Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

12

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Memasuki abad ke XXI, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam kancah dunia politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam dunia politik. Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki posisi jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi dan program kerja partai politik saja, hal ini karena perempuan pada dasarnya adalah pelaku yang lebih memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik. Selama ini umumnya segala keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu ataupun persoalan perempuan selalu menjadi agenda politik kaum laki-laki. Jadi, keterwakilan perempuan dalam dunia politik bukanlah suatu kemewahan atau gagah- gagahan saja tetapi sudah selayaknyalah menjadi sebuah kebutuhan. Karena pada saat ini banyak sekali kebutuhan perempuan yang hanya memadai jika dibicarakan dan dipahami oleh perempuan itu sendiri. Sebut saja isu tentang kesehatan reproduksi perempuan seperti program keluarga berencana KB atau alat kontrasepsi yang aman, pendidikan anak, pekerja perempuan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, pemerkosaan, trafficking, pelecehan dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara 13 Sedangkan jika kita melihat sisi lain dari peta perpolitikan yang ada di Indonesia, partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam memperluas tingkat keterwakilan politik perempuan di pemerintahan. Dalam hal ini partai politik dapat membantu dan mendorong perempuan mencapai kepentingan-kepentingannya demi memenuhi dan memberikan solusi terbaik bagi permasalahan dan persoalan perempuan yang selama ini terabaikan. Terlebih lagi partai politik dapat membantu perempuan yang akan dicalonkan untuk masuk dalam lembaga-lembaga politik formal. Yang nantinya perempuan tersebut juga dapat ikut terlibat dalam hal pembuat atau pengambil kebijakan terbaik bagi setiap persoalan yang menyangkut perempuan di Indonesia. Jika melihat hasil pemilu legislatif 2004, keterwakilan perempuan dalam parlemen memang masih jauh dari bayangan, perempuan hanya memperoleh 61 kursi dari 550 kursi yang ada yaitu 11,09 kursi untuk perempuan di legislatif. Dari data persentasi Caleg calon legislatif perempuan yang terpilih dan memperoleh kursi dari partai politik dimana mereka berasal menggambarkan wakil perempuan dalam legislatif parlemen masih belum sesuai dengan yang diharapkan. lihat tabel 1.1 Tabel 1.1 Perbandingan Jumlah Laki-Laki dan Perempuan dalam Lembaga Legislatif 1955-2004 Periode Perempuan Laki-Laki 1955-1960 17 6,3 271 93,7 Konstituante 1956-1959 25 5,1 488 94,9 1971-1977 36 7,8 460 92,2 1977-1982 29 6,3 460 93,7 1982-1987 39 8,5 460 91,5 1987-1992 65 13 500 87 1992-1997 62 12,5 500 87,5 1997-1999 54 10,8 500 89,2 1999-2004 46 9 500 91 2004-2009 61 11,09 489 88,9 Sumber : Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001 Universitas Sumatera Utara 14 Demikian juga pada tingkatan daerah, jumlah keterwakilan perempuan yaitu DPRD Provinsi 6 dan DPRD KabupatenKota 2. Sedangkan keterwakilan perempuan dalam Badan Perwakilan Desa BPD yaitu sebanyak 2 dan hal ini juga masih menunjukkan angka yang cukup rendah. 1 Selain itu berikut ini adalah tabel persentase perempuan dalam Dewan Perwakilan Daerah DPRD berdasarkan hasil pemilu 2004, yaitu : Kondisi tersebut tentu saja paradoks dengan jumlah perempuan yang cukup banyak yaitu separuh dari jumlah penduduk Indonesia, namun tetap saja perempuan tidak terwakili baik secara fisik maupun aspirasinya dalam pembuatan atau pun pengambilan kebijakan. Hal ini sangat ironis, terutama jika dilihat pada fakta pemilu tahun 1999 dimana jumlah pemilih perempuan sebesar 57 dibandingkan dengan pemilih laki-laki 43. Dimana mayoritas jumlah perempuan di Indonesia menjadi kelompok minoritas dalam kehidupan publik. 2 No lihat tabel 1.2 Tabel 1.2 Perempuan dalam Dewan Perwakilan Daerah DPRD Berdasarkan Hasil Pemilu 2004 Provinsi Perempuan Laki-Laki Jumlah 1. Nanggroe Aceh Darussalam 4 5 65 95 69 2. Nusa Tenggara Barat 47 51 93 55 3. BALI 4 7 51 93 55 4. Kalimantan Barat 3 5 52 95 55 5. Sumatera Barat 5 9 50 91 55 6. Sumatera Selatan 10 15 55 85 65 7. Jawa Timur 16 16 84 84 100 8. Jambi 6 13 39 87 45 9. Lampung 10 15 55 85 65 10. Sulawesi Utara 8 17 37 83 45 11. Sulawesi Selatan 5 7 70 93 75 12. Jawa Tengah 15 15 85 85 100 13. Banten 4 5 71 95 75 14. Yogyakarta 5 9 50 91 55 15. Nusa Tenggara Timur 5 9 50 91 55 16. Sumatera Utara 5 6 80 94 85 1 Indriyanti Suparno, dkk, Masih Dalam Posisi Pinggir2an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 351 2 Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Ger8hana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 269 Universitas Sumatera Utara 15 17. Kalimantan Timur 7 15 38 75 45 18. Kalimantan Tengah 7 15 38 85 45 19. Riau 3 5 52 95 55 20. Maluku Utara 0 0 35 100 35 21. Gorontalo 5 14 30 86 35 22. Sulawesi Tenggara 3 6 42 94 45 23. Bengkulu 6 13 39 87 45 24. Kalimantan Selatan 2 3 53 97 55 25. Jawa Barat 9 9 91 91 100 26. Papua 8 14 48 86 56 27 Bangka Belitung 2 5 33 95 35 28. Kepulauan Riau 2 5 33 95 35 29. Sulawesi Tengah 8 17 37 83 45 30. Irian Jaya Barat 4 6 41 94 44 31. Maluku 2 4 43 96 45 32. DKI Jakarta 11 14 64 86 75 TOTAL 188 10 1662 90 1849 Sumber : Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO, 2004 Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan- kepentingan perempuan tidak dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara. Kebijakan negara yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan. Sejak pemilu tahun 1955 hingga 2004, telah 9 kali perempuan mengikuti pemilu, tetapi keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah lebih dari 12. Pada pemilu legislatif 2004 di Sumatera Utara, perolehan suara perempuan di parlemen belum signifikan, bahkan nyaris tidak ada bedanya dengan pemilu-pemilu sebelumnya. 3 3 Maria Ulfah Anshor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina-Institute, 2005, hal. 49 Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota DPRD di Sumatera Utara, dimana pada Pemilu tahun 2004 sebanyak 85 orang, dan hanya 5 orang wakil yang berjenis kelamin perempuan. Universitas Sumatera Utara 16 Meskipun pemilu tahun 2004 selanjutnya telah memberikan “sedikit” peluang untuk meningkatkan partisipasi maupun representasi perempuan dalam aktifitas politik. Hal ini setidaknya bisa dilihat dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2003, pasal 65 ayat 1 yang berbunyi : “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan parempuan sekurang-kurangnya 30.” Diberlakukannya pasal ini setidaknya telah memberikan insentif bagi kelompok perempuan untuk mendesakkan keterwakilan kaumnya dalam lembaga legislatif yang merupakan lembaga strategis untuk membawa perubahan bagi posisi perempuan. Meskipun sebenarnya jika dikaji lebih jauh lagi, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak menerapkan kuota 30 bagi perempuan. Tentu saja aplikasi pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ini masih sangat lemah. Indikasinya menyebabkan rekrutmen calon pada partai politik belum optimal, banyak calon legislatif perempuan yang belum mendapat tempat maupun posisi strategis dan kebanyakan ditempatkan dalam nomor urut belakang atau yang sering disebut “nomor urut sepatu” dalam daftar penetapan nama calon legislatif tiap partai yang secara otomatis membuat keterwakilan perempuan kebanyakan hanya sampai pada proses daftar pencalegan nama tiap partai dalam pemilu legislatif. Masalah keterwakilan politik political representatineness bagi perempuan adalah satu hal yang cukup penting, khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilihan umum pemilu. Alasan mendasar bagi tuntutan representase politik yang lebih adil ini dinyatakan, seperti “jender sebagai suatu kategori poltik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-institusi pemerintahan”. Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan mempunyai hak untuk diwakili hanya oleh wakil perempuan. Keterwakilan perempuan hanya oleh perempuan adalah hal yang tidak bisa ditawar- Universitas Sumatera Utara 17 tawar, karena laki-laki kurang bisa memahami kepentingan dan nilai-nilai yang dipercaya oleh perempuan. Alasan yang bisa dikemukakan adalah jumlah perempuan yang ikut memberikan suara dalam pemilu lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga layak bagi perempuan menuntut jumlah perolehan kursi dalam legislatif parlemen. Meningkatnya representasi perempuan dalam legislatif di lain pihak diharapkan akan mampu meningkatkan proses akomodasi aspirasi perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan. Adapun menguatnya tuntutan partisipasi politik di tingkatan lokal dan nasional ini, tidak terlepas dari perubahan di tingkatan global tentang pentingnya partisipasi politik perempuan. Langkah-langkah yang telah dilakukan di tingkat internasional ini direspon oleh berbagai negara di dunia. Di tingkat kebijakan adanya aturan dalam konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of Discrimination Against Women CEDAW tahun 1979 dalam pasal 4, menyatakan : 4 Sementara itu di tingkat nasional pemerintah Indonesia telah meratifikasi CEDAW yang diimplementasikan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita untuk menjamin partisipasi politik perempuan. Bagian II pasal 7 menyebutkan : “Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah umtuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap sebagai diskriminasi, tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda; langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan kesempatan tindakan telah tercapai.” 5 4 Indriyati Suparno, op.cit., hal. 7 5 Indriyati Suparno, loc.cit. Universitas Sumatera Utara 18 “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita, atas dasar persamaan dengan pria, hak: a untuk memilih dan dipilih, b untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat dan c untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.” Untuk terjun langsung ke dunia politik adalah salah satu agenda politik perempuan karena merupakan wadah dan pijakan yang mampu mengaspirasikan kepentingan perempuan dalam upaya mewujudkan kesetaraan jender. Namun hubungan laki-laki dan perempuan di dalam politik terkadang tidak berjalan harmonis dan perempuan tetap ditempatkan sebagai “the second human being” dan tersubordinasi, maka dari itu perempuan banyak mengalami hambatan sekaligus tantangan. Alif basuki menengarai bahwa ketertinggalan perempuan dari laki-laki yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan, dapat berawal pada masalah kontruksi sosial masyarakat yang sudah membudaya, depolitisai kepentingan negara yang tidak adil terhadap kaum perempuan, interpretasi agama yang tidak benar, atau dapat juga karena kurangnya akses perempuan terhadap pengambilan kebijakan dan keputusan publik. 6 Padahal jika dikaji lebih jauh, perpolitikan nasional yang banyak didominasi oleh pria tidaklah mampu menciptakan bangunan politik yang sehat stabil. Sementara menanggapi hal ini, Sidney Verba menegaskan bahwa sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dari pada memperluas ruang lingkup kekuasan mereka sendiri. 7 6 A.B. Lapian, dkk edt, Sejarah dan Dialog Peradaban Persembahan 70 tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah, dikutip dari Sarkawi B. Husain dalam Posisi dan Peran Perempuan dalam Parlemen di Jawa Timur, Jakarta: LIPI Press, 2005, hal. 563 7 Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 14 Universitas Sumatera Utara 19 Menurut sensus Biro Pusat Statistik BPS tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.525.816 atau 51 dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan politik di Indonesia parlemen. 8 Faktor masuknya perempuan menjadi calon anggota legislatif banyak ditentukan oleh basis dari mana mereka berasal, bagaimana mereka dididik dalam partai dan bagaimana prosedur pemilihan calon melalui partai politik. Sistem kepartaian yang terlembaga, struktur organisasi yang mempunyai peraturan yang jelas, transparan dan stabil, ideologi partai yang lebih progresif serta peran aktivis perempuan dalam partai, menurut penelitian berkorelasi dengan peningkatan keterwakilan perempuan. Dalam kerangka perpolitikan demokrasi saat ini maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam lembaga perwakilan hanya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan karena partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum, selain itu adalah jalur non partai politik atau independen yang dapat mengikuti pemilihan umum. 9 8 Ani Widyani Soecieptjo, “Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen”, dikutip dari Alida Alida Brill. A Rising Public Voice: Women in Politics World Wide. New York: The Feminist,1955,hal 188 - 190, dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001, hal. 231 9 Ani Widyani Soecieptjo, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 75. Universitas Sumatera Utara 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Pasal 7 ayat 5 tentang Partai Politik, dimana dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa : “partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender”. Dan dalam Undang-Undang yang sama dalam Pasal 13 ayat 3 menyatakan bahwa : “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender.” Dalam kajian ini penulis sengaja memilih lokasi penelitian di kantor Dewan Perwakilan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara. Dan penulis merasa tertarik melihat bagaimana kebijakan dari partai politik mampu mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di pemerintahan, terutama pada Partai Keadilan Sejahtera di Provinsi Sumatera Utara, karena Partai Keadilan Sejahtera merupakan salah satu partai besar dan telah 10 tahun lebih menunjukkan intensitas dan eksistensinya dalam kehidupan politik, dan juga sebagai salah satu partai yang ikut turut serta mendukung kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 yang tertuang dalam Undang- Undang Nomor 12 tahun 2003, pasal 65 ayat 1 yang mana pada saat sebelum pasal ini ditetapkan, terjadi pro dan kontra baik ditubuh parlemen maupun partai politik. Partai Keadilan Sejatera merupakan salah satu partai yang pada saat itu pro dan mendukung disahkannya pasal dalam UU tersebut. Namun bila dilihat dari kenyataan yang ada, khususnya Di Sumatera Utara sendiri, keterwakilan perempuan pada pemilihan legislatif tahun 2004, diantara 19 orang anggota legislatif dari Partai Politik Keadilan Sejahtera yang berhasil lolos saat itu hanya 2 calon anggota legislatif perempuan dari Partai Keadilan Sejahtera yang masuk sebagai anggota legislatif di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Ketimpangan yang begitu menonjol antara jumlah kuantitatif laki-laki dan perempuan, baik dalam proses pencalonan Universitas Sumatera Utara 21 legislatif di partai keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara. Dan untuk mengurangi ketimpangan gagasan Affirmative Action 10 10 Affirmative action sering diartikan sebagai tindakan pro-aktif untuk menghapuskan diskriminasi yang berbasiskan Jender atau ras. Konsep ini juga merujuk pada tindakan positif. Adapun dalam praktek pelaksanaannya bisa dilakukan secara sukarela maupun diwajibkan mandatory. Affirmative action menurut Susan D. Clayton, diartikan sebagai langkah untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan kesempatan yang lebih bersifat substantive dan bukannya formalitas, bagi kelompok - kelompok tertentu seperti kaum perempuan atau minoritas kesukuan, yang saat ini kurang terwakili pada posisi-posisi yang menentukan di masyarakat, dengan secara eksplisit mempertimbangkan karakter khusus jenis kelamin atau kesukuan yang selama ini menjadi dasar terjadinya diskriminasi. sebagai tindakan khusus sementara, langkah strategis yang harus diterapkan di semua institusi politik tingkat nasional maupun daerah. Penerapan sistem kuota 30 terhadap perempuan sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 pada kenyataanya masih harus tetap diperjuangkan. Keterwakilan perempuan perlu lebih ditingkatkan terutama pada ukuran kualitas dan kuantitas jumlah populasi serta jumlah pemilih konsituen yang memilih wakil perempuan yang duduk di parlemen, sehingga tingkat keterwakilan perempuan dalam politik dapat ditingkatkan, tentunya hal ini juga tidak terlepas dari peran serta kebijakan dari partai politik. Merujuk pada deskripsi di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membuat suatu penelitian tentang bagaimana pengaruh kebijakan sebuah partai politik maupun meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan, khususnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul penelitian penulis adalah “PENGARUH KEBIJAKAN PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PEMERINTAHAN Studi Kasus pada DPW Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara ”. Universitas Sumatera Utara 22

1.2. Perumusan Masalah