH