B. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Kpk Dalam
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Sulit untuk memberantas korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, juga terlibat dalam perkara korupsi. Inilah yang
menjadi salah satu pertimbangan dan menjadi dasar pemikiran lahirnya Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan
perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang kemudian melahirkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut UU- KPK.
58
Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan lahirdibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari namanya
diketahui, bahwa lembaga ini terdiri dari beberapa orang yang diserahi salah satu kewajiban atau tugas pemberantasan korupsi. Pasal 43 itu mengamanatkan, bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sudah harus terbentuk paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini
mulai berlaku. Sementara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini sendiri mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 16 Agustus 1999. Oleh karena itu,
Komisi Pemberantasan Korupsi harus sudah terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2001.
59
58
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 22.
59
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aitya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 125.
Komisi ini mempunyai tugas dan wewenang Pasal 43 ayat 2 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Melakukan Koordinasi dan Supervisi.
2. Melakukan Penyelidikan.
3. Melakukan Penyidikan.
4. Melakukan Penuntutan.
60
KPK sendiri adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
Pasal 3 UU-KPK dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi Pasal 4 UU-KPK. Keberadaan komisi ini
sangat dibutuhkan mengingat sifat dan akibat korupsi yang begitu besar, menggerogoti kekayaan negara dan sumber ekonomi rakyat, sehingga dapat
dipandang sebagai pelanggaran HAM, yakni hak-hak sosial ekonomi rakyat. Oleh karenanya masyarakat mendambakan KPK sebagai lembaga yang menjadi
harapan bangsa Indonesia yang muncul di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang ada seiring dengan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum
itu sendiri. Harapan lain adalah bahwa KPK harus menjadi landasan yang kuat secara substantif maupun implementatif sehingga merupakan salah satu institusi
yang mampu mengemban misi penegakan hukum.
61
Dalam mengemban misi tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang yang cukup luas dengan menganut prinsip-prinsip: kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas Pasal 5 UU-KPK.
60
Ibid.
61
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Loc. Cit.
Seperti ditegaskan dalam uraian di atas, bahwa dasar hukum pembentukan suatu undang-undang tentang komisi anti korupsi adalah pasal 43 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999. Oleh karena pembuat undang-undang korupsi telah merumuskan secara garis besar kerangka tugas dan wewenang komisi yang
akan dibentuk dengan undang-undang tersendiri, maka itulah yang akan ditansformasikan dan diperinci lebih lanjut ke dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002. Atas dasar itu pulalah, di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dirumuskan secara eksplisit tugas KPK. Pasal 6 UU-KPK
menegaskan: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi; b.
Supervisi terhadap instansi yang berwenag melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi; d.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan; e.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan wewenang dari KPK dalam rangka pemberantasan korupsi dinyatakan
dalam Pasal 7 UU-KPK sebagai berikut: a.
Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi; c.
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi lain yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; e.
Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Kewenangan supervisi KPK oleh pembuat undang-undang dibatasi hanya
pada tugas melakukan pengawasan, penelitian dan penelaahan terhadap instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Tugas tersebut dirumuskan dalam
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi: 1
Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan,
penelitian dan penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik; 2
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan;
3 Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
dalam waktu paling lama 14 empat belas hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi;
4 Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan cara
membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih
wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan dengan prinsip “trigger mechanism” dan “take over mechanism” Pasal 8 dan 10
UU-KPK. Pengambilalihan wewenang ini dapat dilakukan jika terdapat indikasi “unwillingness” dari institusi terkait dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya.
62
Indikasi adanya “unwillingness” di atas berdasarkan pada Pasal 9 UU-KPK, yaitu: i adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi
yang tidak ditindaklanjuti, ii proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut yang berlarut-larut, iii adanya unsur nepotisme yang melindungi
pelaku korupsi, iv adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif, v alasan-alasan lain yang menyebabkan penanganan tindak pidana
korupsi sulit dilaksanakan.
63
Di samping rumusan-rumusan hukum tersebut di atas, satu hal yang patut dicatat pula sebagai suatu langkah maju dalam kaitannya dengan proyeksi
keberadaan KPK ke depan adalah, diberikannya kewenangan yang tidak saja bersifat represif kepada komisi, melainkan juga kewenangan yang bersifat
62
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Depkeh HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 33.
63
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Op. Cit., hlm. 23.
preventif, yakni dalam mencegah timbul dan berkembangnya tindak pidana korupsi. Langkah-langkah dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan KPK
untuk melaksanakan kewenangan tersebut adalah: a.
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang
pendidikan; d.
Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum;
f. Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Diletakkanya kewenangan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan
pada komisi anti korupsi, berarti komisi tersebut dibebani kewajiban untuk membangun budaya hukum yang memungkinkan kita untuk keluar dari masalah
korupsi. Strategi yang lebih memberikan penekanan terhadap upaya penegakan hukum semata, terbukti tidak mampu mengatasi masalah korupsi yang dihadapi.
Upaya penegakan hukum yang lebih mengedepankan sikap represif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara simultan dengan
upaya-upaya lain yang bersifat preventif. Bahkan diakui, tindakan preventif harus
ditempatkan sebagai suatu upaya tahap pertama, dan jauh lebih penting daripada usaha-usaha yang bersifat represif.
64
C. Mekanisme Kpk Dalam Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana