Analisa Putusan Praperadilan pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21PUU-

alasan berbeda concurring opinion dan tiga orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda dissenting opinion. KETUA, Ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, Ttd. Ttd. Anwar Usman Wahiduddin Adams Ttd. Ttd. Suhartoyo Maria Farida Indrati Ttd. Ttd. Patrialis Akbar I Dewa Gede Palguna

2. Analisa Putusan

Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang - undang terhadap Undang-Undang Dasar Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Dalam sudut pandang hukum tata negara, pengujian konstitusionalitas undang - undang terhadap UUD merupakan cerminan prinsip konstitusionalisme dan negara hukum sebagaimana di kukuhkan dalam pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 21PUU- XII2014 tersebut di atas, telah terjadi perluasan objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Pasca Putusan ini, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan telah menjadi objek praperadilan. a. Objek Perkara Objek perkara yang diajukan oleh Pemohon ke Mahkamah Konstitusi adalah pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar judicial review. b. Subjek Hukum Syarat dapat dikategorikannya pihak menjadi Pemohon dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah merupakan pihak yang hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Pemohon harus memiliki legal standing sebagai syarat mutlak untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan UU Mahkamah Konstitusi, hanya Warga Negara Indonesia WNI sajalah yang memiliki legal standing atau mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi. 90 Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. 91 1. Pemohon Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-XII2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pihak yang berperkara adalah: Nama : Bachtiar Abdul Fatah Pekerjaan : Karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia Alamat : Komplek Merapi Nomor 85, RT. 01, RW. 03, Desa Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 Februari 2014 memberi kuasa kepada Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., Dr. S.F. Marbun, S.H.,M.Hum., Alexander Lay, S.T., S.H., LL.M., Dasril Affandi, S.H., M.H., Syahrizal Zainuddin, S.H., Masayu Donny Kertopati, S.H., Ade Kurniawan, S.H., Mohamad Ikhsan, S.H., Suci Meilianika, S.H., dan Azvant Ramzi Utama, S.H., yang semuanya adalah advokat dan konsultan hukum dari Kantor Maqdir Ismail Partners yang berkedudukan hukum di Jalan 90 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Wakil Ketua MK, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 176. 91 Ibid. Bandung Nomor 4, Menteng, Jakarta, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Pemohon dikualifikasikan memiliki legal standing oleh karena Pemohon dalam permohonan ini merupakan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Pemohon. 2. Termohon atau Pihak Terkait Dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang tidak ada pihak Termohon. DPR dan Pemerintah Presiden hanya memberi keterangan selaku pembentuk Undang-Undang. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-XII2014 terkait pengujian Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada yang namanya pihak Termohon, akan tetapi dalam perkara tersebut Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR hanyalah sebagai pemberi keterangan atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan danatau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, danatau Presiden”. Hal demikian berlaku karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat membentuk Undang-undang, sehingga sangat beralasan apabila Mahkamah Konstitusi meminta keterangan danatau risalah rapat terkait pembentukan UU yang merupakan permohonan yang sedang diperiksa. 3. IsiBagian Putusan Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu Putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi : a. Kepala Putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. Identitas para pihak; c. Ringkasan permohonan; d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan; f. Amar putusan; g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan Panitera. Menurut Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-XII2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang- Undang Dasar Tahun 1945 secara keseluruhan sudah memenuhi syarat dari Isi atau Bagian-bagian yang harus termuat dalam suatu Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di atas. Oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, maka Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya segala hal menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon sebagai salah satu bentuk usaha untuk tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi.. 4. Kedudukan Hukum Legal Standing Ketentuan Pasal 51 ayat 1 menyebutkan bahwa Pemohon yang dapat mengajukan permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- undang. Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan konstitusinya dirugikan oleh Undang-Undang adalah sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006PUU-III25 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor IIPUU-V2007 tanggal 20 September 2007 adalah bahwasanya kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik khusus dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU- XII2014 dimana Bachtiar Abdul Fatah sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan hukum legal standing untuk mengajukan perkaranya ke Peradilan Mahkamah Konstitusi. Dengan dikabulkannya permohonan Pemohon untuk sebagian, maka terjadilah perubahan yang bersifat fundamental mengenai Praperadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dimana dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwasanya Undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasca Putusan ini, terhadap Objek Praperadilan telah terjadi perluasan. Penetapan status tersangka juga sudah merupakan Objek dari pranata Praperadilan. Wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada Praperadilan antara lain: 1. Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan 2. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan 3. Memeriksa Tuntutan Ganti Kerugian, karena: a. Penangkapan atau penahanan yang tidak sah b. Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang c. Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa 4. Memeriksa Permintaan Rehabilitasi 5. Praperadilan Terhadap Tindakan Penyitaan 92 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU- XII2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, wewenang tambahan yang diberikan Undang- Undang kepada Praperadilan lewat Putusan MK ini antara lain 1. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka 2. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penggeledahan, dan 3. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penyitaan. Lewat perubahan yang sangat mendasar ini, Praperadilan diharapkan mampu mengawasi proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. 92 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 5-6 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

9 92 134

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

2 89 175

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

1 81 145

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

0 25 146

Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel – Pra Peradilan Budi Guna

2 61 130

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12