Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel – Pra Peradilan Budi Guna

(1)

(STUDI TERHADAP PUTUSAN NOMOR:

04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL – PRA PERADILAN BUDI GUNAWAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dalam Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RANDA MORGAN TARIGAN NIM: 110200346

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

(STUDI TERHADAP PUTUSAN NOMOR:

04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL – PRA PERADILAN BUDI GUNAWAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 110200346

RANDA MORGAN TARIGAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh:

KETUA DEPATEMEN HUKUM PIDANA

NIP: 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH., MH.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

NIP: 195102061980021001 NIP: 197407252002122002 Rafiqoh Lubis, SH,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Segala syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan program studi S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan memilih judul: Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan).

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, karena sudah memberikan perubahan yang maksimal kepada fakultas dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan kampus Fakultas Hukum USU. Terima kasih pula karena pernah mengamanahkan penulis menjadi perwakilan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ke Universitas Padjadjaran Bandung dalam program Pertukaran Mahasiswa Tanah Air (PERMATA).


(4)

memenuhi segala kebutuhan akademis dan administrasi.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Syafrudin Kalo, SH. MHum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk serta arahan dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, terima kasih atas kesabarannya dalam memberi nasihat, motivasi, dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama perkuliahan.

9. Seluruh Dosen serta staf / pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan. Terkhusus Bapak Amsali Syahputra Sembiring, S.H., M.Hum., Bapak Dr.


(5)

membimbing, mengarahkan dan membantu selama masa perkuliahan. 11.Terima kasih Kepada Ayahanda Kuat Tarigan dan Ibunda Rotua Siahaan,

S.Kep., Ns, selaku Orang tua yang telah sabar mendidik dan membesarkan penulis hingga saat ini, juga yang telah memberikan banyak sekali doa, dukungan, saran, kritik, dan apresiasi, selama hidup penulis dan pada penyelesaian skripsi ini.

12.Terima kasih Kepada seluruh Saudara kandung penulis, Bang Andiko Tarigan, Kak Emma Pevayosa Tarigan, Adik Egia Prananta Tarigan, Kakak Ipar Rafika Devi Saragih, Keponakan Patengah Alzayn Yusuf Tarigan, dan kepada seluruh Keluarga Besar yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

13.Terima kasih Kepada Tulang Drs. Ramadhan Pohan, MIS., yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk penyelesaian skripsi ini. 14.Sahabat-Sahabat penulis, Abangda Rizky Akbar Prabowo, SH., Abangda

Aras Firdaus Sembiring, SH., MH., Muhammad Ahsani, SH., Cholid Hutagalung, SH., Khaidir Ali Daulay, Ageng Mandala, Dedek Rahmadsyah, Hadismar Anwar Lubis, Bagus Firman Wibowo, Fithri Chairunnisa, SH., (Cabel), Annisa Lubis, SH., (Calub), Agung Handi Sejahtera, Roni Afrizal, Gabeta Solin, Dinda Anwar & All Lovable, M. Akbar Siregar, SH., Aldo Pandia, Andyka Gepe, Arjana Bagaskara


(6)

15.Seluruh mahasiswa Pertukaran Mahasiswa Tanah Air (PERMATA) 2014 dan seluruh Keluarga Besar Universitas Padjadjaran.

16.Seluruh anggota IMADANA (Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana) FH USU, pengurus Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum USU periode 2013/2014, Keluarga Besar IMKA ERKALIAGA FH USU, seluruh tim pemenangan SANDARAN for USU, ‘i’ Medan Hiphop Diamond, Postur Studio Record, semua adik-adik di Fakultas dan Seluruh Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta semua yang penulis kenal dan mengenal penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, April 2015 Penulis,


(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 29

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II : MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) ... 34

A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ... 34

B. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 40

C. Mekanisme Kpk Dalam Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana Korupsi ... 46


(8)

DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA

DI INDONESIA ... 54

A. Pengaturan Praperadilan Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia ... 54

B. Penetapan Status Tersangka Sebagai Alasan Pengajuan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia ... 69

C. Kasus Dan Analisis Kasus (Studi Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan) ... 73

D. Praperadilan pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 ... 104

BAB IV : PENUTUP ... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117


(9)

Praperadilan dibentuk oleh KUHAP untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen. Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang lewat amanah Undang-Undnag berwenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka guna proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana mekanisme penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bagaimana sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Praperadilan ditinjau dari Hukum Acara Pidana di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan (library research).

Kehadiran lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia merupakan babak baru dalam rangka menciptakan dan mewujudkan peradilan pidana yang lebih baik dan lebih manusiawi. Praperadilan termuat dalam Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaga Praperadilan yang dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana.

Kata Kunci : Praperadilan

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Dosen Pembimbing I


(10)

Praperadilan dibentuk oleh KUHAP untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen. Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang lewat amanah Undang-Undnag berwenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka guna proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana mekanisme penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bagaimana sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Praperadilan ditinjau dari Hukum Acara Pidana di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan (library research).

Kehadiran lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia merupakan babak baru dalam rangka menciptakan dan mewujudkan peradilan pidana yang lebih baik dan lebih manusiawi. Praperadilan termuat dalam Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaga Praperadilan yang dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana.

Kata Kunci : Praperadilan

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Dosen Pembimbing I


(11)

1

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kericuhan-kericuhan, hal mana timbul sebagai akibat adanya perbedaan kebutuhan antara sesama anggota masyarakat. Sebelum adanya peradaban manusia yang tinggi, maka yang kuatlah yang selalu menang dalam segala hal. Pada masa yang demikian itu, hukum belum lagi dikenal, karena itu masing-masing anggota masyarakat dapat menjadi hakim sendiri-sendiri. Dengan adanya kemajuan peradaban manusia, dirasakan pula perlunya dibuat ketentuan-ketentuan yang sama-sama mereka sepakati, ketentuan-ketentuan mana yang bersifat mengikat dan mengandung ancaman hukum bagi barangsiapa yang melanggarnya. Tujuan daripada dibuatnya peraturan-peraturan yang bersifat mengikat itu tidak lain ialah agar didalam kehidupan bermasyarakat terdapat ketertiban, dimana hak dari masing-masing anggota dilindungi, disamping menjadi kewajiban dari pihak-pihak lain untuk mentaati setiap ketentuan yang telah disepakati bersama itu.1

Di dalam masyarakat kita sekarang ini, peraturan yang sifatnya mengikat dan ada sanksi hukumannya bagi barang siapa yang melanggarnya, kita dapat temukan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang (KUHPidana) dan peraturan-peraturan lainnya.2

1

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1983, hlm. 13.

2


(12)

Tetapi hanya dengan KUHPidana dan Undang-Undang serta peraturan-peraturan pemerintah dan yang lainnya saja, belumlah cukup sebab masih timbul persoalan yaitu siapa yang melakukan tugas pemeriksaan terhadap pelanggaran Undang-Undang, siapa yang harus menuntut, bagaimana caranya melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dipergunakan dalam kejahatan, siapa yang berwenang menjatuhkan hukuman, bagaimana peradilan itu harus berjalan dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan adanya suatu ketentuan atau peraturan-peraturan yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan proses peradilan tersebut dan peraturan itulah yang kita kenal dengan nama Hukum Acara Pidana. Mengingat bahwa tujuan hukum itu ialah untuk menciptakan suatu masyarakat yang tenang dan tenteram, dimana setiap warganya berhak mendapat perlindungan hukum, maka sudah barang tentu di dalam melaksanakan peraturan-peraturan/undang-undang itu harus pula dapat dilaksanakan secara adil. Jadi bilamana ada orang melanggar hukum, maka terhadap orang yang bersangkutan harus dijatuhkan hukuman sesuai dengan peraturan-peraturan/undang-undang yang ada. Sedangkan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan harus setimpal pula dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. Kesimpulannya ialah bahwa Hukum Acara Pidana merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang proses peradilan dan di dalam Hukum Acara Pidana telah didapati ketentuan-ketentuan yang mengatur segala hal ihwal peradilan, mulai dari siapa yang mempunyai wewenang pemeriksaan, penggeledahan, penahanan, penjatuhan hukuman, pelaksanaan putusan peradilan (executive), sampai pada Banding, Kasasi dan Grasi. Dengan perkataan lain Hukum Acara Pidana itu merupakan suatu sarana


(13)

untuk menegakkan Hukum Pidana. Secara singkat dapat diterangkan bahwa arti daripada Hukum Acara Pidana adalah merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang acara peradilan. Sedang tujuannya adalah untuk menegakkan Hukum Pidana serta peraturan-peraturan pemerintah yang lain yang ada ancaman pidananya, sehingga dengan demikian setiap peraturan dan undang-undang yang ada sanksi pidananya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.3

Dari konsiderans tersebut, jelaslah bahwa yang menjadi landasan filosofis KUHAP adalah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam negara hukum Indonesia. Jika hal itu dikaitkan dengan teori-teori berlakunya hukum, maka secara tegas dikatakan bahwa KUHAP memiliki daya berlaku secara filosofis. Karena KUHAP telah dibentuk berdasarkan dan sesuai dengan nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Dalam konsiderans UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP huruf (a), telah ditegaskan:

“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

4

Salah satu jenis kejahatan yang membutuhkan perhatian ekstra untuk pemberantasannya adalah tindak pidana korupsi. Tidak hanya di Indonesia dan

3

Ibid.

4

Harun M. Hussein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 22.


(14)

negara-negara berkembang lainnya, akan tetapi di negara-negara yang sudah majupun korupsi menjelma menjadi virus yang mampu merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataannya, korupsi yang selalu dilakukan secara sistematis dapat menimbulkan kerugian di bidang ekonomi karena mengacaukan kegiatan investasi, menilmbulkan kerugian di bidang politik yaitu telah meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan juga menimbulkan kerugian di bidang sosial yang ditandai dengan kekuasaan dan kekayaan jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak berhak .5

Di Indonesia, masalah korupsi telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negeri ini dengan mengatakan, bahwa “corruption is way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia.6 Mungkin penilaian seperti itu amat menyakitkan rasa kebangsaan, dan tidak dapat diterima begitu saja. Namun demikian, jauh sebelumnya Muhammad Hatta, salah seorang tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah melontarkan penilaian yang sama dengan mengatakan, bahwa korupsi cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.7

5

Tim Penyusun dibawah pimpinan Teguh Samudera, Analisis dan Evaluasi Hukum

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008, hlm. 1.

6

Amien Rais, Pengantar dalam edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.),

Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 9.

7


(15)

Secara legal formal, pemberantasan korupsi di Indonesia telah dimulai pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960. Sedangkan Undang-Undang-Undang-Undang terakhir yang diundangkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang No.20 Tahun 2001 yang merubah beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.8

Seiring dengan kebutuhan tersebut, maka dibentuklah lembaga yang secara khusus menangani tindak pidana korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dasar hukum yang mengatur kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penuntutan tindak pidana korupsi adalah pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.9

Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Akan tetapi, pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang demikian luas, disamping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana Indonesia.10

8

Ibid. Hlm 2.

9

Ibid.

10

Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 219.


(16)

Kemauan politik untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi, belum berfungsi secara efektif. Sementara tindak pidana korupsi itu sendiri telah sedemikian rupa berlangsung dalam masyarakat, dan telah dilakukan secara sistematis dan meluas, sehingga pada akhirnya dirasakan telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sebagai bagian dai hak asasi manusia.11 Akibat korupsi yang berlangsung sedemikian rupa, termasuk korupsi di kalangan penegak hukum sendiri, terdapat keragu-raguan, atau bahkan ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat terhadap efektivitas fungsi sistem peradilan pidana Indonesia dalam penanggulangan masalah korupsi. Di samping itu, adanya pragmentasi fungsional, sikap mandiri, dan instansi sentris yang cenderung dipertontonkan diantara sesama subsisten peradilan, semakin memperkuat argumentasi terhadap urgensi kehadiran sebuah institusi khusus untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di masa depan.12

Namun demikian dalam pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dibatasi hanya pada tindak pidana korupsi yang

13

11

Lihat Konsideran Draf ke-13 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipersiapkan oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM.

12

Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 220.

13 Pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(17)

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).14

Di samping itu, yang merupakan hal baru di dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia adalah “Pra-Peradilan”, yang maksudnya adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.15

Lembaga praperadilan ini tidak merupakan suatu badan tersendiri, tetapi hanya suatu wewenang saja dari pengadilan negeri. Pemberian wewenang ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan murah dalam rangka memulihkan harkat/martabat, kemampuan/kedudukan serta mengganti kerugian terhadap korban yang merasa dirugikan. Lembaga praperadilan juga merupakan lembaga baru yang tidak dijumpai dalam hukum acara pidana HIR. Dengan adanya praperadilan dijamin bahwa seseorang tidak

14

Tim dibawah pimpinan Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 15. 15 R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit., hlm. 1.


(18)

ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang sah. Penangkapan hanya dilakukan atas dasar dugaan yang kuat dengan landasan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan ketentuan tentang bukti permulaan ini diserahkan penilaiannya kepada penyidik. Hal ini membuka kemungkinan sebagai alasan pengajuan pemeriksaan praperadilan.16

Praperadilan dibentuk oleh KUHAP untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen. Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana.17

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes)melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya idak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary enforcement).

Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang berwenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka guna proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi.

18

16

Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 322.

17

Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 3.

18

Ermansyah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 29.


(19)

Selama hal tersebut merupakan niat baik demi terjaganya kondusivitas hukum di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah kasus Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia yaitu Budi Gunawan. Budi Gunawan merupakan calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang diindikasi terlibat kasus korupsi dan rekening gendut. Tetapi proses pengangkatannya menjadi tersendat karena yang bersangkutan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budi Gunawan mengatakan bahwa KPK melakukan penggeledahan, penyitaan maupun penetapan sebagai Tersangka tanpa dasar hukum. Sehingga Budi Gunawan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di dalam gugatannya, Budi Gunawan memohon agar hakim menyatakan penetapan status tersangkanya tidak sah. Budi Gunawan juga merujuk pada putusan pengadilan pada kasus Chevron dengan nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jak.Sel, dimana hakim praperadilan membatalkan status Tersangka saudara Bachtiar yang merupakan Tersangka pada kasus Chevron. Sampai saat gugatannya diputus oleh Hakim Tunggal Praperadilan, kasus ini terus menuai kritik pengamat dan publik, karena dianggap mengobrak abrik hukum kita. Vonis hakim tunggal Sarpin Rizaldi dianggap sangat kontroversial, karena mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan dengan objek penetapan tersangka. Atas hal ini, penetapan status tersangka yang diajukan sebagai alasan praperadilan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang berjudul


(20)

“Sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana di Indonesia (Studi Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel – Praperadilan Budi Gunawan)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Mekanisme Penetapan Status Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?

2. Bagaimana sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Pra Peradilan ditinjau dari Hukum Acara Pidana di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah :

a. Untuk mengetahui. mekanisme Penetapan Status Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

b. Untuk mengetahui pengaturan Hukum Acara Pidana di Indonesia tentang sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka oleh Komisi


(21)

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Pra Peradilan

2. Manfaat Penulisan

Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain: a. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan, serta dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana.

b. Secara Praktis

Penelitian ini secara praktis dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak terkait termasuk praktisi hukum dalam upaya penegakan hukum dan pengajuan Praperadilan dengan tepat, juga sebagai informasi bagi masyarakat mengenai pengaturan Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama tentang Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Putusan Nomor:


(22)

04/Pid.Prap/2015/Pn.Jak.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan)” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Setelah penulis memahami kasus Calon KaPOLRI Budi Gunawan yang permohonan pengajuan Praperadilannya dimenangkan oleh Hakim Sarpin selaku Hakim tunggal yang menangani kasus tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul–judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan mengajukan uji bersih yang hasilnya belum terdapat tulisan yang mengangkat pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas. Dengan demikian penulisan skripsi ini adalah asli. Sementara itu, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Tujuan Pra Peradilan

Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan


(23)

karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaaan pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya, penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak. Meskipun ada kemiripan dengan hakim komisaris itu, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak.19

Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yaitu di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.20

Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu,

Judge d’ Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam

pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat

19

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 187.

20


(24)

bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Kalau cukup alasan, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut

ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan

membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.21 Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.22

(1) Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

Untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan terhadap perbuatan sewenang-wenang aparat penyidik dan penuntut umum, maka Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 meletakkan dasar-dasar yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang dikenal dengan lembaga Praperadilan. Ketentuan yang menjadi dasar praperadilan tersebut diatur dalam pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 yaitu :

21

Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 188.

22

Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebis cepat dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92-94.


(25)

orangnya atau hukum diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana.

(3) Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebasan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

Penjabaran dari pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 ini diatur dalam pasal 77 s/d 83, dan dihubungkan dengan pasal 95 ayat (2) KUHAP.

Adapun pengertian mengenai praperadilan dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 KUHAP yaitu: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:

a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.23

Pasal-pasal tersebut di atas merupakan ketentuan umum, sebagai pelaksanaannya diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983.

23


(26)

Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa maksud ataupun tujuan diadakan lembaga praperadilan ini merupakan kontrol/pengawasan atas jalannya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangka/terdakwa. Kontrol tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas ke bawah

b. Kontrol horizontal, yakni kontrol ke samping, antara penyidik, penuntut umum timbal balik tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.24

Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan atau penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap

24


(27)

ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.25

Setelah pengadilan negeri menerima pengajuan pemeriksaan perkara praperadilan, maka dalam waktu tiga hari telah menunjuk hakim yang akan memimpin persidangan dan telah menetapkan hari sidang. Persidangan pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal.26 Pasal 78 KUHAP hanya mengatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Penjelasan pasal tersebut mengatakan cukup jelas.27 Dimana dalam persidangan itu hakim mendengar keterangan tersangka atau penuntut umum, atau pemohon dan pejabat-pejabat penyidik dan penuntut umum. Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu tujuh hari harus sudah dijatuhkan putusan. Hal ini membedakan dengan perkara biasa yan tidak ditentukan batas waktu penyelesaiannya.28

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:

corruption. corruptore) gejala dimana para pejabat,badan-badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam

25

Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 189.

26

Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 332.

27

Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 191.

28


(28)

Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.29

Perbuatan korupsi dapat dikatakan telah merambah hampir di seluruh sektor/bidang politik, ekonomi, hukum, dan administrasi, serta sosial, baik pada instansi-instansi pemerintah maupun kalangan swasta dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan tercela, yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara serta masyarakat dalam skala besar, namun ironisnya perbuatan korupsi itu sering kali tidak terjangkau oleh Undang-Undang yang ada, dan para pelakunya selalu berusaha berlindung di balik Asas Legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Di Indonesia bentuk-bentuk kejahatan korupsi pada masa awal-awal kemerdekaan masih sangat sederhana, hal tersebut dapat dilihat dari perumusan pasal-pasal KUHP. Misalnya suap atau pemaksaan terhadap seseorang untuk memberikan sesuatu oleh para pejabat atau pegawai negeri. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, korupsi pun mulai memasuki berbagai kondisi dari segenap kehidupan negara dan masyarakat.

30

Korupsi di Indonesia sudah sedemikian mencengangkan, bahkan telah menyerang sampai kepada pemerintah-pemerintah daerah. Hampir tiap provinsi di Indonesia pernah memiliki kasus korupsi yang dijalankan oleh

29

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 8-9.

30

Muzakkir Samidan Prang, Peranan Hakim dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana


(29)

aparat eksekutif, legislatif dan yudikatifnya. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan kasus korupsi terbanyak yaitu 131 kasus.31

Di Indonesia, langkah-langkah pembentukan hukum positif guna mengahadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan para pejabat (ambtenaar) yang terkait dengan korupsi. Akan tetapi pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan-ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka diharapkan dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP.

32

Dalam penuntutan tindak pidana korupsi di Indonesia, terdapat 2 (dua) institusi yang berhak melakukan penuntutan yaitu Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan terhadap pemeriksaan terdakwa tindak

31

Berdasarkan hasil penelitian Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN), lihat Kompas, 9 Maret 2003, Ramai-ramai Menjarah Uang Rakyat.

32


(30)

pidana korupsi juga dapat dilakukan dalam 2 (dua) lingkungan pengadilan, yaitu pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi.33

3. Pengertian Tersangka dan Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHAP pasal 1 butir ke 14 bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan butir ke 15 menyatakan bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan; namun demikian berdasarkan suatu azas yang terpenting dalam Hukum Acara Pidana ialah: “Azas Praduga Tak Bersalah(Presumption of Innoucent)” yang telah dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; LN. tahun 1970 Nomor 74, maka bersumber pada azas tersebut di atas, maka setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut di depan sidang pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan emperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Oleh karena itu wajarlah apabila tersangka/terdakwa dalam tiap tingkat pemeriksaan memperoleh hak-hak tertentu baginya menjamin adanya perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.demikianlah menurut pasal 50 KUHAP, tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjtnya diajukan kepada

33


(31)

penuntut umum, serta segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, hal mana mencegah terkatung-katungnya suatu perkara sehingga tersangka tidak bisa segera mengetahui bagaimana nasibnya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya, dan dalam semua tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim, selanjutnya berhak untuk mendapat bantuan juru bahasa dan berhak pula mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum yang dipilihnya sendiri (pasal-pasal 51, 52, 53, 54 dan 55 KUHAP).34

Sementara itu, penyidikan merupakan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi defenisi penyidikan sebagai berikut: “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”. Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto, menyidik

(opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang

untuk itu ditunjuk oleh Undang-Undang segera setelah mereka dengan jalan

34


(32)

apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”.35

Penyidikan terhadap satu tindak pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara dan menemukan pelakunya.

36

a. Tindak pidana yang telah dilakukan

Sesuai konteks Pasal 1 Angka 2 KUHAP, dengan konkrit dan faktual dimensi penyidikan dimuali ketika terjadi tindak pidana, sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut:

b. Tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti) c. Waktu dilakukannya tindak pidana (tempus delicti) d. Cara dilakukannya tindak pidana

e. Dengan alat apa dilakukannya tindak pidana

Dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sementara itu, penyidik di dalam KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

35

Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 120.

36


(33)

tugas dan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.37

4. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Sistem Peradilan Pidana

a. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.38 Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dapat ditemukan dalam Pasal 6 butir c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.39

1. Kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:

37

Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta, 2012, hlm. 103.

38

Pasal 3-4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

39


(34)

2. Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

3. Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

5. Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.40

b. Sistem Peradilan Pidana

Berbicara tentang sistem hukum, yang dimaksudkan adalah sistem hukum positif Indonesia yaitu sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sistem pada umumnya diartikan sebagai suatu kesauan yang terdiri atas unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan saling memengaruhi sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh dan berarti. Pada dasarnya suatu sistem hukum adalah suatu struktir formal, namun apabila berbicara tentang sistem hukum Indonesia, maka

40


(35)

yang dimaksud disini adalah struktur formal kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan asas-asas yang mendasarinya dimana pada gilirannya diddasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.41

Berbicara tentang persidangan kasus pidana, maka kita juga berbicara tentang sebuah sistem, yakni sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan subsistem dari sistem peradilan di Indonesia dimana peradilan di Indonesia juga merupakan subsistem dari sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan adanya suatu hierarki sistem, dimana subsistem-subsistem dari sebuah sistem tertentu menunjukkan ciri berupa adanya interelasi satu sama lainnya.

42

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam sistem peradilan pidana Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.43

Peradilan pidana adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat beberapa badan atau lembaga penegak hukum beserta aparaturnya yang bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Oleh

41

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Alumni, Bandung, 2000,

hlm. 121.

42

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, hlm. 3.

43

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen &

Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.


(36)

karena itu, peradilan pidana dapat dipahami sebagai suatu proses menyangkut kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas dari badan peradilan pidana. Kegiatan di dalam proses itu sendiri merupakan kegiatan bertahap dan berkelanjutan, yang dimulai dari kegiatan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan hakim.44

Kegiatan yang berkelanjutan itu masing-masing dilakukan oleh instansi penegak hukum yang berbeda secara administratif dan struktural. Kegiatan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, dan kegiatan penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Sedangkan kegiatan pemeriksaan di persidangan dilakukan oleh pengadilan, dan kegiatan pelaksanaan putusan dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Meskipun demikian, secara fungsional instansi-instansi penegak hukum itu satu sama lain merupakan satu kesatuan yang harus bekerja sama dalam kerangka sistem, yaitu sistem peradilan pidana.45

Sistem peradilan pidana memiliki tiga komponen utama, yaitu penegak hukum, pengadilan dan pemasyarakatan. Komponen utama yang dimaksud disini bukanah merupakan komponen kajian dalam sistem peradilan pidana, melainkan komponen utama dalam sistem peradilan pidana tersebut.46

Sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice

44

Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 220.

45

Ibid.

46


(37)

System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi penegak huum (Law enforcement officer) di Amerika Serikat.47

Menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana merupakan manajemen untuk mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan atau dapat dikatakan sebagai aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana diartikan juga sebagai suatu penegakan hukum, maka di dalamnya terkandung Menurut Black’s Law Dictionary:

“Criminal Justice System is the collective institutions through which an accussed offender passes until the accusations have been disposed of or the assessed punishment concluded. The system typically has have three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors, defense lawyers) and corrections (prison officials, probation officers and parole officers)”.

Jika diterjemahkan secara bebas, menurut Black’s Law Dictionary, sistem peradilan pidana adalah institusi kolektif, dimana seorang pelaku tindak pidana melalui suatu proses sampai tuntutan ditetapkan atau penjatuhan hukuman telah diputuskan. Sistem ini memiliki tiga komponen, penegak hukum (kepolisian), proses persidangan (hakim, jaksa dan advokat), dan lembaga pemasyarakatan (petugas pemasyarakatan dan petugas lembaga pembinaan).

47

Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan”, Jakarta, 2005, hlm. 4.


(38)

aspek hukum yang menitikberatkan kepada rasionalitas peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum (certainty). Di lain pihak, apabila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan pada kegunaan (ekspediency).48

1. Mencegah kejahatan;

Sistem peradilan memiliki dua tujuan besar, yaitu untuk melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. Selain dua tujuan tersebut, sistem peradilan pidana memiliki beberapa fungsi penting, antara lain:

2. Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan pengertian terhadap pelaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif; 3. Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan

penindakan;

4. Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah terhadap orang yang ditahan;

5. Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah;

48

Romi Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan


(39)

6. Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh masyarakat terhadap perilaku mereka yang telah melanggar hukum pidana.

Criminal justice process merupakan bagian yang tak terpisahkan dari criminal justice system, karena criminal justice system selain berisikan tentang criminal justice process juga berisi tentang keterikatan antarlembaga, antar peraturan dan masyarakat yang menunjang berlakunya hukum pidana.49

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.50

49

Tolib Effendi, Op. Cit., hlm. 13-14.

50

Soerjono Soekanto, Pengatar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm. 43.

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:


(40)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Republik


(41)

Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.51

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.52

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian Library

Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian

terhadap berbagai sumber bacaan yakni : buku-buku, pendapat sarjana, bahan kuliah, surat kabar, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan sebagai alasan praperadilan.

4. Analisis Data

Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode

51

Ibid, hlm. 52.

52


(42)

analisis kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB II MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA TINDAK

PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

Didalam bab ini akan dibahas pengaturan tentang mekanisme Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan status tersangka. Pembahasan bab kedua ini akan dimulai dengan pembahasan tentang latar belakang pembentukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemudian dilanjutkan dengan pembahasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


(43)

dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan selanjutnya pembahasan mengenai mekanisme KPK dalam menetapkan status tersangka tindak pidana korupsi.

BAB III SAH TIDAKNYA PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel)

Bab ketiga akan membahas mengenai sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai alasan pengajuan praperadilan. Pembahasan bab ketiga ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai pengaturan praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pembahasan mengenai penetapan status tersangka sebagai alasan pengajuan praperadilan, kemudian dilanjutkan dengan analisis kasus terhadap Putusan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.


(44)

34

TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk membuat sebuah komisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang diserahi tugas dan kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pembentukan sebuah komisi atau badan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah suatu yang baru sama sekali. Pada awal pemerintahan Orde Baru, dengan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 dibentuklah sebuah Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai oleh Jaksa Agung Sugih Arto. Kemudian pada tahun 1970, dibentuk pula tim pemberantas korupsi yang dinamakan Komisi Empat yang dipimpin oleh Wilopo. Pada tahun 1977 dibentuk lagi sebuah tim untuk memberantas tindak pidana korupsi, yang dinamakan Operasi Tertib (Opstib) berdasarkan Instuksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977.

Akan tetapi, tim khusus pemberantasan tindak pidana korupsi yang dibentuk pada masa lalu itu, jauh berbeda dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Di samping dasar hukum pembentukannya yang lebih kuat, juga kewenangannya


(45)

lebih luas daripada hanya sekedar melakukan penyidikan, melainkan juga melakukan penyidikan, penuntutan yang sama sekali tidak dimiliki oleh tim-tim yang ada pada masa lalu.

Kehadiran sebuah badan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tuntutan reformasi untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah melembaga di seluruh lapisan masyarakat dan kelembagaan negara. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan sudah merupakan “extra

ordinary crime”. Atas dasar itu pula maka pemberantasannya tidak dapat lagi

dilakukan dengan cara-cara biasaa, dan melalui instansi penegak hukum yang ada selama ini, melainkan mesti dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Artinya, metode penegakan hukum secara konvensional sudah terbukti mengalami kegagalan dan kemandulan, sehingga dengan demikian diperlukan adanya sebuah badan khusus yang independen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.53

Kehadiran sebuah badan khusus atau komisi khusus itu dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak di tengah-tengah suasana yang mencerminkan adanya ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada. Institusi penegak hukum yang ada seperti polisi dan jaksa dinilai masyarakat telah mengalami kegagalan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, fungsi kedua lembaga penegak hukum tersebut

53


(46)

dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi perlu digantikan oleh sebuah badan yang independen.54

Ada beberapa model komisi anti korupsi yang diterapkan oleh beberapa negara yang telah berhasil membangun suatu komisi yang disegani, yaitu:55

1. Model yang memberikan kepada badan anti korupsi monopoli kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

2. Model yang menempatkan badan anti korupsi sebagai suatu institusi yang memiliki kewenangan koordinatif dan supervisi, termasuk kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan sekaligus kewenangan penuntutan. 3. Model badan anti korupsi yang hanya memiliki kewenangan penyelidikan

dan penyidikan, sementara kewenangan penuntutan tetap berada pada kejaksaan.

Dasar hukum pembentukan sebuah komisi independen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tertuang dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi:

(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi;

(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

54

Masyarakat Transparansi Indonesia, Ringkasan Pokok Badan Independen Anti Korupsi, tidak dipublikasikan, hlm. 2.

55


(47)

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat;

(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang.

Sebagaimana halnya Masyarakat Transparansi Indonesia, kita mengharapkan komisi yang akan dibentuk itu adalah sebuah badan khusus yang independen, sama seperti badan-badan antikorupsi yang terdapat di beberapa negara lain, seperti “Independent Commission Against Corruption (ICAC)” di Hongkong. Komisi Pemberantasan Korupsi di Hongkong (ICAC) merupakan sebuah badan khusus yang independen.

ICAC merupakan sebuah badan anti korupsi yang ternyata paling ampuh dalam menumpas tindak pidana korupsi di suatu negara berkembang seperti Hong Kong. Oleh karena itu, ICAC selalu dijadikan sebagai acuan dan dianggap prestisius.56

Dari ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat dicatat bahwa komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Pemberantas Korupsi disingkat KPK) tidaklah semata-mata dimaksudkan sebagai sebuah institusi yang diberi kewenangan melakukan sebagai institusi yang diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan saja, melainkan juga melakukan penuntutan tindak pidana korupsi. Di samping itu, KPK juga diberi

56

Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm.153.


(48)

kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap semua instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketentuan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada KPK dan sekaligus melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, memberikan gambaran tentang tidak adanya ketegasan dan keberanian pembuat undang-undang untuk menempatkan kewenangan penyidikan hanya pada satu institusi. Pembuat undang-undang terkesan ragu-ragu dan tidak memiliki keberanian untuk meletakkan kewenangan penyidikan sepenuhnya hanya pada KPK.

Dengan kewenangan seperti dimaksud Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka itu berarti KPK bukanlah merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Di samping komisi anti korupsi itu, secara implisit pasal tersebut masih tetap mengakui adanya kewenangan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi pada kepolisian dan kejaksaan sebagaimana yang berlaku sebelumnya.

Dengan demikian, di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ada tiga institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi, yaitu KPK, kepolisian dan kejaksaan. Hanya saja, memang KPK diberi kedudukan dan kewenangan yang lebih, yakni untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penyidik kepolisian dan kejaksaan, dan bahkan dapat mengambil alih penyidikan yang sedang dilakukan baik oleh kepolisian maupun oleh kejaksaan. Namun masalahnya, apakah kewenangan dalam kerangka


(49)

koordinasi dan supervisi itu maupun dilaksanakan oleh KPK ditengah masih dominannya pengaruh kedua lembaga tadidalam proses penegakan hukum.

Untuk menindaklanjuti maksud ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah melalui proses pembahasan di badan legislatif, akhirnya pada tanggal 27 Desember 2002 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137.

Tidak efektifnya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui institusi penegak hukum yang ada selama ini (kepolisian dan kejaksaan) merupakan salah satu dasar pemikiran untuk membentuk komisi pemberantas korupsi. Latar belakang pemikiran seperti itu dapat dilihat dan tergambar dalam salah satu konsideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menegaskan, bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Semangat yang dapat ditangkap dari bunyi konsideran ini adalah, adanya suatu pengakuan tentang ketidakmampuan institusi penegak hukum yang ada selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.57

57


(50)

B. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Sulit untuk memberantas korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, juga terlibat dalam perkara korupsi. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dan menjadi dasar pemikiran lahirnya Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian melahirkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut UU-KPK.58

Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan lahir/dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari namanya diketahui, bahwa lembaga ini terdiri dari beberapa orang yang diserahi salah satu kewajiban atau tugas pemberantasan korupsi. Pasal 43 itu mengamanatkan, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah harus terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini mulai berlaku. Sementara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini sendiri mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 16 Agustus 1999. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi harus sudah terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2001.59

58

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan

Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 22.

59

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aitya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 125.


(51)

Komisi ini mempunyai tugas dan wewenang (Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) sebagai berikut:

1. Melakukan Koordinasi dan Supervisi. 2. Melakukan Penyelidikan.

3. Melakukan Penyidikan. 4. Melakukan Penuntutan.60

KPK sendiri adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 UU-KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4 UU-KPK). Keberadaan komisi ini sangat dibutuhkan mengingat sifat dan akibat korupsi yang begitu besar, menggerogoti kekayaan negara dan sumber ekonomi rakyat, sehingga dapat dipandang sebagai pelanggaran HAM, yakni hak-hak sosial ekonomi rakyat. Oleh karenanya masyarakat mendambakan KPK sebagai lembaga yang menjadi harapan bangsa Indonesia yang muncul di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang ada seiring dengan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Harapan lain adalah bahwa KPK harus menjadi landasan yang kuat secara substantif maupun implementatif sehingga merupakan salah satu institusi yang mampu mengemban misi penegakan hukum.61

Dalam mengemban misi tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang yang cukup luas dengan menganut prinsip-prinsip: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas (Pasal 5 UU-KPK).

60

Ibid.

61


(52)

Seperti ditegaskan dalam uraian di atas, bahwa dasar hukum pembentukan suatu undang-undang tentang komisi anti korupsi adalah pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Oleh karena pembuat undang-undang korupsi telah merumuskan secara garis besar kerangka tugas dan wewenang komisi yang akan dibentuk dengan undang-undang tersendiri, maka itulah yang akan ditansformasikan dan diperinci lebih lanjut ke dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Atas dasar itu pulalah, di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dirumuskan secara eksplisit tugas KPK. Pasal 6 UU-KPK menegaskan:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenag melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan; e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sedangkan wewenang dari KPK dalam rangka pemberantasan korupsi dinyatakan dalam Pasal 7 UU-KPK sebagai berikut:

a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;


(53)

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi lain yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Kewenangan supervisi KPK oleh pembuat undang-undang dibatasi hanya pada tugas melakukan pengawasan, penelitian dan penelaahan terhadap instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Tugas tersebut dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi:

(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian dan penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik;

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan;

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan


(54)

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi;

(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan dengan prinsip “trigger mechanism” dan “take over mechanism” (Pasal 8 dan 10 UU-KPK). Pengambilalihan wewenang ini dapat dilakukan jika terdapat indikasi

unwillingness” dari institusi terkait dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya.62 Indikasi adanya “unwillingness” di atas berdasarkan pada Pasal 9 UU-KPK, yaitu: (i) adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti, (ii) proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut yang berlarut-larut, (iii) adanya unsur nepotisme yang melindungi pelaku korupsi, (iv) adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif, (v) alasan-alasan lain yang menyebabkan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan.63

Di samping rumusan-rumusan hukum tersebut di atas, satu hal yang patut dicatat pula sebagai suatu langkah maju dalam kaitannya dengan proyeksi keberadaan KPK ke depan adalah, diberikannya kewenangan yang tidak saja bersifat represif kepada komisi, melainkan juga kewenangan yang bersifat

62

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Depkeh HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 33.

63


(55)

preventif, yakni dalam mencegah timbul dan berkembangnya tindak pidana korupsi. Langkah-langkah dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan KPK untuk melaksanakan kewenangan tersebut adalah:

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum;

f. Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Diletakkanya kewenangan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan pada komisi anti korupsi, berarti komisi tersebut dibebani kewajiban untuk membangun budaya hukum yang memungkinkan kita untuk keluar dari masalah korupsi. Strategi yang lebih memberikan penekanan terhadap upaya penegakan hukum semata, terbukti tidak mampu mengatasi masalah korupsi yang dihadapi. Upaya penegakan hukum yang lebih mengedepankan sikap represif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara simultan dengan upaya-upaya lain yang bersifat preventif. Bahkan diakui, tindakan preventif harus


(56)

ditempatkan sebagai suatu upaya tahap pertama, dan jauh lebih penting daripada usaha-usaha yang bersifat represif.64

C. Mekanisme Kpk Dalam Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana Korupsi

Sampai dengan saat ini hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Definisi tersangka sangat jelas diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyebutkan bahwa:

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Jadi, untuk menetapkan seseorang berstatus sebagai terangka, cukup didasarkan pada bukti permulaan/bukti awal yang cukup.

Selanjutnya definisi tersangka dengan rumusan yang sama diatur pula dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap No. 14 Tahun 2012).

Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak secara spesifik diatur di dalam KUHAP. Definisi itu justru diatur dalam Pasal 1 angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut:

64


(57)

“Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”

Jadi, berdasarkan laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka serta dapat dilakukan penangkapan.

KUHAP memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang definisi bukti permulaan, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi:

1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat;

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Sementara, alat bukti berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

Apabila di dalam suatu proses penyidikan terdapat laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan


(58)

ahli dan surat. Selain itu, perlu ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP serta asas unus testis nullus testis.

Keterangan seorang saksi saja tidak dapat serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Itupun haruslah bersesuaian dengan alat bukti yang lain yang telah ada, sebagaimana lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, sebab kinerja penyidik dalam mengumpulkan alat bukti yang sah tersebut sebagai “bahan baku” bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana.

Bilamana telah terdapat laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.

Terhadap tersangka tidak dapat dengan serta merta dikenai upaya paksa berupa penangkapan, karena ada syarat-syarat tertentu yang diatur Perkap No. 14 Tahun 2012. Pasal 36 ayat (1) menyatakan tindakan penangkapan terhadap seorang tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan dua pertimbangan yang bersifat kumulatif (bukan alternatif), yaitu:

1. Adanya bukti permulaan yang cukup yaitu laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, dan


(1)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dari penelitian. Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah:

1. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 21/PUU-XII/2014, dapat didefenisikan pengertian dari Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

2. Hasil dari proses penyelidikan merupakan penentu penetapan status tersangka terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara minimal satu milyar rupiah, yang mana penetapannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini harus sangat jeli dan sangat berhati-hati dalam hal menetapkan seseorang sebagai Tersangka Tindak


(2)

Pidana Korupsi. Karena berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi, yang kita kenal dengan sebutan SP-3. Hal ini berbeda dengan proses penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan yang mana Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi (SP-3).

3. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perihal sah tidaknya penetapan status tersangka baik oleh Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia maupun pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sebagai contoh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bukan merupakan objek praperadilan dan bukan pula wewenang pengadilan untuk mengadili. Isi putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan dari pemohon untuk sebagian, dianggap tidak berdasarkan hukum. Hal ini dikuatkan karena berdasarkan pengaturan pasal 77 KUHAP pada saat putusan dijatuhkan oleh Hakim tunggal, sah atau tidaknya penetapan status Tersangka bukan merupakan objek dari praperadilan. Alasan Hakim Sarpin dalam menafsirkan ketentuan dalam KUHAP tidak memiliki logika hukum, karena objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif dan tidak multitafsir. Oleh karena hal ini sangat terkait dengan kompetensi mengadili, maka menurut penulis putusan praperadilan a quo cacat hukum.


(3)

4. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, wewenang tambahan yang diberikan Undang-Undang kepada Praperadilan lewat Putusan MK ini antara lain

a. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka b. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penggeledahan, dan c. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penyitaan.

B. Saran

1. Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia maupun pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, sebagai contoh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus lebih memahami tentang hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Terkhusus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Kesalahan pelaksanaan wewenang yang diberikan akan memberi dampak negatif dan kerugian bagi Pemerintah dan Negara.

2. Lembaga Praperadilan harus difungsikan secara efektif dan semaksimal mungkin sebagai alat kontrol dalam proses penegakan hukum dan keadilan, demi tujuan dari Praperadilan itu sendiri. Dan yang paling penting, demi kepentingan masyarakat dan Negara.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji, Seno Indriyanto, 2005, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan”, Jakarta.

Adji, Seno Oemar, 1980, Hukum,Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.

Afiah, Nurul Ratna, 1986, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta.

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen

& Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya

Padjadjaran, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Putra Abardin, Bandung.

Chaerudin, Syaiful, Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, 2008, Strategi Pencegahan

dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung.

Danil, Elwi, 2012, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Djaja, Ermansyah, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Effendi, Tolib, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Hamzah, Andi, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hartanti, Evi, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

Husein, M. Harun, 1991, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Jahja, Sjafrien Juni, 2012, Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta.

Kuffal, HMA , 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang.


(5)

Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum:

Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I,

Alumni, Bandung.

Mahendra, Ihza Yusril, 2002, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Depkeh HAM RI, Jakarta.

Marpaung, Leden, 2009, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta.

Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media,Yogyakarta.

Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana cetakan ke-2

telah diperbaiki, 1982, Departemen Kehakiman Republik Indonesia.

Prang, Samidan Muzakkir, 2011, Peranan Hakim dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Prinst, Darwan, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aitya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono R., 1982, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung.

Rais, Amien, 1999, Pengantar dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.

Ranoemihardja, Atang R., 1983, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung.

Salam, Faisal Moch., 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek,

Mandar Maju, Bandung.

Samudera, Teguh, 2008, Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta.

Siahaan, Oloan Lintong, 1981, Jalannya Peradilan Prancis Lebis cepat dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengatar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.


(6)

Sutanto, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 1980, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman

C. Internet

D. Lain-lain

Hasil penelitian Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN), lihat Kompas, 9 Maret 2003, Ramai-ramai Menjarah Uang Rakyat.

Lihat Konsideran Draf ke-13 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipersiapkan oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM.

Romli Atmasasmita, Perang Melawan Korupsi, dalam Kompas (4 Januari 2001) Masyarakat Transparansi Indonesia, Ringkasan Pokok Badan Independen Anti


Dokumen yang terkait

Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

9 92 134

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

2 89 175

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

1 81 145

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

0 25 146

Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel – Pra Peradilan Budi Guna

2 61 130

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12