Pengertian dan Tujuan Pra Peradilan

04Pid.Prap2015Pn.Jak.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Setelah penulis memahami kasus Calon KaPOLRI Budi Gunawan yang permohonan pengajuan Praperadilannya dimenangkan oleh Hakim Sarpin selaku Hakim tunggal yang menangani kasus tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul–judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan mengajukan uji bersih yang hasilnya belum terdapat tulisan yang mengangkat pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas. Dengan demikian penulisan skripsi ini adalah asli. Sementara itu, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Tujuan Pra Peradilan

Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris Rechter commissaris di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaaan pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya, penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian ataukah tidak. Meskipun ada kemiripan dengan hakim komisaris itu, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak. 19 Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissaris hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yaitu di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa dwang mid-delen, penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat- surat. 20 Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu, Judge d’ Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat 19 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 187. 20 Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 88. bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Kalau cukup alasan, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. 21 Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa. 22 1 Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai Untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan terhadap perbuatan sewenang-wenang aparat penyidik dan penuntut umum, maka Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 meletakkan dasar-dasar yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP yang dikenal dengan lembaga Praperadilan. Ketentuan yang menjadi dasar praperadilan tersebut diatur dalam pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 yaitu : 21 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 188. 22 Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebis cepat dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92-94. orangnya atau hukum diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. 2 Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat 1 dapat dipidana. 3 Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebasan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-undang. Penjabaran dari pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 ini diatur dalam pasal 77 sd 83, dan dihubungkan dengan pasal 95 ayat 2 KUHAP. Adapun pengertian mengenai praperadilan dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 KUHAP yaitu: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini, tentang: a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 23 Pasal-pasal tersebut di atas merupakan ketentuan umum, sebagai pelaksanaannya diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983. 23 Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 321-322. Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa maksud ataupun tujuan diadakan lembaga praperadilan ini merupakan kontrolpengawasan atas jalannya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangkaterdakwa. Kontrol tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a. Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas ke bawah b. Kontrol horizontal, yakni kontrol ke samping, antara penyidik, penuntut umum timbal balik tersangka, keluarganya atau pihak ketiga. 24 Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan atau penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap 24 Ibid. ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang. 25 Setelah pengadilan negeri menerima pengajuan pemeriksaan perkara praperadilan, maka dalam waktu tiga hari telah menunjuk hakim yang akan memimpin persidangan dan telah menetapkan hari sidang. Persidangan pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal. 26 Pasal 78 KUHAP hanya mengatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Penjelasan pasal tersebut mengatakan cukup jelas. 27 Dimana dalam persidangan itu hakim mendengar keterangan tersangka atau penuntut umum, atau pemohon dan pejabat-pejabat penyidik dan penuntut umum. Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu tujuh hari harus sudah dijatuhkan putusan. Hal ini membedakan dengan perkara biasa yan tidak ditentukan batas waktu penyelesaiannya. 28

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dokumen yang terkait

Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

9 92 134

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

2 89 175

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

1 81 145

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

0 25 146

Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel – Pra Peradilan Budi Guna

2 61 130

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12