Kuota 30 sebagai salah satu “ Affirmative Action”

42 suatu tujuan. Sidney Verba dari universitas harvard menegaskan sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri. 36 Politik berkaitan erat dengan konsepsi demokrasi yang secara sederhana pengertian dari demokrasi itu sendiri adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena itu semua anggota masyarakat dari berbagai kelompok dan golongan perlu diikutsertakan dalam proses politik dan pengambilan keputusan di segala tingkatan kehidupan bangsa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang terus menerus berusaha untuk diwujudkan. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya,bukanlah demokrasi yang sejati. Perempuan akan lebih baik memahami persoalan perempuan dan lebih mengerti bagaimana memperjuangkan perempuan. 37 Hingga saat ini, perkembangan wacana perempuan dan politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi yang mengarah pada indikator normatif kuantitatif. Dan sudah sejak lama Indonesia mengupayakan pemberdayaan perempuan dalam peta perpolitikan. Undang-Undang Dasar 1945, secara formal telah menjamin partisipasi perempuan dalam bidang politik. Pada tahun 1952 misalnya, Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB mengenai Hak Perempuan UN Convention on Political Right of Women melalui UU No. 68 tahun

2.4. Kuota 30 sebagai salah satu “ Affirmative Action”

36 Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, op.cit., hal 14 37 Ani Widyani Soectjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal . 12 Universitas Sumatera Utara 43 1958 dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kala itu. Undang-Undang ini memberikan perempuan, hak untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif negara. Sejak saat itu, pemerintah melakukan upaya serius memperbaiki kebijakan pemberdayaan perempuan, melalui strategi jender. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, telah dikeluarkan UU No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik dan pada bulan Februari 2003, kembali mengadopsi kebijakan kuota dalam UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, sebagai upaya memperluas partisipasi ataupun keterwakilan politik perempuan. UU No.31 tahun 2002 mengatur fungsi dan kewajiban partai politik dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan di bidang politik. Sedangkan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum menggarisbawahi setiap partai politik peserta pemilu mengajukan calon anggota legislatif untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kuangnya 30. Dengan kuota 30 perempuan diharapkan dapat mengambil posisi strategis di lembaga legislatif dan dapat mewarnai kebijakan negara. Kuaota 30 itu sendiri adalah merupakan salah satu affirmative action tindakan khusus untuk merepresentasikan perempuan di dunia politik. Berbicara mengenai Affirmative Action, maka secara umum kita bisa mengartikannya sebagai tindakan pro-aktif untuk menghapuskan perlakuan diskriminasi yang berbasi jender atau ras. Konsep ini, juga merujuk pada tindakan positif yang dilakukan untuk mengobati dampak dari perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tersebut yang telah berlangsung pada masa lalu. Dalam praktik pelaksanaannya, Affirmative Action tidak selalu berkaitan dengan kuota, tetapi banyak kalangan sering mengasosiasikan denga kuota. Affirmative Action lebih memberikan tekanan pada Opportunity kesempatan. Kuota seringkali diartikan sebagai memaksakan jumlah tertentu atau persentase tertentu bagi kelompok Universitas Sumatera Utara 44 tertentu perempuan. Affirmative Action disini harus dipahami sebagai mementingkan kualifikasi tertentu sebagai dasar pertimbangan, bagi pemberian kesempatan bagi kelompok tertentu perempuan.Kuota diperlukan agar terjadi keseimbangan dan untuk mencapai critical mass angka strategis. Representasi yang dianggap signifikan adalah bila partisipasi perempuan mencapai angka persentase 30 . Degan lebih banyak perempuan, maka lebih bisa diharapkan bahwa isu perempuan dan pandangan perempuan bisa diintegrasikan dalam berbagai ebijakan. Kuota 30 memang tidak boleh melupakan kualitas di representasi tersebut, tetapi harus disadari sungguh-sungguh, tuntutan kuota bersumber dari realitas sejarah panjang pendiskriminasian terhadap perempuan, melalui proses yang sistematik yang tidak akan berakhir hanya dengan ”menunggu waktu bergulir” tanpa tindakan khusus.

2.5. Kebijakan Negara Terhadap Perempuan