Jender dan Ranah Politik

36 Adapun pengertian pemilu itu sendiri menurut Ali Murtopo 27 Pandangan bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah pandangan yang selalu muncul sejak beberapa dekade lalu. Dengan adanya pandangan tersebut maka keterlibatan perempuan dalam aspek politik di seluruh wilayah juga dibatasi. Terminology politik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep jender, peran serta , pemilihan umum pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Pemilu menurut Manuel Kaisepo memang telah menjadi tradisi penting dalam berbagai sistem politik di dunia, penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi yang dicari.

2.3. Jender dan Ranah Politik

Perempuan dan politik adalah wacana yang sangat menarik untuk diperbincangkan bahkan untuk saat ini sudah menjadi suatu yang politis untuk diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa fakta, dimana ketika politik ditempatkan di wilayah publik, defenisi, konsep dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan diluar area tersebut. Sedangkan politik itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang negative politiking, yaitu afiliasi suatu partai politik dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki yang mendominasi. Bahkan ketika politik didefenisikan dengan perspektif baru yaitu sebagai proses pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumber daya kekuasaan yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung. 27 Ali Murtopo, “Strategi Pembangunan Nasional”, CSIS, 1981, hal. 179-190, dalam Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987, hal 167 Universitas Sumatera Utara 37 jender dan stereotipe telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan diantara perempuan dan laki-laki, sehingga mengakibatkan marginalisasi dan pengucilan terhadap perempuan dari kehidupan politik formal. Dengan demikian keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan, akar dari persoalan tersebut adalah budaya patriarkhi 28 yang telah menghampiri semua ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik, menurut Bystydzienski dalam Ani Widyani, 2005:26 menyatakan semua aktifitas politik punya dimensi politik yang penting dan semua aktivitas itu juga mempunyai ciri politik yaitu adanya power realition yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Budaya Patriarkhi yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya. Perempuan tidak didukung, dan bahkan dalam banyak hal malah dihambat, untuk mengambil peran aktif di ruang publik. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk menggunakan kemampuannya di lingkungan rumah tangga yang dianggap sebagai ruang privat. Bahkan pada masa reformasi sekarang ini, dikotomi konsep ruang publik dan privat masih mendominasi masyarakat Indonesia yang mengakibatkan perempuan Indonesia harus mengatasi praktek diskriminasi dan ”buta jender” gender blind dalam proses pemilu, badan legislatif dan partai politik. 29 28 Patriarkhi berasal dari YunaniLatin, pater arinya bapak dan arche yang artinya kekuasaan. Patriarkhi merupakan kekuasaan bapak kaum laki-laki yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendriskiminasikan kaum perempuan. Dominasi kekuasaan didukung oleh ideologi gender, yaitu pola relasi laki-laki dan perempuan sebagai hasil proses budaya yang kemudian dibakukan, misalnya : bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga, bahwa wajar apabila kaum perempuan tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 29 Francisia Seda, SSE, “Beyond Numbers: Strengthening Women’s Political Participation”, dalam International IDEA Conference Report, 2002, Strengthening Women’s Political Participation in Indonesia, hal 20 dalam Ani Widyani Soetjipto, 2005 : 237 Universitas Sumatera Utara 38 Menurut Jary dan Jary dalam Dictionary of Sociology 1991, jender diartikan sebagai pembagian sosial laki-laki maskulin dan perempuan feminim yang tidak didasarkan pada anatomi jenis kelamin melainkan perbedaan yang cenderung pada atribut-atribut sosial dan psikologis. Sedangkan disisi lain, Kate Millet dalam Indriati Suparno, 2005:15 menyatakan bahwa politik sebagai hubungan kekuasaan yang terstruktur yang terbentuk ketika orang berada di bawah kontrol kelompok lain. Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, dunia politik dikategorikan adalah dunianya laki-laki karenanya perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Kaum laki-laki-lah yang menetapkan dan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan, dari dunia tersebut termasuk yang menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan Maciano 1987, Susanto 1993,dalam Indriati, 2006:16. Dalam konteks Indonesia, kita akan menemukan situasi dimana diskriminasi politik serta ketimpangan jender dalam representasi perempuan pada lembaga politik di Indonesia juga terjadi. Menurut data sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik BPS tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.625.816 atau 51 dari seluruh populasi pendusuk di Indonesia. Jumlah ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di 3 Negara, yaitu Malaysia, Singapura, dan Filipina. Tetapi jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pembuatpengambil keputusan politik di Indonesia.: Dunia politik di Indonesia lebih sering diidentikkan dengan dunia laki-laki. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan yang kekuasaan yang dianggap kotor, penuh dengan intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan yang bersifat negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan masa dan kompetisi, dimana kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian. Padahal bila kita Universitas Sumatera Utara 39 berbicara kekuasaan sebenarnya kekuasaan itu bersifat netral, karena ia bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Dalam politik kekuasaan bisa bermakna positif karena dapat mewujudkan kepatuhan, perubahan dan pembaharuan. Konkretnya, perempuan dan politik adalah dialektika terhadap seluruh aspek dalam hubungan dan dinamika sosial, mulai dari rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Paradigma bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal dan milik laki-laki yang mengakibatkan terjadinya proses peminggiran terhadap rakyat dan terhadap perempuan, harus segera diubah. Karena persepsi ini membuat rakyat khususnya perempuan merasa tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik. Eksistensi setiap jenis makhluk untuk bertahan hidup dalam rentangan masa yang panjang sangat tergantung dengan kemampuan yang mereka miliki untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Demikianlah bunyi diktum utama teori Charles Darwin. 30 Seperti halnya yang berlangsung dalam pertarungan kompetitif setiap spesies makhluk hidup, real politik khususnya bertalian dengan fenomena politik yang berjalan dengan hukum alam yang ada. Adapun kata politik yang digunakan dalam penulisan ini dikutip dari Sugiarti, dkk, dimana politik adalah segala usaha, kegiatan, dan uapaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan yang berkaitan dengan persoalan perempuan. 31 30 Airlangga Pribadi, “Darwinisme Partai Politik Dalam Pemilu 2004”, dalam Jurnal DEMOKRASI DAN HAM, Pemilu 2004: Semakin Terkonsolidasikah Demokrasi Kita, Vol.4, no.1, Suarabaya: Penerbit THC, 2004, hal 53 31 Indriyati Suparno, op.cit., bab. vii Dalam tradisi budaya patriarkhi, “politik” diklaim sebagai dunianya laki-laki karena dianggap sebagai ranah publik yang penuh pertarungan yang berkaitan dengan isu perempuan. Istilah yang sangat populer misalnya politic is dirty. Universitas Sumatera Utara 40 Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal dan budi. Diciptakan sebagai mitra untuk dapat saling melengkapi. Seorang perempuan tidaklah lengkap tanpa seorang laki-laki, begitu pula sebaliknya. Sejarah manusia mencatat, bahwa pada suatu ketika perempuan mulai didefenisikan berdasarkan kodrat jasmaniah nature, pikiran dan hidup sehari-hari mereka. Sementara untuk kaum laki-laki, mereka semakin menjauhkan diri dari nature dan mulai mendefenisikan diri didukung oleh sebagian perempuan juga dalam kaidah-kaidah budaya culture. Selanjutnya perempuan didominasikan sejauh dalam lingkungan sebatas keluarga dan rumah tangga. 32 Pada masa revolusi prancis, seorang perempuan bernama Olympe de Gouges, anak seorang tukang daging yang belajar secara autodidak, memimpin perempuan dari berbagai kelas, menyampaikan agenda reformasi perempuan di depan Majelis Nasional pada bulan Oktober 1789. Ia menyatakan bahwa Deklarasi Perancis atas Hak Laki-laki yang baru saja disahkan telah menghilangkan prinsip kesetaraan alami karena membagi warga negara berdasarkan gender dan ras. Kemudian Gouges menulis Deklarasi Hak-Hak perempuan, yang sebagian dari deklarasi itu berbunyi: 33 Dari Inggris, Mary Wilistonecraft, seorang perempuan kelas menengah, tahun 1972 menyusun Vindication of the Rights of Women Pembenaran Hak-hak perempuan, yang didalamnya mengusulkan supaya perempuan juga memiliki wakil dalam “... Undang-Undang harus merupakan pengungkapan kehendak umum: semua warga negara, lelaki dan perempuan sama, harus berpartisipasi dalam membuatnya, baik langsung maupun melalui perwakilan. Undang-undang itu harus sama bagi semua. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, karena keduanya sama di mata undang-undang, harus sama-sama berhak menjabat semua jabatan, kedudukan dan pekerjaan, menurut kemampuan dan kriteria apapun kecuali persyaratan kebaikan dan bakat mereka. Perempuan juga memiliki hak duduk di parlemen.” 32 Ishomuddin, Diskursus Politik dan Pembangunan, Malang: UMM Press, 2001, hal 157 33 Saptari dan Holzner, Perempuan, Keja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Grafiti Press, 1966, hal 436 Universitas Sumatera Utara 41 pemerintahan dan lembaga-lembaga politik kenegaraan lainnya. Kekuasaan sebagai unsur yang paling penting dalam kepemimpinan tidak pernah dicirikan dengan sifat-sifat feminin, melainkan lebih diidentikkan kepada sifat maskulinitas. Perempuan 34 Namun dengan berjalannya waktu, defenisi baru kekuasaan merupakan gabungan ciri-ciri maskulin dan feminim yang bisa dicapai, baik oleh laki-laki maupun perempuan tanpa adanya diskriminasi. Feminisme kekuasaan menyertakan intisari prinsip-prinsip sebagai berikut: akhirnya harus menjadi maskulin jika ingin berkuasa. Kondisi seperti ini menjadi isu gerakan feminisme pada era 1970-an. Kaum perempuan berupaya menganut kekuasaan model laki-laki dengan menyingkirkan ciri feminim yang dianggap kurang pantas. 35 Pengembangan suatu konsep mengenai kekuasaan perempuan women power yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan adalah konsep feminisme, adalah kekuasaan yang penuh dilimpahi kasih sayang, dan tidak berpusat pada diri sendiri, melainkan lebih diarahkan untuk mencapai 1. Perempuan dan Laki-laki sama-sama menpunyai arti besar dalam kehidupan manusia. 2. Perempuan berhak menentukan nasib sendiri 3. Pengalaman-pengalaman perempuan punya makna, bukan sekedar omong kosong 4. Perempuan berhak mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman-pengalaman mereka 5. Perempuan layak menerima lebih banyak lagi segala sesuatu yang mereka tak punya hanya karena mereka perempuan: rasa hormat dari orang lain, rasa hormat terhadap diri sendiri, pendidikan, keselamatan, kesehatan, keterwakilan, keuangan. 34 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, menyebutkan dalam satu bahsanya melihat perempuan, bahwa kaum perempuan adalah mitra kaum laki- laki ayng diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum laki-laki, dalam detail yang sekevil- kecilnya kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum laki-laki. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang yang dia lakukan, sebagaimana kaum pria dalam ruang aktivitasnya. 35 Naomi Wolf, Gegar Gender Kekuasaan Perempuan Menjelang abad 21, Yogyakarta: Pustaka Semesta Press, 1999, hal.201 Universitas Sumatera Utara 42 suatu tujuan. Sidney Verba dari universitas harvard menegaskan sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri. 36 Politik berkaitan erat dengan konsepsi demokrasi yang secara sederhana pengertian dari demokrasi itu sendiri adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena itu semua anggota masyarakat dari berbagai kelompok dan golongan perlu diikutsertakan dalam proses politik dan pengambilan keputusan di segala tingkatan kehidupan bangsa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang terus menerus berusaha untuk diwujudkan. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya,bukanlah demokrasi yang sejati. Perempuan akan lebih baik memahami persoalan perempuan dan lebih mengerti bagaimana memperjuangkan perempuan. 37 Hingga saat ini, perkembangan wacana perempuan dan politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi yang mengarah pada indikator normatif kuantitatif. Dan sudah sejak lama Indonesia mengupayakan pemberdayaan perempuan dalam peta perpolitikan. Undang-Undang Dasar 1945, secara formal telah menjamin partisipasi perempuan dalam bidang politik. Pada tahun 1952 misalnya, Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB mengenai Hak Perempuan UN Convention on Political Right of Women melalui UU No. 68 tahun

2.4. Kuota 30 sebagai salah satu “ Affirmative Action”