“Sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari
Hukum Acara Pidana di Indonesia Studi Putusan Nomor: 04Pid.Prap2015PN.Jak.Sel – Praperadilan Budi Gunawan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Mekanisme Penetapan Status Tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK? 2.
Bagaimana sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang diajukan sebagai alasan Pra Peradilan
ditinjau dari Hukum Acara Pidana di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan di
atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah :
a. Untuk mengetahui. mekanisme Penetapan Status Tersangka oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK b.
Untuk mengetahui pengaturan Hukum Acara Pidana di Indonesia tentang sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK yang diajukan sebagai alasan Pra Peradilan
2. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain: a.
Secara teoritis Penulisan skripsi ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
perbandingan bagi penelitian lanjutan, serta dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana.
b. Secara Praktis
Penelitian ini secara praktis dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak terkait termasuk praktisi hukum dalam upaya penegakan hukum
dan pengajuan Praperadilan dengan tepat, juga sebagai informasi bagi masyarakat mengenai pengaturan Praperadilan menurut Hukum Acara
Pidana di Indonesia, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama tentang
Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra
Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia Studi Putusan Nomor:
04Pid.Prap2015Pn.Jak.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Setelah penulis memahami kasus Calon KaPOLRI Budi
Gunawan yang permohonan pengajuan Praperadilannya dimenangkan oleh Hakim Sarpin selaku Hakim tunggal yang menangani kasus tersebut pada Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul–judul skripsi yang
ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan mengajukan uji bersih yang hasilnya belum terdapat tulisan yang mengangkat pembahasan
seperti yang telah penulis kemukakan diatas. Dengan demikian penulisan skripsi ini adalah asli. Sementara itu, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional, objektif dan terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian dan Tujuan Pra Peradilan
Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya
sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu,
tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris Rechter commissaris di negeri Belanda dan
Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan,
karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaaan pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya,
penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi
misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian ataukah tidak. Meskipun ada kemiripan dengan hakim komisaris
itu, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah
penghentian penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak.
19
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissaris hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan muncul sebagai perwujudan
keaktifan hakim, yaitu di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa dwang mid-delen,
penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat- surat.
20
Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk
menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu,
Judge d’ Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat
19
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 187.
20
Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 88.
bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup
tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk
dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Kalau cukup alasan, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut
ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.
21
Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction.
Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.
22
1 Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai Untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan terhadap
perbuatan sewenang-wenang aparat penyidik dan penuntut umum, maka Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 meletakkan dasar-dasar yang
kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP yang dikenal dengan lembaga Praperadilan. Ketentuan yang menjadi dasar
praperadilan tersebut diatur dalam pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 yaitu :
21
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 188.
22
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebis cepat dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92-94.
orangnya atau hukum diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2 Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
tersebut dalam ayat 1 dapat dipidana. 3
Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebasan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
Penjabaran dari pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 ini diatur dalam pasal 77 sd 83, dan dihubungkan dengan pasal 95 ayat 2 KUHAP.
Adapun pengertian mengenai praperadilan dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 KUHAP yaitu: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini, tentang:
a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka. b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
23
Pasal-pasal tersebut di atas merupakan ketentuan umum, sebagai pelaksanaannya diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 16 Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983.
23
Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 321-322.
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa maksud ataupun tujuan diadakan lembaga praperadilan ini merupakan kontrolpengawasan atas
jalannya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangkaterdakwa. Kontrol tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut: a.
Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas ke bawah b.
Kontrol horizontal, yakni kontrol ke samping, antara penyidik, penuntut umum timbal balik tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
24
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim
praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan
pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara
cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung
kepada jaksa penuntut umum. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan atau
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia.
Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
24
Ibid.
ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
25
Setelah pengadilan negeri menerima pengajuan pemeriksaan perkara praperadilan, maka dalam waktu tiga hari telah menunjuk hakim yang akan
memimpin persidangan dan telah menetapkan hari sidang. Persidangan pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal.
26
Pasal 78 KUHAP hanya mengatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Penjelasan pasal tersebut mengatakan cukup jelas.
27
Dimana dalam persidangan itu hakim mendengar keterangan tersangka atau penuntut
umum, atau pemohon dan pejabat-pejabat penyidik dan penuntut umum. Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu tujuh
hari harus sudah dijatuhkan putusan. Hal ini membedakan dengan perkara biasa yan tidak ditentukan batas waktu penyelesaiannya.
28
2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” dari bahasa Latin: corruption. corruptore gejala dimana para pejabat,badan-badan negara
meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam
25
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 189.
26
Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 332.
27
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 191.
28
Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 332.
Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
29
Perbuatan korupsi dapat dikatakan telah merambah hampir di seluruh sektorbidang politik, ekonomi, hukum, dan administrasi, serta sosial, baik
pada instansi-instansi pemerintah maupun kalangan swasta dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan tercela, yang
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara serta masyarakat dalam skala besar, namun ironisnya perbuatan korupsi itu sering kali tidak
terjangkau oleh Undang-Undang yang ada, dan para pelakunya selalu berusaha berlindung di balik Asas Legalitas Pasal 1 ayat 1 KUHP. Di
Indonesia bentuk-bentuk kejahatan korupsi pada masa awal-awal kemerdekaan masih sangat sederhana, hal tersebut dapat dilihat dari
perumusan pasal-pasal KUHP. Misalnya suap atau pemaksaan terhadap seseorang untuk memberikan sesuatu oleh para pejabat atau pegawai negeri.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, korupsi pun mulai memasuki berbagai kondisi dari segenap kehidupan negara dan
masyarakat.
30
Korupsi di Indonesia sudah sedemikian mencengangkan, bahkan telah menyerang sampai kepada pemerintah-pemerintah daerah. Hampir tiap
provinsi di Indonesia pernah memiliki kasus korupsi yang dijalankan oleh
29
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 8-9.
30
Muzakkir Samidan Prang, Peranan Hakim dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011, hlm. 31.
aparat eksekutif, legislatif dan yudikatifnya. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan kasus korupsi terbanyak yaitu 131 kasus.
31
Di Indonesia, langkah-langkah pembentukan hukum positif guna mengahadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa
perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik
yang dilakukan para pejabat ambtenaar yang terkait dengan korupsi. Akan tetapi pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan-ketentuan
perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-ketentuan tindak
pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka diharapkan dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP.
32
Dalam penuntutan tindak pidana korupsi di Indonesia, terdapat 2 dua institusi yang berhak melakukan penuntutan yaitu Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sedangkan terhadap pemeriksaan terdakwa tindak
31
Berdasarkan hasil penelitian Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KP2KKN, lihat Kompas, 9 Maret 2003, Ramai-ramai Menjarah Uang Rakyat.
32
Evi Hartanti, Op. Cit., hlm. 22-23.
pidana korupsi juga dapat dilakukan dalam 2 dua lingkungan pengadilan, yaitu pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi.
33
3. Pengertian Tersangka dan Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana di
Indonesia
Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHAP pasal 1 butir ke 14 bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan butir ke 15 menyatakan bahwa terdakwa adalah seorang
tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan; namun demikian berdasarkan suatu azas yang terpenting dalam Hukum Acara
Pidana ialah: “Azas Praduga Tak BersalahPresumption of Innoucent” yang telah dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; LN. tahun 1970 Nomor 74, maka bersumber pada azas tersebut di atas, maka setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut di depan sidang pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang
menyatakan kesalahannya dan emperoleh kekuatan hukum yang tetap in kracht van gewijsde. Oleh karena itu wajarlah apabila tersangkaterdakwa
dalam tiap tingkat pemeriksaan memperoleh hak-hak tertentu baginya menjamin adanya perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia.demikianlah menurut pasal 50 KUHAP, tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjtnya diajukan kepada
33
Tim dibawah pimpinan Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 4.
penuntut umum, serta segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, hal mana mencegah terkatung-katungnya suatu perkara sehingga tersangka
tidak bisa segera mengetahui bagaimana nasibnya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangkaterdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam
bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakandidakwakan kepadanya, dan dalam semua tingkat pemeriksaan tersangkaterdakwa
berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim, selanjutnya berhak untuk mendapat bantuan juru bahasa dan berhak pula
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum yang dipilihnya sendiri pasal-pasal 51, 52, 53, 54 dan 55 KUHAP.
34
Sementara itu, penyidikan merupakan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing Belanda dan investigation Inggris
atau penyiasatan atau siasat Malaysia. KUHAP memberi defenisi penyidikan sebagai berikut: “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”. Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto, menyidik
opsporing berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh Undang-Undang segera setelah mereka dengan jalan
34
R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit., hlm. 54-55.
apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”.
35
Penyidikan terhadap satu tindak pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik
dalam rangka membuat terang suatu perkara dan menemukan pelakunya.
36
a. Tindak pidana yang telah dilakukan
Sesuai konteks Pasal 1 Angka 2 KUHAP, dengan konkrit dan faktual dimensi penyidikan dimuali ketika terjadi tindak pidana, sehingga melalui
proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut:
b. Tempat dilakukannya tindak pidana locus delicti
c. Waktu dilakukannya tindak pidana tempus delicti
d. Cara dilakukannya tindak pidana
e. Dengan alat apa dilakukannya tindak pidana
Dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sementara itu, penyidik di dalam KUHAP adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
35
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 120.
36
Harun M.Hussein, Op. Cit., hlm.104.
tugas dan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
37
4. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Sistem Peradilan Pidana
a. Komisi Pemberantasan Korupsi KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
38
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dapat ditemukan dalam Pasal
6 butir c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
39
1. Kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
37
Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta, 2012, hlm. 103.
38
Pasal 3-4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
39
Juni Sjafrien Jahja, Op. Cit., hlm. 103.
2. Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya; 3.
Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4.
Kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
5. Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
40
b. Sistem Peradilan Pidana
Berbicara tentang sistem hukum, yang dimaksudkan adalah sistem hukum positif Indonesia yaitu sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Sistem pada umumnya diartikan sebagai suatu kesauan yang terdiri atas unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan
saling memengaruhi sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh dan berarti. Pada dasarnya suatu sistem hukum adalah suatu struktir
formal, namun apabila berbicara tentang sistem hukum Indonesia, maka
40
Evi Hartanti, Op. Cit., hlm. 70.
yang dimaksud disini adalah struktur formal kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan asas-asas yang mendasarinya dimana pada gilirannya
diddasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.
41
Berbicara tentang persidangan kasus pidana, maka kita juga berbicara tentang sebuah sistem, yakni sistem peradilan pidana. Sistem
peradilan pidana merupakan subsistem dari sistem peradilan di Indonesia dimana peradilan di Indonesia juga merupakan subsistem dari
sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan adanya suatu hierarki sistem, dimana subsistem-subsistem dari sebuah sistem
tertentu menunjukkan ciri berupa adanya interelasi satu sama lainnya.
42
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam sistem peradilan pidana Amerika
Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada
masa itu sangat bergantung pada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.
43
Peradilan pidana adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat beberapa badan atau lembaga penegak hukum beserta aparaturnya yang
bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Oleh
41
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Alumni, Bandung, 2000,
hlm. 121.
42
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, hlm. 3.
43
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.
33.
karena itu, peradilan pidana dapat dipahami sebagai suatu proses menyangkut kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas dari badan
peradilan pidana. Kegiatan di dalam proses itu sendiri merupakan kegiatan bertahap dan berkelanjutan, yang dimulai dari kegiatan
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan hakim.
44
Kegiatan yang berkelanjutan itu masing-masing dilakukan oleh instansi penegak hukum yang berbeda secara administratif dan
struktural. Kegiatan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, dan kegiatan penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Sedangkan kegiatan pemeriksaan
di persidangan dilakukan oleh pengadilan, dan kegiatan pelaksanaan putusan dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Meskipun demikian,
secara fungsional instansi-instansi penegak hukum itu satu sama lain merupakan satu kesatuan yang harus bekerja sama dalam kerangka
sistem, yaitu sistem peradilan pidana.
45
Sistem peradilan pidana memiliki tiga komponen utama, yaitu penegak hukum, pengadilan dan pemasyarakatan. Komponen utama
yang dimaksud disini bukanah merupakan komponen kajian dalam sistem peradilan pidana, melainkan komponen utama dalam sistem
peradilan pidana tersebut.
46
Sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice
44
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 220.
45
Ibid.
46
Tolib Efffendi, Op.Cit., hlm. 7.
System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi penegak huum Law enforcement officer di Amerika Serikat.
47
Menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana merupakan manajemen untuk mengendalikan atau menguasai atau melakukan
pengekangan atau dapat dikatakan sebagai aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana diartikan
juga sebagai suatu penegakan hukum, maka di dalamnya terkandung Menurut Black’s Law
Dictionary: “Criminal Justice System is the collective institutions through
which an accussed offender passes until the accusations have been disposed of or the assessed punishment concluded. The system typically
has have three components: law enforcement police, sheriffs, marshals, the judicial process judges, prosecutors, defense lawyers
and corrections prison officials, probation officers and parole officers”.
Jika diterjemahkan secara bebas, menurut Black’s Law Dictionary, sistem peradilan pidana adalah institusi kolektif, dimana
seorang pelaku tindak pidana melalui suatu proses sampai tuntutan ditetapkan atau penjatuhan hukuman telah diputuskan. Sistem ini
memiliki tiga komponen, penegak hukum kepolisian, proses persidangan hakim, jaksa dan advokat, dan lembaga pemasyarakatan
petugas pemasyarakatan dan petugas lembaga pembinaan.
47
Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji Rekan”, Jakarta, 2005, hlm. 4.
aspek hukum yang menitikberatkan kepada rasionalitas peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan
bertujuan mencapai kepastian hukum certainty. Di lain pihak, apabila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari
pelaksanaan social defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dalam sistem peradilan pidana
terkandung aspek sosial yang menitikberatkan pada kegunaan ekspediency.
48
1. Mencegah kejahatan;
Sistem peradilan memiliki dua tujuan besar, yaitu untuk melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. Selain dua tujuan
tersebut, sistem peradilan pidana memiliki beberapa fungsi penting, antara lain:
2. Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan pengertian
terhadap pelaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif; 3.
Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan penindakan;
4. Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah
terhadap orang yang ditahan; 5.
Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah;
48
Romi Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Putra Abardin, Bandung, 1996, hlm. 16.
6. Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh
masyarakat terhadap perilaku mereka yang telah melanggar hukum pidana.
Criminal justice process merupakan bagian yang tak terpisahkan dari criminal justice system, karena criminal justice system selain
berisikan tentang criminal justice process juga berisi tentang keterikatan antarlembaga, antar peraturan dan masyarakat yang
menunjang berlakunya hukum pidana.
49
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam
terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
50
49
Tolib Effendi, Op. Cit., hlm. 13-14.
50
Soerjono Soekanto, Pengatar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm. 43.
Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian
hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang
tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena
penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tetang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang- undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya.
51
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.
52
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian Library Research penelitian kepustakaan, yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan yakni : buku-buku, pendapat sarjana, bahan kuliah, surat kabar, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari
internet yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan
Sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan sebagai alasan praperadilan.
4. Analisis Data
Secara umum ada 2 dua metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode
51
Ibid, hlm. 52.
52
Ibid.
analisis kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan
skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai
berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian
penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.
BAB II MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA TINDAK
PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KPK
Didalam bab ini akan dibahas pengaturan tentang mekanisme Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam menetapkan status
tersangka. Pembahasan bab kedua ini akan dimulai dengan pembahasan tentang latar belakang pembentukan lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK
dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan selanjutnya pembahasan mengenai mekanisme KPK dalam
menetapkan status tersangka tindak pidana korupsi. BAB III
SAH TIDAKNYA PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KPK SEBAGAI
ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA Studi Terhadap
Putusan Nomor: 04Pid.Prap2015PN.Jak.Sel Bab ketiga akan membahas mengenai sah-tidaknya penetapan
status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sebagai alasan pengajuan praperadilan. Pembahasan bab ketiga ini
akan dimulai dengan pembahasan mengenai pengaturan praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia,
pembahasan mengenai penetapan status tersangka sebagai alasan pengajuan praperadilan, kemudian dilanjutkan dengan analisis
kasus terhadap Putusan nomor 04Pid.Prap2015PN.Jak.Sel. BAB IV
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan
saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis
berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
34
BAB II MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KPK
A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi