Kebijakan Negara Terhadap Perempuan

44 tertentu perempuan. Affirmative Action disini harus dipahami sebagai mementingkan kualifikasi tertentu sebagai dasar pertimbangan, bagi pemberian kesempatan bagi kelompok tertentu perempuan.Kuota diperlukan agar terjadi keseimbangan dan untuk mencapai critical mass angka strategis. Representasi yang dianggap signifikan adalah bila partisipasi perempuan mencapai angka persentase 30 . Degan lebih banyak perempuan, maka lebih bisa diharapkan bahwa isu perempuan dan pandangan perempuan bisa diintegrasikan dalam berbagai ebijakan. Kuota 30 memang tidak boleh melupakan kualitas di representasi tersebut, tetapi harus disadari sungguh-sungguh, tuntutan kuota bersumber dari realitas sejarah panjang pendiskriminasian terhadap perempuan, melalui proses yang sistematik yang tidak akan berakhir hanya dengan ”menunggu waktu bergulir” tanpa tindakan khusus.

2.5. Kebijakan Negara Terhadap Perempuan

Dampak sesungguhnya dari perempuan sebagai anggota parlemen tergantung dari sejumlah variabel, termasuk konteks politik dimana majelis tersebut berfungi, jenis dan jumlah perempuan di parlemen dan aturan-aturan main dalam parlemen. Saat perempuan di berbagai belahan dunia yang berbeda berjuang untuk memperoleh hak pilih, mereka berharap bahwa hak ini tak akan terelakkan lagi akan mengarah pada representasi perempuan yang lebih besar. Harapan-harapan mereka tidak terpenuhi, malahan perempuan memulai perjuangan panjang yang lain dan sulit untuk benar-benar mendapatkan perempuan yang bersedia dipilih untuk duduk dalam parlemen. Sebagian dari upaya ini termasuk dalam meyakinkan para pemilih perempuan untuk mendukung perempuan sebagai wakil mereka. Dusebagian besar negara, banyak kegiatan terpusat pada partai-partai politik, yang merupakan ciri dari saluran masuk ke legislator nasional. Universitas Sumatera Utara 45 Sementara itu perempuan di dalam dan di luar partai-partai politik mengorganisasi dan memobilisasi diri mereka untuk mengubah cara-cara rekrutment politik partai yang sudah lama mapan. Pada saat perempuan memasuki parlemen, perjuangan mereka masih belum selesai. Ada beberapa masalah yang harus mereka pecahkan mengenai masalah rakyat terlebih lagi masalah perempuan itu sendiri. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya kapasitas sember daya manusia, situasi rentan yang membuat seseorang jatuh miskin, lemahnya dukungna kelembagaan atau lemahnya akses untuk mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-prose politik. 38 • Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Rumah Tangga Berikut ini adalah kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah untuk menanggapi permasalah perempuan yang ada saat ini, diantaranya :

1. Kebijakan tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Sudah banyak pandangan kritis terutama dimunculkan oleh gerakan perempuan. Kekerasan dalam KUHP dirumuskan sangat terbatas, sehingga kurang dapat mengakomodasi masalah kekerasan terhadap perempuan yang dimensinya sangat luas. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan langkah maju yang tidak terimplementasi dengan baik, seharusnya dapat melindungi perempuan dari perlakuan dan ancaman kekerasan yang dialaminya. Namun dalam praktiknya UU tersebut belum cukup terimplementasi dengan baik karena aparat penegak hukum 38 Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Grha Guru, 2005, hal.161 Universitas Sumatera Utara 46 pada umumnya belum cukup sensitif jender dan banyak dari perempuan yang menjadi korban kekerasan di rumah tangga sangat sulit mendapat akses keadilan dan memilih untuk diam. 39 • Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Kebijakan tentang Perkawinan Perceraian Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP, terutama nampak dalam khususnya pasal 31, yang menyatakan bahwa : “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga” 40 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang bias jender masih berlaku. Undang-Undang tersebut memperbolehkan poligami, selama ada izin dari istri. Poligami adalah wujud konkret dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga dan izin istri tidak meniadakan watak hegemonis sari sistem perkawinan seperti itu. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas telah melegitimasi nilai-nilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, UUP menganut asas monogami terbuka, maksudnya bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, terdapat klausula yang menyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan poligami. 39 Muhadjir, Ibid., hal. 173 40 www.google.comPembakuan Peran Dalam Kebijakan-Kebijakan di Indonesia, Oktober 2009 Universitas Sumatera Utara 47 Dalam Undang-Undang yang sama yaitu yang terdapat pada pasal 31, yaitu : “Kedudukan suami dan istri adalah sama, akan tetapi dalam pasal lain ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.” Penegasan ini merupakan pengetatan fungsi-fungsi istri dan fungsi-fungsi suami secara tegas. Artinya, pasal ini melegitimasi secara eksplisit pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Juga, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik- baiknya. Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah mutlak terbagi.

3. Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan

• KUHP berkaitan dengan Penganiayaan Terhadap Istri • KUHP berkaitan dengan Perkosaan • UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan • UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Pelanggaran Perdagangan Perempuan Universitas Sumatera Utara 48

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi ini adalah metode deskriptif dengan studi kasus. Penelitian Kualitatif yang akan dilakukan adalah karena adanya beberapa pertimbangan, Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan informan, Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi Maelong, 1993:5. Bila kita melakukan penelitian yang lebih rinci, tentang seseorang individu atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu, kita melakukan apa yang disebut dengan studi kasus. Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu Sevilla dkk, dalam Rina, 2009:26. Disamping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil, kelompok, keluarga dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi, studi kasus dalam khasanah metodologi, dikenal sebagai studi yang bersifat komperhensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian. Penelitian ini menggambarkan secara mendalam tentang bagaimana pengaruh kebijakan dari partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan dengan studi kasus pada DPW PKS Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara